Liana berusaha menahan semua yang ingin ia ucapkan. Terlebih lagi, saat ini keadaan sudah berangsur pulih sejak bencana terakhir. Namun, sepertinya mata Liana bahkan tidak bisa menyembunyikan apa pun ketika menatap Aji.
“Aku melihat kejadian, yang bahkan tidak ingin mengingatnya di dalam ingatanku,” jawab Liana sembari terus menatap Aji dengan penuh keyakinan.
“Apa maksudmu?” tanya Aji masih tidak mengerti tentang ucapan Liana.
“Bukankah kamu pernah berjanji, untuk tidak meninggalkanku sendirian,” ucap Liana menggenggam tangan Aji.
“Tentu, Liana,” jawab Aji terkejut ketika mendengar perkataan itu.
“Aku mungkin terlalu egois, aku memang keras kepala. Tapi ku mohon, jangan tinggalkan aku sendirian,” pinta Liana dengan mata yang siap menumpahkan bulir air mata.
Mendengar permintaan tulus itu, Aji memeluk Liana erat dan berharap semua kekhawatiran yang ada di
“Apa maksudmu?” tanya Aji terkejut kemudian berdiri dan berusaha membangunkan Liana dari tatapan kosong yang saat ini membuatnya khawatir.Tanpa menghiraukan Aji, Liana kemudian berlari keluar dari ruang kesehatan dan bergegas untuk menemui Prof. Rendra. Sementara itu, Aji yang tidak paham dengan keadaan saat ini, memutuskan untuk mengikuti Liana kemanapun ia pergi.“Liana, tunggu,” teriak Aji ketika melihat Liana memaksa masuk ke dalam ruangan Geologi laboratorium.Beberapa orang yang mendengar suara teriakan Aji, termasuk Sofi dan Panji, bergegas untuk menhampirinya untuk mengetahui situasi yang tengah terjadi. Sesampainya Aji di ruang Geologi, ia melihat Liana yang mencari sesuatu dengan tatapan cemas.“Liana, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Aji kemudian menhampiri Liana yang sedang sibuk mencari sesuatu dari dalam rak penyimpanan.“Apa yang h
Mendengar perkataan Liana, semua mata kini tertuju kepadanya dengan sebuah tanda tanya besar. Ingatan atau pun ilusi yang mengganggu Liana, ternyata berkaitan dengan orang tuanya.“Apa maksudmu?” tanya Panji melepaskan genggamannya dari Liana, kemudian mundur beberapa langkah karena terkejut.“Aku melihat 2 orang meregang nyawa saat kejadian itu. Entah mengapa, 2 orang itu sangat familier dan aku merasa mengenalinya. Beberapa saat lalu aku mengingat dengan jelas peristiwa itu dan melihat Mama dan Papa ada di sana,” jelas Liana seakan tidak percaya dengan ingatan yang membuat semua orang di ruangan ini terkejut.Melihat semua fakta tentang lapisan kulit bumi yang memiliki rongga dan berpotensi untuh runtuh, Panji dan Sofi kini berusaha untuk meyakini tentang ingatan Liana walau pun semua itu belum terbukti kebenarannya.“Kita harus bergegas, kak. Jika tidak, akan makin banyak orang yan
Mendengar ucapan Liana, Panji menatapnya dengan saksama. Adik yang selama ini telah merawat kedua orang tuanya, kini harus menerima rasa khawatir akibat setiap pertanda yang datang melalui mimpi itu.Tidak ada yang bisa Panji lakukan. Namun, dia tetap berusaha untuk meyakinkan Liana bahwa semua itu bisa dicegah. Mereka akan berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan semua kemampuan untuk mencegah mimpi buruk itu.“Aku harus membawa Mama dan Papa pergi,” ucap Liana spontan ketika sadar dari lamunannya.“Jangan, Liana. Mama dan Papa tidak akan setuju dengan ide itu,” larang Panji ketika Liana hendak terbang dengan VEBU miliknya untuk menemui orang tua mereka.“Apalagi yang bisa aku lakukan, kak?” tanya Liana menatap Panji dengan penuh kekhawatiran yang menggerogoti pikirannya.“Kita akan menemukan jalan keluar. Mari kembali ke laboratorium dan menyelesaikan proyek itu,” ajak Panj
Seluruh tim bergegas menuju titik kontruksi kota apung yang telah disepakati. Sedangkan beberapa relawan sibuk mengevakuasi penduduk yang ada di luar zona kota apung agar segera pindah untuk berlindung.“Kami mendapat sinyal getaran kuat dari arah barat daya,” teriak salah satu tim geofisika laboratorium kota.Mendengar pengumuman yang secara langsung disiarkan melalui speaker, semua orang berlari dan bersiap di posisi mereka. Begitu pun dengan Sofi yang bergegas masuk ke dalam ruangan cermin.“Cermin, berikan aku data tentang lokasi gempa itu,” perintah Sofi sembari duduk dan menatap layar cermin.“Baik.”Sederet lokasi yang sudah di tandai oleh cermin memperlihatkan tempat-tempat yang berpotensi mengalami gempa bumi. Beruntung kali ini gempa bumi tidaklah memiliki kekuatan yang cukup besar, namun ketika melihat semua lokasi itu Sofi bergegas mengh
Mengetahui tanah yang ia pijak runtuh ke dalam bumi dan membentuk sebuah lubang, Liana pun terbang cukup tinggi untuk mengambil video kejadian itu. Rasa terkejut yang kini masih menempel dalam dirinya, tidak membuat Liana gentar sedikitpun.“Jika memang ini adalah buatan, karena ulah tangan manusia. Maka harus dihentikan sebelum semuanya menjadi makin tidak terkendali,” ucap Liana kemudian mengirimkan video itu ke pusat data informasi laboratorium kota.Sementara di posko evakuasi, puluhan korban datang setelah di temukan di beberapa titik gempa. Beberapa relawan baru yang ikut membantu di posko, merasa khawatir jumlah korban akan meningkat.Seiring berjalannya waktu, persediaan darah mulai berkurang. Begitu juga dengan pasokan makanan yang mulai menipis, mengingat bencana ini menghancurkan beberapa pabrik produksi makanan instan dan sejenisnya.Kring…kring…kring…&
Melihat beberapa lubang terus terbentuk, Liana kemudian pergi menemui tim khususnya dan berencana untuk menjalankan plan B.“Apakah semuanya sudah terpasang?” tanya Liana begitu sampai di titik terakhir penempatan alat kontruksi kota apung.“Siap sudah. Untung saja, lubang itu belum menyentuh area yang sudah kita tandai,” jawab salah satu tim khusus sembari mengeratkan sabuk pengaman VEBU.“Kita, harus melakukan plan B. lubang-lubang itu pasti akan menuju kemari,” usul Liana dengan raut wajah cemas.“Bukankah itu terlalu cepat. Jantung kota apung belum siap. Kita harus segera kembali ke laboratorium,” balas salah satu tim khusus itu kemudian menyarankan untuk kembali ke laboratorium“Baiklah, kita akan pikirkan cara terefektif untuk mencegah rongga-rongga tanah itu masuk ke wilayah kota apung,” jawab Liana kemudian memipin tim itu kembali ke laboratorium.
Suasana sore ini membuat siapa pun akan lengah dan terbuai akan keindahannya. Semilir angin yang terasa langsung ketika turun dari perbukitan, membuat setiap helai rambut Liana bergerak.Namun, sekali lagi alam menunjukkan kekhawatirannya. Entah apa yang tengah terjadi kali ini, suara alarm darurat mengejutkan mereka berdua.Tiiiitttt…“Bunyi itu,” ucap Liana kemudian saling bertatap mata dengan Aji.Mereka berdua bergegas pergi ke pusat posko untuk mengecek keadaan. Sesampainya di sana, alat pelacak gempa masih dalam kondisi stabil, namun entah kenapa alarm itu terus berbunyi dengan keras.“Kita harus mencari penyebab alarm ini berbunyi, aku tidak ingin semua orang cemas,” seru Liana kemudian memakai rompi dan topinya kemudian bergegas keluar dari posko.Sementara itu, Aji mengirimkan sinyal kepada semua penjaga dan re
Matahari sudah meninggalkan bumi kali ini. Malam yang terasa begitu sunyi kembali membuat buku kuduk merinding. Liana pergi untuk menyusul Ratih karena dia tidak memberikan jawaban apa pun.Sesampainya di sisi timur, Liana melihat Ratih sedang memungut sesuatu di tepi pantai. Karena wilayah timur identic dengan pesisir, tidak heran hamparan pantai dan lautan terlihat amat luas.“Ratih, apa yang kamu lakukan?” tanya Liana sembari berteriak ketika turun menghampiri sahabatnya itu.“Hai, Liana. Aku sedang memunguti sampah. Tetapi, mengapa semua benda ini berserakan di pantai? Sudah 2 jam aku mengambil semuanya, namun tidak ada habisnya,” tanya Ratih sembari mengeluh karena kelelahan.“Apa?” tanya Liana terkejut melihat benda yang di bawa Ratih merupakan komponen alat pemusnah.Beberapa saat kemudian, Liana mendapatkan kabar bahwa di sisi barat dan selatan ditemukan benda ser
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,
Semua orang meletakkan pandangannya kepada Sofi. Siapa sangka, jika gadis kecil yang penuh dengan tatapan trauma itu adalah dirinya. Melihat diri kecilnya yang meringkuk di balik pohon, Sofi mengalihkan pandangannya dan mulai mengatur napas.“Apakah semua ini? Mengapa gadis kecil itu adalah kakak?” tanya Liana terkejut dengan raut wajah tidak percaya.Keinginan untuk terus bungkam membuat Sofi bergelinang air mata. “Tidak.” Kata yang saat ini membungkam bibir merah muda itu. Namun, sampai kapan derita itu akan dia tanggung seorang diri.“Itu aku, sekaligus keadaan pertama kaliku ketika menginjakkan kaki di planet ini,” jawab Sofi sembari mentup kedua matanya dengan telapak tangan.“Oh… apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Salma menahan air matanya ketika melihat gadis kecil yang tak lain adalah Sofi.“Saat itu Jack bahkan menghancurkan rumah kami.
Mereka masih berada di ruangan yang sama, sejak terakhir kali tersadar bahwa ada sesuatu yang menanti. Terperosok masuk ke dalam tanah, bahkan tidak terpikirkan oleh mereka.Sekarang, Liana telah menemui sosok yang dipanggil sebagai “Liana” di universe ini. Mereka saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Salma dan Ratih, raut wajah terkejut itu membuat siapapun ingin tahu apa arti dari semua yang terjadi hingga detik ini.“Hai, aku Liana,” sapa Liana dari universe ke 4.Liana masih terdiam, tidak berucap apapun dan terus memandang gadis seusianya itu. Kali ini, suasana canggung mulai mengusik semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Sofi.“Canggung sekali, tidak ku sangka akan serumit ini,” gumam Sofi kemudian mendekati kedua Liana itu.Kali ini, Liana mulai maju satu langkah ke depan, untuk memastikan apa yang ia lihat bukan ha
Semua mata terbelalak, melihat puing-puing itu berceceran tanpa arah di angkasa. Untuk menghindari benturan akibat puing-puing tersebut, Sofi mengaktifkan fungsi pengaman pesawatnya.Fungsi aktif…“Kita harus segera mendarat. Akan lebih berbahaya jika benda-benda tanpa tujuan itu menabrak pesawat ini,” ucap Sofi kemudian menarik kemudi pesawat itu.“Sungguh membuatku penasaram,” celetuk Salma, terus memperhatikan keluar pesawat.Lagi-lagi, pesawat itu melesat layaknya pancaran kilat. Mereka tiba di daratan planet tempat seseorang yang Liana cari. Perlahan Liana melepaskan sabuk pengaman dan mengenakan semua alat keamanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Begitupun dengan Salma, Ratih, san Sofi.“Huftt… aku merasa bahwa jantungku, tidak baik-baik saja,” keluh Ratih sembari mengelus dadanya dengan raut wajah khawatir.“Kita b