Mengetahui tanah yang ia pijak runtuh ke dalam bumi dan membentuk sebuah lubang, Liana pun terbang cukup tinggi untuk mengambil video kejadian itu. Rasa terkejut yang kini masih menempel dalam dirinya, tidak membuat Liana gentar sedikitpun.
“Jika memang ini adalah buatan, karena ulah tangan manusia. Maka harus dihentikan sebelum semuanya menjadi makin tidak terkendali,” ucap Liana kemudian mengirimkan video itu ke pusat data informasi laboratorium kota.
Sementara di posko evakuasi, puluhan korban datang setelah di temukan di beberapa titik gempa. Beberapa relawan baru yang ikut membantu di posko, merasa khawatir jumlah korban akan meningkat.
Seiring berjalannya waktu, persediaan darah mulai berkurang. Begitu juga dengan pasokan makanan yang mulai menipis, mengingat bencana ini menghancurkan beberapa pabrik produksi makanan instan dan sejenisnya.
Kring…kring…kring…
&
Melihat beberapa lubang terus terbentuk, Liana kemudian pergi menemui tim khususnya dan berencana untuk menjalankan plan B.“Apakah semuanya sudah terpasang?” tanya Liana begitu sampai di titik terakhir penempatan alat kontruksi kota apung.“Siap sudah. Untung saja, lubang itu belum menyentuh area yang sudah kita tandai,” jawab salah satu tim khusus sembari mengeratkan sabuk pengaman VEBU.“Kita, harus melakukan plan B. lubang-lubang itu pasti akan menuju kemari,” usul Liana dengan raut wajah cemas.“Bukankah itu terlalu cepat. Jantung kota apung belum siap. Kita harus segera kembali ke laboratorium,” balas salah satu tim khusus itu kemudian menyarankan untuk kembali ke laboratorium“Baiklah, kita akan pikirkan cara terefektif untuk mencegah rongga-rongga tanah itu masuk ke wilayah kota apung,” jawab Liana kemudian memipin tim itu kembali ke laboratorium.
Suasana sore ini membuat siapa pun akan lengah dan terbuai akan keindahannya. Semilir angin yang terasa langsung ketika turun dari perbukitan, membuat setiap helai rambut Liana bergerak.Namun, sekali lagi alam menunjukkan kekhawatirannya. Entah apa yang tengah terjadi kali ini, suara alarm darurat mengejutkan mereka berdua.Tiiiitttt…“Bunyi itu,” ucap Liana kemudian saling bertatap mata dengan Aji.Mereka berdua bergegas pergi ke pusat posko untuk mengecek keadaan. Sesampainya di sana, alat pelacak gempa masih dalam kondisi stabil, namun entah kenapa alarm itu terus berbunyi dengan keras.“Kita harus mencari penyebab alarm ini berbunyi, aku tidak ingin semua orang cemas,” seru Liana kemudian memakai rompi dan topinya kemudian bergegas keluar dari posko.Sementara itu, Aji mengirimkan sinyal kepada semua penjaga dan re
Matahari sudah meninggalkan bumi kali ini. Malam yang terasa begitu sunyi kembali membuat buku kuduk merinding. Liana pergi untuk menyusul Ratih karena dia tidak memberikan jawaban apa pun.Sesampainya di sisi timur, Liana melihat Ratih sedang memungut sesuatu di tepi pantai. Karena wilayah timur identic dengan pesisir, tidak heran hamparan pantai dan lautan terlihat amat luas.“Ratih, apa yang kamu lakukan?” tanya Liana sembari berteriak ketika turun menghampiri sahabatnya itu.“Hai, Liana. Aku sedang memunguti sampah. Tetapi, mengapa semua benda ini berserakan di pantai? Sudah 2 jam aku mengambil semuanya, namun tidak ada habisnya,” tanya Ratih sembari mengeluh karena kelelahan.“Apa?” tanya Liana terkejut melihat benda yang di bawa Ratih merupakan komponen alat pemusnah.Beberapa saat kemudian, Liana mendapatkan kabar bahwa di sisi barat dan selatan ditemukan benda ser
Oakk… oakk… oakk…Burung-burung beterbangan ke sisi barat dan mengejutkan semua orang yang melihatnya. Sementara itu, Sofi dan Panji menempatkan prototipe antisipasi agar tsunami itu tidak bisa menembus masuk ke pusat ilmuan kota.“Apa semua prototipenya sudah terpasang?” tanya Panji melihat Sofi bergegas memasuki ruangan.“Semua sudah terpasang,” jawab Sofi kemudian duduk di kursinya dan mulai mengamati keadaan melalui satelit.“kita harus melindungi laboratorium ini, karena Liana menempatkan pusat inti kota apung itu tepat di laboratorium ini,” imbuh Panji bergegas mengaktifkan semua prototipe yang sudah di pasang oleh Sofi.Sementara itu, di luar kota cahaya rembulan adalah satu-satunya cahaya di malah ini. Untung saja, langit bersih dari awan gelap malam ini. Namun, tetap saja semua burung yang beterbangan itu m
Liana terus melakukan perjalanan, tepat 1 jam 15 menit ia terbang dengan VEBU, akhirnya sampai di gua tempat kristal abadi itu bersemayam. Tanpa menunggu lama, Liana pun masuk ke dalam gua itu.“Tidak ada yang berubah.” Liana memperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi dengan kristal, mulai dari ukuran kecl hingga besar.“Tapi, bagaimana bisa aku memindahkan semua kristal ini?” tanya Liana kemudian terfokus pada kristal merah di liontinyya yang tiba-tiba bercahaya.Seketika, sebuah ide muncul di benak Liana. Dia menggunakan kekuatan atom untuk membawa semua kristal itu beserta gua ini ke pusat ilmuan kota. Karena kekuatan kristal merah itu adalah kekuatan yang terkuat.***“Gelombang tsunami mulai melululantakkan semua yang dilaluinya. Semua tim penyelamat telah diberangkatkan menuju lokasi terparah,” ucap salah satu tim control di pusat laboratorium kota.“Ter
Liana yang baru sampai di pusat penggerak kota apung yang berada di laboratorium kota, dengan cepat mengaktifkan program inti kota apung itu. Sementara Panji dan Sofi membantunya mengaktifkan sambungan antarkota.“Sambungan sudah siap,” ucap Panji kemudian berlari ke meja Liana.“Di mana semua kristal itu Liana?” tanya Sofi kemudian menghampiri Liana.Tanpa mengucap kata apapun, Liana kemudian mundur beberapa langkah dan mengarahkan kristal merahnya ke inti yang sudah diaktifkan.Clingg…Sebuah cahaya biru keluar dari setiap dudukan kristal yang ada di mesin pembangkit kota apung itu. Semua hal itu memanglah di luar nalar manusia, kristal merah itu memperkecil semua kristal biru menjadi atom lalu mengeluarkannya lagi.“Hebat, apakah kita bisa memulai pengaktifannya?” tanya Panji menatap Liana.“Kita bisa memu
Matahari mulai bersinar dari ufuk timur. Cahaya hangatnya membuat semua orang membuka mata lebar seraya waspada. Kini gelombang tsunami perlahan surut dan masuk ke dalam rongga-rongga tanah.“Apa kamu yang membuat bumi berongga?” tanya Liana mengepalkan tangan erat.“Kenapa? Apakah kamu merasa kesal? Bukankah bumi sudah terlalu lama menderita karena ulah manusia,” tanya Jack sembari tertawa terbahak-bahak.“Sayangnya kamu adalah bagian dari spesies manusia,” jawab Liana kemudian tersenyum tipis di bibir merah mudanya.Kali ini, Jack berjalan beberapa meter ke depan untuk mendekati Liana. Dia kemudian mengeluarkan sebuah remote dengan tombol biru, kemudian menekannya dan menunjukkan tatapan tajam.“Apa yang kamu rencanakan, Jack?” tanya Liana bersiap melihat sekeliling setelah Jack menekan tombol itu.“Jika aku tidak bisa menghukum semua orang, bia
Burung gagak terdengar bekicau di ranting-ranting pohon dekat posko evakuasi. Bencana akibat ulah konyol Jack telah memakan ribuan nyawa tidak berdosa dari seluruh penjuru bumi.Rintih hujan mulai turun sedikit demi sedikit. Seakan akan, langit tahu bahwa bumi kali ini tengah berduka. Air hujan itu seakan-akan memiliki tujuan untuk menyamarkan bekas darah yang masih menempel di atas tanah maupun bangunan.“Mama, Papa. Kenapa kalian tidur di sini?’ tanya Liana kemudian memegang tangan orang tuanya.Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu mencoba untuk menahan isak tangis mereka. Namun, apalah daya hati seorang manusia yang mudah rapuh. Bahkan Sofi dan Panji tidak bisa memungkiri kebenaran itu.“Salma, apakah kamu memiliki selimut?” tanya Liana kemudian menatap Salma dan tersenyum, sontak membuat semua orang terkejut.“Selimut? Un-tuk apa Liana?” tanya Sal
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,
Semua orang meletakkan pandangannya kepada Sofi. Siapa sangka, jika gadis kecil yang penuh dengan tatapan trauma itu adalah dirinya. Melihat diri kecilnya yang meringkuk di balik pohon, Sofi mengalihkan pandangannya dan mulai mengatur napas.“Apakah semua ini? Mengapa gadis kecil itu adalah kakak?” tanya Liana terkejut dengan raut wajah tidak percaya.Keinginan untuk terus bungkam membuat Sofi bergelinang air mata. “Tidak.” Kata yang saat ini membungkam bibir merah muda itu. Namun, sampai kapan derita itu akan dia tanggung seorang diri.“Itu aku, sekaligus keadaan pertama kaliku ketika menginjakkan kaki di planet ini,” jawab Sofi sembari mentup kedua matanya dengan telapak tangan.“Oh… apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Salma menahan air matanya ketika melihat gadis kecil yang tak lain adalah Sofi.“Saat itu Jack bahkan menghancurkan rumah kami.
Mereka masih berada di ruangan yang sama, sejak terakhir kali tersadar bahwa ada sesuatu yang menanti. Terperosok masuk ke dalam tanah, bahkan tidak terpikirkan oleh mereka.Sekarang, Liana telah menemui sosok yang dipanggil sebagai “Liana” di universe ini. Mereka saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Salma dan Ratih, raut wajah terkejut itu membuat siapapun ingin tahu apa arti dari semua yang terjadi hingga detik ini.“Hai, aku Liana,” sapa Liana dari universe ke 4.Liana masih terdiam, tidak berucap apapun dan terus memandang gadis seusianya itu. Kali ini, suasana canggung mulai mengusik semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Sofi.“Canggung sekali, tidak ku sangka akan serumit ini,” gumam Sofi kemudian mendekati kedua Liana itu.Kali ini, Liana mulai maju satu langkah ke depan, untuk memastikan apa yang ia lihat bukan ha
Semua mata terbelalak, melihat puing-puing itu berceceran tanpa arah di angkasa. Untuk menghindari benturan akibat puing-puing tersebut, Sofi mengaktifkan fungsi pengaman pesawatnya.Fungsi aktif…“Kita harus segera mendarat. Akan lebih berbahaya jika benda-benda tanpa tujuan itu menabrak pesawat ini,” ucap Sofi kemudian menarik kemudi pesawat itu.“Sungguh membuatku penasaram,” celetuk Salma, terus memperhatikan keluar pesawat.Lagi-lagi, pesawat itu melesat layaknya pancaran kilat. Mereka tiba di daratan planet tempat seseorang yang Liana cari. Perlahan Liana melepaskan sabuk pengaman dan mengenakan semua alat keamanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Begitupun dengan Salma, Ratih, san Sofi.“Huftt… aku merasa bahwa jantungku, tidak baik-baik saja,” keluh Ratih sembari mengelus dadanya dengan raut wajah khawatir.“Kita b