"Hah?! Kok?!" Mommy kembali tersenyum, "Tadi pagi-pagi banget dia udah bangun, bantu Mommy masak sebentar terus bikin kopi buat papamu. Dia nanya lagi, masih minta izin buat pindah. Tapi papamu ya tetep ngelarang, bilangin Aileen lacur karena alesannya mau pindah ke apartemen mau ngejar cowok." Gryson mengepalkan tangannya, sedangkan Kenza dan Vilan yang terkejut saling berpandanganㅡ kedua orang itu tidak tahu jika tingkahnya membuat Jevan akhirnya penasaran dan sejak tadi ikut menguping. "Mommy suruh ke kamar habis itu, nangis lah dia pasti dari tadi, makanya sampe anget gitu badannya." Gryson berdecak pelan, "Terus Papa ke mana?" Mommy lagi-lagi tersenyum sambil mulai mencuci piring, "Ya, keluar kota."
Dengan itu Gryson menghela napasnya kasar. "Ya udah aku berangkat dulu, Mom. Takut Vilan telat ke sekolah juga." Mommy mengangguk, senyuman manis dari bibir tipis dan mata sipit beliau tetap terasa hangat menurut Grysonㅡ walau ia tahu dibalik mata yang cantik itu terdapat kesedihan yang ia sembunyikan dalam-dalam. Gryson ikut mengulas senyumnya, lalu mencium pipi sang mama. "Jangan capek-capek di rumah, nanti Jovan suruh bantu-bantu." Mommy mengangguk, "Iya. Udah sana kamu berangkat." Gryson pun meninggalkan area dapurㅡ bersamaan dengan Jevan yang sudah lebih dulu menuju pintu serta Kenza dan Vilan yang baru saja hendak kabur.
Demam Aileen sudah turun, namun hingga dua hari kemudian ia tetap tidak bersekolah. Bahkan ia tidak keluar dari kamarnya untuk ikut makan bersama. Belum lagi Aileen selalu mengunci kamarnya, ia hanya akan membukakan pintu untuk Gryson dan Mommy yang bergantian menyiapkan makanan. Vilan yang tidak tega akhirnya memutuskan untuk menelepon papanya ketika ia baru tiba di sekolah setelah diantarkan oleh Jovan. Vilan mengulum bibirnya, cemas papa tidak mengangkat teleponnya.
'Halo? Kenapa nelpon, Dek?' Vilan melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah, "Papa pulangnya masih lama?" tanyanya basa-basi. Papa sempat terdiam, 'Emangnya kenapa, Sayang?' Vilan menghela napasnya pelan, "Kak Aileen sakit, Pa. Udah tiga hari ini nggak masuk sekolah. Pintu kamarnya dikunci terus, yang boleh masuk cuma Abang Gryson sama Mommy. Aku, Kak Kenza, Bang Jep, sama Bang Jopan khawatir." Hening beberapa saat, Vilan hendak kembali bersuara, namun Papa akhirnya menjawab, 'Besok Papa pulang.' Vilan tersenyum tipis, "Iya. Ya udah ya, Pa. Aku sekolah dulu." Tanpa menunggu jawaban papanya, Vilan mengakhiri sambungan. Ponsel pintarnya ia genggam erat setelah itu, ia menyadari jika samar-samar terdengar suara perempuan.
Di rumah, Gryson yang baru saja keluar dari kamar Aileen setelah mengantarkan sarapan untuk adiknya itu tiba-tiba mendapat telepon. Papa meneleponnya, menanyakan data tentang sosok Arlen yang perlu ia cari. Gryson pun segera menyuruh sekretarisnya untuk mengirim semua data yang telah ia dapat, berharap papanya akan mengizinkan Aileen pindah ke apartemen setelah melihat data tentang Arlen yang menurutnya adalah pria baik-baik. Gryson menghela napasnya pelan, papa tidak menanyakan perihal Aileen, namun ia merasa papanya sudah mengetahui keadaan adiknya itu. Gryson pun menuruni tangga, ia harus segera bergegas karena akan mengadakan rapat di kantornya.
Setelah selesai sarapan, Aileen keluar dari kamarnya karena ia tahu tidak ada orang lain selain ia dan mamanya. Aileen meletakkan piring kotor di wastafel dan mencuci piring itu, setelahnya ia mencari keberadaan sang mommy karena berniat membantu ibunya itu untuk membersihkan rumah mumpung ia tidak bersekolah. Ketika tidak mendapati mommy-nya di seluruh penjuru di lantai satu, Aileen mengasumsikan Mommy itu sedang mandi. Maka dari itu ia memutuskan untuk segera mengambil penyedot debu, ia juga menyiram tanaman di samping rumah, dan sekembalinya dari menyiram tanaman itulah ia melihat Mommy yang menuruni tangga.
"Hei, habis ngapain?" tanya Mommy saat melihat Aileen yang sedikit berpeluh. Aileen menyunggingkan cengirannya, "Bantu Mommy beres-beres dikit, terus siram bunga." Mommy mengusap rambut Aileen sayang, "Ya udah sekarang ke ruang keluarga aja, Mommy mau ambil stroberi dulu, kita marathon movie di depan tv." Aileen dengan patuh menurut, ia pun berjalan menuju ruang keluarga lalu menyalakan televisi, ia juga memilih film yang akan ia tonton bersama sang Mommyㅡ sambil menunggu Mommy-nya kembali membawakan stroberi.
Mommy menyusul ke ruang keluarga tak lama kemudian, satu tangannya membawa sepiring besar potongan buah stroberi, sedangkan tangannya yang lain membawa dua buah es krim. Dengan mata yang masih terlihat membengkak, Aileen tersenyum senang hingga matanya terlihat menghilang. Aileen pun langsung membuka bungkus es krim dan memakan es krim coklat favoritnya itu. Mommy pun melakukan hal yang sama karena takut es krimnya akan meleleh jika didiamkan terlalu lama. "Ini nonton film apa?" tanya Mommy di sela-sela kegiatan memakan es krimnya. "Liat aja, Mom. Seru, Mommy pasti suka." Dan kegiatan menonton anak dan ibu itu berlanjut hingga hari menjelang sore.
Aileen yang sebenarnya sejak tadi mengantuk akhirnya tertidur di atas paha sang ibu, namun Mommy yang perlu melakukan sesuatu akhirnya mengangkat pelan kepala Aileen dan menggantikan pahanya menggunakan bantal sebelum beranjak dari sofa. Jevan dan Vilan yang lebih dulu pulang nampak sedikit terkejut mendapati Aileen yanh akhirnya keluar dari kamar bahkan tertidur di ruang keluarga. Namun Mommy mengidyaratkan agar keduanya diam dan tidak mengganggunya. Jevan dan Vilan pun menurut, mereka memilih membersihkan dirinya terlebih dahulu.
Aileen bangun tepat ketika Kenza dan Jovan pulang. Keduanya sempat terkejut melihat Aileen yang sedang menguap sambil menutupi mulutnya di ruang keluarga. Namun Jovan yang menyadari situasi segera mendorong Kenza agar adiknya itu segera pergi, Jovan pun hanya tersenyum tipis saat Aileen menoleh dan menatapnya, ia langsung menyusul Kenza yang misuh-misuh karena ia sempat mendorongnya.
Aileen menghembuskan napasnya perlahan, ia memperhatikan jam yang tertempel di dinding, lehernya ia regangkan karena terasa pegal, lalu Aileen memilih keluar dari rumah untuk menuju taman. Sinar mentari yang tak terasa panas lagi, serta semilir angin yang berhembus membuat Aileen tersenyum ketika mendudukkan diri di taman mini itu. Pemandangan bunga berwarna-warni di sekitarnya membuat mood-nya semakin baik. Namun Aileen menghembuskan napasnya cukup berat ketika mengingat lagi apa alasan ia seperti ini, 'Nggak papa, nggak papa. Papa cuma niat kasih tau, cuma kata-katanya aja yang nggak bagus.' Aileen mencoba mensugesti dirinya sendiri.
"Kalo gue jadi lo sih, gue ambil tu kopi, terus gue siramin ke mukanya." Aileen menoleh, merasa sedikit terkejut. Namun ternyata sosok itu adalah Kenza. Aileen terkekeh dan menggeleng pelan saat melihat adiknya itu mendudukkan diri di sampingnya. "Ngawur," ucapnya singkat. Kenza tertawa, "Ya dengan catatan bukan orang tua gue sendiri. Nggak mau durhaka gue, njir." Aileen kembali tertawa, "Ya tapi kalo kamu gitu ke orang lain kan namanya nggak sopan?" Kenza ikut tertawa, "Salah mereka duluan dong? Mulutnya nggak dijaga, gue jait baru tau rasa." Aileen yang gemas memukul bahu adiknya itu, "Nggak usah aneh-aneh deh kamu." Kenza hanya tersenyum. Sempat hening beberapa saat, lalu Kenza menatap Aileen. "Masuk gih. Nggak bantuin Mommy masak?" Aileen ber-ah pelan, terkejut sendiri karena melupakan tugasnya. "Ya udah tak tinggal." Kenza hanya mengangguk dan membiarkan Aileen kembali masuk.
Aileen membantu Mommy memasak makan malam seperti biasa, makan malam pun berjalan seperti biasanyaㅡ dengan Aileen yang sudah kembali bergabung di meja makan dan mulai berbincang bersama saudaranya yang lain. Namun selepas makan malam, semuanya menuju kamarnya masing-masing karena kegiatan yang kemungkinan besar cukup menguras tenaga di hari ini. Aileen sempat diajak Mommy untuk menonton televisi, namun ia menolak dan memilih pergi ke kamarnya untuk berdiam diri. Aileen juga sudah cukup mengantuk. Jadi ketika sampai di kamar, ia langsung membersihkan tempat tidur dan menyalakan ponselnya. Aileen tidak membalas spam chat yang dikirimkan oleh Reyvan dan Danial, karena ia paham betul kedua lelaki itu sangat cerewet jika mengetahui dirinya sedang tidak enak badan. Aileen menyalakan ponselnya hanya untuk mendengarkan musik untuk menemaninya tidur.
Keesokan harinya, karena ini adalah hari Sabtuㅡ keluarga yang dikepalai oleh Natha Devaler itu memiliki tugas untuk bergotong royong membersihkan seisi rumah. Pagi-pagi sekali keributan sudah terjadi, Kenza dan Aileen berebut ingin membersihkan rumah, Jovan dan Jevan berebut ingin membersihkan kolam, dan Mommy menggelengkan kepala saja karena hal seperti ini sering terjadi setiap hari. Memang sudah menjadi rutinitas keluarga ini sejak beberapa tahun yang lalu untuk membersihkan rumah seluruh bagian rumah ketika hari libur tiba, lebih tepatnya pada hari Sabtu. Dan biasanya mereka akan mengadakan pesta kecil di hari Minggu.
Di sisi lain, Papa baru saja selesai membaca data tentang sosok Arlen yang dikirimkan oleh Gryson. Beliau pun masuk ke dalam mobilㅡ hendak pulang menuju rumahnyaㅡ untuk mengatakan keputusan finalnya pada sang anak.
Hari ini semuanya berjalan seperti biasa menurut Aileen, semuanya berjalan dengan baik dan normal, namun tidak lagi ketika ia baru saja selesai membantu Mommy memasak makan malam dan mengetahui jika papanya sudah pulang. Aileen sempat mematung beberapa detik saat melihat papanya. Sedangkan Papa menatap Aileen cukup lama, memastikan anaknya itu sudah baik-baik saja, lalu beliau melenggang ke kamarnya. Aileen menghembuskan napasnya yang sejak tadi tidak sengaja ia tahan, lalu gadis itu pun naik ke kamar untuk membersihkan diri sebelum kembali turun untuk makan malam nanti.
Pukul tujuh, jam makan malam. Semua orang telah siap di tempatnya, tinggal menunggu Papa. Ketika Papa telah duduk di kursinya, suasana terasa sedikit tegang. Papa yang menyadari hal itu menghela napasnya. Namun beliau tetap diam dan mulai menyantap makanan. Hingga jam makan malam berakhir dan satu-persatu dari mereka meninggalkan area dapur, Papa masih tetap diam di kursinya. Mommy yang baru saja mengambil piring kotor di depan suaminya menggelengkan kepala pelan. "Dia nggak bakal ngecewain orang tuanya," ucap Mommy tiba-tiba. Papa pun menoleh pada istrinya, Mommy hanya tersenyum dan mengedikkan bahu, "Kalo emang itu yang bikin khawatir, aku jamin nggak bakal ada apa-apa, dia tau batas. Percaya sama dia dan dia bakal jaga kepercayaan kita."
Papa pun mengangguk, beliau beranjak dari kursinya setelah itu untuk menemui Aileen yang berada di kamarnya. Papa sempat mengetuk pintu, ketika mendengar suara Aileen yang menyuruhnya masuk, Papa pun masuk ke dalam kamarnya. Aileen yang sedang mengerjakan latihan soal terkejut melihat papanya, ia mengira itu Jevan atau Gryson karena saudaranya yang lain tidak akan mengetuk pintu. Aileen mengulum bibirnya saat melihat sang papa yang mendudukkan diri di tepi ranjangnya. "Lagi belajar?" Aileen mengangguk, "Iya, Pa. Latihan aja kayak biasa." Papa pun mengangguk, "Masih mau kuliah di luar?"
Mendengar itu Aileen kembali mengangguk, kali ini bahkan anggukannya lebih tegas. "Masih dong, Pa! Cita-citaku!" Papa pun mengulas senyumnya. "Ya udah, bagus kalo gitu. Lanjutin belajarnya, yang rajin. Papa bantu nanti biar bisa kuliah di uni yang kamu mau." Aileen mengulas senyumnya senang, "Hum! Makasih, Pa." Papa mengangguk, lalu beliau menggeleng pelan. "Papa ke sini bukan buat bahas itu." Aileen pun mengerutkan dahinya, "Terus Papa mau bahas apa?" Papa kembali mengulas senyumnya, "Pertama, Papa minta maaf sama omongan Papa yang kemaren." Aileen langsung menggeleng cepat mendengar itu, "Nggak, Pa. Nggak papa, Papa nggak salah. Papa cuma mau negur aku, cuma mungkin Papa lagi emosi makanya pilihan katanya gitu." Suara Aileen terdengar lirih di akhir karena sedikit ragu.
Papa mengangguk, "Intinya Papa minta maaf buat kata-kata Papa kemarin. Papa takut, khawatir sama kamu. Kamu cewek lho, ngejar cowok kayak gitu sampe mau pindah ke apartemen gimana Papa nggak mikir macem-macem coba?" Aileen mengangguk pelan, kepalanya kini menunduk. "Maaf, Pa. Aileen yang nggak pikir panjang, childish." Papa kembali mengangguk, "Itu tau." Sempat hening selama beberapa saat, Papa memperhatikan Aileen yang diam dan menunduk sambil memainkan jarinya yang tertaut. "Terus sekarang gimana? Masih mau pindah ke apartemen?" Aileen menatap papanya, lalu kembali menunduk. "Kalo emang diizinin, ya aku masih mau. Tapi kalo Papa nggak kasih izin, aku nggak bisa maksa."
Papa melipat kakinya, kepalanya sedikit didongakkan menatap Aileen, "Kalo Papa kasih izin, apa yang kamu janjiin?" Aileen mendongakkan kepalanya cepat, matanya membelalak dengan binar bahagia yang tidak bisa disembunyikan, "Papa izinin?!" Papa mengedikkan bahu, "Tergantung apa yang kamu janjiin." Aileen pun melebarkan senyumnya, "Apapun, aku janjiin apapun." Papa tertawa, "Apapun? Bener?" Aileen mengangguk yakin. "Tingkatin prestasimu kalo gitu. Ikutin semua kegiatan di sekolah sebanyak mungkin, sosialisasi." Aileen mengangguk, "Pasti itu, Pa! Papa izinin keluar negeri beneran kan tapi? Udah nggak larang aku lagi?"
Papa tertawa, "Dulu kan Papa ngira kamu tu mau keluar negeri pas sekolah SMA ini, ya Papa nggak izinin lah! Kamu masih kecil gitu, apa-apa Mommy, mana bisa hidup sendiri." Aileen mengerutkan hidungnya, "Niat awalnya emang gitu tau! Tapi kata Mommy Papa bolehinnya pas kuliah aja, ya udah ganti rencana!" Papa kembali tertawa, "Sebenernya juga Papa masih nggak rela. Tapi ya mau gimana, kamu beneran buktiin semua prestasi yang Papa minta, jelas nggak mungkin Papa ngekang kamu terus." Aileen pun tersenyum, "Berarti Papa izinin beneran, kan? Izinin aku pindah, izinin aku ke luar negeri juga?" Papa mengangguk, "Iya, Papa izinin. Tapi inget! Jaga diri baik-baik, belajar yang bener, jangan kecewain Papa sama Mommy." Aileen mengangguk, ia berpindah duduk di samping papanya lalu memeluk beliau, "Pasti. Aku janji."
Aileen akhirnya pindah ke apartemen setelah perjanjian yang telah disetujui oleh ia dan papanya. Aileen akhirnya dibolehkan untuk tinggal sendiri. Dan seolah keberuntungan sedang berpihak padanya, Aileen mendapat ruangan tepat di samping milik Arlen. Aileen sempat mengetahui di nomor berapa Arlen menyewa, maka dari itu ia sangat senang karenanya. Penyewa ruangan yang akan ditempati Aileen baru saja pindah kemarinㅡ yang sebenarnya semua ini telah diatur oleh Gryson. Gryson diam-diam membayar penyewa apartemen itu agar pindah ke tempat lain dan membiarkan Aileen bersebelahan ruangan dengan Arlen. Papa menyuruhnya untuk sedikit membantu Aileen, maka inilah yang Gryson lakukan. Ia harap adiknya bisa mengejar dan m
Aileen keluar dari apartemennya, ia hendak pergi ke supermarket untuk membeli sayuran, ia ingin memasak makan malam. Tak disangka pintu di sebelahnya juga terbuka, Arlen juga baru saja keluar dari apartemennya. Aileen pun mengulas senyum menatap sosok itu. Arlen mendekat pada Aileen, "Mau ke mana?" tanyanya langsung. Aileen menunjukkan telapak tangannya yang berisi tas belanja yang ia lipat kecil dan menggoyangkan itu, "Ke supermarket, Kak." Arlen tertawa pelan, "Ayo bareng kalo gitu, saya mau keluar juga." Kini keduanya berjalan menuju lift, "Kakak mau ke supermarket juga?" Arlen menggeleng mendengar pertanyaan Aileen, "Nggak, saya mau ke minimarket aja." Aileen ber-oh pelan sambil menganggukkan kepa
Senin pagi, Aileen sudah bangun pagi-pagi sekali. Ia menyetel alarm setengah jam dari yang biasanya ia bangun. Saat ini ia tinggal sendiri, jadi ia harus melakukan segalanya sendiri. Aileen mengikat rambutnya dan membasuh wajah untuk benar-benar membuka matanya. Setelah mengelap wajahnya dengan handuk, Aileen mengulas senyumnya lebar menatap pantulan dirinya di kaca. "Semangat, semangat! Ayo semangat hari ini! Nanti ketemu Kak Arlen!"Aileen
Kak Arlen❤Yang tadi itu siapa?Aileen mengerjapkan matanya cepat. Ia tidak langsung membalas pesan dari Aileen dan memilih melakukan tujuan awalnya yaitu mengheningkan mode ponselnya. Setelah itu Aileen kembali menyimpan ponselnya ke dalam sa
Kak Arlen❤Dek?Aileen yang baru saja selesai belajar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur mengulas senyum lebar saat melihat pesan masuk dari sosok yang ia sukai itu.
Arlen berdecak pelan, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, namun entah kenapa ia merasa tidak tenang. Mungkin karena ciuman singkatnya dengan Aileen tadi, atau entahlah. Arlen sendiri bingung dengan apa yang membuatnya merasa seperti ini. Arlen menghela napasnya untuk yang kesekian kali, sudah setengah jam yang lalu ia menyelesaikan pekerjaannya dan selama itu pula ia hanya duduk diam di kursi sambil sesekali melihat ponselnya. Sosok itu sedikit mengerutkan dahinya saat melihat status WhatsApp dari Olin, adik angkatnya itu memang sering tidur larut. Dengan itu Arlen pun memilih mengirimkan pesan padanya.
Bunda langsung mengusap-usap pipi Aileen yang terlihat memerah saat tiba, sedangkan Mommy menatap Brian khawatir dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. "Ini kenapa sih, kenapa? Kok bisa dipanggil ke kantor segala?" tanya Mommy sambil mendudukkan diri di samping Brian di sebelah kiri. Bunda pun akhirnya mendudukkan diri di samping Aileen sambil mengusap bahu gadis itu. "Begini, Ibu." Guru itu menatap Brian dan Aileen bergantian, "Ceritakan." Brian pun memulai ceritanya, "Gini lho Bun, Mom, kan Brian tadi telat ke sekolah, terus Brian jadinya bolos ke toilet. Karena di toilet cowok udah ketauan, ya udah Brian ke toilet cewek. Sepi tuh pertamanya, kan baru masuk. Eh tapi belum juga lima menit di dalem, ada yang masuk ke toilet sambil nyanyi-nyanyi. Brian kan hafal suara Ai yang jelekㅡ" Dan Brian mendapat pukulan sayang dari Aileen. Mommy yang melihat itu mencubit pipi Aileen, "Nggak boleh nakal tangannya!" Aileen pun m
Aileen baru saja selesai memasak makan malam ketika bel apartemennya tiba-tiba berbunyi. Setelah merapikan piring dan mencuci tangannya, ia segera keluar untuk membukakan pintu. Rasa terkejutnya tidak bisa disembunyikan karena ternyata yang bertamu adalah Arlen. "Malem, Dek?" Aileen mengerjap melihat Arlen yang tersenyum. "Saya chat kamu, tapi nggak dibales," ucapnya sambil menunjukkan layar ponsel yang memperlihatkan pesannya kepada Aileen. Aileen terkekeh canggung, "Aku lagi masak, Kak. Hp-nya di-charge di kamar." Arlen pun ber-oh pelan. "Ehm, ayo masuk dulu, Kak?" tawar Aileen. Arlen pun mengangguk dan mengikuti gadis itu masuk ke dalam apartemennya. Entah kenapa Arlen merasa canggung, bahkan pertemuan pertama keduanya tidak terasa seperti ini."Kamu habis masak?" tanya Arlen retorik. Aileen mengangguk, "Iya, Kak." Arlen men