‘Seketika itu juga, timbul secercah rasa bersalah dalam diri Pricillia. Ia merasa begitu berdosa karena telah menikam mereka dari belakang dengan menjalin hubungan terlarang dengan Adam.’
***
Sebelum pulang, Thomas dan Elle mengajak sepasang saudara tiri itu untuk makan malam bersama di restoran yang ada di bandara tersebut.
Sembari menunggu pesanan tiba, Thomas berinisiatif membuka topik pembicaraan guna mencairkan suasana di antara mereka.
“Bagaimana kabar kalian berdua?” tanya Thomas dengan senyum merekah di wajahnya.
Pricillia hanya menjawabnya dengan senyuman lalu kembali menundukan kepalanya. Sedangkan, Adam hanya menghela napas pelan lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Tanggapan yang diberikan oleh kedua anaknya benar-benar membuatnya khawatir.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Elle ketika melihat raut wajah putri semata wayangnya tidak seceria biasanya.
Saling bertukar pandang sej
‘Bukankah kita sudah membicarakan hal ini sejak awal, Pricillia? Tidak akan menjadi masalah selama tidak ada yang tahu hubungan yang terjalin di antara kita.’ *** “Ayo keluar, Ayah dan Ibu pasti khawatir karena menunggu kita terlalu lama,” usul Adam usai mengenakan kembali pakaiannya seperti semula. Saat mereka berdua keluar dari pintu restroom, seketika orang-orang yang berlalu lalang langsung memandangi mereka dengan tatapan aneh. Bukan tanpa alasan, itu karena yang mereka masuki adalah restroom khusus perempuan. Meski begitu, Adam tetap berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi tidak bagi Pricillia, gadis itu langsung menundukan kepalanya sembari menahan malu serta rasa nyeri yang semakin menjadi-jadi di bagian intinya karena Adam menarik tangannya untuk berjalan lebih cepat. . . “Kalian tidak tersesat ‘kan?” tanya Thomas dengan raut wajah khawatir, setelah menunggu lebih dari setengah jam di dalam mobil. Begitu pula Elle yang juga menanyakan hal yang sama pada Pricillia
‘Ya, semuanya terlalu berharga. Tidak pantas bagi dirinya yang hina dan kotor ini.’ *** Sesuai kesepakatan kemarin, pagi ini usai sarapan, Pricillia ditemani oleh ibunya ke sebuah butik untuk mencari gaun yang akan ia kenakan di pesta ulang tahunnya nanti malam. Sementara itu, Adam beserta ayahnya pergi ke hotel untuk memastikan bahwa semua keperluan pesta sudah siap. . . . “Coba gaun yang ini, Ibu rasa cocok untukmu, Sayang,” ucap Elle sembari memberikan sebuah gaun sleeveless selutut berwarna biru laut pada Pricillia di ruang ganti. Padahal sudah banyak gaun yang ia coba kenakan sedari tadi. Tidak peduli seberapa mahal serta cantiknya desain dari gaun-gaun tersebut. Namun, tidak ada satu pun yang mampu menumbuhkan rasa antusiasnya sedikit pun. Ia jadi bertanya-tanya dalam hatinya; ada apa dengannya hari ini? Kenapa ia tidak merasa antusias sama sekali untuk merayakan ulang tahunnya ber
'Meski begitu, tak bisa dimungkiri bila rasa takut juga cemas tetap meliputi dirinya. Ia takut bila aksi tak bermoralnya dengan Adam diketahui oleh ayah atau pun ibu mereka.' *** "Pricillia, kita sudah sampai. Ayo turun," ujar Elle, lalu membuka pintu mobil. Diikuti oleh Pricillia yang juga membuka pintu sebelahnya. Tepat di hadapannya, berdiri sebuah salon khusus para elit. Dari desain bangunannya saja, Pricillia sudah bisa menebak tarif yang akan dikenakan untuk satu kali perawatan. Saat membayangkan besarnya jumlah uang yang dikeluarkan oleh ayah sambungnya, seketika membuat air liurnya terasa begitu sulit untuk ia telan. Tak mau memikirkannya lagi, gadis itu berjalan masuk ke dalam salon tersebut, mengikuti sang Ibu yang sudah masuk terlebih dahulu ke sana. Saat sudah berada di dalam, ia melihat sang Ibu sedang sibuk berbicara dengan beberapa staf di salon tersebut. Sembari menunggu ibunya selesai memesan, Pricillia memilih untuk melihat-lihat sekitar. Mengamati desain interio
'Sekilas, Elle mengamati gaun maroon yang dikenakan oleh putrinya itu. Seketika itu pula timbul sebuah pertanyaan dalam hatinya. Namun, ia enggan menyuarakannya.'***"Cepat ganti gaunmu dengan ini!" perintah Adam dengan penuh intimidasi. Tanpa menunggu jawaban dari Pricillia, pemuda itu menarik paksa tangan sang gadis untuk menerima gaun pemberiannya tersebut.Sementara itu, Pricillia hanya mengernyitkan dahinya, karena sama sekali tak mengerti maksud dari kakak tirinya.Memang apa yang salah dengan gaun yang ia kenakan saat ini? Apakah terlalu mencolok? Atau terlalu terbuka? Atau terlalu norak? Gadis itu tidak merasa ada yang salah dengan gaunnya. Tapi, tak ia mungkiri bila modelnya sedikit 'berani'. Meskipun begitu, tetap saja tidak terkesan menggoda sama sekali. Lagi pula. tidak ada salahnya bukan bila dirinya ingin tampil dewasa di pesta ulang tahunnya sendiri? Mengingat saat ini ia sudah berusia delapan belas tahun.Beberapa menit berlalu, gadis itu hanya menatap gaun yang ada d
'Hanya karena dia sepupu kamu, lalu apa itu artinya kamu boleh berpelukan dan mengobrol secara leluasa dengannya?' *** Usai jamuan makan malam, acara dilanjutkan dengan acara bebas yang mana semua tamu saling membentuk kelompok secara natural. Ada yang sibuk berbincang, ada pula yang sibuk berfoto ria guna membuat kenangan bersama. Sementara itu, sang bintang pesta memilih untuk menyingkir ke salah satu balkon bersama dengan pemuda bermanik senada dengan dirinya. Lengkap dengan segelas wine di tangan. "Jadi, bagaimana kabarmu? Apa kamu senang tinggal di New York?" tanya pria yang diketahui bernama Nick tersebut dengan sunggingan terhias di wajah rupawannya. Matanya menilik tiap perubahan raut wajah saudara sepupunya dalam hening. Usai mengalirkan cairan manis berwarna merah pekat ke dalam kerongkongannya, Pricillia menghela napas berat. Pandangannya terfokus pada gelas wine miliknya yang sudah kosong. Tampak dari sorot matanya mengisyaratkan berbagai macam emosi; sedih, takut, kha
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Satu hal yang Pricillia ketahui dengan jelas adalah Adam memang berniat untuk balas dendam padanya. Namun, apakah harus dengan cara sebejat itu?' *** "Uhhmm, aaah, aaahhh—hmmmhhh, ohh God! Lebih cepat—Adaam, aaahhh!" Hentakan demi hentakan yang Adam lakukan membuat salah satu mahasiswi yang menjadi tempatnya melampiaskan nafsu birahi kini mendesah cukup keras. Desahan yang keluar dari mulutnya mampu membuat para mahasiswi lainnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, lantaran merasa tidak nyaman sekaligus jijik. "Apa-apaan sih mereka!? Tidak bisakah mereka menyewa sebuah kamar hotel?" gerutu salah satu mahasiswi yang tak sengaja melihat adegan panas mereka dari sela-sela pintu. Ada pula mahasiswi yang diam-diam merutuki perilaku tak bermoral Adam, karena sengaja melakukannya di tempat umum. Terlebih, sang womanizer tersebut tidak menutup rapat pintu toiletnya, s
Peringatan: Bab ini mengandung percakapan yang mungkin tak layak untuk pembaca di bawah umur. Harap bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Terpancar dari sorot matanya perasaan tak suka saat tahu wanitanya lebih memperhatikan pria lain ketimbang dirinya.' *** "Baiklah, kita sudah sampai," ujar Nick setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan kafe. Pria itu kemudian mematikan mesin mobilnya dan beranjak keluar. Begitu pun dengan Pricillia. Mereka memasuki kafe tersebut dan memilih untuk duduk di kursi pojok belakang ruangan yang kebetulan masih kosong. Tak lama waktu berselang, tanpa sepengetahuan mereka, Adam pun tiba di depan kafe tersebut. "Hmm, mau menguji kesabaranku rupanya? Baiklah, tidak ada kata ampun lagi untukmu, Pricillia." Api cemburu yang membara dalam dadanya membuat Adam tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang, ia langsung memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Nick lalu bergegas menyusul mereka berdua ke dalam kafe tersebut. . . "H
'Kalau kamu tetap tidak minta maaf hari ini juga. Maka uang beserta fasilitas yang telah Ayah sediakan untukmu akan Ayah sita selamanya!' *** Drap drap drap-- "Nick! Pricillia ... haahh ... ba-bagaimana ... keadaan Nick??" seru Elle dengan nada panik. Napasnya terengah-engah karena telah berlari dari depan gedung rumah sakit. {Tenang, Bu. Dokter sedang menanganinya,} sahut Pricillia lewat gerakan tangannya. Sementara itu, Adam yang juga ada di sana memilih duduk diam sambil menyilangkan kakinya. Tanpa berinisiatif untuk meminta maaf atau sekadar menjelaskan perbuatannya pada Elle. Ketika iris mata mereka bertemu, Elle langsung menegurnya dengan keras, "Adam, kenapa kamu melakukan itu? Meski dia bukan sepupu kandungmu. Tapi, kamu sadar 'kan kalau perbuatanmu itu sudah kelewat batas?" Matanya menilik tajam, seolah menuntut permintaan maaf. Adam membuang muka ke sembarang arah. Pemuda mix-raced itu hanya menghela napas panjang, malas menanggapi sikap ibu sambungnya yang menurutnya