Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih.
‘Maafkan aku ... Ayah dan Ibu akan pulang nanti sore. Jadi, akan sulit bagi kita berdua untuk bertemu dan melakukannya lagi dengan leluasa seperti ini.’
***
“Selamat malam, sampai jumpa di kampus besok.”
Usai Adam berkata demikian, Pricillia langsung membuka pintu mobil dan keluar dari sana.
.
.
.
Hari demi hari berlalu, hingga tak terasa kalau sudah hampir satu minggu berlalu sejak saat itu. Di mana hari ini merupakan hari terakhir ayah dan ibu mereka—Thomas dan Elle berbulan madu.
Semalam sebelum Adam dan Pricillia menjemput kedua orang tua mereka di bandara, seperti biasanya sepasang saudara tiri itu menuntaskan hasrat terpendam mereka di atas ranjang.
Di mana jam digital di atas nakas sudah menunjukan pukul sebelas malam. Waktu bagi hampir sebagian besar o
‘Seketika itu juga, timbul secercah rasa bersalah dalam diri Pricillia. Ia merasa begitu berdosa karena telah menikam mereka dari belakang dengan menjalin hubungan terlarang dengan Adam.’ *** Sebelum pulang, Thomas dan Elle mengajak sepasang saudara tiri itu untuk makan malam bersama di restoran yang ada di bandara tersebut. Sembari menunggu pesanan tiba, Thomas berinisiatif membuka topik pembicaraan guna mencairkan suasana di antara mereka. “Bagaimana kabar kalian berdua?” tanya Thomas dengan senyum merekah di wajahnya. Pricillia hanya menjawabnya dengan senyuman lalu kembali menundukan kepalanya. Sedangkan, Adam hanya menghela napas pelan lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tanggapan yang diberikan oleh kedua anaknya benar-benar membuatnya khawatir. Hal yang sama juga dirasakan oleh Elle ketika melihat raut wajah putri semata wayangnya tidak seceria biasanya. Saling bertukar pandang sej
‘Bukankah kita sudah membicarakan hal ini sejak awal, Pricillia? Tidak akan menjadi masalah selama tidak ada yang tahu hubungan yang terjalin di antara kita.’ *** “Ayo keluar, Ayah dan Ibu pasti khawatir karena menunggu kita terlalu lama,” usul Adam usai mengenakan kembali pakaiannya seperti semula. Saat mereka berdua keluar dari pintu restroom, seketika orang-orang yang berlalu lalang langsung memandangi mereka dengan tatapan aneh. Bukan tanpa alasan, itu karena yang mereka masuki adalah restroom khusus perempuan. Meski begitu, Adam tetap berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi tidak bagi Pricillia, gadis itu langsung menundukan kepalanya sembari menahan malu serta rasa nyeri yang semakin menjadi-jadi di bagian intinya karena Adam menarik tangannya untuk berjalan lebih cepat. . . “Kalian tidak tersesat ‘kan?” tanya Thomas dengan raut wajah khawatir, setelah menunggu lebih dari setengah jam di dalam mobil. Begitu pula Elle yang juga menanyakan hal yang sama pada Pricillia
‘Ya, semuanya terlalu berharga. Tidak pantas bagi dirinya yang hina dan kotor ini.’ *** Sesuai kesepakatan kemarin, pagi ini usai sarapan, Pricillia ditemani oleh ibunya ke sebuah butik untuk mencari gaun yang akan ia kenakan di pesta ulang tahunnya nanti malam. Sementara itu, Adam beserta ayahnya pergi ke hotel untuk memastikan bahwa semua keperluan pesta sudah siap. . . . “Coba gaun yang ini, Ibu rasa cocok untukmu, Sayang,” ucap Elle sembari memberikan sebuah gaun sleeveless selutut berwarna biru laut pada Pricillia di ruang ganti. Padahal sudah banyak gaun yang ia coba kenakan sedari tadi. Tidak peduli seberapa mahal serta cantiknya desain dari gaun-gaun tersebut. Namun, tidak ada satu pun yang mampu menumbuhkan rasa antusiasnya sedikit pun. Ia jadi bertanya-tanya dalam hatinya; ada apa dengannya hari ini? Kenapa ia tidak merasa antusias sama sekali untuk merayakan ulang tahunnya ber
'Meski begitu, tak bisa dimungkiri bila rasa takut juga cemas tetap meliputi dirinya. Ia takut bila aksi tak bermoralnya dengan Adam diketahui oleh ayah atau pun ibu mereka.' *** "Pricillia, kita sudah sampai. Ayo turun," ujar Elle, lalu membuka pintu mobil. Diikuti oleh Pricillia yang juga membuka pintu sebelahnya. Tepat di hadapannya, berdiri sebuah salon khusus para elit. Dari desain bangunannya saja, Pricillia sudah bisa menebak tarif yang akan dikenakan untuk satu kali perawatan. Saat membayangkan besarnya jumlah uang yang dikeluarkan oleh ayah sambungnya, seketika membuat air liurnya terasa begitu sulit untuk ia telan. Tak mau memikirkannya lagi, gadis itu berjalan masuk ke dalam salon tersebut, mengikuti sang Ibu yang sudah masuk terlebih dahulu ke sana. Saat sudah berada di dalam, ia melihat sang Ibu sedang sibuk berbicara dengan beberapa staf di salon tersebut. Sembari menunggu ibunya selesai memesan, Pricillia memilih untuk melihat-lihat sekitar. Mengamati desain interio
'Sekilas, Elle mengamati gaun maroon yang dikenakan oleh putrinya itu. Seketika itu pula timbul sebuah pertanyaan dalam hatinya. Namun, ia enggan menyuarakannya.'***"Cepat ganti gaunmu dengan ini!" perintah Adam dengan penuh intimidasi. Tanpa menunggu jawaban dari Pricillia, pemuda itu menarik paksa tangan sang gadis untuk menerima gaun pemberiannya tersebut.Sementara itu, Pricillia hanya mengernyitkan dahinya, karena sama sekali tak mengerti maksud dari kakak tirinya.Memang apa yang salah dengan gaun yang ia kenakan saat ini? Apakah terlalu mencolok? Atau terlalu terbuka? Atau terlalu norak? Gadis itu tidak merasa ada yang salah dengan gaunnya. Tapi, tak ia mungkiri bila modelnya sedikit 'berani'. Meskipun begitu, tetap saja tidak terkesan menggoda sama sekali. Lagi pula. tidak ada salahnya bukan bila dirinya ingin tampil dewasa di pesta ulang tahunnya sendiri? Mengingat saat ini ia sudah berusia delapan belas tahun.Beberapa menit berlalu, gadis itu hanya menatap gaun yang ada d
'Hanya karena dia sepupu kamu, lalu apa itu artinya kamu boleh berpelukan dan mengobrol secara leluasa dengannya?' *** Usai jamuan makan malam, acara dilanjutkan dengan acara bebas yang mana semua tamu saling membentuk kelompok secara natural. Ada yang sibuk berbincang, ada pula yang sibuk berfoto ria guna membuat kenangan bersama. Sementara itu, sang bintang pesta memilih untuk menyingkir ke salah satu balkon bersama dengan pemuda bermanik senada dengan dirinya. Lengkap dengan segelas wine di tangan. "Jadi, bagaimana kabarmu? Apa kamu senang tinggal di New York?" tanya pria yang diketahui bernama Nick tersebut dengan sunggingan terhias di wajah rupawannya. Matanya menilik tiap perubahan raut wajah saudara sepupunya dalam hening. Usai mengalirkan cairan manis berwarna merah pekat ke dalam kerongkongannya, Pricillia menghela napas berat. Pandangannya terfokus pada gelas wine miliknya yang sudah kosong. Tampak dari sorot matanya mengisyaratkan berbagai macam emosi; sedih, takut, kha
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Satu hal yang Pricillia ketahui dengan jelas adalah Adam memang berniat untuk balas dendam padanya. Namun, apakah harus dengan cara sebejat itu?' *** "Uhhmm, aaah, aaahhh—hmmmhhh, ohh God! Lebih cepat—Adaam, aaahhh!" Hentakan demi hentakan yang Adam lakukan membuat salah satu mahasiswi yang menjadi tempatnya melampiaskan nafsu birahi kini mendesah cukup keras. Desahan yang keluar dari mulutnya mampu membuat para mahasiswi lainnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, lantaran merasa tidak nyaman sekaligus jijik. "Apa-apaan sih mereka!? Tidak bisakah mereka menyewa sebuah kamar hotel?" gerutu salah satu mahasiswi yang tak sengaja melihat adegan panas mereka dari sela-sela pintu. Ada pula mahasiswi yang diam-diam merutuki perilaku tak bermoral Adam, karena sengaja melakukannya di tempat umum. Terlebih, sang womanizer tersebut tidak menutup rapat pintu toiletnya, s
Peringatan: Bab ini mengandung percakapan yang mungkin tak layak untuk pembaca di bawah umur. Harap bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Terpancar dari sorot matanya perasaan tak suka saat tahu wanitanya lebih memperhatikan pria lain ketimbang dirinya.' *** "Baiklah, kita sudah sampai," ujar Nick setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan kafe. Pria itu kemudian mematikan mesin mobilnya dan beranjak keluar. Begitu pun dengan Pricillia. Mereka memasuki kafe tersebut dan memilih untuk duduk di kursi pojok belakang ruangan yang kebetulan masih kosong. Tak lama waktu berselang, tanpa sepengetahuan mereka, Adam pun tiba di depan kafe tersebut. "Hmm, mau menguji kesabaranku rupanya? Baiklah, tidak ada kata ampun lagi untukmu, Pricillia." Api cemburu yang membara dalam dadanya membuat Adam tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang, ia langsung memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Nick lalu bergegas menyusul mereka berdua ke dalam kafe tersebut. . . "H
'Mereka tahu bahwa masa depan hubungan keluarga ini bergantung pada seberapa baik mereka bisa menyembunyikan kebenaran yang ada' *** Dalam suasana malam yang tenang, Adam dan Pricillia melangkah masuk ke ruang tamu rumah mereka setelah menghabiskan waktu berkencan di tepi danau. Kesan manis perjalanan mereka masih menggelayut di udara, namun atmosfer hangat itu terhenti ketika mereka berhadapan dengan Thomas, ayah mereka, yang duduk di sofa sambil sibuk dengan iPad di tangannya. Cahaya dari layar elektronik itu menyoroti ekspresi waspada di wajah Thomas, menciptakan ketegangan yang dapat dirasakan di ruangan itu. Thomas menyapa mereka dengan nada ramah, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam. Dengan pertanyaan yang seakan-akan mencari jawaban, ia bertanya, "Habis dari mana kalian berdua? Dan kenapa baru pulang sekarang?" Adam dengan sigap menjawab, "Kami baru saja menonton film di bioskop, Ayah." Sementara Pricillia hanya mengangguk setuju, berusaha men
'Apakah ini benar-benar baik untuk kita? Ataukah kita semakin terjebak dalam labirin yang kelam?' *** Percikan cahaya bulan membingkai malam mereka saat Adam dan Pricillia memasuki wilayah terlarang untuk menjalani kencan mereka. Mereka berdua berdiri di tepi danau yang sepi, dikelilingi oleh pepohonan yang gelap dan menyiratkan keadaan misterius. Adam memandang Pricillia dengan senyum licik yang sulit diartikan. Malam itu, bulan bersinar cerah, menerangi langkah mereka yang melangkah ke wilayah terlarang. Adam memimpin Pricillia melintasi pinggir danau yang sunyi, diapit oleh pepohonan rimbun yang memancarkan aura misterius. Dalam sorotan cahaya bulan, wajah Adam terangkat, senyumnya menciptakan ketegangan yang sulit dipahami di antara mereka. Pricillia, berdiri di sampingnya, merasakan getaran emosional yang mengalir dalam kegelapan malam. "Selamat datang di tempat paling eksklusif untuk berkencan, Pricillia," ujar Adam samb
'Kita sudah menjalani petualangan ini cukup lama, dan sekarang, kita akan menjelajah wilayah yang lebih gelap dan rumit.' *** "Oke, kalau memang itu yang kamu mau, jangan salahkan aku kalau besok berita tentang hubungan kita yang tak seharusnya menyebar ke seluruh kampus." Deg deg! Ucapan itu dari mulut Adam berhasil menghidupkan kembali kenangan akan perlakuan buruk dan cemoohan yang pernah dialami Pricillia di kampus. Tubuhnya tiba-tiba lemas, terutama saat membayangkan betapa hancurnya hati ibunya nanti ketika mengetahui tentang hubungan mereka yang tak seharusnya. Dunianya kembali terasa gelap, sunyi, dan sepi. Tak ada siapa pun di sana, kecuali dirinya dan Adam. Perasaan bersalah kembali menyergap Pricillia. Pikirannya menjadi kacau. Terlebih lagi, tatapan pemuda berkulit hitam itu bagaikan rantai yang mengikat tubuhnya kuat, membuatnya sulit untuk bernapas. Lidahnya terasa kelu, tak bisa mengeluarkan suara atau sepatah kata pun. Entah mengapa semuanya terasa begitu sulit
'Tapi tekadnya kembali digoyahkan ketika suara berat Adam yang penuh intimidasi itu masuk ke telinganya.' *** "BA*INGAN! KEPA*AT!!!" Sudah di ambang batas kesabaran, Thomas langsung bergegas ke arah wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya. Tanpa aba-aba, pria paruh baya itu langsung melayangkan pukulan sekaligus tamparan keras. Serangannya yang tanpa ampun menyebabkan kepala Diana terbentur lantai dengan cukup keras. Hingga darah segar mengalir dari pelipisnya. Melihat ayahnya murka seperti itu, Adam bersorak penuh kemenangan di dalam hatinya.Tanpa membuang waktu lagi, ia berpura-pura memasang ekspresi ketakutan seraya buru-buru memakai kembali boxer juga celana panjangnya. Sementara, Elle yang terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya, hanya bisa bergeming. Otaknya seakan memerlukan lebih banyak waktu untuk mencerna maksud dari perilaku tak lazim yang dilakukan oleh seorang ibu kandung pada putra semata wayangnya sendiri. Sementara Pricillia hanya bisa
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Nalar dan adab sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Ia hanya ingin kembali merasakan sesuatu yang disebut surga duniawi.' *** "Se-sekarang Adam berada di rumah ... Diana." Seketika iris mata Thomas membulat dengan sempurna. Rahangnya tampak mengeras. Bahkan, gemuruh emosi terpancar jelas dari sorot matanya. Elle bahkan sempat bergidik ngeri ketika merasakan aura membunuh terpancar dari suaminya. Bagaimana Adam bisa tahu di mana sosok wanita itu berada? Apa selama ini mereka masih saling berhubungan satu sama lain? Apa wanita itu yang memaksa Adam untuk terus berhubungan dengannya? Pria paruh baya itu semakin dibuat frustasi oleh pikirannya sendiri. Perasaannya juga semakin was-was ketika ingatan akan perbuatan bejat mantan istrinya terhadap Adam kembali berputar di kepalanya. "Adam sudah mengirim lokasinya saat ini ke ponsel Pricillia. Jaraknya cukup jauh dari sini. Ja
'Suaranya seperti tercekat.Terlebih ketika dirinya harus menyebutkan nama dari sosok yang paling dibenci oleh suaminya.' *** "Umm ... Nick. Sepertinya Tante dan Pricillia harus pulang. Jadi, maaf karena malam ini kami tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Tapi, tenang saja. Besok kami akan kemari lagi. Selamat malam," ujar Elle usai menutup sambungan telepon dari Thomas. Pricillia langsung mengerutkan dahinya, menatap khawatir sang Ibu. Gadis bermanik biru langit itu kemudian menyentuh lengan Elle. Sentuhannya membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arahnya. Ketika iris mata mereka saling bertemu, Elle memberinya sebuah senyum yang tak sampai ke mata. Senyum yang terkesan dipaksakan. Menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Pricillia. Jangan khawatir," ucap Elle kemudian mengajak Pricillia untuk bergegas ke kediaman Thomas. Gadis bernetra biru langit itu hanya diam dan mengikuti ibunya dari belakang. Meski Elle berkata tidak apa-apa, Pricillia tahu pasti ada yang tidak beres. Terliha
'Kalau kamu tetap tidak minta maaf hari ini juga. Maka uang beserta fasilitas yang telah Ayah sediakan untukmu akan Ayah sita selamanya!' *** Drap drap drap-- "Nick! Pricillia ... haahh ... ba-bagaimana ... keadaan Nick??" seru Elle dengan nada panik. Napasnya terengah-engah karena telah berlari dari depan gedung rumah sakit. {Tenang, Bu. Dokter sedang menanganinya,} sahut Pricillia lewat gerakan tangannya. Sementara itu, Adam yang juga ada di sana memilih duduk diam sambil menyilangkan kakinya. Tanpa berinisiatif untuk meminta maaf atau sekadar menjelaskan perbuatannya pada Elle. Ketika iris mata mereka bertemu, Elle langsung menegurnya dengan keras, "Adam, kenapa kamu melakukan itu? Meski dia bukan sepupu kandungmu. Tapi, kamu sadar 'kan kalau perbuatanmu itu sudah kelewat batas?" Matanya menilik tajam, seolah menuntut permintaan maaf. Adam membuang muka ke sembarang arah. Pemuda mix-raced itu hanya menghela napas panjang, malas menanggapi sikap ibu sambungnya yang menurutnya
Peringatan: Bab ini mengandung percakapan yang mungkin tak layak untuk pembaca di bawah umur. Harap bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Terpancar dari sorot matanya perasaan tak suka saat tahu wanitanya lebih memperhatikan pria lain ketimbang dirinya.' *** "Baiklah, kita sudah sampai," ujar Nick setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan kafe. Pria itu kemudian mematikan mesin mobilnya dan beranjak keluar. Begitu pun dengan Pricillia. Mereka memasuki kafe tersebut dan memilih untuk duduk di kursi pojok belakang ruangan yang kebetulan masih kosong. Tak lama waktu berselang, tanpa sepengetahuan mereka, Adam pun tiba di depan kafe tersebut. "Hmm, mau menguji kesabaranku rupanya? Baiklah, tidak ada kata ampun lagi untukmu, Pricillia." Api cemburu yang membara dalam dadanya membuat Adam tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Tanpa pikir panjang, ia langsung memarkirkan motornya tepat di sebelah mobil Nick lalu bergegas menyusul mereka berdua ke dalam kafe tersebut. . . "H
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. 'Satu hal yang Pricillia ketahui dengan jelas adalah Adam memang berniat untuk balas dendam padanya. Namun, apakah harus dengan cara sebejat itu?' *** "Uhhmm, aaah, aaahhh—hmmmhhh, ohh God! Lebih cepat—Adaam, aaahhh!" Hentakan demi hentakan yang Adam lakukan membuat salah satu mahasiswi yang menjadi tempatnya melampiaskan nafsu birahi kini mendesah cukup keras. Desahan yang keluar dari mulutnya mampu membuat para mahasiswi lainnya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet, lantaran merasa tidak nyaman sekaligus jijik. "Apa-apaan sih mereka!? Tidak bisakah mereka menyewa sebuah kamar hotel?" gerutu salah satu mahasiswi yang tak sengaja melihat adegan panas mereka dari sela-sela pintu. Ada pula mahasiswi yang diam-diam merutuki perilaku tak bermoral Adam, karena sengaja melakukannya di tempat umum. Terlebih, sang womanizer tersebut tidak menutup rapat pintu toiletnya, s