“KA-KAMU!” Phoebe tergagap seolah kehabisan kata-kata.
“Yes, My Bee. Ini aku, priamu yang paling tampan?” Pria tampan itu mengedipkan matanya ke arah Phoebe.
“Menggelikan!”
“Kamulah alasannya.”
“Oh my, pergilah!”
“Kemana, kamar bulan madu kita?”
“Apa?! Pergilah ke neraka!”
“Pilihan buruk, ayo kita pergi ke surga setiap malam, atau setiap saat yang kita inginkan? Gimana kalau mulai malam ini?”
“Kamu gila!”
“Karena dirimu.”
“MOOOOMMYY!!” Ibu dan adik Phoebe sontak menutup telinga mereka bersamaan, tetapi tidak dengan pria tampan di depannya yang sedang tertawa kencang. Dia masih memeluk Phoebe dengan erat membuat tubuh mereka semakin dekat dan menempel satu sama lain.
“Not bad. Aku yakin kamu akan meneriakkan namaku seperti ini, atau mungkin lebih bergairah dari ini? Aku udah gak sabar pengen dengar, My Bee.”
“Cium saja dia kalau sampai berani berteriak kencang-kencang seperti ini lagi di luar rumah kita,” ucap Jane Breslin menggoda mereka berdua. Mendengar perkataan konyol yang baru saja diucapkan sang ibu membuat pria tampan ini tersenyum lebar dan mengedipkan sebelah matanya sekali lagi seolah dia sangat menyukai ide gila itu.
“Mom! Di sini yang anak Mommy tuh siapa? Aku atau pria konyol ini?!”
“Tentu saja Mommy akan selalu berada di pihakku.”
“Jangan berani panggil ibuku sebagai ibumu. Dia milikku, bukan milikmu!”
“Kamu memang benar. Mommy adalah milikmu, Ibuku juga milikmu, dan HANYA KAMU yang jadi MILIKKU. Benar gitu, ‘kan?”
Jane dan Aretha Breslin tidak bisa berhenti tertawa mendengar perdebatan konyol di antara Phoebe dan si pria tampan. Tidak hanya ibu dan adiknya, bahkan semua orang yang ada di lobi juga ikut tertawa saat melihat mereka berdua.
“Maaf, TUNANGANKU masih kesal karena aku selalu menggodanya,” kata pria tampan yang masih betah memeluk Phoebe. Seketika Phoebe menyadari jika mereka sedari tadi masih berada di lobi. Dia memeluk si pria tampan semakin erat dan mengubur wajahnya di dada bidang pria itu karena ia sangat malu hingga telinganya berubah menjadi merah.
“Diamlah dan segera bawa aku pergi dari sini, dasar pria konyol!” omel Phoebe masih tetap di posisinya. Mendengar perkataan itu membuat si pria tampan merangkul pundak Phoebe yang wajahnya masih tertutupi helaian rambut, lalu dia memandu jalan mereka semua menuju lift.
Seorang bellhop segera membukakan pintu dan membawa masuk barang bawaan milik mereka ke dalam kamar setelah Franz memberikan sebuah kode kepadanya.
“Mommy dan Princess bisa pakai kamar ini,” Phoebe mengernyit ketika mendengar kalimat aneh dari pria konyol di sampingnya, “dan itu adalah honeymoon suite kita. Aku benar, ‘kan, Mom?” Tawa ketiga orang di sekitar Phoebe meledak lagi, tapi tentu saja tidak termasuk dengan Phoebe Amaya Breslin yang dibuat semakin kesal.
Namun, gadis ini merasa jika si pria tampan sedang memberikan kode. Dari cara dia memeluk pinggang Phoebe dan ekspresi mikro yang ia tunjukkan. Semua bahasa tubuh itu membuat Phoebe menyadari sesuatu dan ikut mengambil peran dengannya.
“Mom, apa Mommy yakin pengen si konyol ini yang jadi calon menantu Mommy? Seriusan?” Phoebe bertanya setelah sang ibu berhenti tertawa.
“Kenapa enggak? Kalian berdua kan selalu sama-sama sejak masih kecil. Dia sudah menjadi sahabatmu bahkan sebelum adikmu lahir. Buat Mommy, dia bukan hanya calon menantu, tapi dia sudah menjadi putraku. Jadi, jangan kesal lagi kalau dia memanggilku Mommy juga, Sayang,” jelas Jane Breslin kepada putri sulungnya.
“Ya sudah kalau itu yang Mommy mau. Sekarang aku harus bicara dulu sama dia, tapi tolong kalian ingat kalau aku gak akan tidur satu kamar sama si tengil ini. That’s final, case closed! Jadi, berhenti membicarakan hal konyol ini lagi,” tegas Phoebe pada ibu, adik, dan pria di sampingnya hingga membuat mereka bertiga kembali menahan tawa.
✧✧✧
Tepat setelah Franz menutup pintu dan berbalik, dia melihat Phoebe sedang melipat kedua tangannya di depan dada, “Cepat jelaskan padaku apa maksudmu tadi, Tuan Hanssen!”
“Duduklah dulu, calon Nyonya Hanssen.”
“Hentikan, Franz Hanssen! Aku serius.”
“Aku juga, Phoebe Amaya Breslin.” Franz menarik pelan pergelangan tangan Phoebe untuk membujuknya duduk di sofa, tapi Phoebe menepis begitu saja.
“Bagian mana? Tolong ngomong yang jelas. Kamu tahu, sekarang ini kepalaku udah penuh dengan segala macam hal. Rasanya sangat menyesakkan karena masalah selalu datang bertubi-tubi tanpa henti, dan sekarang di depan semua orang kamu bilang kalau aku adalah tunanganmu di siang bolong begini?! Kamu udah beneran gila!” Phoebe berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Makanya aku tadi minta kamu buat duduk dulu, My Bee.” Franz menggenggam tangan kanan Phoebe dan menariknya perlahan untuk mendekat. “Kamu boleh nangis sekarang, udah ada aku di sini.” Franz hampir saja berhasil memeluknya lagi, tapi Phoebe menahannya.
“Kenapa aku harus nangis? Lagian kenapa kamu terus aja berusaha buat meluk aku? Dasar pria mesum!”
Franz terbahak seketika. Phoebe selalu seperti ini setiap waktu, ingin terlihat kuat karena dia tidak mau diremehkan. Ini juga alasan yang membuatnya tidak pernah menangis di depan orang lain atau sembarangan pria, tapi Franz selalu saja berhasil datang di saat yang tepat dan menjadi pundaknya untuk bersandar. Lalu sekarang, Phoebe berbicara seolah dia tidak membutuhkan pria ini lagi.
Tawa Franz benar-benar mengesalkan, dia seolah mengejek Phoebe secara terang-terangan. Phoebe segera meraih sekaleng bir dingin yang ada di lemari pendingin, lalu melemparkannya tepat ke arah Franz. Namun sayang, Franz berhasil menangkap bir dingin kalengan itu tepat sebelum berhasil menghantam tubuhnya, membuat Phoebe tertegun melihat refleks Franz yang selalu mengesankan.
Melihat ekspresi terpesona dari Phoebe membuat Franz tidak tahan untuk menggodanya lagi, “Lihatlah wajah konyolmu itu, My Bee. Astaga, Tuhan selamatkan aku,” Lagi-lagi Franz tertawa terpingkal-pingkal.
“Diamlah, dasar aneh!” Respon Franz benar-benar membuat Phoebe jengah hingga membuatnya sangat menyesal karena sempat memuji Franz dalam hati. Phoebe sudah lelah menghadapi kelakuan konyol Franz, ia menjatuhkan dirinya di sofa yang terletak di sampingnya dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Merasa bersalah karena sudah keterlaluan, Franz berjalan mendekat dan duduk di sampingnya, ia sengaja menempelkan bir dingin kalengan tadi ke pipi kanan Phoebe, “Maaf, My Bee.”
Phoebe tersentak, lalu refleks menangkis kaleng itu dengan sekuat tenaga hingga membuat Franz kehilangan keseimbangan dan berakhir mencium bibir Phoebe secara dramatis. Bagian terparahnya adalah ketika salah satu tangan Franz mendarat tepat di bagian yang paling disukai oleh seluruh bayi dan pria di dunia ini.
Mereka terkejut dan mendadak canggung, Franz menegakkan tubuhnya dan duduk dengan posisi kaku. Sedangkan Phoebe menyentuh bibir dan dadanya, “Aduh, sakit banget,” lirihnya. ‘Sialan! Remasannya barusan kenceng banget,’ umpat Phoebe dalam hati.
Meskipun perkataan Phoebe sangat lirih, tapi Franz bisa mendengarnya dengan sangat jelas, “O-oh, maaf. Gimana dong ini?” Tangan Franz refleks terulur, tapi dia berhenti tepat di depan tangan Phoebe. Membuat Phoebe melihat tangan kekar itu, lalu berganti menatap mata emerald Franz. Mereka berdua kembali canggung, lalu duduk dengan tegak dan kaku, ditambah dengan wajah yang merona sempurna.
Setelah terdiam cukup lama akhirnya Franz mengingat sesuatu dari pembicaraan mereka semalam dan alasannya mengajak Phoebe ke kamar ini, “Ehm! Jadi, soal yang kamu tanya di telepon semalam. Aku ingat daddy pernah cerita sesuatu soal daddymu, tapi itu cuma sekilas aja sih. Sekarang aku masih coba cari tahu lebih jelas lagi, makanya aku gak bisa kasih tahu kalau petunjuknya juga belum pasti. Aku gak mau kamu kepikiran sama hal-hal yang belum jelas, kamu jangan salah paham dan nganggap aku gak niat bantuin kamu. Tunggu sebentar lagi ya, My Bee?” Phoebe mengangguk sebagai jawaban. Dia paham benar jika Franz sangat sibuk, bersedia membantunya sampai sejauh ini saja sudah membuat Phoebe bersyukur.
“Ngomong-ngomong gimana soal pria itu?” Franz selalu penasaran dengan teman pria Phoebe. Dia tidak pernah mau menyebut para pria itu sebagai kekasih Phoebe.
“Pria yang mana?” Phoebe menautkan alisnya bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Franz.
“Kamu lagi kencan sama berapa banyak pria emangnya?”
“Hey! Emangnya aku gadis macam apa?! Aku bukan kamu ya, Tuan Franz Hanssen,”—Phoebe mencebik sebelum kembali melanjutkan kalimatnya—”Hmm, semalam kami hampir aja melakukannya.”
“Melakukan apa?” Franz mengernyit, dia menghadap ke arah Phoebe sepenuhnya dengan ekspresi penasaran yang tampak jelas.
“Kamu kan udah tahu soal rencanaku,”—Phoebe menatapnya lekat memberikan sebuah kode—”soal punya bayiku sendiri,”
“HELL! WHAT?! PHOEBE AMAYA BRESLIN! KAMU UDAH GAK WARAS!” Franz sangat kesal dan hampir mengamuk, “Udah berapa kali kubilang, jangan terlalu dekat sama pria itu! Gak masalah kalau cuma kencan atau menghabiskan waktumu HANYA untuk BERSENANG-SENANG dengannya, tapi tidak lebih!”
“Kenapa kamu kesal banget sih, Franz?”
“Karena dia brengsek! Kalau aku kasih tahu kamu soal catatan buruknya, paling juga kamu bakal ngambek lagi dan berakhir nyuekin aku sampai kiamat datang!”
“Kok kamu bisa tahu? Jangan bilang kamu mata-matain aku lagi, Franz Hanssen?!”
“Denger, setiap pria selalu tahu saat wilayahnya sedang terancam. Aku cari tahu buat membuktikan kecurigaanku, dan BOOM! Itu bukan cuma dugaan aja. Jadi, kalau kamu beneran udah tidur sama dia berarti aku bakal bunuh dia sekarang juga!” Franz berbicara dengan menggebu-gebu sampai dia kehabisan napas.
Phoebe masih tertegun. Dia sadar Franz mengatakan hal yang masuk akal karena dia sendiri juga sudah mendapatkan bukti dari catatan hitam Key bahkan sebelum Franz mengatakan tentang hal itu.
“Bee, aku tahu kamu pintar. Jadi, ayo kita telaah lagi soal ini. Kalau misalnya nih kamu beneran hamil sama bajingan itu, apa kamu pikir urusannya bakalan selesai kalau kita ngancam dia dengan mengeluarkan semua bukti yang kita punya cuma buat menyingkirkan dia dari hidupmu?” Franz bertanya dengan nada suara tenang dan serius.
Phoebe menelan kasar ludahnya, ‘Kok Franz bisa baca pikiranku? Oh, crap!’
“Terus nih, kalau suatu hari dia tahu soal kenyataan yang kamu sembunyiin. Apa kamu pikir dia gak bakalan bikin ulah dan menyebarkan omong kosong biar bisa balik lagi ke hidupmu? Kamu udah mikirin soal ini belum? Kamu bukannya menyelesaikan masalahmu, tapi ini namanya bunuh diri.”
“Woah, kamu sejuta persen bener, Tuan Hanssen. Tooootally right! Gak heran kamu bisa jadi seorang CEO yang handal.”
Phoebe seketika menyadari kecerobohannya dan menyimpulkan, “Jadi, kalau dia cuma sebuah beban buat kita, berarti dia sekarang udah gak berguna lagi dong buatku? Kamu tahu gak, Aku udah il-feel pas tahu dia pernah ngamuk dan bantingin apa pun yang ada di sekitarnya. Gimana kalau seandainya suatu hari nanti malah aku yang jadi sasaran sampai dia banting juga? Itu nyeremin banget, ‘kan, Bung?”
“Astaga, jangan sampai! Kalau gitu, ayo kita tendang dia sekarang juga. Nunggu apaan lagi, Bee?”
Phoebe mulai menyusun rencana sekaligus menyiapkan beberapa rencana cadangan untuk terlepas dari si brengsek itu secepatnya. Kali ini dia tidak boleh gegabah dan mengacaukan segalanya. Rencananya harus berjalan dengan lancar dan tanpa cela. Dia jadi teringat alasan terbesar Key bersusah payah mengejarnya karena ada nama Breslin tersemat di belakang namanya, padahal dia belum tahu jelas tentang identitas asli Phoebe. Franz memang selalu bisa diandalkan. Dia tidak bisa membiarkan seseorang seperti Key masuk dan menjadi bagian dari keluarganya, karena sangat mungkin jika pria itu suatu hari akan mengetahui tentang segalanya, lalu membocorkan tentang rahasia keluarga Breslin kepada dunia luar untuk keuntungannya sendiri. Kalau sampai itu terjadi maka rencana besarnya akan gagal dengan sangat menyedihkan, termasuk semua yang sudah dia lakukan sejauh ini. Segalanya akan hilang begitu saja dalam sekejap mata.
“Okay, Aku paham. Kalau gitu aku harus menyiapkan sesuatu yang spesial untuknya. So, I can cut, slice, chop him out,” kata Phoebe dengan tekad berapi-api.
“Ini baru gadisku. Sekarang aku gak perlu menyiapkan trik apa pun untuk mendorongnya menjauh dari hidupmu.” Franz tersenyum penuh kelegaan, sayangnya Phoebe tidak mendengar pernyataan Franz karena sibuk dengan pemikirannya sendiri.
‘Kamu gadis yang baik. Kuharap kamu gak akan berubah, My Bee. Kalau suatu hari nanti kamu ingin punya bayi, entah itu dalam keadaan sadar atau pun mabuk. Semoga aku yang jadi pria beruntung itu untuk jadi pilihanmu satu-satunya. Buat sekarang, bisa bikin kamu selalu dekat denganku seperti ini aja udah cukup. Setidaknya, aku adalah pria pertama yang kau cari kapan pun kau membutuhkan rumah untuk kembali. Aku janji akan kupastikan untuk selalu berdiri di belakangmu dan mendukungmu,’ Franz membatin dengan senyuman tulus tersungging di wajah tampannya.
Phoebe mengamati Franz yang sedang menatapnya lekat, tapi dilihat dari sorot matanya seolah pikiran Franz sedang traveling ke tempat lain, “Psst, Franz. Lagi mikirin apa sampai bengong gini?”
Franz tidak memberikan respon apa pun tepat seperti yang Phoebe duga. Dia bahkan tidak menyadari saat ponselnya bergetar di atas meja, membuat Phoebe yang selalu penasaran mencuri pandang ke arah layar ponsel itu dan melihat nama seorang perempuan terpampang nyata di sana. Dia seketika memiliki ide nakal untuk membalas dendam atas perlakuan konyol Franz di lobi tadi.
Phoebe mengangkat panggilan telepon yang sudah jelas berasal dari salah satu teman kencan Franz, “Halo, ini Nyonya Franz Hanssen yang sedang berbicara. Siapa kamu, dan kenapa menelepon nomor pribadi suamiku?” Suara yang baru saja Franz dengar seperti lonceng surga baginya. Dia tidak salah dengar, ‘kan? Kedua matanya melebar, tapi dia berusaha untuk tetap mempertahankan posisinya karena tidak ingin merusak suasana, dan tentu saja rencana cerdasnya yang nakal.
Phoebe menggigit bibir bawahnya untuk menahan tawanya saat mendengar perempuan di seberang sana mulai mengomel, mencaci, bahkan mengumpati Franz. “Hei! Berhenti mengumpati suamiku, dasar wanita murahan! Beraninya kau mencoba mengganggu pernikahan kami?! Sialan, kau mengganggu foreplay kami saja!” Tiba-tiba Phoebe merasa merinding sekujur tubuh. Dia menoleh dan melihat Franz memberikan seringaian mematikan sekaligus tatapan menggoda. Phoebe menelan ludah susah payah saat menyadari dia sudah menggali kuburnya sendiri.
“F-Franz, Akh!” pekik Phoebe ketika pergelangan tangannya ditahan oleh Franz sebelum dia berhasil melarikan diri. Padahal tadi dia sudah sempat berdiri, tapi tetap saja ia kalah gesit dari pria yang memiliki refleks mengagumkan ini. Untung saja dia tidak kembali terjatuh ke pelukan Franz atau pria mesum satu ini akan semakin kegirangan.
“Peraturan nomor satu. Jangan teralihkan saat kita sedang foreplay, istri nakalku?!” Tentu saja Franz ikut berakting dan tidak akan membuang kesempatan emas yang datang dari surga ini.
“Aku, um. Maaf, aku gak bermaksud ....” Phoebe segera mengusap layar ponsel Franz dengan sebelah tangannya dan berharap panggilan tadi masih tersambung, tapi ternyata semuanya sudah terlambat.
“Lihatlah apa yang sudah kamu lakukan. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, Phoebe Amaya Breslinku. Ah, sepertinya mulai sekarang aku harus memanggilmu dengan nama Phoebe Amaya Hanssen? Kedengaran sempurna dan pas di lidahku.” Dia kembali menyeringai dengan tatapan nakalnya, lalu memangkas jarak di antara mereka.
“Tunggu, bukan gitu maksudku. Aku tadi cuma lagi jahil aja seperti yang sering kamu lakuin ke aku, ini cuma iseng doang.”
“Aku gak peduli. You already said as clear as a day kalau kamu adalah Nyonya Franz Hanssen, dan kita sekarang lagi melakukan sesuatu yang amat sangat kamu INGINkan sampai hampir melakukan tindakan nekat, ‘kan? Kalau gitu ayo kita wujudkan aja, gak pakai lama.”
“GAK MAU! FRAAAAANZ, KAMU TAHU AKU CUMA BERCANDA DOANG!”
“Meneriakkan namaku cuma sekali gak akan pernah cukup, Nyonya Hanssen. Pasti keluarga kita seneng banget kalau tahu beberapa bulan lagi mereka bakalan dapet hadiah istimewa dari kita.” Dengan jemari panjangnya, Franz membelai rambut Phoebe dan menyelipkan anak rambut yang mencuat ke balik telinga Phoebe. Ia sengaja mengelus pipi Phoebe, lalu turun untuk menggoda bagian lehernya. Phoebe menjadi pucat pasi, ia khawatir jika Franz kali ini benar-benar serius mengajaknya membuat bayi.
—✧✧✧—
Note:
Oh my: Ya ampun/astaga.
Bellhop: Seseorang yang bertugas menangani barang-barang bawaan tamu dan memberikan pelayanan khusus, juga tugas lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan tamu atau pekerjaan yang berkaitan dengan area depan sebuah penginapan. Dikenal juga dengan sebutan bellboy.
Ekspresi mikro: Ekspresi wajah yang sangat singkat, hanya berlangsung sepersekian detik dan tidak bisa disembunyikan.
That’s final, case closed adalah ungkapan yang menyatakan tidak ada lagi yang perlu dibahas.
Oh, crap: oh, sial.
Tooootally right adalah ungkapan setuju dan pembenaran.
il-feel: hilang rasa, respon yang menggambarkan kemuakan pada tingkah laku seseorang.
So, I can cut, slice, chop him out adalah ungkapan yang menggambarkan jika seseorang akan memutuskan hubungan dan tidak ingin berurusan lagi dengan orang lain yang dimaksud.
You already said as clear as a day: kamu sudah mengatakannya dengan sangat jelas.
"Kenapa kamu kelihatan takut banget dan nyaris gemetaran gini? Apa kamu juga bereaksi tepat seperti ini semalam?" "Jangan gila! Rencana itu bahkan udah gagal total karena tendernya kembali mengalami masalah. Jadi, dia ninggalin aku gitu aja pas aku mulai turn on, mana sampai sekarang dia gak bisa dihubungi sama sekali." "Serius! Semalam beneran gak berhasil? Astaga,”—dia memberikan senyuman yang mencurigakan—“sayang banget, apa kamu mau menuntaskannya bersamaku? Kamu pasti penasaran sama sensasinya, ‘kan?" Franz menangkap tangan Phoebe yang hampir memukul kepalanya, "Eits! Kau boleh mukul atau mencakarku hanya buat pelampiasan saat kau akan mencapai puncak bersamaku. Selain itu, jangan pernah bermimpi, Mrs. Franz Hanseen." "Terkutuklah pikiran mesummu itu!" hardik Phoebe. Franz terbahak mendengar umpatan Phoebe, "Ngomong-ngomong, itu bagus juga. Karena sebentar lagi dia bakalan segera pergi dari hidupmu. Jadi, kamu ga
'Duh, bisa gak sih dia gak bisik-bisik terus di telingaku?!' Phoebe merasa tidak nyaman dengan kelakuan pria di belakangnya.Setelah memastikan ke mana arah para pria itu pergi dan menghilang dari pandangannya, dia memutar tungkainya lalu segera menendang tulang kering lelaki di belakangnya denganstilettoberwarna hitam dengan sol merah menyala di kaki jenjangnya. Namun, tiba-tiba dia membungkam mulut pria yang hampir menunduk kesakitan di depannya sebelum sempat memekik, lalu mendorong tubuh kekar itu sekuat tenaga dengan mudahnya karena pria itu tidak berdiri seimbang akibat tendangan tak berperasaan dari gadis barbar di depannya, hingga tubuh pria itu membentur cukup keras ke dinding berlapis marmer di belakangnya, "Heuummpp!"Mata biru milik Phoebe mengawasi setiap penjuru hingga pintu masukhall. Namun, tampaknya sia-sia belaka karena dia belum menemukan jejak makhluk apa pun sete
Pandangan mereka berdua terkunci. Mereka berada dalam posisi ini cukup lama, "Kau selalu aja melakukan hal ekstrim saat minta kupeluk. Aah, jadi karena ini kau gak mau kupeluk dengan cara yang lebih lembut kemarin? Kau lebih suka jika jantung kita berdegup kencang seperti bersahutan saat saling memeluk begini?" Rasanya Phoebe sangat ingin menjambak pria aneh di depannya ini. Dia selalu merasa menyesal setiap kali sudah menaruh rasa empati berlebihan pada seorang Franz Hanssen. "Lepas! Dasar pria cabul, pencuri kesempatan!" hardik Phoebe tepat di depan wajah tampan Franz. "Tentu aja gak akan kulepasin! Kalau kulepasin bisa aja kau akan melakukan hal ekstrim lainnya yang hanya diketahui sama Tuhan dan dirimu sendiri. Kalau kau berani melakukannya maka saat itu juga akan kupastikan kau segera berganti nama menjadi Phoebe Amaya Hanssen dalam sekejap!" gertak Franz sambil menatap sepasang mata biru yang sekarang sedang terbelalak sempurna. "Selalu aja paka
"Sshh, haaahh, lagi! Shhh, haahh!" Tidak hanya wajah, tapi mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki Phoebe rasanya sudah basah oleh keringat. Air mata yang sempat menetes bersama bulir keringat sejak tadi sudah tidak tampak lagi bedanya sekarang. "Ini yang terakhir. Kau harus berhenti, atau aku terpaksa membawamu ke rumah sakit sebelum kau pingsan," kata pria bertubuh kekar yang saat ini menemani Phoebe, dia dibuat sibuk karena terus menuruti permintaan Phoebe. "Ini hukumanmu, sshhh. Kau yang harus bertanggung jawab, haaah, karena membuatku seperti ini. Astaga! Rasanya seperti terbakar! Haaah." Phoebe mendongak sambil menggelengkan kepalanya agar helaian rambut yang menempel di wajah dan lehernya tak mengganggu kegiatanya. "Memang apa salahku? Tentu saja rasanya membakar lidah sampai ke perutmu. Lihat! Berapa banyak currywurst dengan level hellish yang kau pesan?! Kurasa kau sedang memakan lapisan saus cabai neraka dengan topping sosis, bukan seb
The View Supper Club,Manhattan, NYC., "Wajahmu terlalu berseri untuk ukuran seseorang yang sedang patah hati,MaBelle." Seorang pria menyapa Phoebe setelah keluar dari salah satu ruangan VVIP di dekat meja bar. Keduanya bertukar salam dengan pelukan singkat sambil menyentuhkan pipi kanan mereka sekilas. "Berhentilah menggodaku, Lex. Di mana 'panggung’ utamanya, apa di tempat biasa?" "Pastinya dong. Itu adalahspotterbaik untuk adegan terbaik, tapi,Belle—" sela pria itu berwajah gamang. "Oh!Come on,Alex. Kau harusnya tahu kalau aku tidak suka kata 'tapi' di saat penting seperti ini," dengus Phoebe lalu memandang datar, membuat Alex menelan kembali kata-katanya yang sudah di ujung lidah. "Oke, tidak ada 'tapi' untuk saat ini,"—Alex menatap Phoebe dengan senyum kikuk di wajahnya, lalu sekilas memandang ke belakang—"setidaknya sampai tamumu pergi dengan wajah merah karen
Phoebe memang memejamkan kedua matanya, tapi saat ini di dalam kepalanya seperti sedang terjadi perang besar di tengah gurun yang mulai tersapu badai. Benar-benar kacau! Dia mulai berandai-andai, jika saja dia terlahir di keluarga sederhana yang hangat dan saling mendukung, pasti tidak akan ada lagi parasit yang mengganggu hidupnya demi hal-hal duniawi. Namun tunggu dulu, jika dia hidup di tengah keluarga sederhana, lalu bagaimana seandainya jika ada benalu yang ingin memanfaatkannya seperti apa yang selalu dialami olehnya dan beberapa anggota keluarga Breslin selama ini? Dia tidak ingin menjadi damsel in distress dengan berharap seorang kesatria rupawan dari golongan bangsawan akan datang ke hidupnya bak dongeng klasik yang selalu ia baca ketika masih kecil. Daripada bermimpi seperti remaja berusia belasan, lebih baik dia tetap menjalani kehidupan penuh persona dalam permainan politik di setiap lapisannya dengan nama belakang keluarga Breslin. Nama yang selalu menj
Ruangan VVIP East Medical Centre, York Ave, New York.,“Kak Samuel, apa dia wanita yang kau ceritakan saat kita lagi di Berlin kemarin? Pas acara malam amal itu?” tanya seorang wanita dengan jas snelli putih ciri khas seorang dokter dengan bordiran nama Audrey Marseille Levanchois di bagian dadanya.Pria yang dipanggil Samuel ini mengangguk dengan bibir tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi saat menyadari Tuhan dan alam semesta selalu ada di pihaknya. Bagaimana tidak, jika kesempatan selalu saja datang padanya. Tepat seperti sekarang, saat ia merasa sangat penasaran dengan sosok wanita unik yang dilihatnya di Berlin malah wanita inilah yang menariknya mendekat dengan cara tak terduga.“Marsh, apa kau yakin dia akan segera siuman?” tanya Samuel pada adik sepupunya yang biasa dipanggil Marsha Levanchois.“Kak Sam gak sedang meremehkan pengalamanku menangani pasien, ‘kan? Sudah berapa kali Kakak menanyaka
“Kenapa kau gak istirahat dan malah sembunyi di sini? Harus ya, minta semuanya siap sebelum tengah malam? Memangnya belum puas tidur di bangsal rumah sakit?” cecar Franz yang muncul tanpa permisi. Kenapa juga dia butuh izin untuk mengganggu Phoebe saat sedang bekerja, jika Franz bisa bebas keluar masuk semua tempat rahasia milik Phoebe termasuk griya tawang ini? Dia bahkan sudah tahu seluk beluk tempat ini karena bisa muncul tiba-tiba dari tangga geser rahasia yang menghubungkan studio berperangkat editing di lantai satu dengan area baca sekaligus ruang kerja di lantai dua.Phoebe beranjak dari kursinya sambil melipat kedua tangan di dadanya, “Memang ya, gak ada yang namanya privasi kalau udah berhubungan sama Tuan Franz Hanssen. Ngapain pakai acara ke sini sore-sore, sih? Sekarang baru juga jam tujuh. Kalau dilihat orang ‘kan aku yang rugi! Terus apa gunanya benda persegi super canggihmu itu?! Kalau kau ke sini cuma untuk menceramahiku mendin
Samuel merasa ada yang aneh dengan cengkeraman yang ia rasakan di bagian punggungnya. Tangan Phoebe terasa bergetar, membuat senyum jahilnya lenyap seketika. Wajah pucat Phoebe yang ia lihat saat Samuel membalikkan badan membuatnya semakin panik, “Phoebe, ada apa denganmu? Phoebe!” teriak Samuel, dengan sigap ia menangkap tubuh Phoebe yang sudah limbung dan hampir terjerembab ke atas lantai pualam. Samuel membopong tubuh lemas Phoebe kembali ke kamar. Sudah tentu nama Marsha pasti langsung terlintas di benaknya saat menghadapi situasi seperti ini.Marsha sampai dalam sekejap setelah mendapatkan kabar dari kakak sepupunya, “Infeksinya kambuh lagi, Kak. Sepertinya dia sedang stres berat dan terlalu lelah, aku udah bilang, ‘kan?” jelas Marsha. Tatapan dengan sorot mata menyelidik membuat Samuel menatap balik pada adik sepupunya.“Aku sudah memesan sarapan bergizi, kau bisa lihat sendiri di meja makan. Kenapa aku merasa sepertinya kau ma
Samuel segera menyita ponsel Phoebe dan meletakkannya bersisian dengan miliknya di atas meja yang terdekat dengan mereka, lalu membopong gadisnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Phoebe. Tentu saja Phoebe menjadi kesal karena merasa diacuhkan, “Apa susahnya sih menjawab? Semua pria memang sama aja, sangat menyebalkan!” gerutu Phoebe dengan penuh penekanan yang sengaja tak ia tutupi.“Aku lelah sekali, Honey. Jika mereka membutuhkan kita, pasti mereka akan segera menghubungiku.”Benar juga batin Phoebe menyetujui perkataan Samuel, tapi mulutnya masih gatal untuk mendebat pria yang selalu muncul di saat tepat tiap kali ia butuhkan. Persis seperti sebuah kebetulan, “Kalau gitu jangan selalu menggendongku, nanti kalau tanganmu patah kau malah menyalahkanku,” sindir Phoebe sambil memutar bola matanya.“Tentu aja kau yang harus bertanggung jawab karena aku tak mengasuransikan tubuhku, Honey,” balas Samuel enteng.
Mereka segera sampai di rumah sakit tempat Phoebe di rawat tadi pagi. Sudah ada Marsheille yang baru saja sampai di East Medical Centre tempatnya bekerja selama ini.“Kalian tunggulah di sini dulu. Percayakan dia pada kami, Calon Kakak Ipar,” tutur Marsha sambil tersenyum ke arah Phoebe lalu mengangguk singkat pada Samuel. Setelahnya ia segera pergi untuk membantu menangani Juan.“Aku akan mengurus administrasinya, kau duduklah di sini dulu,” ajak Samuel sambil merangkul Phoebe yang terlihat masih syok.Saat Samuel kembali, ia mendapati seorang pria sedang mengelus kepala Phoebe sambil mendengarnya menceritakan kronologis singkat tentang kejadian yang menimpa Juan, “Aku takut Hwan, kenapa selalu seperti ini? Kenapa mereka?” lirih Phoebe sedikit terbata, tersedak dalam tangisnya.“Tenangkan dirimu, ada Marsha yang akan membantu tim medis khusus di sini. Kau percaya pada kami, ‘kan?” ujar Hwan dengan sua
“Kenapa kau gak istirahat dan malah sembunyi di sini? Harus ya, minta semuanya siap sebelum tengah malam? Memangnya belum puas tidur di bangsal rumah sakit?” cecar Franz yang muncul tanpa permisi. Kenapa juga dia butuh izin untuk mengganggu Phoebe saat sedang bekerja, jika Franz bisa bebas keluar masuk semua tempat rahasia milik Phoebe termasuk griya tawang ini? Dia bahkan sudah tahu seluk beluk tempat ini karena bisa muncul tiba-tiba dari tangga geser rahasia yang menghubungkan studio berperangkat editing di lantai satu dengan area baca sekaligus ruang kerja di lantai dua.Phoebe beranjak dari kursinya sambil melipat kedua tangan di dadanya, “Memang ya, gak ada yang namanya privasi kalau udah berhubungan sama Tuan Franz Hanssen. Ngapain pakai acara ke sini sore-sore, sih? Sekarang baru juga jam tujuh. Kalau dilihat orang ‘kan aku yang rugi! Terus apa gunanya benda persegi super canggihmu itu?! Kalau kau ke sini cuma untuk menceramahiku mendin
Ruangan VVIP East Medical Centre, York Ave, New York.,“Kak Samuel, apa dia wanita yang kau ceritakan saat kita lagi di Berlin kemarin? Pas acara malam amal itu?” tanya seorang wanita dengan jas snelli putih ciri khas seorang dokter dengan bordiran nama Audrey Marseille Levanchois di bagian dadanya.Pria yang dipanggil Samuel ini mengangguk dengan bibir tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi saat menyadari Tuhan dan alam semesta selalu ada di pihaknya. Bagaimana tidak, jika kesempatan selalu saja datang padanya. Tepat seperti sekarang, saat ia merasa sangat penasaran dengan sosok wanita unik yang dilihatnya di Berlin malah wanita inilah yang menariknya mendekat dengan cara tak terduga.“Marsh, apa kau yakin dia akan segera siuman?” tanya Samuel pada adik sepupunya yang biasa dipanggil Marsha Levanchois.“Kak Sam gak sedang meremehkan pengalamanku menangani pasien, ‘kan? Sudah berapa kali Kakak menanyaka
Phoebe memang memejamkan kedua matanya, tapi saat ini di dalam kepalanya seperti sedang terjadi perang besar di tengah gurun yang mulai tersapu badai. Benar-benar kacau! Dia mulai berandai-andai, jika saja dia terlahir di keluarga sederhana yang hangat dan saling mendukung, pasti tidak akan ada lagi parasit yang mengganggu hidupnya demi hal-hal duniawi. Namun tunggu dulu, jika dia hidup di tengah keluarga sederhana, lalu bagaimana seandainya jika ada benalu yang ingin memanfaatkannya seperti apa yang selalu dialami olehnya dan beberapa anggota keluarga Breslin selama ini? Dia tidak ingin menjadi damsel in distress dengan berharap seorang kesatria rupawan dari golongan bangsawan akan datang ke hidupnya bak dongeng klasik yang selalu ia baca ketika masih kecil. Daripada bermimpi seperti remaja berusia belasan, lebih baik dia tetap menjalani kehidupan penuh persona dalam permainan politik di setiap lapisannya dengan nama belakang keluarga Breslin. Nama yang selalu menj
The View Supper Club,Manhattan, NYC., "Wajahmu terlalu berseri untuk ukuran seseorang yang sedang patah hati,MaBelle." Seorang pria menyapa Phoebe setelah keluar dari salah satu ruangan VVIP di dekat meja bar. Keduanya bertukar salam dengan pelukan singkat sambil menyentuhkan pipi kanan mereka sekilas. "Berhentilah menggodaku, Lex. Di mana 'panggung’ utamanya, apa di tempat biasa?" "Pastinya dong. Itu adalahspotterbaik untuk adegan terbaik, tapi,Belle—" sela pria itu berwajah gamang. "Oh!Come on,Alex. Kau harusnya tahu kalau aku tidak suka kata 'tapi' di saat penting seperti ini," dengus Phoebe lalu memandang datar, membuat Alex menelan kembali kata-katanya yang sudah di ujung lidah. "Oke, tidak ada 'tapi' untuk saat ini,"—Alex menatap Phoebe dengan senyum kikuk di wajahnya, lalu sekilas memandang ke belakang—"setidaknya sampai tamumu pergi dengan wajah merah karen
"Sshh, haaahh, lagi! Shhh, haahh!" Tidak hanya wajah, tapi mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki Phoebe rasanya sudah basah oleh keringat. Air mata yang sempat menetes bersama bulir keringat sejak tadi sudah tidak tampak lagi bedanya sekarang. "Ini yang terakhir. Kau harus berhenti, atau aku terpaksa membawamu ke rumah sakit sebelum kau pingsan," kata pria bertubuh kekar yang saat ini menemani Phoebe, dia dibuat sibuk karena terus menuruti permintaan Phoebe. "Ini hukumanmu, sshhh. Kau yang harus bertanggung jawab, haaah, karena membuatku seperti ini. Astaga! Rasanya seperti terbakar! Haaah." Phoebe mendongak sambil menggelengkan kepalanya agar helaian rambut yang menempel di wajah dan lehernya tak mengganggu kegiatanya. "Memang apa salahku? Tentu saja rasanya membakar lidah sampai ke perutmu. Lihat! Berapa banyak currywurst dengan level hellish yang kau pesan?! Kurasa kau sedang memakan lapisan saus cabai neraka dengan topping sosis, bukan seb
Pandangan mereka berdua terkunci. Mereka berada dalam posisi ini cukup lama, "Kau selalu aja melakukan hal ekstrim saat minta kupeluk. Aah, jadi karena ini kau gak mau kupeluk dengan cara yang lebih lembut kemarin? Kau lebih suka jika jantung kita berdegup kencang seperti bersahutan saat saling memeluk begini?" Rasanya Phoebe sangat ingin menjambak pria aneh di depannya ini. Dia selalu merasa menyesal setiap kali sudah menaruh rasa empati berlebihan pada seorang Franz Hanssen. "Lepas! Dasar pria cabul, pencuri kesempatan!" hardik Phoebe tepat di depan wajah tampan Franz. "Tentu aja gak akan kulepasin! Kalau kulepasin bisa aja kau akan melakukan hal ekstrim lainnya yang hanya diketahui sama Tuhan dan dirimu sendiri. Kalau kau berani melakukannya maka saat itu juga akan kupastikan kau segera berganti nama menjadi Phoebe Amaya Hanssen dalam sekejap!" gertak Franz sambil menatap sepasang mata biru yang sekarang sedang terbelalak sempurna. "Selalu aja paka