"Aku udah nyiapin sesuatu yang spesial untuk perjalanan kita. Lusa pagi aku jemput, ya?" Terdengar rentetan kalimat dari seorang pria di seberang telepon, "Besok kamu gak bakalan lembur lagi, ‘kan?”
“Sesuatu yang spesial? Memangnya kita ada rencana ke mana?” Phoebe meencoba mengingat pembicaraan mereka tentang rencana berlibur.
"Dua bulan lalu kita udah bahas mau pergi liburan, ‘kan? Jangan bilang kamu lupa lagi, Baby,” dengus si pria menyiratkan rasa tidak suka.
“Ah, sorry. Akhir-akhir ini tim kami ada project besar, aku aja sampai punya mata panda sekarang. Berubah jadi cute panda deh aku,” rajuk Phoebe mencoba menjelaskan keadaannya agar pria itu mengerti.
“Gini melulu, sepertinya rencana kita bakalan terancam gagal lagi,” sungut pria yang akhir-akhir ini menyita perhatian Phoebe. Mereka saat ini sedang menjalin sebuah hubungan dan dia selalu ingin menjadi prioritas utama dalam hidup Phoebe, bahkan jika jadwal gadis ini sedang sangat padat.
“Aku janji kali ini kita pasti bakal tetap pergi, oke? Ayolah, jangan marah, hemm?” Phoebe masih berusaha meyakinkannya.
“Jangan bikin perjalanan kita batal lagi kali ini!” Belum sempat Phoebe menjawab kalimat itu saat pria yang sedang berbicara dengannya tiba-tiba menutup sambungan telepon mereka secara sepihak.
✧✧✧
“Astaga, gak pengertian banget sih jadi orang. Emangnya dia kira aku lembur di kantor tuh ngapain? Godain bos?!” Phoebe meluapkan kekesalannya di hadapan layar ponsel yang sudah kembali terkunci, seolah dia sedang berbicara langsung dengan Key saat ini.
“Kamu kenapa lagi? Semenjak sama dia kok jadi salty gini? Perasaan kamu jadi gampang stres pas udah tau soal masalah dia kemarin itu, bener 'kan?” celoteh seorang pria yang terlihat sibuk mengunyah keripik kentang rasa sapi panggang di samping Phoebe, "Padahal kalian berdua belum kawin loh, tapi udah ribut mulu. Emangnya kagak bosen apa?" Dia masih terus saja mencecar Phoebe dengan pertanyaan seperti seorang wartawan.
Phoebe memutar bola matanya jengah karena rekan kerjanya yang satu ini memang sangat menyebalkan, “Emang kenapa? Mau doain yang aneh-aneh? Gak suka banget lihat temennya bahagia!”
“Kok kamu jadi sewot, Babe? Kan aku tadi tanya doang. Salahin aku aja terus, ini gara-gara si kutu kupret sialan. Dia yang bikin ulah malah orang lain yang kena getahnya!” Juan menutup kasar kaleng keripik kentang dalam genggamannya, lalu melemparkan kaleng itu ke dalam laci meja kerja miliknya.
“Hey! Malah ngambek kayak anak gadis aja. Gak pantes tahu gak! Lagian lo bisa berhenti panggil gue Babe gak sih? Geli banget gue dengernya!” teriak Phoebe ke arah Juan yang kini sudah menghilang di balik pintu pantry.
“Kalian nih masih aja sukanya berantem tiap hari, ya? enggak di kantor, enggak di luar gedung ini. Emangnya enggak bosen apa?” Seorang wanita berkacamata berjalan mendekat ke arah meja kerja Phoebe sambil melontarkan keheranannya.
“Kak Christa tadi lihat sendiri, ‘kan? Kelakuan Juan tuh bikin orang gampang naik darah aja emang, sukanya nambahin kerutan orang tiap hari!” protes Phoebe kepada seniornya. Saat ini Christa menjabat sebagai salah satu kepala divisi di Unicorn’s Dream.
“Tahu gak? Kata orang kalau terlalu sering berantem tuh bisa menimbulkan benih-benih sesuatu loh, Beb,” goda Christa sambil tertawa geli. Dia sudah seperti sosok seorang kakak bagi Phoebe. Jadi, apa pun lelucon yang Christa katakan tidak akan pernah menyinggung perasaannya.
“Benih apa maksud kakak? Ganja? Wah, bener banget, Kak. Muka Juan emang minta dibasmi kayak tanaman berbahaya itu,” sindir Phoebe sambil menatap tajam ke arah Juan saat pria jangkung itu sedang berjalan melewati meja kerjanya.
“Ahahaha, jangan berlebihan gitu. Lagi pula masa depan itu siapa sih yang tahu, Beb?” Christa masih melanjutkan kalimat berbahayanya. Menggoda kedua junior sekaligus teman lamanya selalu bisa mencerahkan hari-hari sibuknya di kantor ini. Dia bahkan sampai harus beberapa kali membenarkan letak kacamata yang bertengger di batang hidungnya saat tawanya kembali meledak ketika melihat ekspresi dan bahasa tubuh kedua adik kelas di hadapannya. Sementara itu, Phoebe tiba-tiba merasa pusing mendengar omong kosong kakak kelasnya satu ini. Dia tidak bisa membayangkan jika sampai memiliki hubungan serius dengan Juan, si teman rasa musuhnya semenjak mereka bertiga bertemu di bangku sekolah menengah dulu.
“Siapa juga yang mau sama Badass Queen alias Ratu Barbar kayak kamu, Beb?! Bisa gila aku kalau tiap hari dengerin kamu muntahin dua puluh ribu kata bahkan bisa aja lebih,” cibir Juan, kembali menarik kursi di samping Phoebe.
“Hush! Minggir sana, manusia KEPO," hardik Phoebe, ia saat ini terlihat ingin sekali mendebat kata-kata beracun ala Juan. Jika saja tidak ingat jam istirahat mereka hampir berakhir, sudah pasti dia tidak segan-segan untuk kembali berdebat dengan temannya yang paling menyebalkan ini sambil mengacaukan tatanan rambut undercut ciri khasnya.
“Kak, boleh gak sih kalau aku pindah divisi aja? Ke divisi kakak yang jam kerjanya gak manusiawi juga aku rela deh. Asal aku gak perlu sering-sering ketemu makhluk ngeselin satu ini tiap hari,” pinta Phoebe dengan wajah memelas yang hanya ditanggapi kekehan oleh Christa, serta decihan Juan.
Juan memberikan tatapan kesal, “Ntar kalau beneran pindah ke divisi kak Christa bisa batal kawin beneran, kagak takut emangnya mengucapkan sayonara sama si bocah kutu kupret itu?” Juan dengan mulut cabai nerakanya memang tidak pernah kehabisan kata-kata beracun saat berhadapan dengan Phoebe.
"Lo tuh yang bocah! Keluar cari footage gih!" usir Phoebe.
—✧✧✧—
“Handphone kamu gak bisa dimatikan aja? Dari tadi berisik banget.” Tatapan tak suka yang diberikan Key membuat Phoebe merasa tidak nyaman.
Memang ponsel pintar miliknya tidak pernah berhenti berdering semenjak mereka baru berangkat ke tempat tujuan mereka saat ini.
Sebenarnya di Unicorn’s Dream mereka memberikan cuti selama satu pekan setiap tiga bulan sekali khusus untuk para editor. Mereka menyebutnya pro-cation atau project’s vacation. Biasanya mereka akan menggunakan waktu ini untuk mencari bahan mentah untuk diedit ke dalam berbagai proyek yang sedang mereka kerjakan atau bisa juga mengumpulkan beberapa bahan dasar sebelum diubah menjadi video untuk memperbarui portofolio mereka.
Namun ternyata, salah satu klien VIP mereka meminta agar proyeknya bisa diselesaikan lebih cepat, akibatnya jadwal presentasi akhir untuk proyek itu sudah pasti dimajukan. Membuat Phoebe harus stay on-call jika sewaktu-waktu timnya membutuhkan dirinya. Mereka juga tidak bisa memaksa Phoebe untuk membatalkan cutinya karena tugas Phoebe memang sudah dia serahkan sejak jauh-jauh hari.
“Terpaksa, Key. Aku kan harus tetap profesional. Lagian yang penting kita masih tetap sama rencana awal buat liburan ini, 'kan? Aku cuma stay on-call sampai meeting ini selesai, gak akan lama kok. Habis ini pasti mereka gak bakalan cari aku lagi, percaya deh,” bujuk Phoebe sambil menggenggam sebelah tangan Key yang tidak memegang setir mobil.
“Selalu aja gitu. Sepertinya emang lebih penting kerjaan kamu daripada aku,” sebuah dengusan kembali terdengar, “Apa aku harus minta kamu milih antara pekerjaanmu atau aku, kalau kita terus kayak gini?!”
Key masih merasa kesal, tetapi dia juga tidak akan membiarkan rencana liburan mereka kembali gagal kali ini. Jika ia ingin membuat Phoebe terikat dengannya maka ia harus mendapatkan gadis itu bagaimana pun caranya.
Setibanya di cottage, Key tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dari Phoebe. Dia memang pria yang dominan, tetapi juga lucu di saat yang bersamaan. Sifat itu diperlihatkan sampai bisnis miliknya tidak berjalan dengan baik akhir-akhir ini.
Key, kita gak salah tempat nih? Kok suasananya mirip kamar honeymoon gini sih? Mereka salah kasih kita kunci kali, iya 'kan?” tanya Phoebe mengamati tampilan cottage yang akan mereka tempati selama tiga hari ke depan.
“Bener kok, Baby. Kan aku udah bilang kalau aku udah nyiapin sesuatu yang spesial buat kamu,” Key merengkuh pinggang Phoebe, tanpa banyak bicara ia melumat bibir Phoebe. Membuat Phoebe sedikit kaget, tetapi segera membalas ciuman Key yang lambat laun menjadi semakin agresif.
Saat keduanya kehabisan pasokan oksigen, Key membenamkan wajahnya ke ceruk leher Phoebe. Kemudian membisikkan kata-kata yang menggoda, “Aku mau kamu malam ini, Baby.”
Tubuh Phoebe menegang seketika. Dia mencoba menelaah apakah Key serius ingin memiliki bayi dengannya dalam situasi seperti sekarang? Saat dia masih disibukkan dengan beberapa proyek yang semakin padat, sementara Key harus fokus dengan bisnisnya yang sedang butuh perhatian lebih.
“Kok diem aja? Kamu gak mau? Jangan bilang kamu belum siap,” desak Key menatap tajam ke manik mata Phoebe, membuat bibir gadis ini menjadi kelu. Pertanyaan dan ajakan Key bukan hanya sekali ini saja. Sebelumnya pembicaraan seperti ini selalu berakhir dengan kegagalan atau justru menggantung entah itu karena Key atau situasi Phoebe yang tidak memungkinkan. Tampaknya semesta belum mendukung penyatuan mereka hingga sejauh ini.
“Gak gitu, Key. Kamu tahu aku juga pengen punya anak tahun ini seperti kamu, 'kan? Aku cuma kaget aja karena kamu gak ada bilang apa-apa. Jadi, aku gak sempat siapin apa pun sebelum ke sini,” kelit Phoebe memberikan alasan.
“Kamu gak perlu siapin apa pun, kok. Cukup siapin diri kamu aja malam ini, Baby." Tatapan Key kembali melunak mendengar jawaban Phoebe. Bibir Key kembali menggoda leher Phoebe saat dia mengatakan, "Kamu capek gak? Mau tidur dulu? Aku mau kamu ngerasa nyaman selama kita ada di sini, My Baby Girl.”
“Mhm, sepertinya itu ide yang bagus karena nanti malam pasti kamu gak bakalan biarin aku tidur cepat, ‘kan?” Phoebe tersenyum sekilas menanggapi kerlingan Key.
“Ya udah, istirahat duluan aja. Aku mau keluar sebentar karena aku punya kejutan lain yang lagi aku siapin buat kamu, Baby.” Setelah mengecup kening Phoebe, Key segera keluar menuju suatu tempat yang tidak Phoebe ketahui.
Phoebe menatap ke arah ranjang king size yang saat ini berada di depannya dengan tatapan tidak bersemangat.
'Malam ini, ya? Apa kali ini beneran? Apa aku udah siap punya bayi sama dia?' monolog Phoebe. Ia masih belum mengalihkan tatapannya dari ranjang itu. Seharusnya ia merasa senang, bukan? Apa yang ia inginkan akan segera terealisasi dan salah satu rencana Phoebe sebentar lagi bisa terwujud. Phoebe memang memiliki target untuk segera memiliki anak, karena itu dia berusaha menyelesaikan semua project yang dialihkan pada timnya sebelum memutuskan untuk fokus pada rencana kehamilannya.
Namun, entah kenapa rasanya seperti ada suara yang terus terngiang di telinganya seakan menyuruhnya untuk memikirkan semuanya sekali lagi. Perasaannya juga mulai ragu untuk memiliki bayi bersama dengan Key ketika dia tidak sengaja melihat Key pernah mengamuk karena bisnisnya sempat goyah, tetapi ia terus berusaha menyembunyikannya dari Phoebe.
Untungnya dia memiliki orang-orang kepercayaan yang bisa mengamati Key secara diam-diam. Mereka adalah orang-orang yang memberi tahu alasan di balik perubahan sikap Key. Sejak saat dia mengetahui kebenaran itu, Phoebe merasa dia memiliki terlalu banyak alasan untuk meragukan hubungannya dengan Key.
Terutama ketika ia menyadari hubungan di antara mereka berdua hanyalah sebatas simbiosis mutualisme saja. Sejauh ini Phoebe yakin jika Key masih belum menyadari bahwa dia sudah tahu tentang rahasia-rahasia dan rencana-rencana yang menjadi alasan kenapa Key terlihat sangat berusaha keras untuk mendapatkannya. Namun sekali lagi, ide untuk memiliki bayinya sendiri membuatnya mengacuhkan semuanya termasuk kata hatinya sendiri.
✧✧✧
Tanpa terasa sore hari sudah menjelang. Phoebe baru saja menaikkan resleting midi dress-nya yang bercorak bunga-bunga saat tubuhnya dipeluk dari belakang. Dia tahu pria yang memeluknya adalah Key dari pantulan cermin yang ada di depan mereka.
“Kok baru mandi jam segini? Jangan bilang kamu baru bangun. Padahal aku belum apa-apain kamu loh, Baby, tapi kamu tidur udah kayak kehabisan energi aja.” Phoebe hanya tersenyum kecil saat Key masih betah memeluk Phoebe dari belakang.
Sebelah tangan Key meraba perut Phoebe, “Sebentar lagi di sini bakal ada Key Junior. Kamu seneng gak?”
“Kalau ternyata beberapa bulan lagi di sini yang muncul Little Phoebe, gimana? Kamu gak suka?” tanya Phoebe sambil mengamati raut wajah Key dari pantulan cermin.
“No problem yang penting dia anak kita. Mau yang datang duluan Key Junior atau Little Phoebe semuanya sama aja, walaupun aku lebih pengen Key Junior yang jadi abangnya.”
“Dasar, tadi bilangnya gak masalah mau siapa duluan yang datang. Ternyata ujungnya tetap aja request,” Phoebe tertawa lepas saat mendengar jawaban konyol dari Key.
Key terpesona dengan ekspresi gadisnya yang sudah lama tidak ia lihat, rasanya ia sangat merindukan tawa memesona dari wajah bahagia Phoebe yang selalu bisa membuat jantungnya berdetak cepat karena merasakan jatuh cinta berulang kali, “Baby, rasanya aku gak bisa nunggu lebih lama lagi deh. Malam terlalu lama datang. Sekarang aja, ya? Mau, 'kan?” Suara Key mulai terdengar dalam dan berat.
Saat Phoebe menolehkan kepalanya untuk memberi jawaban, Key segera meraup rakus bibir Phoebe. Kedua tangan Key perlahan meraba naik dari pinggul Phoebe menuju ke tempat favorit bagi semua pria. Tentu saja itu membuat tubuh Phoebe mulai dijalari rasa hangat karena sentuhan yang diberikan pria ini. Perlahan Phoebe membalikkan badan menghadap Key, mereka berdua berusaha saling mendominasi dalam ciuman panas mereka.
Tiba-tiba suara panggilan telepon menggema di kamar mereka. Mereka berdua sengaja mengacuhkan dering ponsel yang berbunyi nyaris bersamaan, baik Phoebe maupun Key sedang tidak ingin diganggu saat ini.
“Engh, ganggu banget sih,” geram Key tak suka di sela cecapan lidah mereka. Saat Key berhasil meraih ponsel di saku celana jeans-nya, Phoebe segera merebut dan melemparkan ponsel itu ke arah ranjang sebelum Key sempat membanting ponsel yang baru saja pria itu beli untuk kesekian kalinya.
Setelah Phoebe memutuskan untuk mengupas semua rahasia pria ini satu per satu, orang-orang kepercayaannya selalu menemukan banyak hal baru. Bagian yang paling mencengangkan adalah kebiasaan Key yang baru diketahui Phoebe. Setiap kali Key merasa tidak suka atau terganggu dengan sesuatu, pasti ia akan membanting benda apa pun yang berada di dekatnya. Kebisasaan ini adalah yang terburuk sejauh ini.
Melihat apa yang dilakukan Phoebe, Key menyeringai di sela ciumannya. Key salah mengira dengan apa yang Phoebe lakukan dan menganggap Phoebe sudah tidak sabar, sama seperti dia saat ini.
—✧✧✧—
Note:
Sayonara: selamat tinggal dalam bahasa Jepang.
Footage: rekaman video dengan ukuran tertentu.
Project’s vacation: liburan sekaligus menyelesaikan proyek pekerjaan.
Stay on-call: tetap bisa dihubungi meskipun sedang libur atau istirahat.
Cottage: Penginapan mirip vila. Biasanya berupa bangunan seperti pondok atau rumah kecil yang terpisah-pisah, tapi masih dalam satu area yang sama.
Midi dress: gaun yang memiliki panjang dengan ukuran di antara lutut dan mata kaki, atau kira-kira sebatas betis.
Tanpa melepaskan ciuman bergairah dan saling mendominasi di antara mereka, Key perlahan mendorong tubuh Phoebe agar berbaring di atas ranjang. Saat ini bibirnya sedang sibuk dengan leher mulus Phoebe sedangkan tangannya mulai menarik kaki jenjang milik Phoebe bergantian dan membuat tubuhnya berada tepat di antara kedua paha Phoebe. Pertama dia menarik kaki kirinya lalu kaki kanannya, setelah itu tangannya mulai bergerak seduktif di atas kulit kaki Phoebe yang semakin terbuka karena ujung midi dress-nya sedikit terangkat, membuat Phoebe mulai merasakan desiran panas hingga mengeluarkan suara desisan perlahan. Sekujur tubuh Phoebe meremang, kedua tangannya mencari pelampiasan untuk digenggam hingga tangan kanannya tidak sengaja menyentuh ponsel milik Key yang tadi sempat ia lemparkan asal ke atas ranjang. Tangannya tidak sengaja menggeser tombol hijau lalu mengaktifkan mode pengeras suara saat ponsel Key tiba-tiba saja kembali berdering. “
“KA-KAMU!” Phoebe tergagap seolah kehabisan kata-kata. “Yes, My Bee. Ini aku, priamu yang paling tampan?” Pria tampan itu mengedipkan matanya ke arah Phoebe. “Menggelikan!” “Kamulah alasannya.” “Oh my, pergilah!” “Kemana, kamar bulan madu kita?” “Apa?! Pergilah ke neraka!” “Pilihan buruk, ayo kita pergi ke surga setiap malam, atau setiap saat yang kita inginkan? Gimana kalau mulai malam ini?” “Kamu gila!” “Karena dirimu.” “MOOOOMMYY!!” Ibu dan adik Phoebe sontak menutup telinga mereka bersamaan, tetapi tidak dengan pria tampan di depannya yang sedang tertawa kencang. Dia masih memeluk Phoebe dengan erat membuat tubuh mereka semakin dekat dan menempel satu sama lain. “Not bad. Aku yakin kamu akan meneriakkan namaku seperti ini, atau mungkin lebih bergairah dari ini? Aku udah gak sabar pengen dengar, My Bee.” “Cium saja dia kalau sampai berani berteriak kencang-ke
"Kenapa kamu kelihatan takut banget dan nyaris gemetaran gini? Apa kamu juga bereaksi tepat seperti ini semalam?" "Jangan gila! Rencana itu bahkan udah gagal total karena tendernya kembali mengalami masalah. Jadi, dia ninggalin aku gitu aja pas aku mulai turn on, mana sampai sekarang dia gak bisa dihubungi sama sekali." "Serius! Semalam beneran gak berhasil? Astaga,”—dia memberikan senyuman yang mencurigakan—“sayang banget, apa kamu mau menuntaskannya bersamaku? Kamu pasti penasaran sama sensasinya, ‘kan?" Franz menangkap tangan Phoebe yang hampir memukul kepalanya, "Eits! Kau boleh mukul atau mencakarku hanya buat pelampiasan saat kau akan mencapai puncak bersamaku. Selain itu, jangan pernah bermimpi, Mrs. Franz Hanseen." "Terkutuklah pikiran mesummu itu!" hardik Phoebe. Franz terbahak mendengar umpatan Phoebe, "Ngomong-ngomong, itu bagus juga. Karena sebentar lagi dia bakalan segera pergi dari hidupmu. Jadi, kamu ga
'Duh, bisa gak sih dia gak bisik-bisik terus di telingaku?!' Phoebe merasa tidak nyaman dengan kelakuan pria di belakangnya.Setelah memastikan ke mana arah para pria itu pergi dan menghilang dari pandangannya, dia memutar tungkainya lalu segera menendang tulang kering lelaki di belakangnya denganstilettoberwarna hitam dengan sol merah menyala di kaki jenjangnya. Namun, tiba-tiba dia membungkam mulut pria yang hampir menunduk kesakitan di depannya sebelum sempat memekik, lalu mendorong tubuh kekar itu sekuat tenaga dengan mudahnya karena pria itu tidak berdiri seimbang akibat tendangan tak berperasaan dari gadis barbar di depannya, hingga tubuh pria itu membentur cukup keras ke dinding berlapis marmer di belakangnya, "Heuummpp!"Mata biru milik Phoebe mengawasi setiap penjuru hingga pintu masukhall. Namun, tampaknya sia-sia belaka karena dia belum menemukan jejak makhluk apa pun sete
Pandangan mereka berdua terkunci. Mereka berada dalam posisi ini cukup lama, "Kau selalu aja melakukan hal ekstrim saat minta kupeluk. Aah, jadi karena ini kau gak mau kupeluk dengan cara yang lebih lembut kemarin? Kau lebih suka jika jantung kita berdegup kencang seperti bersahutan saat saling memeluk begini?" Rasanya Phoebe sangat ingin menjambak pria aneh di depannya ini. Dia selalu merasa menyesal setiap kali sudah menaruh rasa empati berlebihan pada seorang Franz Hanssen. "Lepas! Dasar pria cabul, pencuri kesempatan!" hardik Phoebe tepat di depan wajah tampan Franz. "Tentu aja gak akan kulepasin! Kalau kulepasin bisa aja kau akan melakukan hal ekstrim lainnya yang hanya diketahui sama Tuhan dan dirimu sendiri. Kalau kau berani melakukannya maka saat itu juga akan kupastikan kau segera berganti nama menjadi Phoebe Amaya Hanssen dalam sekejap!" gertak Franz sambil menatap sepasang mata biru yang sekarang sedang terbelalak sempurna. "Selalu aja paka
"Sshh, haaahh, lagi! Shhh, haahh!" Tidak hanya wajah, tapi mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki Phoebe rasanya sudah basah oleh keringat. Air mata yang sempat menetes bersama bulir keringat sejak tadi sudah tidak tampak lagi bedanya sekarang. "Ini yang terakhir. Kau harus berhenti, atau aku terpaksa membawamu ke rumah sakit sebelum kau pingsan," kata pria bertubuh kekar yang saat ini menemani Phoebe, dia dibuat sibuk karena terus menuruti permintaan Phoebe. "Ini hukumanmu, sshhh. Kau yang harus bertanggung jawab, haaah, karena membuatku seperti ini. Astaga! Rasanya seperti terbakar! Haaah." Phoebe mendongak sambil menggelengkan kepalanya agar helaian rambut yang menempel di wajah dan lehernya tak mengganggu kegiatanya. "Memang apa salahku? Tentu saja rasanya membakar lidah sampai ke perutmu. Lihat! Berapa banyak currywurst dengan level hellish yang kau pesan?! Kurasa kau sedang memakan lapisan saus cabai neraka dengan topping sosis, bukan seb
The View Supper Club,Manhattan, NYC., "Wajahmu terlalu berseri untuk ukuran seseorang yang sedang patah hati,MaBelle." Seorang pria menyapa Phoebe setelah keluar dari salah satu ruangan VVIP di dekat meja bar. Keduanya bertukar salam dengan pelukan singkat sambil menyentuhkan pipi kanan mereka sekilas. "Berhentilah menggodaku, Lex. Di mana 'panggung’ utamanya, apa di tempat biasa?" "Pastinya dong. Itu adalahspotterbaik untuk adegan terbaik, tapi,Belle—" sela pria itu berwajah gamang. "Oh!Come on,Alex. Kau harusnya tahu kalau aku tidak suka kata 'tapi' di saat penting seperti ini," dengus Phoebe lalu memandang datar, membuat Alex menelan kembali kata-katanya yang sudah di ujung lidah. "Oke, tidak ada 'tapi' untuk saat ini,"—Alex menatap Phoebe dengan senyum kikuk di wajahnya, lalu sekilas memandang ke belakang—"setidaknya sampai tamumu pergi dengan wajah merah karen
Phoebe memang memejamkan kedua matanya, tapi saat ini di dalam kepalanya seperti sedang terjadi perang besar di tengah gurun yang mulai tersapu badai. Benar-benar kacau! Dia mulai berandai-andai, jika saja dia terlahir di keluarga sederhana yang hangat dan saling mendukung, pasti tidak akan ada lagi parasit yang mengganggu hidupnya demi hal-hal duniawi. Namun tunggu dulu, jika dia hidup di tengah keluarga sederhana, lalu bagaimana seandainya jika ada benalu yang ingin memanfaatkannya seperti apa yang selalu dialami olehnya dan beberapa anggota keluarga Breslin selama ini? Dia tidak ingin menjadi damsel in distress dengan berharap seorang kesatria rupawan dari golongan bangsawan akan datang ke hidupnya bak dongeng klasik yang selalu ia baca ketika masih kecil. Daripada bermimpi seperti remaja berusia belasan, lebih baik dia tetap menjalani kehidupan penuh persona dalam permainan politik di setiap lapisannya dengan nama belakang keluarga Breslin. Nama yang selalu menj
Samuel merasa ada yang aneh dengan cengkeraman yang ia rasakan di bagian punggungnya. Tangan Phoebe terasa bergetar, membuat senyum jahilnya lenyap seketika. Wajah pucat Phoebe yang ia lihat saat Samuel membalikkan badan membuatnya semakin panik, “Phoebe, ada apa denganmu? Phoebe!” teriak Samuel, dengan sigap ia menangkap tubuh Phoebe yang sudah limbung dan hampir terjerembab ke atas lantai pualam. Samuel membopong tubuh lemas Phoebe kembali ke kamar. Sudah tentu nama Marsha pasti langsung terlintas di benaknya saat menghadapi situasi seperti ini.Marsha sampai dalam sekejap setelah mendapatkan kabar dari kakak sepupunya, “Infeksinya kambuh lagi, Kak. Sepertinya dia sedang stres berat dan terlalu lelah, aku udah bilang, ‘kan?” jelas Marsha. Tatapan dengan sorot mata menyelidik membuat Samuel menatap balik pada adik sepupunya.“Aku sudah memesan sarapan bergizi, kau bisa lihat sendiri di meja makan. Kenapa aku merasa sepertinya kau ma
Samuel segera menyita ponsel Phoebe dan meletakkannya bersisian dengan miliknya di atas meja yang terdekat dengan mereka, lalu membopong gadisnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Phoebe. Tentu saja Phoebe menjadi kesal karena merasa diacuhkan, “Apa susahnya sih menjawab? Semua pria memang sama aja, sangat menyebalkan!” gerutu Phoebe dengan penuh penekanan yang sengaja tak ia tutupi.“Aku lelah sekali, Honey. Jika mereka membutuhkan kita, pasti mereka akan segera menghubungiku.”Benar juga batin Phoebe menyetujui perkataan Samuel, tapi mulutnya masih gatal untuk mendebat pria yang selalu muncul di saat tepat tiap kali ia butuhkan. Persis seperti sebuah kebetulan, “Kalau gitu jangan selalu menggendongku, nanti kalau tanganmu patah kau malah menyalahkanku,” sindir Phoebe sambil memutar bola matanya.“Tentu aja kau yang harus bertanggung jawab karena aku tak mengasuransikan tubuhku, Honey,” balas Samuel enteng.
Mereka segera sampai di rumah sakit tempat Phoebe di rawat tadi pagi. Sudah ada Marsheille yang baru saja sampai di East Medical Centre tempatnya bekerja selama ini.“Kalian tunggulah di sini dulu. Percayakan dia pada kami, Calon Kakak Ipar,” tutur Marsha sambil tersenyum ke arah Phoebe lalu mengangguk singkat pada Samuel. Setelahnya ia segera pergi untuk membantu menangani Juan.“Aku akan mengurus administrasinya, kau duduklah di sini dulu,” ajak Samuel sambil merangkul Phoebe yang terlihat masih syok.Saat Samuel kembali, ia mendapati seorang pria sedang mengelus kepala Phoebe sambil mendengarnya menceritakan kronologis singkat tentang kejadian yang menimpa Juan, “Aku takut Hwan, kenapa selalu seperti ini? Kenapa mereka?” lirih Phoebe sedikit terbata, tersedak dalam tangisnya.“Tenangkan dirimu, ada Marsha yang akan membantu tim medis khusus di sini. Kau percaya pada kami, ‘kan?” ujar Hwan dengan sua
“Kenapa kau gak istirahat dan malah sembunyi di sini? Harus ya, minta semuanya siap sebelum tengah malam? Memangnya belum puas tidur di bangsal rumah sakit?” cecar Franz yang muncul tanpa permisi. Kenapa juga dia butuh izin untuk mengganggu Phoebe saat sedang bekerja, jika Franz bisa bebas keluar masuk semua tempat rahasia milik Phoebe termasuk griya tawang ini? Dia bahkan sudah tahu seluk beluk tempat ini karena bisa muncul tiba-tiba dari tangga geser rahasia yang menghubungkan studio berperangkat editing di lantai satu dengan area baca sekaligus ruang kerja di lantai dua.Phoebe beranjak dari kursinya sambil melipat kedua tangan di dadanya, “Memang ya, gak ada yang namanya privasi kalau udah berhubungan sama Tuan Franz Hanssen. Ngapain pakai acara ke sini sore-sore, sih? Sekarang baru juga jam tujuh. Kalau dilihat orang ‘kan aku yang rugi! Terus apa gunanya benda persegi super canggihmu itu?! Kalau kau ke sini cuma untuk menceramahiku mendin
Ruangan VVIP East Medical Centre, York Ave, New York.,“Kak Samuel, apa dia wanita yang kau ceritakan saat kita lagi di Berlin kemarin? Pas acara malam amal itu?” tanya seorang wanita dengan jas snelli putih ciri khas seorang dokter dengan bordiran nama Audrey Marseille Levanchois di bagian dadanya.Pria yang dipanggil Samuel ini mengangguk dengan bibir tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi saat menyadari Tuhan dan alam semesta selalu ada di pihaknya. Bagaimana tidak, jika kesempatan selalu saja datang padanya. Tepat seperti sekarang, saat ia merasa sangat penasaran dengan sosok wanita unik yang dilihatnya di Berlin malah wanita inilah yang menariknya mendekat dengan cara tak terduga.“Marsh, apa kau yakin dia akan segera siuman?” tanya Samuel pada adik sepupunya yang biasa dipanggil Marsha Levanchois.“Kak Sam gak sedang meremehkan pengalamanku menangani pasien, ‘kan? Sudah berapa kali Kakak menanyaka
Phoebe memang memejamkan kedua matanya, tapi saat ini di dalam kepalanya seperti sedang terjadi perang besar di tengah gurun yang mulai tersapu badai. Benar-benar kacau! Dia mulai berandai-andai, jika saja dia terlahir di keluarga sederhana yang hangat dan saling mendukung, pasti tidak akan ada lagi parasit yang mengganggu hidupnya demi hal-hal duniawi. Namun tunggu dulu, jika dia hidup di tengah keluarga sederhana, lalu bagaimana seandainya jika ada benalu yang ingin memanfaatkannya seperti apa yang selalu dialami olehnya dan beberapa anggota keluarga Breslin selama ini? Dia tidak ingin menjadi damsel in distress dengan berharap seorang kesatria rupawan dari golongan bangsawan akan datang ke hidupnya bak dongeng klasik yang selalu ia baca ketika masih kecil. Daripada bermimpi seperti remaja berusia belasan, lebih baik dia tetap menjalani kehidupan penuh persona dalam permainan politik di setiap lapisannya dengan nama belakang keluarga Breslin. Nama yang selalu menj
The View Supper Club,Manhattan, NYC., "Wajahmu terlalu berseri untuk ukuran seseorang yang sedang patah hati,MaBelle." Seorang pria menyapa Phoebe setelah keluar dari salah satu ruangan VVIP di dekat meja bar. Keduanya bertukar salam dengan pelukan singkat sambil menyentuhkan pipi kanan mereka sekilas. "Berhentilah menggodaku, Lex. Di mana 'panggung’ utamanya, apa di tempat biasa?" "Pastinya dong. Itu adalahspotterbaik untuk adegan terbaik, tapi,Belle—" sela pria itu berwajah gamang. "Oh!Come on,Alex. Kau harusnya tahu kalau aku tidak suka kata 'tapi' di saat penting seperti ini," dengus Phoebe lalu memandang datar, membuat Alex menelan kembali kata-katanya yang sudah di ujung lidah. "Oke, tidak ada 'tapi' untuk saat ini,"—Alex menatap Phoebe dengan senyum kikuk di wajahnya, lalu sekilas memandang ke belakang—"setidaknya sampai tamumu pergi dengan wajah merah karen
"Sshh, haaahh, lagi! Shhh, haahh!" Tidak hanya wajah, tapi mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki Phoebe rasanya sudah basah oleh keringat. Air mata yang sempat menetes bersama bulir keringat sejak tadi sudah tidak tampak lagi bedanya sekarang. "Ini yang terakhir. Kau harus berhenti, atau aku terpaksa membawamu ke rumah sakit sebelum kau pingsan," kata pria bertubuh kekar yang saat ini menemani Phoebe, dia dibuat sibuk karena terus menuruti permintaan Phoebe. "Ini hukumanmu, sshhh. Kau yang harus bertanggung jawab, haaah, karena membuatku seperti ini. Astaga! Rasanya seperti terbakar! Haaah." Phoebe mendongak sambil menggelengkan kepalanya agar helaian rambut yang menempel di wajah dan lehernya tak mengganggu kegiatanya. "Memang apa salahku? Tentu saja rasanya membakar lidah sampai ke perutmu. Lihat! Berapa banyak currywurst dengan level hellish yang kau pesan?! Kurasa kau sedang memakan lapisan saus cabai neraka dengan topping sosis, bukan seb
Pandangan mereka berdua terkunci. Mereka berada dalam posisi ini cukup lama, "Kau selalu aja melakukan hal ekstrim saat minta kupeluk. Aah, jadi karena ini kau gak mau kupeluk dengan cara yang lebih lembut kemarin? Kau lebih suka jika jantung kita berdegup kencang seperti bersahutan saat saling memeluk begini?" Rasanya Phoebe sangat ingin menjambak pria aneh di depannya ini. Dia selalu merasa menyesal setiap kali sudah menaruh rasa empati berlebihan pada seorang Franz Hanssen. "Lepas! Dasar pria cabul, pencuri kesempatan!" hardik Phoebe tepat di depan wajah tampan Franz. "Tentu aja gak akan kulepasin! Kalau kulepasin bisa aja kau akan melakukan hal ekstrim lainnya yang hanya diketahui sama Tuhan dan dirimu sendiri. Kalau kau berani melakukannya maka saat itu juga akan kupastikan kau segera berganti nama menjadi Phoebe Amaya Hanssen dalam sekejap!" gertak Franz sambil menatap sepasang mata biru yang sekarang sedang terbelalak sempurna. "Selalu aja paka