Carla menegakkan duduknya, kini ia kembali menatap Sbastian, “Apa yang ingin kau tanyakan?”
Sbastian nampak berpikir selama beberapa saat, “Apa alasanmu melakukan semua ini?”
Carla mengerutkan keningnya, “Melakukan apa?” tanya gadis bermata abu-abu itu tak mengerti.
Sbastian menatap Carla dengan tatapan penuh selidik, “Datang padaku, mendekatiku, dekat dengan Kakek dan Evelyn. Apa tujuanmu sebenarnya?”
Carla tersenyum sinis, “Sudah kubilang berapa kali. Pertemuanku dengan Kakek Tom dan Evelyn adalah sebuah takdir yang berawal dari ketidaksengajaan. Aku awalnya sama sekali tidak tahu bahwa kalian bertiga mempunyai ikatan kekeluargaan. Tapi aku yakin kau tetap tidak mempercayaiku.”
Sbastian menampakkan wajah tak senang dengan jawaban Carla, “Ya, aku memang tidak percaya. Tapi anggap saja aku percaya dengan ceritamu itu. Lalu, kenapa kau juga berusaha mendekatiku, selalu menggangg
Sorot mata penasaran terpancar dari mata abu-abu Carla. Gadis penjual bunga itu sedang menunggu jawaban dari sang sahabat. Setelah pergi dari ruangan Sbastian, buru-buru Carla menelepon Evelyn. Mengajak gadis itu bertemu di toko bunga. Evelyn sedikit terkejut karena tak biasanya Carla yang mengajaknya bertemu lebih dahulu.Saat ditanya apa alasan pertemuan itu, si gadis penjual bunga mengatakan ada hal penting yang harus mereka bicarakan dan Carla tidak bisa menjelaskannya melalui telepon. Akhirnya, Evelyn pun setuju untuk bertemu. Perempuan yang sebentar lagi akan menikah ituu pun dengan segera mengendarai mobilnya menuju toko bunga milik Carla.Sesampainya di toko bunga itu. Carla ternyata sudah menunggunya di dalam. Toko bunga itu sengaja ditutup oleh Carla lebih awal mesk itu masih sore hari. Para pegawai di toko telah Carla izinkan untuk pulang lebih cepat pula.Kini di toko bunga itu hanya ada Carla dan Evelyn. Dua gelas cokelat hangat tersaji di hadapan m
Sesampainya di rumah sakit St Thomas’, Carla dan Evelyn langsung menuju kamar rawat Kakek Tom. Pria tua itu sedang menonton televisi dengan ditemani Suster Jane. Mereka berdua terkejut melihat Carla dan Evelyn yang datang secara bersama-sama.Tanpa basa-basi Evelyn mengutarakan maksud tujuannya datang menemui sang kakek di sore hari menuju malam. Tidak seperti biasanya, datang saat siang hari.Kakak Sbastian itu mengatakan kekesalannya pada sang kakek yang mengambil keputusan tentang penyerahan mansion itu tanpa berdiskusi terlebih dulu padanya. Evelyn juga meminta secara tegas kepada sang kakek untuk membatalkan rencana memberikan mansion musim panas itu padanya.Gadis berambut sebahu itu ingin sang kakek menepati janji untuk memberikan mansion itu pada Sbastian. Ia tidak ingin keputusan sang kakek membuat hubungannya dan sang adik semakin memburuk.Sayangnya, Kakek Tom tidak mau menuruti keinginan cucu perempuannya. Dia tetap bersikeras dengan kep
Kakek Tom tersenyum meremehkan, “Lihatlah, kau ini hanya banyak bicara saja!” hardik Kakek Tom.Carla tersenyum kecil, “Aits...Jangan cepat mengambi simpulan. Aku ini sangat tahu Kakek sekarang sedang berpikir akan mengabulkan permintaan Evelyn atau tidak,” ucap Carla dengan penuh percaya diri.Kakek Tom menyentil jidat Carla, “Jangan mengarang!”Carla tersenyum geli, “Kau hari ini boleh menyentilku sesuka hatimu, aku tidak akan marah.”“Diamlah! Keluarlah dari sini gadis nakal!” ucap Kakek Tom dengan dingin.“Heeem....aku tidak mau keluar sebelum Kakek menyetujui permintaan Evelyn,” ancam Carla.“Aku tidak akan mengubah keputusanku. Sudah keluar sana!” ujar Kakek Tom.Carla berdecak kesal, “Sudahlah Kakek Tom, berhenti membohongi perasaanmu! Aku tahu kau pasti akan menuruti keinginan Evelyn. Kau tidak mungkin mau melihat cucu perempuanmu itu sed
Hampir pukul dua belas malam ketika Carla tiba di depan mansion milik Sbastian yang berada di kawasan Compton Avenue, London. Setelah Kakek Tom setuju untuk mengabulkan permintaan Evelyn, pria tua itu langsung meminta pengacaranya untuk datang ke rumah sakit dan mengurus berkas-berkas untuk pengalihan kepemilikan mansion.Setelah urusan dengan pengacara selesai, Evelyn meminta bantuan kepada Carla untuk memberi tahu Sbastian bahwa adiknya itu tidak perlu datang ke pernikahannya. Evelyn tidak ingin kedatangan Sbastian berlandaskan rasa terpaksa.Carla menyetujuinya. Ia berjanji akan mengatakan pada Sbastian tentang hal itu saat mereka bertemu. Namun, nampaknya Carla tidak bisa menunda keinginannya untuk berbicara pada sang dokter angkuh. Ketika ia sedang dalam perjalanan pulang, tiba-tiba dia mengurungkan niatnya. Iya meminta pada supir taksi untuk membawanya menuju mansion peria bermata hijau itu.Sebenarnya, Carla sudah terlebih dulu mengecek kantor Sbastian ka
Sbastian meletakkan cokelat panas yang baru dibuatnya di depan Carla yang sedang duduk di depan meja panjang bar mininya. Saat itu Carla sedang mengedarkan pandangan di sekitar ruangan karena nampak sepi. “Terima kasih, oh iya di mana para asistenmu?” tanya Carla sambil mengambil cangkir berisis cokelat panas yang ada di hadapannya. “Ap kau sudah lupa waktu? Ini sudah hampir pukul satu malam, tentu saja mereka sudah beritirahat di paviliun belakang,” ucap Sbastian dengan nada kesal. Carla menyeruput cokelat panas di cangkirnya, rasa hangat secara perlahan merasuki tubuhnya yang sejak tadi masih merasa kedinginan., “Aku bertanya baik-baik, kenapa kau menjawabku dengan sinis?” protes Carla. “Karena kau mengganggu waktu istirahatku,” Sbastian kembali meneguk wiski yang ada di gelasnya. “Nampaknya kau juga tadi tidak sedang beritirahat, kau hanya sedang bersantai beramsa alkoholmu itu,” tuduh Carla. Sbastian menghela nafas berat, “Ya, aku
Sbastian kembali meneguk wiski miliknya, kali ini ia meneguknya secara langsung dari botol wiski itu. Entah mengapa hatinya menjadi risau sejak kepergian Carla beberapa saat yang lalu. Ia merasa kesal, namun bingung kesal pada siapa dan kenapa. Ketika dia sedang berusaha menyalurkan rasa kesalnya itu dengan meminum wiski, bel mansionnya kembali berbunyi.Sbastian yang masih sadar sepenuhnya karena dia memang kuat meminum minuman beralkohol dengan amarah yang masih tersimpan berjalan ke arah pintu utama mansionnya setelah meletakkan botol wiski yang ada di tangannya di atas meja bar mini. Saat pintu mansion dibuka, dirinya terkejut melihat salah satu penjaga pintu gerbang mansionnya sedang mengangkat tubuh Carla yang sedang tak sadarkan diri.“Apa yang terjadi?” tanya Sbastian dengan wajah khawatir, wajah penuh amarahnya kini telah menghilang.“Nona ini pingsan di depan pintu gerbang sembari menunggu taksi pesanannya,” ucap si penjaga gera
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi ketika Carla membuka matanya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu ruangan. Ia mengenali ruangan itu. Ruangan yang sama yang dihuninya asaat pingsan setelah berlari pagi mengejar Sbastian.Carle mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi padanya di malam sebelumnya. Hal terakhir yang diingat olehnya adalah sedang berdiri di depan gerbang mansion Sbastian, menunggu taksi pesanannya, lalu pusing tiba-tiba menyerangnya dan tubuhnya terasa lemas. Setelah itu dia tidak mengingat apa-apa.Carla bangkit dari posisi berbarinya, duduk bersandar pada sandaran kasur. Kepalanya masih terasa berdenyut. Kompres yang ada di keningnya terjatuh. Baju yang dipakainya telah berganti.Ketika Carla bersiap untuk turun dari kasur yang ditempatinya, seseorang membuka pintu kamar itu.“Tetaplah di kasurmu!” ucap Sbastian dengan tegas sambil membawa nampan berisi teh manis hangat dan sup ayam b
Setelah Sbastian pergi dari kamar tamu itu dengan kesal, Carla memilih unutk kembali tidur karena kepalanya masih berdenyut pusing. Ia berharap dengan tidur, pusing di kepalanya bisa berangsur menhilang.Carla kembali terbangun sekitar pukul satu siang. Cacing-cacing di perutnya mulai berbunyi, meminta makan. Sebenarnya, gadis bermata abu-abu itu sama sekali tidak berselera untuk makan, tetapi perutnya sepertinya tidak sepaham.Carla akhirnya turun dari tempat tidur tempatnya berbaring. Kepalanya amsih sedikit berdenyut, tetapi tidak separah sebelumnya. Ia berjalan dengan lemas menuju dapur mansion Sbastian.Di sana, dilihatnya seorang asistern rumah tangga sedang memasak. Carla pun mendekati asisten rumah tangga itu dan menyapanya.“Nona, sudah bangun?” ucap si asisten rumah tangga yang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Carla menganggukkan kepala kecil.“Apa Nona ingin makan?” tanya asisten rumah tangga itu dengan lembut.
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan