Hampir pukul dua belas malam ketika Carla tiba di depan mansion milik Sbastian yang berada di kawasan Compton Avenue, London. Setelah Kakek Tom setuju untuk mengabulkan permintaan Evelyn, pria tua itu langsung meminta pengacaranya untuk datang ke rumah sakit dan mengurus berkas-berkas untuk pengalihan kepemilikan mansion.
Setelah urusan dengan pengacara selesai, Evelyn meminta bantuan kepada Carla untuk memberi tahu Sbastian bahwa adiknya itu tidak perlu datang ke pernikahannya. Evelyn tidak ingin kedatangan Sbastian berlandaskan rasa terpaksa.
Carla menyetujuinya. Ia berjanji akan mengatakan pada Sbastian tentang hal itu saat mereka bertemu. Namun, nampaknya Carla tidak bisa menunda keinginannya untuk berbicara pada sang dokter angkuh. Ketika ia sedang dalam perjalanan pulang, tiba-tiba dia mengurungkan niatnya. Iya meminta pada supir taksi untuk membawanya menuju mansion peria bermata hijau itu.
Sebenarnya, Carla sudah terlebih dulu mengecek kantor Sbastian ka
Sbastian meletakkan cokelat panas yang baru dibuatnya di depan Carla yang sedang duduk di depan meja panjang bar mininya. Saat itu Carla sedang mengedarkan pandangan di sekitar ruangan karena nampak sepi. “Terima kasih, oh iya di mana para asistenmu?” tanya Carla sambil mengambil cangkir berisis cokelat panas yang ada di hadapannya. “Ap kau sudah lupa waktu? Ini sudah hampir pukul satu malam, tentu saja mereka sudah beritirahat di paviliun belakang,” ucap Sbastian dengan nada kesal. Carla menyeruput cokelat panas di cangkirnya, rasa hangat secara perlahan merasuki tubuhnya yang sejak tadi masih merasa kedinginan., “Aku bertanya baik-baik, kenapa kau menjawabku dengan sinis?” protes Carla. “Karena kau mengganggu waktu istirahatku,” Sbastian kembali meneguk wiski yang ada di gelasnya. “Nampaknya kau juga tadi tidak sedang beritirahat, kau hanya sedang bersantai beramsa alkoholmu itu,” tuduh Carla. Sbastian menghela nafas berat, “Ya, aku
Sbastian kembali meneguk wiski miliknya, kali ini ia meneguknya secara langsung dari botol wiski itu. Entah mengapa hatinya menjadi risau sejak kepergian Carla beberapa saat yang lalu. Ia merasa kesal, namun bingung kesal pada siapa dan kenapa. Ketika dia sedang berusaha menyalurkan rasa kesalnya itu dengan meminum wiski, bel mansionnya kembali berbunyi.Sbastian yang masih sadar sepenuhnya karena dia memang kuat meminum minuman beralkohol dengan amarah yang masih tersimpan berjalan ke arah pintu utama mansionnya setelah meletakkan botol wiski yang ada di tangannya di atas meja bar mini. Saat pintu mansion dibuka, dirinya terkejut melihat salah satu penjaga pintu gerbang mansionnya sedang mengangkat tubuh Carla yang sedang tak sadarkan diri.“Apa yang terjadi?” tanya Sbastian dengan wajah khawatir, wajah penuh amarahnya kini telah menghilang.“Nona ini pingsan di depan pintu gerbang sembari menunggu taksi pesanannya,” ucap si penjaga gera
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi ketika Carla membuka matanya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu ruangan. Ia mengenali ruangan itu. Ruangan yang sama yang dihuninya asaat pingsan setelah berlari pagi mengejar Sbastian.Carle mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi padanya di malam sebelumnya. Hal terakhir yang diingat olehnya adalah sedang berdiri di depan gerbang mansion Sbastian, menunggu taksi pesanannya, lalu pusing tiba-tiba menyerangnya dan tubuhnya terasa lemas. Setelah itu dia tidak mengingat apa-apa.Carla bangkit dari posisi berbarinya, duduk bersandar pada sandaran kasur. Kepalanya masih terasa berdenyut. Kompres yang ada di keningnya terjatuh. Baju yang dipakainya telah berganti.Ketika Carla bersiap untuk turun dari kasur yang ditempatinya, seseorang membuka pintu kamar itu.“Tetaplah di kasurmu!” ucap Sbastian dengan tegas sambil membawa nampan berisi teh manis hangat dan sup ayam b
Setelah Sbastian pergi dari kamar tamu itu dengan kesal, Carla memilih unutk kembali tidur karena kepalanya masih berdenyut pusing. Ia berharap dengan tidur, pusing di kepalanya bisa berangsur menhilang.Carla kembali terbangun sekitar pukul satu siang. Cacing-cacing di perutnya mulai berbunyi, meminta makan. Sebenarnya, gadis bermata abu-abu itu sama sekali tidak berselera untuk makan, tetapi perutnya sepertinya tidak sepaham.Carla akhirnya turun dari tempat tidur tempatnya berbaring. Kepalanya amsih sedikit berdenyut, tetapi tidak separah sebelumnya. Ia berjalan dengan lemas menuju dapur mansion Sbastian.Di sana, dilihatnya seorang asistern rumah tangga sedang memasak. Carla pun mendekati asisten rumah tangga itu dan menyapanya.“Nona, sudah bangun?” ucap si asisten rumah tangga yang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Carla menganggukkan kepala kecil.“Apa Nona ingin makan?” tanya asisten rumah tangga itu dengan lembut.
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Carla menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar ruang tamu mansion Sbastian. Sesekali ia mengecek ponselnya untuk membalas pesan dari karyawan dan pelanggannya. Ia juga telah mengabari keluarganya bahwa kondisinya baik-baik saja dan beralasan pada keluarganya sedang membantu persiapan pernikahan sahabatnya karena itu dia tidak pulang ke rumah malam sebelumnya.Ketika gadis bermata abu-abu itu sedang asyik melihat video di layar ponselnya, seseorang membuka pintu kamar yang ditempatinya. Secara spontan gadis penjual bunga itu menatap pintu. Dilihatnya sosok Sbastian yang baru pulang dari rumah sakit dengan memakai setelah rapi.“Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk?” tegur Carla.“Ini mansionku, kamar yang kau huni ini juga milikku, jadi untuk apa aku perlu mengetuk pintu?” ucap Sbastian dengan kesal.Carla menghela nafas kesal, “Tanpa kau ingatkan, aku pun t
Malam telah tiba. Matahari sepenuhnya telah tenggelam. Salju masih setia turun menyelimuti kota London. Esok hari ketika salju telah berhenti turun, pastilah jalanan dan atap-atap rumah telah dipenuhi dengan gundukan salju putih. Menyenangkan untuk membuat boneka salju dengan gundukan itu atau setidaknya jika malas membuat boneka salju, gundukan itu bisa dijadikan senjata untuk bermain perang salju.Pukul tujuh malam Sbastian masuk ke kamar Carla dengan membawa shchi yang ia masak dengan tangannya sendiri. Shchi merupakan makanan khas Rusia yang terbuat dari kubis, jamur, daging sapi, dengan campuran rempah-rempah dan tambahan lada hitam dan daun salam. Penyajiannya disandingkan dengan roti gandum untuk menambah kalori dan karbohidrat. Menurut Sbastian, shchi sangat baik untuk orang yang sakit karena segar dan banyak mengandung vitamin.Saat Sbastian masuk ke kamar Carla, dilihatnya gadis bermata abu-abu itu sedang tidur miring
Carla terbangun dari tidur lelapnya sekitar pukul tujuh pagi. Tubuhnya terasa lebih segar, rasa pusing di kepalanya sudah menghilang. Ia pun merenggangkan tubuhnya sebelum turun dari kasur empuk yang ditempatinya selama dua hari terakhir.Gadis bermata abu-abu itu keluar dari kamar tamu mansion Sbastian, dari depan pintu kamar itu diciumnya aroma sedap masakan dari dapur. Senyum sumringah tersungging di wajah cantiknya. Dengan langkah cepat ia pergi ke arah dapur mansion mewah itu.Ketika tiba di dapur, dilihatnya Sbastian sedang sibuk memotong-motong sayuran, teflon di depannya sedang mengepulkan asap.“Apa yang kau masak?” tanya Carla sambil berjalan mendekat ke Sbastian.Pria bermata hijau itu mengangkat kepalanya yang tertunduk karena sedang memotong-motong buncis, “Kau sudah bangun?”Carla menganggukkan kepalanya sambil menatap teflon berisi daging yang telah mengeluarkan asap, “Apa yang kau masak?”&
Setelah menghabiskan sarapan dan membersihkan diri, mereka pun pergi meninggalkan mansion mewah Sbastian. Pagi itu Carla meminta agar Sbastian mengantarkannya ke toko bunganya. Awalnya, dokter bermata hijau itu menolak dan mmeinta Carla untuk naik taksi atau bus karena gadis bermata abu-abu itu telah sehat kembali. Namun, Carla berusaha dengan keras untuk membujuk Sbastian mengantarkannya. Gadis penjual bunga itu mengancam, jika Sbastian tidak bersedia mengantarnya maka dia tidak akan mau pergi dari mansion mewah itu.Sbastian merasa kesal dengan ancaman itu, namun pada akhirnya dia pun bersedia mengantar Carla ke toko bunganya dengan terpaksa. Sbastian heran karena gadis bermata abu-abu itu baru saja sembuh tetapi sudah pergi bekerja. Sbastian menasihatinya agar istirahat di rumah hingga benar-benar pulih. Tapi seperti biasanya, Carla tidak mendengarkan nasihat itu. Lagi pula pagi itu dia sudah ada janji temu.Carla mengatakan pada sang dokter dingin bahwa pukul sepul
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan