Tom Smith membawa menantunya pulang ke London. Ia menyayangkan tindakan Jenifer yang diam saja terhadap perselingkuhan sang suami. Jenifer mengatakn bhawa dia tidak memiliki pilihan lain karena jika dia tidak meneriam kehadiran perempuan itu dalam hidup Harry maka Harry akan menceraikannya.
Jenifer tidak bisa kehilangan sang suami yang masih sangat dicintainya. Dia juga tidak bisa membiarka putrinya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah. Ia ingin memberikan kehidupan yang sempurna untuk putri cantiknya.
Jenifer memohon kepada sang ayah mertua untuk tidak memperpanjang masalah itu. Ia khawatir jika Tom Smith terus mendesak Harry untuk meninggalkan perempuan itu maka mungkin Harry yang akan meninggalkannya. Jenifer tidak mau itu terjadi.
Awalnya, Tom Smith menolak permintaan sang menantu yang sangat disayanginya itu, tetapi Jenifer terus memohon padanya dengan derai air mata keputasaan. Hal itu menyebabkan Tom Smith tidak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan s
Sbastian menatap kosong Kakek dan ibu tirinya. Kisah yang baru didengarnay itu begitu sulit untuk ia pahami. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Semuanya terasa begitu sulit untuk dicerna dalam sekali waktu.“Berapa lama kalian menyusun cerita bohong ini?” ucap Sbastian dengan suaranya yang terdengar frustasi.“Aku tahu kau pasti sudah tahu bahwa ini bukan kebohongan. Kau hanya berusaha melindungi kenangan sempurnamu bersama ayahmu ,” Kakek Tom menatap iba pada cucu laki-lakinya.“Sekarang kau tahu bukan alasan ayahmu selalu mengajakmu pergi ke mansion Whitstable?” Jenifer kali ini yang berbicara.“Menghabiskan waktu musim panas untuk urusan para pria,” gumam Sbastian diiringi senyum getir.“Untuk mengenang ibu kandungmu. Dia masih mencintai Anne sampai bertahun-tahun setelah kepergiannya,” ada kesedihan dalam suara Jenifer.“Kenapa kalian sekarang memilih untuk menceritak
Evelyn mencoba mencari-cari keberadaan sang adik. Ia bertanya pada penjaga yang berjaga di depan pinut utama mansion itu. Si penjaga memberi tahu pada Evelyn bahwa Sbastian pergi menuju ke arah kolam renang yang letaknya bersebelahan dengan ruang tempat Carla sedang dirawat.Udara di sana terasa dingin meskipun kolam renang itu adalah kolam renang dalam ruangan. Angin-angin masuk melalui celah-celah ventilasi udara. Selain itu, tidak ada alat penghangat ruangan di sana.Saat memasuki kawasan kolam renang, Evelyn melihat adiknya sedang duduk di kursi santai yang berada di pinggiran kolam renang itu. Wajah Sbastian terlihat tak karuan. Matanya menatap kosong pemandangan yang ada di depannya.Evelyn menghampiri sang adik dengan perlahan. Udara dingin langsung menyergap tubuh perempuan bermata hijau itu segera setelah dia berada di jalanan pinggir kolam renang.Evelyn duduk di kursi santai yang letaknya tepat berada di sebelah kursi santai yang diduduki oleh
Sbastian berteriak dengan kencang, mengeluarkan semua amarah dan kekecewaannya. Ia merasa telah begitu bodoh karena selama ini terlalu memuja sang ayah. Ia menyalahkan semua masalah dalam keluarganya pada perempuan yang selama ini ia anggap sebagai ibu dan ternyata perempuan itu adalah korban utama dalam prahara keluarga mereka.Evelyn memeluk tubuh sang adik dengan erat, berusaha memberikan dukungan pada pria bermata hijau itu. ia tidak ingin Sbastian menyalahkan dirinya sendiri.“Kenapa kalian semua membiarkanku menjadi orang bodoh selama ini?” teriak Sbastian dengan penuh amarah.“Kami tidak bermaksud buruk Sbastian. Kami melakukan ini karena kami menyayangimu,” ucap Evelyn dengan lembut. Sbastian lalu menyingkirkan tubuh sang kakak yang memeluknya.“Aku terlihat begitu menyedihkan bukan? Apa yang selama ini aku percayai ternyata adalah sebuah kebohongan. Aku membenci seseorang yang seharusnya tidak aku benci. Aku memuja s
Carla menunggu kedatangan Sbastian di ruangan tempatnya beristirahat. Suster Jane telah menceritakan pada gadis bermata abu-abu itu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Sbastian. Suster itu juga mengatakan betapa marahnya Sbastian ketika mengetahui kebenarannya. Dokter berhati dingin itu menyalahkan semua orang dan tidak bisa menerima hal yang sebenarnya terjadi.Mendengar cerita dari Suster Jane, Carla menjadi khawatir. Ia memikirkan tentang keadaan Sbastian. Ia tidak ingin Sbastian merasa dikhianati oleh semua orang. Meski dokter bermata hijau itu selalu bersikap kasar dan dingin padanya, namun Carla tahu di balik semua sikap buruk itu ada jiwa yang rapuh. Sikap keras hati yang Sbastian tunjukkan selama ini hanya ia gunakan sebagai tembok untuk menutupi betapa rapuh hatinya.Carla tidak bisa melanjutkan istirahatnya. Pikiran tentang Sbastian membayang-bayangi otaknya. Dia tidak bisa hanya berbaring di atas tempat tidur. Ia harus melihat keadaan dokter it
Dua minggu berlalu sejak semua rahasia masa lalu keluarga Sbastian akhirnya terbongkar dan pria bermata hijau itu kini sedikit demi sedikit mulai dapat mengubah sikapnya pada sang kakak dan kakek. Sbastian mulai membiasakan diri untuk lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan mereka. Beberapa kali dalam seminggu mereka akan makan malam bersama. Tidak ada hal khusus yang dibicarakan hanya ingin menambah ke akraban diri.Pada makan malam-makan malam yang mereka jalani, biasanya Sbastian lebih banyak menjadi pendengar daripada pencerita. Kakak dan kakeknya yang lebih aktif dalam menceritakan hari-hari mereka. Sbastian hanya sesekali menceritakan tentang kehidupan pribadinya. Kegiatannya tidak jauh-jauh dari mengurus pasien dan pekerjaan rumah sakit lainnya.Tuan Tom sering mengeluh karena harus menghabiskan waktunya untuk bolak-balik ke rumah sakit tiga kali dalam satu minggu. Evelyn menceritakan betapa dirinya menikmati peran baru sebagai seorang istri. Dia juga men
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan