Beranda / Romansa / Head Over Heels / 4. Pramoedya dan Sanjaya

Share

4. Pramoedya dan Sanjaya

Penulis: Snora
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-28 20:17:32

Suasana divisi pemasaran yang selalu ramai mendekati jam makan siang, kini tampak lebih riuh dari biasa saat beberapa karyawan wanita terlihat sibuk berkumpul membentuk setengah lingkaran, mengerubungi meja kubikel seseorang yang sedang menampilkan portal berita di laman mesin pencarian. Termasuk di sana ada Mala yang dikenal Rena sebagai teman sebelah kubikelnya, terlihat juga sedang ikut bergabung di antara kerumunan.

Mala yang baru menyadari kehadiran Rena ketika wanita itu melangkah memasuki ruang divisi dengan kernyitan heran, tanpa menunggu lama pun segera beralih dari tempatnya, menghampiri Rena dengan pekikan nyaring dan bola mata yang membulat selebar-lebarnya. 

"Astaga! Kamu dari mana aja, Ren? Satu divisi kita udah dibuat seheboh ini, tapi kamu malah sibuk keluyuran."

Rena masih mengerut kening kebingungan dengan tingkah berlebihan Mala. Padahal tidak sampai setengah jam ia meninggalkan kursi kerjanya, tapi begitu kembali ke ruangan, orang-orang justru sudah berkumpul heboh entah meributkan apa. Termasuk rekan kerja sebelah mejanya.

"Kamu harus dengar berita gila ini, Ren! Anak-anak divisi kita, bahkan nyaris satu gedung lagi sibuk ikut-ikutan membahasnya. Aku sampai sekarang aja masih belum percaya padahal sudah melihat beritanya berkali-kali. Bahkan kabar ini udah masuk headline news portal berita nasional. Tinggal tunggu waktu sampai media tv juga ikut mengangkatnya." 

Rena hendak menolak untuk meladeni apapun yang menarik perhatian Mala hingga membuatnya sehisteris itu, atau topik mengejutkan manapun yang lagi hangat diperbincangkan oleh rekan-rekannya yang lain. Namun Mala sepertinya tak ingin melepaskan Rena begitu saja, sehingga dengan sekuat tenaga ia berusaha menyeret perempuan itu agar mengikuti langkahnya bergabung dengan kumpulan orang banyak tersebut. 

"Jadi ini beneran kecelakaan tunggal?" Suara Mas Tian, salah satu senior copywriter di mana merupakan satu-satunya lelaki yang bergabung di sana, terdengar tak ketinggalan menimpali obrolan.

"Kecelakaan tunggal yang disengaja mungkin, Mas. Lihat aja, bagian depan mobilnya bahkan hancur lebur begitu pas nabrak pembatas tol. Kecepatannya sebelum tabrakan pasti di atas rata-rata kalau sampai berhasil membuat bumper depannya penyok nggak berbentuk," sahut suara yang lain.

"Maksudnya dia bunuh diri gitu?" tanya Mas Tian lagi dengan heboh.

"Dugaan lainnya dia mabuk berat pas berkendara. Karena dari berita yang beredar, masih ada aroma alkohol tercium jelas waktu petugas keamanan dan ambulans mindahin dia dari kursi pengemudi."

"Aku masih nggak percaya kalau Namira Sanjaya bisa mabuk-mabukan sampai seteler itu, apalagi sampai ceroboh menyebabkan kecelakaan yang merenggut nyawanya sendiri. Maksud aku, selama ini kan dia selalu menampilkan citra perempuan baik-baik menurut kelasnya. Selain itu dia juga selalu berusaha menjaga nama baik keluarga Sanjaya. Karir dan kehidupan pernikahannya juga terlihat aman-aman aja. Kenapa justru harus berakhir tragis seperti ini?"

Namira Sanjaya. Itulah nama yang tertangkap netra Rena ketika pandangannya menyapu judul berita pada portal media massa di layar depan. Meskipun terbilang jarang mengikuti perkembangan kabar tentang publik figur, selebgram, atau orang terkenal manapun di jagad pertelevisian ataupun dunia maya, tapi entah kenapa nama itu tak begitu asing menyapa pendengarannya.

"Namira Sanjaya?" bisik Rena terlebih seperti gumaman.

Mala yang berdiri di dekatnya, masih dapat menangkap dengan jelas pertanyaan yang terlontar secara spontan dari bibir Rena. Perempuan itu pun mengangguk membenarkan. "Iya, Namira Sanjaya. Putri bungsu dari politikus terkenal Hendrawan Sanjaya, sekaligus menantu satu-satunya Pak Antonio Pramoedya, salah satu komisaris utama dan pendiri perusahaan kita."

"Jadi perempuan itu istri Pak Andreas Pramoedya? Anak dari Pak Antonio?" gumam Rena lagi.

Mala kembali mengangguk, berbisik lirih di telinganya. "Temen aku yang kerja di lantai atas bilang sendiri di grup chat kantor kalau Pak Andreas nggak kelihatan sejak tadi pagi. Kemungkinan dia sibuk mengurus kematian istrinya. Aku bahkan masih nggak percaya setelah dengar berita ini. Padahal aku juga cukup mengidolakan Namira Sanjaya waktu dia masi aktif-aktifnya di dunia model dan perfilman, sebelum memutuskan pensiun dan jadi menantu keluarga Pramoedya."

Barulah Rena paham alasan kenapa anggota divisinya, atau mungkin hampir seisi gedung kantor terlihat menaruh atensi teramat besar pada berita kematian mengejutkan ini. Nama Namira mungkin tidak terlalu akrab di telinga Rena, tapi jika sudah menyangkut nama besar seperti keluarga Pramoedya, orang-orang yang merupakan pilar penyangga penting di tempat ia bekerja mencari nafkah, tentu bukan sesuatu yang mudah dilewatkan.

Meskipun dirinya tidak sering terlibat langsung di bagian direksi yang kerap bersentuhan dengan para petinggi perusahaan, sosok Andreas Pramoedya sebagai Direktur Utama yang berpengaruh penting pada bagian paling vital tempat kerjanya, cukup menangkap seluruh atensi Rena.

Selain karena nama pria itu kerap meluncur menjadi topik pembicaraan di waktu senggang oleh teman sesama divisinya, baik itu pembahasan mengenai penampilan fisiknya yang memang punya daya tarik di mata karyawan wanita, atau riwayat pendidikan bahkan latar belakang nama Pramoedya yang melekat di belakang namanya, hingga berujung pada kehidupan rumah tangga pria itu setelah kabar pernikahannya dengan seorang publik figur yang merupakan putri bungsu salah satu politikus ternama, Rena juga cukup tahu banyak tentang sepak terjang seorang Andreas Pramoedya.

Menjadi salah satu karyawan terlama di Ciputra, sebuah perusahaan manufaktur berbasis food and beverage, membuat Rena dapat menyaksikan langsung perjalanan Andreas Pramoedya dari awal pria itu memulai karir sebagai manajer keuangan, hingga berujung pada peningkatan jabatannya yang pesat sebagai salah satu jajaran dewan elit direksi.

Namun bukan hal itu yang menjadikan sosok Andreas begitu melekat di ingatan hampir semua pegawai di tempat ini, tak terkecuali bagi Rena sendiri. Melainkan bagaimana sikap penuh kontroversi yang selalu dilakoni pria itu sejak awal ia menginjakkan kaki sebagai kepala divisi di salah satu departemen yang dipegangnya. 

Mulai dari melakukan kudeta untuk menjatuhkan beberapa komisaris dan dewan direksi yang diduga bermain kotor menggelapkan uang perusahaan, membongkar habis produktivitas dan kinerja karyawan yang tercatat kurang berkompeten, sehingga mengakibatkan terjadinya PHK besar-besaran, sampai yang paling melekat erat di ingatan Rena adalah sikap angkuh nan dingin yang sudah menempel erat pada kepribadiannya.

Intinya, Andreas Pramoedya adalah sosok yang ikonik di ingatan siapa saja yang mengenal pria itu, sekaligus menjadi mimpi buruk tersendiri bagi mereka yang berseberangan dengannya.

Dan terlibat dengan orang-orang seperti itu adalah hal yang sudah pasti ingin dihindari oleh Rena. Kehidupannya selama ini sudah lebih dari kata sulit, ia tak ingin menambah drama baru jika suatu saat bersinggungan dengan manusia sejenis Andreas Pramoedya atau siapapun yang selevel dengannya. Karena bagi orang dengan tampuk kekuasaan seperti mereka, menghancurkan hidup orang lain sama mudahnya dengan menginjak semut di pinggir jalan. 

***

"Ayolah, Ren. Acara besar ini hanya setahun sekali, masa kamu nggak tertarik menyempatkan waktu buat hadir?" 

Rena terus menyuapi makan siangnya, berusaha mengabaikan rengekan Mala yang sedari tadi berkeras mengintilinya dari ruang divisi sampai ke kafetaria kantor dengan bujukan yang sama. Agar ia turut hadir di acara ulang tahun perusahaan yang rutin dirayakan menjelang akhir tahun malam nanti.

"Ada atau nggaknya aku di sana, nggak ada pengaruhnya juga. Jadi kamu nggak perlu ngotot maksa aku buat ikut."

Mala makin mencebik tak senang mendengar itu. "Tahun lalu kamu juga menolak hadir. Oh, yang dua tahun kemarin juga kamu nggak bisa hadir. Apa susahnya ikut datang bersenang-senang menikmati acara, sih, Ren? Itu saat paling bagus buat kita mencari koneksi sebanyak-banyaknya. Syukur, kalau bisa punya kesempatan naik jabatan."

Rena ingin mencibir motivasi yang ada di pikiran gadis di depannya. Sangat omong kosong sekali kalau seorang Nirmala Rahayu datang ke acara sebesar perayaan ulang tahun perusahaan dengan niat sedangkal itu. Ibarat ada udang di balik bakwan, Rena bisa menduga bahwa ia justru punya agenda lain mengincar pria-pria potensial untuk dijadikan target pacar idealnya. Syukur-syukur kalau nanti dapat diajak serius ke pelaminan.

Perbedaan prinsip di antara mereka seperti inilah yang memicu Rena agar tak perlu mengiyakan ajakan Mala ke acara atau pesta manapun. Bahkan ketika divisi mereka berhasil mencapai target bulanan penjualan, dan memutuskan membuat perayaan kecil-kecilan dari keberhasilan itu, Rena lebih memilih mengurung diri beristirahat di kontrakan mungilnya daripada harus begadang ikut karaokean dan minum-minum di kafe bar bersama para rekan sejawat.

Sejak dulu, Rena sudah ditempa keadaan untuk mendedikasikan hidup sepenuhnya pada kerja keras dan kebutuhan finansial keluarganya. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, punggungnya harus cukup kuat memikul tanggungjawab yang tak bisa terbilang ringan. Semua makin terasa rumit ketika lelaki satu-satunya di keluarga mereka, yang juga berperan sebagai tulang punggung mencari nafkah, harus berpulang dalam keadaan menyedihkan, meninggalkan hutang yang tak sedikit jumlahnya kepada sang istri dan anak-anak.

Maka meluangkan waktu bersenang-senang dengan orang lain adalah pilihan terakhir yang Rena inginkan. Bahkan ia tak dapat mengingat lagi kapan terakhir kali mempunyai waktu khusus bersantai untuk dirinya sendiri, karena di sepanjang 28 tahun perjalanan hidupnya, Serena Amerta hanya memusatkan tujuannya secara total dan utuh pada pekerjaan.

"Jadi kamu benar-benar nggak mau datang?" Mala bersama sikap keras kepalanya adalah sesuatu yang kadang sulit ditangani.

Rena mengedik bahu acuh tak acuh. "Ada strategi proyek pengembangan brand kopi robusta yang harus dikerjakan. Jadi aku akan lebih memilih lembur di kontrakan daripada ikut rencana menjaring koneksi sebanyak-banyaknya yang kamu tawarkan tadi."

Mala mencebik mendengar kalimat berbumbu sindiran halus itu. Sedangkan Rena yang menyaksikan muka cemberut Mala, hanya mengulum senyum geli dan kembali menyantap makan siang tersisa di piringnya.

Lagipula Rena masih punya masalah lain yang harus ia pikirkan. Setelah mendapat penolakan dari Bu Marisa dalam mengajukan pinjaman karyawan, Rena harus segera memutar otak mencari uang tambahan dalam membiayai prosedur cuci darah ibunya minggu ini. Tanggal gajian juga masih jauh dari jangkauan, jadi ia sendiri tidak mampu berharap banyak dari isi dompetnya yang tersisa.

"Menurut kamu Pak Andreas juga akan ikut hadir di acara malam nanti? Kamu tahu sendiri dia nggak pernah melewatkan acara perusahaan sekecil apapun itu. Apalagi di situasi yang mewajibkan Direktur Utama membawakan sambutan." Mala kini sudah mengganti topik pembicaraan yang lebih menarik minatnya, yaitu dengan mengajak Rena bergosip ria. Kebiasaan yang jujur saja malas dilakoni Rena, tapi sayang juga tak mampu ditolak karena orang-orang di lingkup kerjanya senang melakukan hal demikian, termasuk Mala.

"Istrinya baru meninggal dan dikuburkan tadi siang, apa yang kamu harapkan dari pria yang sedang berduka? Justru akan terlihat aneh kalau sampai dia memaksa muncul di saat yang salah dan mengundang perhatian orang banyak."

Mala menopang dagu seraya memutar sedotan dari gelas jus sirsak di tangannya. "Aku jadi penasaran, Ren, orang yang kelihatan tanpa empati kayak Pak Andreas memangnya bisa merasakan kehilangan? Setiap berpapasan di lobi kantor aja nggak ada satupun yang bisa baca suasana hatinya, saking terlalu minim ekspresi yang dia tampilkan."

"Dia juga manusia biasa. Kehilangan salah satu anggota keluarga pasti akan membuatnya terpukul," balas Rena menimpali.

"Tapi hubungan pernikahannya dengan Namira Sanjaya selama ini juga sama datarnya, Ren. Ya, memang sih hubungan mereka terlihat aman-aman aja di depan umum, nggak ada gosip miring apapun yang terendus oleh media sekitar. Tapi kebersamaan mereka masih cukup jauh dari kata harmonis."

Masih kukuh membahas topik yang sama, Mala melanjutkan. "Apalagi udah lima tahun menikah, dan Namira Sanjaya belum juga kelihatan bisa kasih Pak Andreas momongan. Kebayang nggak? Gimana tertekannya perempuan itu di tengah tuntutan dua keluarga besar terpandang sekelas Pramoedya dan Sanjaya. Apa jangan-jangan itu juga, ya, yang jadi alasan perempuan seanggun Namira memilih pelarian ke minuman keras dan justru berakhir menabrakkan diri---" 

Rena spontan mendelik tajam memotong apapun omong kosong yang ingin diteruskan Mala, sehingga gadis itu secara refleks mengatup rapat-rapat mulutnya usai mendapati tatapan setengah mematikan tersebut. Inilah salah satu hal yang tidak disukai Rena dari kegiatan menggosip. Terlalu mudah menciptakan prasangka buruk pada orang lain tanpa mengetahui dengan pasti latar belakang apa yang menaunginya.

Bermain asumsi tentang kehidupan seseorang yang belum tentu terbukti kebenarannya, justru akan berujung pada sebuah fitnah. Sedangkan jika asumsi itu terbukti benar, justru hanya akan melahirkan ghibah. Sama sekali tidak ada hal positif menguntungkan yang bisa didapatkan dari mengurusi kehidupan orang lain. 

"Daripada sibuk membahas kehidupan Pak Andreas dan almarhumah istrinya, lebih baik kamu fokus habiskan makan siang kamu yang masi tersisa setengah piring itu, karena waktu istirahat kita tinggal lima menit lagi."

Tak ingin membantah kalimat mutlak gadis sesensitif Rena, Mala hanya bergumam mengiyakan seraya menyuap nasi dan lauk miliknya dengan wajah tertekuk masam.

Bab terkait

  • Head Over Heels   5. Duka Tanpa Air Mata

    Rena tahu seharusnya ia tidak perlu melibatkan diri ikut hadir di sini, berada di tengah keramaian tamu undangan dengan balutan pakaian mahal, bukanlah hal yang ia inginkan. Tapi kegigihan Mala ternyata jauh lebih besar mengalahkan seluruh rasa enggannya. Gadis itu bahkan tanpa segan mengusik sisa hari sibuknya dengan beberapa kali mengirimkan pesan teror sejak jam pulang kantor, mengatakan secara berulang bahwa ia akan memaksa Rena turut hadir di acara ulang tahun perusahaan dengan cara apapun. Bahkan jika perlu membopongnya langsung dengan piyama tidur dan sandal jepit dari rumah kontrakannya, Mala akan melakukan hal itu dengan sukarela. Rena pikir pesan mengganggu tersebut hanyalah bentuk ancaman kosong belaka, maka ia tak terlalu ambil pusing dari semua teror chat yang masuk memenuhi kontaknya setiap setengah jam sekali. Memilih membuka laptop usai membersihkan diri dari tubuh kotor dan rasa penat, ia justru berniat melanjutkan pekerjaan di layar kerja offi

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-17
  • Head Over Heels   6. Konfrontasi

    "Bagaimana keadaan Ibu sekarang?" tanya Rena tanpa berbasa-basi begitu panggilan ke nomor yang dituju berhasil diangkat di seberang sana. Seraya bersandar pada wastafel panjang berbahan marmer di belakangnya, Rena mengatur napas dan kerja normal jantungnya usai diberi serangan panik dari pesan kiriman Kayla yang baru saja masuk ke ponselnya. Suasana toilet convention hall yang ia masuki, terbilang cukup sunyi. Hingga membantunya memberi sedikit privasi dalam pembicaraan khusus ini bersama sang adik. Masih terlihat jelas sisa peluh di sekitar dahi Rena saat ia dipaksa berlari keluar dari aula acara untuk menelepon Kayla, setelah sebelumnya gadis itu mengiriminya kabar lewat pesan chat tentang keadaan ibu mereka yang sempat drop dan dilarikan ke rumah sakit sore tadi. Serangan kekhawatiran mendadak itulah yang membuat Rena bangkit tergesa dari kursinya dan segera berlari kesetanan menuju pintu masuk ruang balairung, mengabaikan pertanyaan Mas Tian dan yang lain s

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-17
  • Head Over Heels   7. Kegilaan Tak Terduga

    Selama dua puluh delapan tahun hidup di dunia yang terbiasa memandangnya sebelah mata, Rena tak pernah merasa terhina lebih dari ini. Perkataan Andreas Pramoedya yang masih terngiang-ngiang di telinganya seolah menjadi tikaman tajam yang mengoyak harga dirinya hingga tak tersisa, melucuti kehormatannya sampai ke titik paling rendah dan hina. Rena tahu, tindakan lancang mendengarkan pembicaraan privasi orang lain, apalagi jika menyangkut bagian yang begitu sensitif bagi pemiliknya, bukan hal terpuji dan mungkin dianggap jauh dari kata sopan. Tapi selancang apapun perilaku yang diperlihatkan Rena barusan, bukan alasan yang tepat bagi seseorang seperti Andreas memuntahkan kalimat penghakiman penuh hinaan semacam itu. Bahkan menganggapnya sebagai manusia menjijikkan setara dengan kotoran di pinggir jalan. Ia hanya tidak sengaja melakukan satu kesalahan menyinggung ranah pribadi pria itu, tapi respon yang justru ia terima harus mengantarkannya pada penghinaan terendah yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-17
  • Head Over Heels   8. Mereka yang Ditinggalkan

    Andreas menatap lurus gundukan tanah gembur kemerahan tepat di bawahnya. Matahari yang semakin merangkak naik, belum juga membuat pria itu tergerak beranjak dari tempat semula. Sekalipun orang-orang yang mengikuti prosesi singkat ibadah pelepasan ini, satu-persatu mulai meninggalkan area pemakaman usai mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga dekat yang ditinggalkan, Andreas rupanya masih memilih bergeming diam di sana. Berdiri tegak menenggelamkan kedua tangan ke saku celana, tanpa melepaskan perhatian sedikitpun dari nama yang terukir pada nisan kayu di depan. Namira Sanjaya. Kelahiran 14 Februari 1989. Meninggal 7 Juli 2018. Dari balik kacamata hitam membingkai wajahnya, mata tajam lelaki itu meneliti tiap baris kalimat yang baru saja terpahat rapi di sana. Sungguh waktu 29 tahun yang teramat singkat dan sia-sia, karena wanita itu justru memilih menutupnya dengan akhir yang begitu tragis d

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-17
  • Head Over Heels   9. Terjebak

    Sebut saja Serena sudah gila, atau mungkin saja ia memang benar-benar gila. Tapi rasa puas di dadanya begitu berhasil memberi pelajaran brutal pada lelaki yang sudah basah kuyup akibat siraman air mineral yang ia lemparkan, menciptakan sensasi kemenangan tersendiri yang tak pernah Rena duga.Meskipun bagian dari logika di kepalanya berteriak agar segera menghentikan semua kegilaan ini, karena setelah semua kenekatan yang gadis itu timbulkan, berkemungkinan besar akan menciptakan petaka baru di hidupnya usai malam ini berlalu. Namun sekali lagi, pengaruh alkohol yang menguasai setengah kewarasan Rena, menyebabkan pikiran dan tindakannya menjadi tidak sinkron.Terlepas dari amarah dan kebencian pada sosok angkuh di hadapannya, Rena tidak boleh melupakan fakta penting tentang posisi pria yang baru saja diguyurnya dengan sebotol air mineral tersebut. Jika berada dalam kondisi normal---tentu saja bersamaan dengan kesadaran penuh seperti biasa, mungkin Rena akan mengutuk hab

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-23
  • Head Over Heels   10. Pria Setengah Waras

    Rena mengumpat keras saat laju mobil yang menggila di jalan bebas hambatan ini, semakin menambah rasa pusing di kepalanya. Usus di perutnya serasa melilit, ingin berontak memuntahkan apapun yang sempat singgah di sana. Terlebih efek alkohol keparat yang mendominasi setengah kesadarannya, justru semakin menambah perasaan tersiksa gadis itu.Sangat berbanding terbalik dengan pria yang sibuk menyetir di sampingnya. Andreas justru tak menampilkan perasaan terganggu sedikitpun, meski entah sudah berapa kali makian dan umpatan Rena menggema mengisi ruang besi sempit ini. Berbagai macam kutukan dan nama-nama hewan tak lupa ia sematkan di sepanjang jalan, semenjak Andreas menariknya paksa keluar dari pelataran parkir gedung acara perusahaan diselenggarakan.Setelah menciptakan drama yang luar biasa mengguncang bagi beberapa orang yang menyaksikan ciuman panas mereka---ralat, maksudnya ciuman panas sepihak Andreas, Rena harus kembali disuguhi masalah baru ketika pria gila itu m

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-24
  • Head Over Heels   11. Sebelum Badai

    Dibandingkan dengan apartemen bertipe studio dan tipe satu kamar tidur yang paling sering dihuni para kalangan menengah ke bawah, ruangan besar yang tersaji di hadapannya ini jauh lebih luas berkali-kali lipat dibandingkan hunian apartemen biasa pada umumnya. Desain langit-langit tinggi dan bukaan jendela besar membentangkan horizon, semakin menambah kesan lapang dari interior di dalam ruangan.Rena mengedar pandangan ke ruang tamu yang didominasi aksen monokrom modern hitam dan putih tersebut. Sedikit sentuhan vintage lampu gantung dan ornamen lukisan dinding, memberikan perpaduan klasik modern yang saling selaras. Di tengah ruangan pula, terdapat meja bundar berunsur logam dan sofa berbahan kulit yang melingkarinya, sehingga tak henti-henti membuat gadis itu berdecak kagum di dalam hati.Untuk ukuran seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya dan tidur di atas lantai marmer seharga ginjal, merasa was-was mendengar bunyi token listrik akibat tunggaka

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-24
  • Head Over Heels   12. Perkara Baru

    "Ya, ampun, Ren! Astaga, Ren! Kamu kemana aja, sih? Kamu tahu aku sampai migren pusing tujuh keliling cuma buat nyari---" Rena menjauhkan sedikit ponsel dari telinga sesaat suara lantang dan histeris Mala melengking di seberang panggilan, sekejap setelah gadis itu mendapati Rena sendiri yang menghubunginya dengan nomor asing entah milik siapa. Setelah pergulatan dan kemelut yang menambah sakit kepalanya, Rena memutuskan untuk membagi kegusaran ini dengan orang lain yang bisa dipercaya, karena mungkin saja kepalanya bisa meledak detik itu juga kalau terus dipaksakan menanggung beban ini sendirian. Dan Mala adalah satu-satunya orang yang sekarang ini mampu ia pikirkan. "Aku lagi di keadaan yang nggak membutuhkan omelan panjang lebar kamu, Mal. Jadi tahan dulu apapun yang menjadi pertanyaan histeris kamu itu, karena ada keadaan yang jauh lebih mendesak." "Ma-maaf, Ren," cicit Mala yang mulai menurunkan volume suaranya. "Aku cuma ... Ya, kamu tahu,

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-25

Bab terbaru

  • Head Over Heels   64. Rasa yang Tak Terhindarkan

    "Sejak awal Ciputra dibangun oleh Pak Mateo Pramoedya dan Pak Tama Hudoyo, kakek saya, branding kuat terhadap kepercayaan masyarakat dan kepercayaan investor tidak dipungkiri adalah salah satu kunci utama bagaimana Ciputra bisa bertahan sejauh sekarang.""Sudah menjadi tugas mutlak bagi setiap eksekutif mengemban tanggung jawab itu tanpa cela. Kegagalan dalam memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalitas pekerjaan, adalah kesalahan yang tidak boleh ditoleransi dengan mudahnya. Apalagi jika hal tersebut sudah berdampak besar merugikan perusahaan, seperti menghadirkan pemberitaan buruk media dan kehebohan masyarakat yang merusak citra perusahaan, serta penurunan saham yang cukup signifikan di pasar modal.""Maka dari itu, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap pimpinan, keputusan pemberhentian sementara ini saya rasa harus juga mempertimbangkan keadilan yang lebih merata. Dan tentunya dengan sanksi setegas-tegasnya, agar ke depan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.

  • Head Over Heels   63. Kesalahan yang Sama

    Taman samping dengan saung kayu jati dinaungi pohon-pohon flamboyan berbunga cukup rindang, selalu menjadi tempat ternyaman Mateo menghabiskan sisa senja untuk mengusir suntuk. Entah hanya sekedar membaca beberapa lembar halaman buku falsafah hidup, mengikuti perkembangan berita terbaru dari layar mini tablet miliknya, atau sekedar memberi pakan pada kumpulan koi dalam kolam berundak batu alam seperti apa yang bisa Andreas lihat ketika ia mengayun langkah mendekat.Sebuah cerutu dengan asap mengepul terselip di bibir keriput lelaki tua itu, satu kebiasaan yang sulit hilang sekalipun paru-paru rentanya berteriak kewalahan. Andreas tak perlu heran darimana ia mewarisi kebiasaan candu menyecap batang nikotin setiap kali ia merasa kalut, mengingat kakeknya sendiri adalah pencetus nomor satu menurunkan kebiasaan memuja racun karsinogen itu.Derit kayu terdengar sesaat setelah Andreas ikut mendaratkan diri ke atas saung tempat Mateo masih bergeming duduk. Dirogohnya bungkusan rokok yang sel

  • Head Over Heels   62. Hantu Masa Lalu

    Rena mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang sudah menjadi tempatnya bermalam selama dua pekan belakangan. Menikmati momen-momen terakhir sebelum nanti ia kembali bergelung di kamar kontrakannya yang sempit, serta berbaur menghadapi kesibukan monoton dari balik meja kubikel kantor di keesokan hari. Rena mungkin akan sangat merindukan tempat ini. Bagaimanapun juga, waktu dua minggu yang ia habiskan, lebih dari cukup meninggalkan bekas nyata untuk ia ingat di kemudian hari. Mengembus napas panjang, gadis itu melipat selimut sebagai penutup dari usahanya membereskan kamar dan mengepak keperluannya untuk kembali ke Jakarta malam ini. Tidak banyak hal yang ia bawa, selain laptop bersama peralatan kerja lain dalam tas selempang kecilnya. Pakaian yang ia miliki pun hanyalah satu-satunya apa yang melekat di badan sewaktu hari pertama ia menginjakkan kaki ke villa ini. Di luar dari itu, mungkin hanya ada beberapa potongan baju yang sempat dibelikan Andreas se

  • Head Over Heels   61. Akhir Menyedihkan

    Penolakan bukan hal baru dalam hidupnya. Beberapa belas tahun lalu, ia pernah berada di titik serupa, bahkan dengan rasa sakit yang jauh lebih besar. Saking hebatnya goresan luka tak terlihat itu, ia nyaris tak bisa merasakan lagi apapun. Termasuk untuk sebuah penyesalan dan amarah sekalipun. Dan satu-satunya hal yang tersisa hanya perasaan hampa dan kosong. Jadi seharusnya semua berjalan baik-baik saja bukan? Belasan tahun tidur diselingi semua mimpi buruk itu, buktinya ia masih bisa bertahan sejauh sekarang. Terbiasa berkawan dengan kehilangan dan perasaan tak diinginkan bukanlah sesuatu yang akan membunuhnya. Ya, Andreas sudah cukup familiar dengan kesakitan seperti itu. Hanya saja kenapa kali ini rasa tak nyaman yang datang sukar sekali memilih sirna? Mematikan puntung rokok kedua, ia menyandarkan diri ke kursi penumpang tanpa melepaskan pandangan dari biasan lampu hilir-mudik kendaraan di luar sana. Embusan napas beratnya terdengar samar. Nyaris setengah jam perjalanan ia hab

  • Head Over Heels   60. Menepati Janji

    Rena terbangun dengan keadaan ruang terlampau gelap. Ia tidak yakin selama apa dirinya jatuh tertidur sampai baru kembali terjaga saat langit di luar telah menghitam menyongsong malam. Beringsut bangun, hal pertama yang ia lakukan adalah meraba dinding dan mencari saklar untuk mendapatkan penerangan. Kemudian dengan perlahan membawa tubuhnya menuju kamar mandi membersihkan diri. Langkah Rena terhenti di depan cermin dinding berukuran sedang, menggantung di atas wastafel berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi. Netranya terpancang pada jejak lembab dari bayangan wajah yang dipantulkan di depannya. Seulas senyum miris naik terukir membingkai raut yang memang sudah tampak kacau dan menyedihkan itu. Ah, rupanya tanpa sadar ia bahkan larut menangis dalam tidur. Bertumpu pada pinggiran wastafel, Rena memejam mata berusaha meluruhkan kembali gejolak sesak tersisa. Sejujurnya, ia mulai membenci diri sendiri. Perasaan lemahnya dan ketidakberdayaan dalam memegang

  • Head Over Heels   59. Pembuktian

    Benar. Mereka memang tidak lagi terbilang asing. Semua hal yang terjadi dua minggu belakangan, menjadi bukti nyata bahwa hubungan yang mengikat keduanya justru lebih dari itu. Apalagi saat nyatanya Rena sendiri sudah mulai menerobos batas-batas masa lalu Andreas yang jarang tersentuh siapapun. Melihat kepribadian sosok tersebut lebih dekat dari orang-orang kebanyakan. Menjadi saksi dari luka lama lelaki itu yang memilih terkubur rapat-rapat. Apa yang tidak akan mungkin dilakukan jika mereka benar-benar asing. Rena cukup tahu. Dan pada akhirnya ia juga menyadari alasan apa yang membuatnya merasa terusik ketika Andreas mengingatkan tentang waktu singkatnya di tempat ini. Awalnya ia pikir keengganan itu murni berasal dari perasaan tak rela karena harus berpisah dari Mbok Irma dan Pak Umar yang sudah ia anggap sebagai orang tua kedua. Atau perasaan keberatan setelah harus melepas suasana tenang dan damai villa ini. Bentuk kenyamanan yang mungkin tak akan ia jumpai di sudut padat

  • Head Over Heels   58. Bukan Orang Asing

    Rena melangkah menuju teras depan dengan kotak P3K melekat dalam pelukannya. Ia merasa seperti de javu karena mengulangi hal yang sama meski dengan situasi berbeda. Tapi tindakan spontannya kali ini murni didasari oleh kehendak hati sendiri, tak seperti sebelumnya yang dilatarbelakangi paksaan nurani. Di undakan tangga beranda, Andreas tampak duduk membelakangi pintu masuk. Tak lupa anak kucing yang sempat ia selamatkan di atas pohon tadi, ikut berbaring malas di sampingnya. Sesekali menyundulkan kepala berbulunya, ketika lelaki itu masih sibuk membersihkan bekas darah pada luka dan sisa-sisa rumput dengan selang dari keran air yang biasa digunakan Mbok Irma menyiram tanaman. Rena semakin merapatkan jarak. Ia bisa mendengar jelas bagaimana lelaki itu mendesis lirih karena sedikit rasa perih dari luka terbuka terkena sapuan air. "Apa cukup parah?" tanyanya, begitu sampai dua langkah dari posisi Andreas terduduk. Suara seseorang yang muncul tiba-t

  • Head Over Heels   57. Tak Ingin Berpaling

    "Saya belum sempat menyampaikan masalah ini sewaktu anda mendarat dari Makassar kemarin. Meskipun belum ada surat panggilan resminya, tapi beberapa anggota direksi mulai mendesak para komisaris untuk mengambil sanksi tegas atas tindakan konferensi pers anda minggu lalu, yang dianggap berpengaruh merusak nama baik perusahaan di mata masyarakat." Andreas membiarkan suara Lukman tetap terjangkau di telinganya seraya ia menuruni undakan tangga beranda. Berjalan menuju Alphard hitam miliknya yang terparkir di pekarangan. Semenjak turun dari mobil dengan terburu-buru semalam, ia sempat melupakan pengisi daya gawainya yang tertinggal pada dashboard di dalam sana. Selain itu, ada beberapa berkas penting dari hasil negosiasi sengketa tanah kebun kakao Sulawesi yang belum ia keluarkan dari mobil setiba di apartemen kemarin. "Para petinggi berencana sepakat melangsungkan rapat jajaran eksekutif untuk mengusulkan pemberhentian sementara anda sebagai Direktur Utama,

  • Head Over Heels   56. Tidak Seburuk Itu

    Rena tak mengerti. Ia sungguh-sungguh tak mengerti. Menghadapi segala perubahan sikap Andreas secara tiba-tiba dan tak terduga, terasa seperti mencemari logikanya. Mulai dari kemunculan dadakan lelaki itu semalam, pelukan mengejutkan yang ia berikan, tawaran gila untuk menjadikannya teman tidur, hingga perubahan sikap aneh lainnya pagi ini di meja makan.Semua menjadi sangat membingungkan untuk Rena cerna. Dan ia rasanya bisa mati berdiri jika menyimpan segala kemelut ini seorang diri. Untuk itu, mencari nama Mala di layar kontak adalah pelarian terbaik. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat membagi keresahannya. Tentu saja dengan sedikit improvisasi kebohongan agar tidak membocorkan identitas si sumber kekacauan."Ya apa lagi, Ren. Udah jelas, kan? Kalau sampai main peluk-peluk begitu, apalagi sempat nawarin buat bawa kamu ke ranjang, itu tandanya dia memang minat sama kamu."Rena mendengus kesal. "Aku udah bilang tawaran teman tidur yang dimaksud bukan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status