Dibandingkan dengan apartemen bertipe studio dan tipe satu kamar tidur yang paling sering dihuni para kalangan menengah ke bawah, ruangan besar yang tersaji di hadapannya ini jauh lebih luas berkali-kali lipat dibandingkan hunian apartemen biasa pada umumnya. Desain langit-langit tinggi dan bukaan jendela besar membentangkan horizon, semakin menambah kesan lapang dari interior di dalam ruangan.
Rena mengedar pandangan ke ruang tamu yang didominasi aksen monokrom modern hitam dan putih tersebut. Sedikit sentuhan vintage lampu gantung dan ornamen lukisan dinding, memberikan perpaduan klasik modern yang saling selaras. Di tengah ruangan pula, terdapat meja bundar berunsur logam dan sofa berbahan kulit yang melingkarinya, sehingga tak henti-henti membuat gadis itu berdecak kagum di dalam hati.
Untuk ukuran seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya dan tidur di atas lantai marmer seharga ginjal, merasa was-was mendengar bunyi token listrik akibat tunggaka
"Ya, ampun, Ren! Astaga, Ren! Kamu kemana aja, sih? Kamu tahu aku sampai migren pusing tujuh keliling cuma buat nyari---" Rena menjauhkan sedikit ponsel dari telinga sesaat suara lantang dan histeris Mala melengking di seberang panggilan, sekejap setelah gadis itu mendapati Rena sendiri yang menghubunginya dengan nomor asing entah milik siapa. Setelah pergulatan dan kemelut yang menambah sakit kepalanya, Rena memutuskan untuk membagi kegusaran ini dengan orang lain yang bisa dipercaya, karena mungkin saja kepalanya bisa meledak detik itu juga kalau terus dipaksakan menanggung beban ini sendirian. Dan Mala adalah satu-satunya orang yang sekarang ini mampu ia pikirkan. "Aku lagi di keadaan yang nggak membutuhkan omelan panjang lebar kamu, Mal. Jadi tahan dulu apapun yang menjadi pertanyaan histeris kamu itu, karena ada keadaan yang jauh lebih mendesak." "Ma-maaf, Ren," cicit Mala yang mulai menurunkan volume suaranya. "Aku cuma ... Ya, kamu tahu,
Rena mendongak saat mendengar derit pintu kamar terbuka dari arah koridor tak jauh di depan, sosok Andreas yang baru saja keluar dari dalam sana menyita kembali atensinya. Pria itu sudah tak lagi mengenakan setelan formal kemeja dan celana bahan yang tadi dipakainya di perayaan ulang tahun perusahaan, tapi sudah berganti kaos polo berkerah dan celana hitam berbahan katun sebagai pakaian santainya.Rambut yang masih basah dan aroma sampo yang menguar di baliknya, menunjukkan bahwa Andreas secara total membersihkan seluruh badannya dari kepenatan. Berjalan santai, lelaki itu menghampiri sofa tempat Rena masih duduk membungkam. Sebelah tangannya menenteng seprai bercorak garis dan sepasang piyama berwarna biru tua. Yang kemudian diletakkan ke atas meja bundar, tepat di hadapan Rena."Ada selimut tambahan di lemari gantung kamar tamu yang bisa dipakai kalau kamu memang berniat tidur di sana. Dan untuk pakaian ganti, kamu bisa pakai piyama Namira."Rena melirik
Mala memperhatikan dalam diam Rena yang masih membungkam duduk di sampingnya. Semenjak kendaraan yang dikemudikannya melaju meninggalkan apartemen puluhan lantai yang sempat membuatnya jantungan ketika mengetahui siapa yang tinggal di sana, rekan kerjanya itu masih saja menampilkan raut yang sama. Mengatup bibir rapat-rapat, dengan pandangan kosong menatap keluar kaca mobil cooper yang tengah melaju.Bahkan saat pertama kali Mala menjumpainya di pintu masuk apartemen tersebut, Rena hanya mengulas senyum samar diiringi ucapan terima kasih sekilas karena ia sudah mau merepotkan diri datang sejauh ini menjemputnya. Kemudian tanpa mengundangnya dalam pembicaraan basa-basi apapun, gadis itu sudah berjalan lebih dulu mendahului Mala."Kamu ... baik-baik saja?" putus Mala akhirnya, memilih bertanya setelah kesenyapan yang menggantung cukup lama di antara mereka. Ia tidak bisa terus menyetir dalam keadaan luar biasa canggung seperti ini."Nggak." Diluar dugaan, Rena jus
Rena kembali menyampingkan tubuh menghadap ke sisi kiri, setelah posisi tidur sebelumnya tak membantu banyak untuk ia terlelap. Waktu yang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, masih belum mampu memanggil rasa kantuk membawanya berlabuh ke dunia mimpi. Ia masih terjaga di tempat tidur bersamaan dengan perasaan gusar yang sedari tadi menggelayut di dada.Usai kepergian Mala beberapa jam lalu setelah menurunkannya di depan kontrakan, hal pertama yang Rena lakukan ketika memasuki kamar adalah melemparkan tubuh letihnya ke atas kasur, menelungkup menenggelamkan seluruh wajahnya ke permukaan bantal demi mengurai sedikit saja sesak yang ada.Ia bahkan mengabaikan dress putih brokat yang masih melekat di tubuh penatnya. Memberi sedikit ruang untuk setiap rasa lelah dan pikiran carut-marut mendapatkan pelepasan sekilas. Namun apa yang ia cari selama berjam-jam waktu bergulir itu, tak kunjung menemui titik terang. Alhasil, ketika malam semakin beranjak larut hingga menjelang
"Kay udah bilang kemarin-kemarin, untuk kali ini biar jadwal cuci darah Ibu jadi tanggung jawab Kay dulu. Mbak Rena nggak perlu memaksakan diri kalau memang sedang kosong. Uangnya mungkin hanya cukup untuk dua sesi hemodialisis, tapi setidaknya bisa sedikit berguna daripada nggak sama sekali, kan? Nanti untuk pengobatan Ibu berikutnya, baru kita pikirkan kembali dengan cara lain."Rena meneruskan langkah menyusuri trotoar dari perhentian bus yang dinaikinya, seraya mengapit ponsel yang terhubung dengan sang adik erat-erat di telinga. "Mbak cuma merasa gagal sebagai kakak kalau membiarkan kamu bertanggung jawab pada apa yang belum seharusnya jadi bagian kamu.""Sejak kapan berbakti pada orang tua harus terkotakkan menjadi bagian siapa yang boleh dan enggak? Lagian Kay bukan lagi anak kecil, Mbak. Pekerjaan sampingan yang Kay ikuti punya penghasilan lumayan untuk membantu tanpa membuat Kay merasa terbebani, apalagi sampai mangkrak dari kewajiban kuliah kalau itu hal yang
Meskipun tidak dilakukan secara terang-terangan, Rena masih bisa merasakan tatapan penuh minat dan ingin tahu dari orang-orang yang tanpa sengaja berpapasan dengannya, terhitung sepanjang jalan ia kembali ke ruang marketing sehabis jam makan siang.Keberadaan Mala sebagai teman makan yang ia akrabi satu-satunya di divisi ini juga terpaksa absen menemaninya karena dua jam sebelum waktu istirahat, gadis itu harus disibukkan oleh pertemuan dengan klien agensi periklanan, bekerjasama merealisasikan promosi peluncuran brand makanan ringan yang sedang timnya kerjakan. Alhasil, berakhir sendirian menyantap sepiring soto betawi dan jus alpukat di kafetaria adalah pilihan yang Rena lakukan.Toh, sebelum-sebelumnya ia juga memang terbiasa makan siang sendirian. Lingkup pertemanan cukup sempit sebelum bertemu Mala, menjadikannya sosok penyendiri dan minim pergaulan. Padahal pekerjaan yang ia tekuni saat ini adalah bidang yang berpeluang tinggi mewajibkannya berinteraksi den
Jika orang itu bukan Namira Sanjaya, mantan bintang ternama yang pernah begitu bersinar bahkan sehari sebelum memutuskan waktu pensiunnya di dunia hiburan, mungkin situasinya tidak akan sesulit ini.Jika orang itu bukan Andreas Pramoedya, keturunan salah satu raksasa bisnis manufaktur, yang juga merupakan suami seorang Namira Sanjaya dan sekaligus menantu politikus tersohor, mungkin neraka itu tidak akan semengerikan ini.Jika nama Pramoedya dan Sanjaya hanya sekedar nama keluarga biasa, tanpa diiringi embel-embel jabatan, kekuasaan, martabat, dan atensi orang banyak, mungkin mimpi buruk menakutkan yang menjelma menjadi kenyataan tidak akan terasa semenyiksa ini.Betapapun banyak pengandaian yang Rena canangkan, tetap saja nasi yang sudah terlanjur menjadi bubur, tak dapat menyelamatkan hidupnya dari kematian kedua. Seberapa pun kuat Rena berkeras membangunkan diri dari cengkraman mimpi buruk, luka yang terlanjur menyembilu perih di hati seolah menjadi alarm kes
"Bagaimana tanggapan anda tentang skandal ciuman yang telah menyebar luas di media massa, Pak?""Siapa identitas perempuan yang ikut terlibat bersama anda dalam pemberitaan panas ini?""Ada info lainnya mengatakan bahwa sosok wanita itu adalah karyawan di kantor anda sendiri, mengingat kejadian tersebut terjadi pada saat ulang tahun perusahaan Ciputra. Tolong dikonfirmasi kebenarannya, Pak!""Kenapa anda memutuskan hadir di acara perusahaan bertepatan di mana seharusnya anda berkabung untuk kematian istri anda?""Apa dugaan bunuh diri dari kematian istri anda ada hubungannya dengan isu orang ketiga dalam rumah tangga kalian? Tolong dijawab, Pak!""Pak Andreas!""Kasih kami konfirmasi dari berita simpang siur ini, Pak!""Pak Andreas!"Andreas terus mengunci rapat bibirnya dari banyak sorot kamera dan mikrofon wartawan yang terulur berkerubung untuk mengejar penjelasan. Beruntung, pihak keamanan kantor yang dihubungi Lukman sebel
"Sejak awal Ciputra dibangun oleh Pak Mateo Pramoedya dan Pak Tama Hudoyo, kakek saya, branding kuat terhadap kepercayaan masyarakat dan kepercayaan investor tidak dipungkiri adalah salah satu kunci utama bagaimana Ciputra bisa bertahan sejauh sekarang.""Sudah menjadi tugas mutlak bagi setiap eksekutif mengemban tanggung jawab itu tanpa cela. Kegagalan dalam memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalitas pekerjaan, adalah kesalahan yang tidak boleh ditoleransi dengan mudahnya. Apalagi jika hal tersebut sudah berdampak besar merugikan perusahaan, seperti menghadirkan pemberitaan buruk media dan kehebohan masyarakat yang merusak citra perusahaan, serta penurunan saham yang cukup signifikan di pasar modal.""Maka dari itu, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap pimpinan, keputusan pemberhentian sementara ini saya rasa harus juga mempertimbangkan keadilan yang lebih merata. Dan tentunya dengan sanksi setegas-tegasnya, agar ke depan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.
Taman samping dengan saung kayu jati dinaungi pohon-pohon flamboyan berbunga cukup rindang, selalu menjadi tempat ternyaman Mateo menghabiskan sisa senja untuk mengusir suntuk. Entah hanya sekedar membaca beberapa lembar halaman buku falsafah hidup, mengikuti perkembangan berita terbaru dari layar mini tablet miliknya, atau sekedar memberi pakan pada kumpulan koi dalam kolam berundak batu alam seperti apa yang bisa Andreas lihat ketika ia mengayun langkah mendekat.Sebuah cerutu dengan asap mengepul terselip di bibir keriput lelaki tua itu, satu kebiasaan yang sulit hilang sekalipun paru-paru rentanya berteriak kewalahan. Andreas tak perlu heran darimana ia mewarisi kebiasaan candu menyecap batang nikotin setiap kali ia merasa kalut, mengingat kakeknya sendiri adalah pencetus nomor satu menurunkan kebiasaan memuja racun karsinogen itu.Derit kayu terdengar sesaat setelah Andreas ikut mendaratkan diri ke atas saung tempat Mateo masih bergeming duduk. Dirogohnya bungkusan rokok yang sel
Rena mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang sudah menjadi tempatnya bermalam selama dua pekan belakangan. Menikmati momen-momen terakhir sebelum nanti ia kembali bergelung di kamar kontrakannya yang sempit, serta berbaur menghadapi kesibukan monoton dari balik meja kubikel kantor di keesokan hari. Rena mungkin akan sangat merindukan tempat ini. Bagaimanapun juga, waktu dua minggu yang ia habiskan, lebih dari cukup meninggalkan bekas nyata untuk ia ingat di kemudian hari. Mengembus napas panjang, gadis itu melipat selimut sebagai penutup dari usahanya membereskan kamar dan mengepak keperluannya untuk kembali ke Jakarta malam ini. Tidak banyak hal yang ia bawa, selain laptop bersama peralatan kerja lain dalam tas selempang kecilnya. Pakaian yang ia miliki pun hanyalah satu-satunya apa yang melekat di badan sewaktu hari pertama ia menginjakkan kaki ke villa ini. Di luar dari itu, mungkin hanya ada beberapa potongan baju yang sempat dibelikan Andreas se
Penolakan bukan hal baru dalam hidupnya. Beberapa belas tahun lalu, ia pernah berada di titik serupa, bahkan dengan rasa sakit yang jauh lebih besar. Saking hebatnya goresan luka tak terlihat itu, ia nyaris tak bisa merasakan lagi apapun. Termasuk untuk sebuah penyesalan dan amarah sekalipun. Dan satu-satunya hal yang tersisa hanya perasaan hampa dan kosong. Jadi seharusnya semua berjalan baik-baik saja bukan? Belasan tahun tidur diselingi semua mimpi buruk itu, buktinya ia masih bisa bertahan sejauh sekarang. Terbiasa berkawan dengan kehilangan dan perasaan tak diinginkan bukanlah sesuatu yang akan membunuhnya. Ya, Andreas sudah cukup familiar dengan kesakitan seperti itu. Hanya saja kenapa kali ini rasa tak nyaman yang datang sukar sekali memilih sirna? Mematikan puntung rokok kedua, ia menyandarkan diri ke kursi penumpang tanpa melepaskan pandangan dari biasan lampu hilir-mudik kendaraan di luar sana. Embusan napas beratnya terdengar samar. Nyaris setengah j
Rena terbangun dengan keadaan ruang terlampau gelap. Ia tidak yakin selama apa dirinya jatuh tertidur sampai baru kembali terjaga saat langit di luar telah menghitam menyongsong malam. Beringsut bangun, hal pertama yang ia lakukan adalah meraba dinding dan mencari saklar untuk mendapatkan penerangan. Kemudian dengan perlahan membawa tubuhnya menuju kamar mandi membersihkan diri. Langkah Rena terhenti di depan cermin dinding berukuran sedang, menggantung di atas wastafel berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi. Netranya terpancang pada jejak lembab dari bayangan wajah yang dipantulkan di depannya. Seulas senyum miris naik terukir membingkai raut yang memang sudah tampak kacau dan menyedihkan itu. Ah, rupanya tanpa sadar ia bahkan larut menangis dalam tidur. Bertumpu pada pinggiran wastafel, Rena memejam mata berusaha meluruhkan kembali gejolak sesak tersisa. Sejujurnya, ia mulai membenci diri sendiri. Perasaan lemahnya dan ketidakberdayaan dalam memegang
Benar. Mereka memang tidak lagi terbilang asing. Semua hal yang terjadi dua minggu belakangan, menjadi bukti nyata bahwa hubungan yang mengikat keduanya justru lebih dari itu. Apalagi saat nyatanya Rena sendiri sudah mulai menerobos batas-batas masa lalu Andreas yang jarang tersentuh siapapun. Melihat kepribadian sosok tersebut lebih dekat dari orang-orang kebanyakan. Menjadi saksi dari luka lama lelaki itu yang memilih terkubur rapat-rapat. Apa yang tidak akan mungkin dilakukan jika mereka benar-benar asing. Rena cukup tahu. Dan pada akhirnya ia juga menyadari alasan apa yang membuatnya merasa terusik ketika Andreas mengingatkan tentang waktu singkatnya di tempat ini. Awalnya ia pikir keengganan itu murni berasal dari perasaan tak rela karena harus berpisah dari Mbok Irma dan Pak Umar yang sudah ia anggap sebagai orang tua kedua. Atau perasaan keberatan setelah harus melepas suasana tenang dan damai villa ini. Bentuk kenyamanan yang mungkin tak akan ia jumpai di sudut padat
Rena melangkah menuju teras depan dengan kotak P3K melekat dalam pelukannya. Ia merasa seperti de javu karena mengulangi hal yang sama meski dengan situasi berbeda. Tapi tindakan spontannya kali ini murni didasari oleh kehendak hati sendiri, tak seperti sebelumnya yang dilatarbelakangi paksaan nurani. Di undakan tangga beranda, Andreas tampak duduk membelakangi pintu masuk. Tak lupa anak kucing yang sempat ia selamatkan di atas pohon tadi, ikut berbaring malas di sampingnya. Sesekali menyundulkan kepala berbulunya, ketika lelaki itu masih sibuk membersihkan bekas darah pada luka dan sisa-sisa rumput dengan selang dari keran air yang biasa digunakan Mbok Irma menyiram tanaman. Rena semakin merapatkan jarak. Ia bisa mendengar jelas bagaimana lelaki itu mendesis lirih karena sedikit rasa perih dari luka terbuka terkena sapuan air. "Apa cukup parah?" tanyanya, begitu sampai dua langkah dari posisi Andreas terduduk. Suara seseorang yang muncul tiba-t
"Saya belum sempat menyampaikan masalah ini sewaktu anda mendarat dari Makassar kemarin. Meskipun belum ada surat panggilan resminya, tapi beberapa anggota direksi mulai mendesak para komisaris untuk mengambil sanksi tegas atas tindakan konferensi pers anda minggu lalu, yang dianggap berpengaruh merusak nama baik perusahaan di mata masyarakat." Andreas membiarkan suara Lukman tetap terjangkau di telinganya seraya ia menuruni undakan tangga beranda. Berjalan menuju Alphard hitam miliknya yang terparkir di pekarangan. Semenjak turun dari mobil dengan terburu-buru semalam, ia sempat melupakan pengisi daya gawainya yang tertinggal pada dashboard di dalam sana. Selain itu, ada beberapa berkas penting dari hasil negosiasi sengketa tanah kebun kakao Sulawesi yang belum ia keluarkan dari mobil setiba di apartemen kemarin. "Para petinggi berencana sepakat melangsungkan rapat jajaran eksekutif untuk mengusulkan pemberhentian sementara anda sebagai Direktur Utama,
Rena tak mengerti. Ia sungguh-sungguh tak mengerti. Menghadapi segala perubahan sikap Andreas secara tiba-tiba dan tak terduga, terasa seperti mencemari logikanya. Mulai dari kemunculan dadakan lelaki itu semalam, pelukan mengejutkan yang ia berikan, tawaran gila untuk menjadikannya teman tidur, hingga perubahan sikap aneh lainnya pagi ini di meja makan.Semua menjadi sangat membingungkan untuk Rena cerna. Dan ia rasanya bisa mati berdiri jika menyimpan segala kemelut ini seorang diri. Untuk itu, mencari nama Mala di layar kontak adalah pelarian terbaik. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat membagi keresahannya. Tentu saja dengan sedikit improvisasi kebohongan agar tidak membocorkan identitas si sumber kekacauan."Ya apa lagi, Ren. Udah jelas, kan? Kalau sampai main peluk-peluk begitu, apalagi sempat nawarin buat bawa kamu ke ranjang, itu tandanya dia memang minat sama kamu."Rena mendengus kesal. "Aku udah bilang tawaran teman tidur yang dimaksud bukan