Rena tak pernah menduga bahwa kedatangan pria bernama Lukman Atmaja ke ruang kerjanya, dengan dalih membantu usaha meloloskan diri gadis itu dari sasaran kerumunan media, justru akan kembali menyeret Rena pada situasi yang membuat ia sekali lagi terjebak bersama sosok Andreas Pramoedya di ruang sempit ini.
Saat mengetahui bahwa pria dibalik kemudi yang akan membawanya pergi adalah orang yang sama sekali ingin coba ia hindari, hal pertama terlintas di pikiran Rena adalah keinginannya untuk nekat saja menerobos barisan para wartawan atau kembali naik ke atas, meminta Mas Tian dan Mala menjalankan rencana pelarian mereka seperti semula.
Namun belum sempat Rena berpikir untuk merealisasikan kehendak itu, Lukman yang melihat keterdiaman Rena karena enggan beranjak dari tempatnya, dengan sendirinya berinisiatif mendorong pelan gadis itu hingga terduduk paksa ke jok penumpang. Bahkan sempat melotot tajam ketika Rena baru saja ingin mengeluarkan protes tak terima, dan dengan
Dari jok depan, mata Rena menelusuri bangunan dua tingkat berwarna krem, dengan dominasi batu alam pada dinding-dinding pilar penyangga beranda yang tersaji di hadapannya. Gaya bangunan semi Belanda berunsur tropis karena banyak tanaman dedaunan hias atau tanaman berbunga terawat menjajari bagian depan dan teras villa, sedikit membuat Rena bisa bernapas lega karena artinya tempat tinggal ini masih terlihat manusiawi untuk ditinggali. Serta asumsi buruknya tentang adegan pembunuhan berencana langsung terpatahkan begitu saja. Lagipula mana ada pembunuh berdarah dingin yang doyan memelihara anggrek ataupun bonsai? Apalagi itu, beberapa koleksi tumbuhan monstera dan aglonemanya yang seharga kavling tanah sedang berbaris rapi di teras masuk, sontak membuat jiwa kriminal Rena ikut meronta-ronta ingin segera dibebaskan. Jika mencuri sudah dihalalkan, ia mungkin dapat memanfaatkan beberapa pot tanaman monstera itu untuk dijual menggantikan biaya cuci darah ibunya selama bebera
Rena tidak tahu persis kapan terakhir kali ia menyantap makanan rumahan khas tangan seorang ibu seperti ini. Keseringan hidup di rumah kontrakan, membuat Rena lebih banyak memanfaatkan lauk-pauk atau makanan lainnya yang ia beli dari luar.Mungkin masakan yang biasanya akan ia buat juga hanya seputaran menu biasa seperti nasi goreng ataupun olahan telur sejenisnya. Rena jarang menyisipkan waktu luangnya untuk membuat capcay, ikan goreng saus, dan sayur tumis kangkung semacam ini.Belum lagi sudah dua tahun tiap ia pulang ke Semarang, Rena hanya gantian berbagi tugas memasak dengan adiknya, Kayla. Mengingat kondisi ibu mereka yang mengharuskan wanita paruh baya itu tidak terlibat pekerjaan berat apapun yang beresiko memperparah keadaannya.Makanya saat melihat ragam menu masakan rumahan sudah tertata rapi di atas meja, Rena tanpa pikir panjang langsung mengambil piring dan menyendok nasi serta lauk-pauk yang ia butuhkan sebanyak mungkin. Menyantap dengan la
Baiklah, Rena ingin sekali merutuk sikap lemah hatinya yang mudah merasa tidak tega pada kesulitan siapapun yang berada di sekitar jangkauan matanya. Betapapun ia membenci sosok tersebut sedemikian rupa, namun mendustai empati yang sudah mendarah daging, bukan hal mudah untuk dilakukan.Sama seperti kebiasaannya yang harus merasa iba pada sang ayah tiap kali lelaki itu pulang dengan luka-luka serta memar, entah karena dikejar lintah darat akibat hutang judi menunggak, atau dikeroyok masyarakat karena selalu saja berulah tiap kali alkohol mengambil alih kesadarannya.Sebenci apapun Rena pada sosok itu oleh semua kekacauan hidup yang ia perbuat dan tinggalkan, sehingga kadang harus membuat dirinya dan sang Ibu kewalahan ikut membereskan dan mewakili permintaan maaf pada mereka yang dirugikan kelakukan ayahnya, tetap saja Rena tak bisa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang anak tiap kali melihat pria tua itu terkapar babak belur di teras rumah.
Tentu saja Rena menolak, atau lebih tepatnya ia berusaha menolak. Karena berada lebih lama dengan Andreas hanya akan memunculkan kegilaan-kegilaan lain dari sosok itu tanpa Rena duga. Tapi betapapun ia berusaha melepaskan diri dan menunjukkan muka mendelik tak terimanya, Andreas justru semakin mencengkram lengan kirinya lebih erat. "Kamu bisa melakukannya sendiri." Rena mulai tampak kehilangan kesabaran. "Tolong lepaskan saya." "Sayangnya saya menolak." Andreas masih mengeratkan pegangan tangannya, menampilkan raut tak berdosa andalannya. "Lagipula itu memang tugas kamu, kan? Karena kamu sendiri yang sukarela melemparkan diri tanpa saya minta." Jawaban itu semakin membuat mata Rena membola lebar karena kesal. Andreas sangat lihai memanfaatkan situasi dengan mulut liciknya. Keduanya masih terus berkeras pada pendirian masing-masing. Hingga aksi saling tarik itu bertahan cukup lama, sampai suara dehaman seseorang dari arah pintu menyela ketegangan d
Rena kembali menyalakan ponsel yang sengaja ia matikan sejak rencana menghindari wartawan bersama Mala dan Mas Tian tertunda oleh kedatangan asisten Andreas yang menjemputnya. Dua puluh panggilan tak terjawab dan belasan pesan masuk adalah hal pertama menyapa Rena di layar datar begitu benda pipih tersebut ia hidupkan. Lima pesan dan lima panggilan dari Mas Tian terlihat di sana. Selain dari itu, sisanya bisa ditebak sendiri milik siapa. Benar saja, sesaat setelah Rena menempelkan panggilan terhubung ponselnya ke telinga, tak butuh lebih dari tiga nada sambung sampai teleponnya langsung diangkat oleh penerima di seberang sana. Diikuti rempetan kalimat protes bertubi-tubi dari Mala, tentang betapa menyebalkan dirinya karena menghilang tanpa kabar selama berjam-jam. Sampai-sampai sulit dihubungi dengan nomor di luar jangkauan. Rena hanya bisa meringis bersalah dari seberang sini begitu tahu kecerobohannya telah membuat Mala dan Mas Tian jadi parno dan panik sendi
Send to Kayla : Kay, ada hal penting yang ingin Mbak bicarakan. Kamu bisa balas pesan ini kalau punya waktu luang, biar Mbak bisa telepon kamu nanti. Setelah melalui pertimbangan panjang semalaman, Rena memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan Kayla sekaligus memberi penjelasan yang sekiranya adik dan ibunya butuhkan. Ia lelah bermain asumsi tentang pandangan keluarganya terkait skandal yang menyebar luas ini. Lebih baik menanggung kekecewaan mereka di waktu sekarang, ketimbang tersiksa menyembunyikan diri dan justru akan memupuk kekecewaan lebih besar di waktu mendatang. Rena memang tak langsung menghubungi Kayla seperti yang direncanakannya semalam. Ia memilih mengirim pesan pada adiknya itu terlebih dulu di pagi ini sembari menunggu kapan saat yang tepat bagi keduanya untuk berbicara. Rena juga yakin, Kayla pasti punya kesibukan sendiri seperti kuliah pagi ataupun mengurus ibu mereka yang sedang sakit. Maka ia perlu menyesuaikan dengan waktu luang ad
Andreas mengancingkan kemeja berwarna terakota yang akan ia kenakan. Meski waktu baru tergolong subuh hari, dengan langit fajar belum sepenuhnya menguning menyongsong pagi, pria itu sudah tampak lebih segar dengan rambut basah dan aroma mint pasta gigi setelah keluar dari kamar mandi beberapa belas menit yang lalu. Selesai berpakaian lengkap, ia pun beranjak menuju sisi sebelah kiri ranjang. Hanya beberapa langkah dari pintu masuk terdapat kasur lipat yang terhampar di lantai bagian sisi tersebut, tempat di mana seseorang sedang meringkuk bagai bayi dalam selimut tengah terlelap di atasnya. "Lukman," panggil Andreas pada sosok yang masih dibuai kantuk tersebut. Namun tak ada jawaban berarti Andreas dapatkan selain dengkuran halus yang lirih terdengar. "Lukman." Sekali lagi hanya gumaman pelan yang Andreas dengar sebagai balasan, sembari tubuh personal asistennya itu berganti posisi telentang dengan dengkuran yang kini jauh lebih besar.
Rena mengakui, tempat kediaman yang ia tinggali dalam misi pelariannya memang terlihat luar biasa mengagumkan saat siang hari. Meskipun hanya tersisa berdua bersama Mbok Irma di bangunan yang luar biasa lapang serta sunyi ini, ditambah pekarangan pribadi yang luasnya setara town house, perasaan takutnya sudah jauh berkurang tidak seperti waktu pertama kali menginjakkan kaki ke sini seperti malam kemarin. Perlakuan baik yang ia terima dari Mbok Irma, benar-benar memberikan Rena rasa nyaman. Sekalipun pertemuan pertama mereka baru terjalin kemarin, Rena tidak merasakan kecanggungan apapun sebagaimana yang selalu ia hadapi ketika bertemu dengan orang-orang baru. Usia Mbok Irma yang mungkin hampir sepantaran umur ibunya, ditambah sikap welas asih sangat meneduhkan dari wanita itu, membuat Rena seolah merasa memiliki orang tua kedua yang sarat akan rasa mengayomi. Maka dengan tanpa sungkan, Rena pun mulai memanfaatkan kesempatan luang yang ada demi menjalin
"Sejak awal Ciputra dibangun oleh Pak Mateo Pramoedya dan Pak Tama Hudoyo, kakek saya, branding kuat terhadap kepercayaan masyarakat dan kepercayaan investor tidak dipungkiri adalah salah satu kunci utama bagaimana Ciputra bisa bertahan sejauh sekarang.""Sudah menjadi tugas mutlak bagi setiap eksekutif mengemban tanggung jawab itu tanpa cela. Kegagalan dalam memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalitas pekerjaan, adalah kesalahan yang tidak boleh ditoleransi dengan mudahnya. Apalagi jika hal tersebut sudah berdampak besar merugikan perusahaan, seperti menghadirkan pemberitaan buruk media dan kehebohan masyarakat yang merusak citra perusahaan, serta penurunan saham yang cukup signifikan di pasar modal.""Maka dari itu, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap pimpinan, keputusan pemberhentian sementara ini saya rasa harus juga mempertimbangkan keadilan yang lebih merata. Dan tentunya dengan sanksi setegas-tegasnya, agar ke depan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.
Taman samping dengan saung kayu jati dinaungi pohon-pohon flamboyan berbunga cukup rindang, selalu menjadi tempat ternyaman Mateo menghabiskan sisa senja untuk mengusir suntuk. Entah hanya sekedar membaca beberapa lembar halaman buku falsafah hidup, mengikuti perkembangan berita terbaru dari layar mini tablet miliknya, atau sekedar memberi pakan pada kumpulan koi dalam kolam berundak batu alam seperti apa yang bisa Andreas lihat ketika ia mengayun langkah mendekat.Sebuah cerutu dengan asap mengepul terselip di bibir keriput lelaki tua itu, satu kebiasaan yang sulit hilang sekalipun paru-paru rentanya berteriak kewalahan. Andreas tak perlu heran darimana ia mewarisi kebiasaan candu menyecap batang nikotin setiap kali ia merasa kalut, mengingat kakeknya sendiri adalah pencetus nomor satu menurunkan kebiasaan memuja racun karsinogen itu.Derit kayu terdengar sesaat setelah Andreas ikut mendaratkan diri ke atas saung tempat Mateo masih bergeming duduk. Dirogohnya bungkusan rokok yang sel
Rena mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang sudah menjadi tempatnya bermalam selama dua pekan belakangan. Menikmati momen-momen terakhir sebelum nanti ia kembali bergelung di kamar kontrakannya yang sempit, serta berbaur menghadapi kesibukan monoton dari balik meja kubikel kantor di keesokan hari. Rena mungkin akan sangat merindukan tempat ini. Bagaimanapun juga, waktu dua minggu yang ia habiskan, lebih dari cukup meninggalkan bekas nyata untuk ia ingat di kemudian hari. Mengembus napas panjang, gadis itu melipat selimut sebagai penutup dari usahanya membereskan kamar dan mengepak keperluannya untuk kembali ke Jakarta malam ini. Tidak banyak hal yang ia bawa, selain laptop bersama peralatan kerja lain dalam tas selempang kecilnya. Pakaian yang ia miliki pun hanyalah satu-satunya apa yang melekat di badan sewaktu hari pertama ia menginjakkan kaki ke villa ini. Di luar dari itu, mungkin hanya ada beberapa potongan baju yang sempat dibelikan Andreas se
Penolakan bukan hal baru dalam hidupnya. Beberapa belas tahun lalu, ia pernah berada di titik serupa, bahkan dengan rasa sakit yang jauh lebih besar. Saking hebatnya goresan luka tak terlihat itu, ia nyaris tak bisa merasakan lagi apapun. Termasuk untuk sebuah penyesalan dan amarah sekalipun. Dan satu-satunya hal yang tersisa hanya perasaan hampa dan kosong. Jadi seharusnya semua berjalan baik-baik saja bukan? Belasan tahun tidur diselingi semua mimpi buruk itu, buktinya ia masih bisa bertahan sejauh sekarang. Terbiasa berkawan dengan kehilangan dan perasaan tak diinginkan bukanlah sesuatu yang akan membunuhnya. Ya, Andreas sudah cukup familiar dengan kesakitan seperti itu. Hanya saja kenapa kali ini rasa tak nyaman yang datang sukar sekali memilih sirna? Mematikan puntung rokok kedua, ia menyandarkan diri ke kursi penumpang tanpa melepaskan pandangan dari biasan lampu hilir-mudik kendaraan di luar sana. Embusan napas beratnya terdengar samar. Nyaris setengah j
Rena terbangun dengan keadaan ruang terlampau gelap. Ia tidak yakin selama apa dirinya jatuh tertidur sampai baru kembali terjaga saat langit di luar telah menghitam menyongsong malam. Beringsut bangun, hal pertama yang ia lakukan adalah meraba dinding dan mencari saklar untuk mendapatkan penerangan. Kemudian dengan perlahan membawa tubuhnya menuju kamar mandi membersihkan diri. Langkah Rena terhenti di depan cermin dinding berukuran sedang, menggantung di atas wastafel berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi. Netranya terpancang pada jejak lembab dari bayangan wajah yang dipantulkan di depannya. Seulas senyum miris naik terukir membingkai raut yang memang sudah tampak kacau dan menyedihkan itu. Ah, rupanya tanpa sadar ia bahkan larut menangis dalam tidur. Bertumpu pada pinggiran wastafel, Rena memejam mata berusaha meluruhkan kembali gejolak sesak tersisa. Sejujurnya, ia mulai membenci diri sendiri. Perasaan lemahnya dan ketidakberdayaan dalam memegang
Benar. Mereka memang tidak lagi terbilang asing. Semua hal yang terjadi dua minggu belakangan, menjadi bukti nyata bahwa hubungan yang mengikat keduanya justru lebih dari itu. Apalagi saat nyatanya Rena sendiri sudah mulai menerobos batas-batas masa lalu Andreas yang jarang tersentuh siapapun. Melihat kepribadian sosok tersebut lebih dekat dari orang-orang kebanyakan. Menjadi saksi dari luka lama lelaki itu yang memilih terkubur rapat-rapat. Apa yang tidak akan mungkin dilakukan jika mereka benar-benar asing. Rena cukup tahu. Dan pada akhirnya ia juga menyadari alasan apa yang membuatnya merasa terusik ketika Andreas mengingatkan tentang waktu singkatnya di tempat ini. Awalnya ia pikir keengganan itu murni berasal dari perasaan tak rela karena harus berpisah dari Mbok Irma dan Pak Umar yang sudah ia anggap sebagai orang tua kedua. Atau perasaan keberatan setelah harus melepas suasana tenang dan damai villa ini. Bentuk kenyamanan yang mungkin tak akan ia jumpai di sudut padat
Rena melangkah menuju teras depan dengan kotak P3K melekat dalam pelukannya. Ia merasa seperti de javu karena mengulangi hal yang sama meski dengan situasi berbeda. Tapi tindakan spontannya kali ini murni didasari oleh kehendak hati sendiri, tak seperti sebelumnya yang dilatarbelakangi paksaan nurani. Di undakan tangga beranda, Andreas tampak duduk membelakangi pintu masuk. Tak lupa anak kucing yang sempat ia selamatkan di atas pohon tadi, ikut berbaring malas di sampingnya. Sesekali menyundulkan kepala berbulunya, ketika lelaki itu masih sibuk membersihkan bekas darah pada luka dan sisa-sisa rumput dengan selang dari keran air yang biasa digunakan Mbok Irma menyiram tanaman. Rena semakin merapatkan jarak. Ia bisa mendengar jelas bagaimana lelaki itu mendesis lirih karena sedikit rasa perih dari luka terbuka terkena sapuan air. "Apa cukup parah?" tanyanya, begitu sampai dua langkah dari posisi Andreas terduduk. Suara seseorang yang muncul tiba-t
"Saya belum sempat menyampaikan masalah ini sewaktu anda mendarat dari Makassar kemarin. Meskipun belum ada surat panggilan resminya, tapi beberapa anggota direksi mulai mendesak para komisaris untuk mengambil sanksi tegas atas tindakan konferensi pers anda minggu lalu, yang dianggap berpengaruh merusak nama baik perusahaan di mata masyarakat." Andreas membiarkan suara Lukman tetap terjangkau di telinganya seraya ia menuruni undakan tangga beranda. Berjalan menuju Alphard hitam miliknya yang terparkir di pekarangan. Semenjak turun dari mobil dengan terburu-buru semalam, ia sempat melupakan pengisi daya gawainya yang tertinggal pada dashboard di dalam sana. Selain itu, ada beberapa berkas penting dari hasil negosiasi sengketa tanah kebun kakao Sulawesi yang belum ia keluarkan dari mobil setiba di apartemen kemarin. "Para petinggi berencana sepakat melangsungkan rapat jajaran eksekutif untuk mengusulkan pemberhentian sementara anda sebagai Direktur Utama,
Rena tak mengerti. Ia sungguh-sungguh tak mengerti. Menghadapi segala perubahan sikap Andreas secara tiba-tiba dan tak terduga, terasa seperti mencemari logikanya. Mulai dari kemunculan dadakan lelaki itu semalam, pelukan mengejutkan yang ia berikan, tawaran gila untuk menjadikannya teman tidur, hingga perubahan sikap aneh lainnya pagi ini di meja makan.Semua menjadi sangat membingungkan untuk Rena cerna. Dan ia rasanya bisa mati berdiri jika menyimpan segala kemelut ini seorang diri. Untuk itu, mencari nama Mala di layar kontak adalah pelarian terbaik. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat membagi keresahannya. Tentu saja dengan sedikit improvisasi kebohongan agar tidak membocorkan identitas si sumber kekacauan."Ya apa lagi, Ren. Udah jelas, kan? Kalau sampai main peluk-peluk begitu, apalagi sempat nawarin buat bawa kamu ke ranjang, itu tandanya dia memang minat sama kamu."Rena mendengus kesal. "Aku udah bilang tawaran teman tidur yang dimaksud bukan