Send to Kayla : Kay, ada hal penting yang ingin Mbak bicarakan. Kamu bisa balas pesan ini kalau punya waktu luang, biar Mbak bisa telepon kamu nanti.
Setelah melalui pertimbangan panjang semalaman, Rena memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan Kayla sekaligus memberi penjelasan yang sekiranya adik dan ibunya butuhkan. Ia lelah bermain asumsi tentang pandangan keluarganya terkait skandal yang menyebar luas ini. Lebih baik menanggung kekecewaan mereka di waktu sekarang, ketimbang tersiksa menyembunyikan diri dan justru akan memupuk kekecewaan lebih besar di waktu mendatang.
Rena memang tak langsung menghubungi Kayla seperti yang direncanakannya semalam. Ia memilih mengirim pesan pada adiknya itu terlebih dulu di pagi ini sembari menunggu kapan saat yang tepat bagi keduanya untuk berbicara. Rena juga yakin, Kayla pasti punya kesibukan sendiri seperti kuliah pagi ataupun mengurus ibu mereka yang sedang sakit. Maka ia perlu menyesuaikan dengan waktu luang ad
Andreas mengancingkan kemeja berwarna terakota yang akan ia kenakan. Meski waktu baru tergolong subuh hari, dengan langit fajar belum sepenuhnya menguning menyongsong pagi, pria itu sudah tampak lebih segar dengan rambut basah dan aroma mint pasta gigi setelah keluar dari kamar mandi beberapa belas menit yang lalu. Selesai berpakaian lengkap, ia pun beranjak menuju sisi sebelah kiri ranjang. Hanya beberapa langkah dari pintu masuk terdapat kasur lipat yang terhampar di lantai bagian sisi tersebut, tempat di mana seseorang sedang meringkuk bagai bayi dalam selimut tengah terlelap di atasnya. "Lukman," panggil Andreas pada sosok yang masih dibuai kantuk tersebut. Namun tak ada jawaban berarti Andreas dapatkan selain dengkuran halus yang lirih terdengar. "Lukman." Sekali lagi hanya gumaman pelan yang Andreas dengar sebagai balasan, sembari tubuh personal asistennya itu berganti posisi telentang dengan dengkuran yang kini jauh lebih besar.
Rena mengakui, tempat kediaman yang ia tinggali dalam misi pelariannya memang terlihat luar biasa mengagumkan saat siang hari. Meskipun hanya tersisa berdua bersama Mbok Irma di bangunan yang luar biasa lapang serta sunyi ini, ditambah pekarangan pribadi yang luasnya setara town house, perasaan takutnya sudah jauh berkurang tidak seperti waktu pertama kali menginjakkan kaki ke sini seperti malam kemarin. Perlakuan baik yang ia terima dari Mbok Irma, benar-benar memberikan Rena rasa nyaman. Sekalipun pertemuan pertama mereka baru terjalin kemarin, Rena tidak merasakan kecanggungan apapun sebagaimana yang selalu ia hadapi ketika bertemu dengan orang-orang baru. Usia Mbok Irma yang mungkin hampir sepantaran umur ibunya, ditambah sikap welas asih sangat meneduhkan dari wanita itu, membuat Rena seolah merasa memiliki orang tua kedua yang sarat akan rasa mengayomi. Maka dengan tanpa sungkan, Rena pun mulai memanfaatkan kesempatan luang yang ada demi menjalin
Andreas tahu, berlama-lama menghindari Antonio juga tak ada gunanya. Cepat atau lambat, ia juga pasti akan berhadapan dengan pria tua itu, mengingat betapa gigihnya semua telepon dan pesan masuk yang terus saja meraung di layar ponsel miliknya maupun Lukman. Seperti sekarang ini, ketika jam makan siang kantor baru berakhir sepuluh menit lalu, Antonio datang menyambangi ruang kerjanya untuk menuntut banyak penjelasan tentang keberadaannya yang tiba-tiba hilang dari ruang komunikasi dan peredaran mata pria itu. "Darimana saja kamu? Galuh bilang semalam kamu nggak pulang ke apartemen." Galuh adalah sekertaris pribadi Antonio yang selalu menjadi mata dan telinga bagi pria itu dalam memantau keberadaan putranya. "Papa juga hubungi asisten kamu tapi malah nggak diangkat, apa kalian kerjasama buat menghindar, Andreas? Dan yang kemarin itu apa-apaan kamu? Bagaimana bisa perempuan sialan itu----" "Satu-satu." Andreas memotong kalimat berapi-api Antonio
Benar-benar sebuah lelucon menggelikan. Apalagi mendengar langsung bagaimana seorang Hendrawan Sanjaya berperan menjadi ayah bijaksana demi nama baik rumah tangga putrinya, yang bahkan tak pernah ia pedulikan. Sekalipun jasadnya sudah terkubur di dalam tanah. Andreas pikir, keluarga terlampau cuek seperti Sanjaya tidak terlalu senang mengundang orang lain ke dalam drama hidup mereka, selama hal itu tidak mengusik martabat dan nama baik yang mereka agung-agungkan. Namun dari pembicaraan singkatnya bersama Hendrawan di telepon beberapa jam lalu, sepertinya ayah mertuanya itu tak akan melepaskan Andreas dengan mudah kali ini. Apalagi setelah semua pemberitaan media yang terjadi. Lagipula ia yakin, bukan murni rasa empati pada Namira lah yang menggerakan Hendrawan mengungkit masalah berita penuh sensasi ini ke permukaan, tapi tidak lebih pada harga diri setinggi langit pria itu yang merasa tercoreng, karena sang menantu tidak lagi menganggap keberadaan mereka cukup
Rena menatap sayang lauk-pauk melimpah tersaji di hadapannya. Meja makan terlihat penuh itu seolah tampak kontras dengan jumlah ketiga penghuni yang belum tentu mampu menghabiskan jatah makanan sebanyak itu. Pukul sepuluh memang terlalu larut untuk disebut makan malam. Berterima kasihlah pada seseorang yang harus membuat mereka menunggu tanpa kepastian hanya untuk sekedar mengisi perut. "Apa sebaiknya Mbok telepon saja?" tanya Rena pada Mbok Irma karena wanita paruh baya itu beserta suaminya tetap bersikukuh menunggu kedatangan Andreas meski waktu sudah menunjuk jam-jam suntuk. Benar-benar bentuk loyalitas yang tak mampu dimengerti oleh Rena sendiri. Terutama jika loyalitas itu ditujukan pada sosok tanpa hati nurani seperti Andreas. Mbok Irma menggeleng pelan. "Neng Rena nggak apa-apa kalau memang mau makan lebih dulu. Mbok sama suami bisa nyusul sebentar lagi. Nggak perlu merasa sungkan, Neng. Mbok nyiapin makanan ini buat Neng Rena juga, Kok."
Andreas tak mengerti kenapa ia justru berakhir di hadapan bangunan dua lantai semi Belanda di depannya ini. Daripada memilih terlelap usai hari yang panjang di apartemennya sendiri, ia malah memutuskan menyetir menempuh lebih dari 60 kilometer perjalanan jauh-jauh ke Bogor. Masih lengkap dengan pakaian kerja yang sudah tak serapi tadi pagi karena berbagai kesibukan padat terlewati seharian. Melonggarkan simpul dasi, Andreas menghempaskan sisa rasa lelahnya bersandar sejenak pada kursi jok pengemudi, membiarkan kesunyian ruang menjadi temannya untuk berbagi penat. Karena pertemuannya dua jam lalu dengan keluarga Sanjaya, benar-benar menjadi penutup hari yang buruk untuknya.Andreas masih memandang lurus pemandangan beranda villa lengang di depan sana. Rasanya lucu sekali saat menyadari ia sudah dua kali menempuh jarak Jakarta-Bogor hanya dalam selang waktu dua hari, demi kembali berada di tempat yang sedari dulu selalu enggan untuk ia pijaki. Yang bahkan dalam li
Jika berpura-pura pingsan bisa membantunya meloloskan diri dari situasi ini, mungkin Rena akan mengambil opsi tersebut tanpa berpikir panjang. Namun yang jadi masalah, bagaimana caranya ia dapat bersandiwara jatuh terkulai tanpa membenturkan kepala ke lantai, dengan akting terlihat senatural mungkin dan meyakinkan. Karena Rena tak ingin usaha melarikan dirinya ini justru berujung geger otak atau bahkan berakhir dengan kepala bocor. Ia tidak menyangka kalau pepatah 'Mulutmu Harimaumu' akan benar-benar terealisasikan di hidupnya, menjadi karma dari semua kutuk serapah spontan yang ia lemparkan pada sang atasan barusan. "Pa-pak Andreas sejak kapan ada di situ?" Rena tak tahu mukanya sudah seberantakan apa. Ia mendadak berubah gagap saat mendapati keberadaan Andreas yang baru saja sejauh sambungan telepon, mendadak sudah ada di hadapannya bagai jelangkung tak diundang.Apalagi setelah lelaki itu sudah berdiri menjulang di hadapannya dengan wajah sengak seperti b
Meskipun sedari berjam-jam lalu perutnya dilanda rasa lapar, selera makan Rena justru lenyap entah ke mana begitu ia kembali mendudukkan diri di meja makan setelah semua hal memalukan yang baru terlewati. Bahkan Pak Umar yang menanyakan perihal wajah piasnya sekembali dirinya dari teras belakang, hanya dibalas Rena dengan sunggingan sungkan dan kalimat ia baik-baik saja untuk menutupi rasa malu yang tengah dirasakan. Belum lagi berselang beberapa menit kemudian, kedatangan Mbok Irma yang sudah menyusul masuk dan ikut bergabung ke meja makan semakin membuat perut Rena melilit tak karuan. Walaupun wanita paruh baya itu berusaha bersikap seramah biasa dan tersenyum sopan ketika tanpa sengaja mereka bertukar tatap, tetap saja Rena tak dapat menyembunyikan kecanggungan dan sikap salah tingkahnya. Ia benar-benar takut berasumsi tentang apapun yang ada di kepala Mbok Irma sekarang, setelah apa yang tidak sengaja wanita itu saksikan di teras belakang tadi. Sehingga m
"Sejak awal Ciputra dibangun oleh Pak Mateo Pramoedya dan Pak Tama Hudoyo, kakek saya, branding kuat terhadap kepercayaan masyarakat dan kepercayaan investor tidak dipungkiri adalah salah satu kunci utama bagaimana Ciputra bisa bertahan sejauh sekarang.""Sudah menjadi tugas mutlak bagi setiap eksekutif mengemban tanggung jawab itu tanpa cela. Kegagalan dalam memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalitas pekerjaan, adalah kesalahan yang tidak boleh ditoleransi dengan mudahnya. Apalagi jika hal tersebut sudah berdampak besar merugikan perusahaan, seperti menghadirkan pemberitaan buruk media dan kehebohan masyarakat yang merusak citra perusahaan, serta penurunan saham yang cukup signifikan di pasar modal.""Maka dari itu, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap pimpinan, keputusan pemberhentian sementara ini saya rasa harus juga mempertimbangkan keadilan yang lebih merata. Dan tentunya dengan sanksi setegas-tegasnya, agar ke depan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.
Taman samping dengan saung kayu jati dinaungi pohon-pohon flamboyan berbunga cukup rindang, selalu menjadi tempat ternyaman Mateo menghabiskan sisa senja untuk mengusir suntuk. Entah hanya sekedar membaca beberapa lembar halaman buku falsafah hidup, mengikuti perkembangan berita terbaru dari layar mini tablet miliknya, atau sekedar memberi pakan pada kumpulan koi dalam kolam berundak batu alam seperti apa yang bisa Andreas lihat ketika ia mengayun langkah mendekat.Sebuah cerutu dengan asap mengepul terselip di bibir keriput lelaki tua itu, satu kebiasaan yang sulit hilang sekalipun paru-paru rentanya berteriak kewalahan. Andreas tak perlu heran darimana ia mewarisi kebiasaan candu menyecap batang nikotin setiap kali ia merasa kalut, mengingat kakeknya sendiri adalah pencetus nomor satu menurunkan kebiasaan memuja racun karsinogen itu.Derit kayu terdengar sesaat setelah Andreas ikut mendaratkan diri ke atas saung tempat Mateo masih bergeming duduk. Dirogohnya bungkusan rokok yang sel
Rena mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang sudah menjadi tempatnya bermalam selama dua pekan belakangan. Menikmati momen-momen terakhir sebelum nanti ia kembali bergelung di kamar kontrakannya yang sempit, serta berbaur menghadapi kesibukan monoton dari balik meja kubikel kantor di keesokan hari. Rena mungkin akan sangat merindukan tempat ini. Bagaimanapun juga, waktu dua minggu yang ia habiskan, lebih dari cukup meninggalkan bekas nyata untuk ia ingat di kemudian hari. Mengembus napas panjang, gadis itu melipat selimut sebagai penutup dari usahanya membereskan kamar dan mengepak keperluannya untuk kembali ke Jakarta malam ini. Tidak banyak hal yang ia bawa, selain laptop bersama peralatan kerja lain dalam tas selempang kecilnya. Pakaian yang ia miliki pun hanyalah satu-satunya apa yang melekat di badan sewaktu hari pertama ia menginjakkan kaki ke villa ini. Di luar dari itu, mungkin hanya ada beberapa potongan baju yang sempat dibelikan Andreas se
Penolakan bukan hal baru dalam hidupnya. Beberapa belas tahun lalu, ia pernah berada di titik serupa, bahkan dengan rasa sakit yang jauh lebih besar. Saking hebatnya goresan luka tak terlihat itu, ia nyaris tak bisa merasakan lagi apapun. Termasuk untuk sebuah penyesalan dan amarah sekalipun. Dan satu-satunya hal yang tersisa hanya perasaan hampa dan kosong. Jadi seharusnya semua berjalan baik-baik saja bukan? Belasan tahun tidur diselingi semua mimpi buruk itu, buktinya ia masih bisa bertahan sejauh sekarang. Terbiasa berkawan dengan kehilangan dan perasaan tak diinginkan bukanlah sesuatu yang akan membunuhnya. Ya, Andreas sudah cukup familiar dengan kesakitan seperti itu. Hanya saja kenapa kali ini rasa tak nyaman yang datang sukar sekali memilih sirna? Mematikan puntung rokok kedua, ia menyandarkan diri ke kursi penumpang tanpa melepaskan pandangan dari biasan lampu hilir-mudik kendaraan di luar sana. Embusan napas beratnya terdengar samar. Nyaris setengah j
Rena terbangun dengan keadaan ruang terlampau gelap. Ia tidak yakin selama apa dirinya jatuh tertidur sampai baru kembali terjaga saat langit di luar telah menghitam menyongsong malam. Beringsut bangun, hal pertama yang ia lakukan adalah meraba dinding dan mencari saklar untuk mendapatkan penerangan. Kemudian dengan perlahan membawa tubuhnya menuju kamar mandi membersihkan diri. Langkah Rena terhenti di depan cermin dinding berukuran sedang, menggantung di atas wastafel berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi. Netranya terpancang pada jejak lembab dari bayangan wajah yang dipantulkan di depannya. Seulas senyum miris naik terukir membingkai raut yang memang sudah tampak kacau dan menyedihkan itu. Ah, rupanya tanpa sadar ia bahkan larut menangis dalam tidur. Bertumpu pada pinggiran wastafel, Rena memejam mata berusaha meluruhkan kembali gejolak sesak tersisa. Sejujurnya, ia mulai membenci diri sendiri. Perasaan lemahnya dan ketidakberdayaan dalam memegang
Benar. Mereka memang tidak lagi terbilang asing. Semua hal yang terjadi dua minggu belakangan, menjadi bukti nyata bahwa hubungan yang mengikat keduanya justru lebih dari itu. Apalagi saat nyatanya Rena sendiri sudah mulai menerobos batas-batas masa lalu Andreas yang jarang tersentuh siapapun. Melihat kepribadian sosok tersebut lebih dekat dari orang-orang kebanyakan. Menjadi saksi dari luka lama lelaki itu yang memilih terkubur rapat-rapat. Apa yang tidak akan mungkin dilakukan jika mereka benar-benar asing. Rena cukup tahu. Dan pada akhirnya ia juga menyadari alasan apa yang membuatnya merasa terusik ketika Andreas mengingatkan tentang waktu singkatnya di tempat ini. Awalnya ia pikir keengganan itu murni berasal dari perasaan tak rela karena harus berpisah dari Mbok Irma dan Pak Umar yang sudah ia anggap sebagai orang tua kedua. Atau perasaan keberatan setelah harus melepas suasana tenang dan damai villa ini. Bentuk kenyamanan yang mungkin tak akan ia jumpai di sudut padat
Rena melangkah menuju teras depan dengan kotak P3K melekat dalam pelukannya. Ia merasa seperti de javu karena mengulangi hal yang sama meski dengan situasi berbeda. Tapi tindakan spontannya kali ini murni didasari oleh kehendak hati sendiri, tak seperti sebelumnya yang dilatarbelakangi paksaan nurani. Di undakan tangga beranda, Andreas tampak duduk membelakangi pintu masuk. Tak lupa anak kucing yang sempat ia selamatkan di atas pohon tadi, ikut berbaring malas di sampingnya. Sesekali menyundulkan kepala berbulunya, ketika lelaki itu masih sibuk membersihkan bekas darah pada luka dan sisa-sisa rumput dengan selang dari keran air yang biasa digunakan Mbok Irma menyiram tanaman. Rena semakin merapatkan jarak. Ia bisa mendengar jelas bagaimana lelaki itu mendesis lirih karena sedikit rasa perih dari luka terbuka terkena sapuan air. "Apa cukup parah?" tanyanya, begitu sampai dua langkah dari posisi Andreas terduduk. Suara seseorang yang muncul tiba-t
"Saya belum sempat menyampaikan masalah ini sewaktu anda mendarat dari Makassar kemarin. Meskipun belum ada surat panggilan resminya, tapi beberapa anggota direksi mulai mendesak para komisaris untuk mengambil sanksi tegas atas tindakan konferensi pers anda minggu lalu, yang dianggap berpengaruh merusak nama baik perusahaan di mata masyarakat." Andreas membiarkan suara Lukman tetap terjangkau di telinganya seraya ia menuruni undakan tangga beranda. Berjalan menuju Alphard hitam miliknya yang terparkir di pekarangan. Semenjak turun dari mobil dengan terburu-buru semalam, ia sempat melupakan pengisi daya gawainya yang tertinggal pada dashboard di dalam sana. Selain itu, ada beberapa berkas penting dari hasil negosiasi sengketa tanah kebun kakao Sulawesi yang belum ia keluarkan dari mobil setiba di apartemen kemarin. "Para petinggi berencana sepakat melangsungkan rapat jajaran eksekutif untuk mengusulkan pemberhentian sementara anda sebagai Direktur Utama,
Rena tak mengerti. Ia sungguh-sungguh tak mengerti. Menghadapi segala perubahan sikap Andreas secara tiba-tiba dan tak terduga, terasa seperti mencemari logikanya. Mulai dari kemunculan dadakan lelaki itu semalam, pelukan mengejutkan yang ia berikan, tawaran gila untuk menjadikannya teman tidur, hingga perubahan sikap aneh lainnya pagi ini di meja makan.Semua menjadi sangat membingungkan untuk Rena cerna. Dan ia rasanya bisa mati berdiri jika menyimpan segala kemelut ini seorang diri. Untuk itu, mencari nama Mala di layar kontak adalah pelarian terbaik. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat membagi keresahannya. Tentu saja dengan sedikit improvisasi kebohongan agar tidak membocorkan identitas si sumber kekacauan."Ya apa lagi, Ren. Udah jelas, kan? Kalau sampai main peluk-peluk begitu, apalagi sempat nawarin buat bawa kamu ke ranjang, itu tandanya dia memang minat sama kamu."Rena mendengus kesal. "Aku udah bilang tawaran teman tidur yang dimaksud bukan