Jika berpura-pura pingsan bisa membantunya meloloskan diri dari situasi ini, mungkin Rena akan mengambil opsi tersebut tanpa berpikir panjang. Namun yang jadi masalah, bagaimana caranya ia dapat bersandiwara jatuh terkulai tanpa membenturkan kepala ke lantai, dengan akting terlihat senatural mungkin dan meyakinkan.
Karena Rena tak ingin usaha melarikan dirinya ini justru berujung geger otak atau bahkan berakhir dengan kepala bocor. Ia tidak menyangka kalau pepatah 'Mulutmu Harimaumu' akan benar-benar terealisasikan di hidupnya, menjadi karma dari semua kutuk serapah spontan yang ia lemparkan pada sang atasan barusan.
"Pa-pak Andreas sejak kapan ada di situ?" Rena tak tahu mukanya sudah seberantakan apa. Ia mendadak berubah gagap saat mendapati keberadaan Andreas yang baru saja sejauh sambungan telepon, mendadak sudah ada di hadapannya bagai jelangkung tak diundang.
Apalagi setelah lelaki itu sudah berdiri menjulang di hadapannya dengan wajah sengak seperti bMeskipun sedari berjam-jam lalu perutnya dilanda rasa lapar, selera makan Rena justru lenyap entah ke mana begitu ia kembali mendudukkan diri di meja makan setelah semua hal memalukan yang baru terlewati. Bahkan Pak Umar yang menanyakan perihal wajah piasnya sekembali dirinya dari teras belakang, hanya dibalas Rena dengan sunggingan sungkan dan kalimat ia baik-baik saja untuk menutupi rasa malu yang tengah dirasakan. Belum lagi berselang beberapa menit kemudian, kedatangan Mbok Irma yang sudah menyusul masuk dan ikut bergabung ke meja makan semakin membuat perut Rena melilit tak karuan. Walaupun wanita paruh baya itu berusaha bersikap seramah biasa dan tersenyum sopan ketika tanpa sengaja mereka bertukar tatap, tetap saja Rena tak dapat menyembunyikan kecanggungan dan sikap salah tingkahnya. Ia benar-benar takut berasumsi tentang apapun yang ada di kepala Mbok Irma sekarang, setelah apa yang tidak sengaja wanita itu saksikan di teras belakang tadi. Sehingga m
Rena mengambil alih tugas dapur untuk membersihkan peralatan makan bekas santapan mereka bersama. Sebenarnya hal itu ia lakukan semata-mata agar punya kesempatan menghindar dari resiko terjebak obrolan canggung bersama Mbok Irma maupun Pak Lukman. Karena keduanya masih setia berbincang-bincang di meja makan dengan menyeduh secangkir teh dan mencamil kue Lupis sebagai penutup dari makan malam ini. Rena yang sempat ditawari ikut bergabung, menolak secara halus dengan beralasan ingin mencuci piring atau membereskan sisa-sisa bekas makanan yang ada. Walau sempat terlibat sedikit perdebatan dengan Mbok Irma karena beliau berkeras agar ia tak perlu repot-repot mengerjakan sesuatu yang bukan tugasnya, pada akhirnya kekeras kepalaan Rena lah yang berhasil memenangkan argumen singkat di antara keduanya. Ruang menyatu antara dapur dan meja makan yang hanya disekat oleh partisi kerai dan bufet tinggi tempat piring dan gelas kaca diletakkan, membuat dua bagian ruangan itu terhub
Rena bisa saja memilih beranjak pergi dari sana, mengabaikan Andreas yang masih saja membuatnya terbawa perasaan kesal karena tingkah pria itu padanya beberapa saat lalu di teras belakang. Tapi membiarkan Mbok Irma harus kerepotan di dapur sendirian menyediakan nasi dan lauk untuk makan malam lelaki itu, mengurungkan niat Rena yang ingin sekali melangkah menjauh, dan justru berakhir ikut membantu memanaskan makanan dingin yang terlanjur disimpan Mbok Irma di kulkas. Ikan kuah kuning, ayam suir rica-rica, sayur lodeh, sayur asem, lele goreng, kupat tahu, dan masih banyak lagi menu yang disediakan Mbok Irma di atas meja makan, benar-benar mengundang decak pelan Rena karena sepertinya pekerjaan mencuci piring yang baru saja ia selesaikan akan terulang lagi di ronde kedua. Kenapa pula laki-laki ini harus berubah pikiran dan justru membuat mereka semua jadi kerepotan! Padahal harusnya sekarang Rena sudah bisa telentang nyaman di kamar atas dan mulai menapaki alam mimpi in
Rena memang selalu gampang dibuat terbangun oleh riuh hujan yang berlomba-lomba mencumbu atap. Ditambah gemuruh angin dan sesekali gelegak petir di luar sana yang mengusik lelapnya, seketika akan membuat ia kembali terjaga. Bahkan tak sering juga berakhir tertahan dari rasa kantuk sepanjang malam. Seperti sekarang ini.Padahal baru terhitung kurang dari tiga jam lalu ia tertidur setelah melakukan pekerjaan melelahkan seharian. Tapi udara menipis khas perbukitan yang lebih dingin dari kemarin malam, membuat matanya sulit diajak bekerjasama untuk kembali beristirahat. Setiap kali terjebak pada kondisi menyebalkan ini, Rena akan memilih mengisi waktu begadangnya dengan menyelesaikan pekerjaan kantor tersisa. Namun berhubung saat ini ia sedang dalam misi pelarian, tidak banyak tambahan deadline yang perlu ia selesaikan dalam rentang waktu dekat. Selain strategi promosi pengembangan Kopi Robusta yang sudah dibereskannya sore tadi. Rena melirik jam ponsel
Jangan lagi. Ia berharap takdir keji ini akan berhenti menariknya pada pusaran menyakitkan ini lagi. Namun bunyi bantingan benda pecah belah di luar sana, diikuti hentak teriakan menggema saling merampas bersahutan, membuat ia sepenuhnya sadar, tak ada jalan kembali sebelum melalui kesakitan ini setuntas mungkin. Mendekap erat-erat tubuhnya meringkuk di sudut kamar, telinganya makin awas menangkap semua suara serapah menyakitkan yang masih terus memecah keheningan malam. Tak jarang juga rintih kesakitan diikuti gema pukulan atau tamparan, menjadi alunan memekakan menyembilu dada. Sampai akhirnya gedebum pintu dibanting kasar diiringi makian suara berat seseorang, menjadi akhir penutup dari segala kakacauan yang ada. Kemudian tak lama berselang, deru mesin mobil mulai menjauhi pekarangan adalah satu-satunya hal terakhir yang ia dengar sebelum kungkungan sepi kembali datang meraja. Tapi hal itu sama sekali tidak membuatnya merasa lega. Karen
Rena tak pernah merasakan ketakutan sebesar ini saat berhadapan dengan tatapan murka seseorang yang menghujamnya begitu mengerikan. Netra itu seolah menyimpan kemarahan besar seolah siap melenyapkan atau mematahkan pergelangan tangannya jika ia sedikit saja salah bersuara. Apalagi melihat bagaimana tubuh itu menjulang di atasnya dengan raut penuh intimidasi, semakin membuat Rena terperanjat bisu tanpa kata. "Apa yang kamu lakukan, Sialan?!" desis lelaki itu tajam. Remasan kian bertambah kuat pada pergelangan tangannya, berhasil meloloskan ringisan kesakitan dari getar bibir Rena. Tapi ia terlalu takut untuk sekedar mengucap sepatah kata. "Jawab!" sentak Andreas kembali saat tak mendapat jawaban apapun.Mendengar itu, Rena kembali terperanjat dengan bibir makin mengatup rapat. Hingga tanpa sadar, satu tetes air mata pun jatuh meluruh dari pelupuknya karena rasa takut yang tiba-tiba melanda. Hal yang justru membuat pria di hadapannya sontak terperangah.
Hal pertama yang Rena lakukan setelah kakinya menginjak lantai dapur, adalah menjatuhkan dirinya ke atas kursi dengan kedua lutut lemas yang masih bergetar samar. Meskipun berusaha menyembunyikan segala kegugupan dan rasa takutnya dengan bersikap sepercaya diri itu dalam menentang kekeras kepalaan Andreas, tetap saja jiwa pecundangnya yang sudah terbentuk secara lahiriah akan langsung muncul ke permukaan begitu penyesalan datang menyapa.Apalagi setelah menyadari kebodohan macam apa yang baru saja ia ciptakan barusan. Astaga. Padahal baru terhitung beberapa belas menit lalu ia dibuat gemetar nyaris kehabisan napas, dan hampir berakhir kehilangan sebelah tangan karena mendapati kemurkaan Andreas akibat sikap lancangnya karena berani mengusik tidur lelaki itu. Walaupun ia sendiri benar-benar tak mengerti alasan apa yang memantik kemarahan Andreas sampai sebegitu besarnya hanya karena satu kesalahan kecil yang tak sengaja Rena buat. Dan sekarang hati nu
Andreas terbangun dengan denyutan kepala yang masih meninggalkan sisa-sisa pening dari demam menggigilnya semalam. Entah sudah berapa lama ia jatuh tertidur, sampai tak menyadari detik dan menit berlalu cukup singkat hingga seberkas cahaya merangsek masuk dari ventilasi tinggi yang tidak terhalang gorden, menunjukkan bahwa waktu sudah menyongsong pagi di luar sana. Dengkuran halus terdengar cukup dekat di telinga, menyadarkan Andreas tentang apa yang telah ia lewati semalam sehingga berakhir jatuh terlelap di atas sofa dengan posisi duduk, berbantalkan bahu seseorang menjadi sandaran. Bahkan tangan yang masih melingkar mendekap gadis yang tampaknya juga ikut terlelap di sampingnya, masih bertahan pada posisi semula ketika lelaki itu membuka mata. Mendesah pelan, Andreas menarik diri secara perlahan dari tubuh gadis itu dan mulai beringsut memberi sedikit jeda ruang di antara mereka. Bisa-bisanya ia membiarkan dirinya jatuh cukup mudah pada godaan kantuk hanya karena
"Sejak awal Ciputra dibangun oleh Pak Mateo Pramoedya dan Pak Tama Hudoyo, kakek saya, branding kuat terhadap kepercayaan masyarakat dan kepercayaan investor tidak dipungkiri adalah salah satu kunci utama bagaimana Ciputra bisa bertahan sejauh sekarang.""Sudah menjadi tugas mutlak bagi setiap eksekutif mengemban tanggung jawab itu tanpa cela. Kegagalan dalam memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalitas pekerjaan, adalah kesalahan yang tidak boleh ditoleransi dengan mudahnya. Apalagi jika hal tersebut sudah berdampak besar merugikan perusahaan, seperti menghadirkan pemberitaan buruk media dan kehebohan masyarakat yang merusak citra perusahaan, serta penurunan saham yang cukup signifikan di pasar modal.""Maka dari itu, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap pimpinan, keputusan pemberhentian sementara ini saya rasa harus juga mempertimbangkan keadilan yang lebih merata. Dan tentunya dengan sanksi setegas-tegasnya, agar ke depan dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama.
Taman samping dengan saung kayu jati dinaungi pohon-pohon flamboyan berbunga cukup rindang, selalu menjadi tempat ternyaman Mateo menghabiskan sisa senja untuk mengusir suntuk. Entah hanya sekedar membaca beberapa lembar halaman buku falsafah hidup, mengikuti perkembangan berita terbaru dari layar mini tablet miliknya, atau sekedar memberi pakan pada kumpulan koi dalam kolam berundak batu alam seperti apa yang bisa Andreas lihat ketika ia mengayun langkah mendekat.Sebuah cerutu dengan asap mengepul terselip di bibir keriput lelaki tua itu, satu kebiasaan yang sulit hilang sekalipun paru-paru rentanya berteriak kewalahan. Andreas tak perlu heran darimana ia mewarisi kebiasaan candu menyecap batang nikotin setiap kali ia merasa kalut, mengingat kakeknya sendiri adalah pencetus nomor satu menurunkan kebiasaan memuja racun karsinogen itu.Derit kayu terdengar sesaat setelah Andreas ikut mendaratkan diri ke atas saung tempat Mateo masih bergeming duduk. Dirogohnya bungkusan rokok yang sel
Rena mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang sudah menjadi tempatnya bermalam selama dua pekan belakangan. Menikmati momen-momen terakhir sebelum nanti ia kembali bergelung di kamar kontrakannya yang sempit, serta berbaur menghadapi kesibukan monoton dari balik meja kubikel kantor di keesokan hari. Rena mungkin akan sangat merindukan tempat ini. Bagaimanapun juga, waktu dua minggu yang ia habiskan, lebih dari cukup meninggalkan bekas nyata untuk ia ingat di kemudian hari. Mengembus napas panjang, gadis itu melipat selimut sebagai penutup dari usahanya membereskan kamar dan mengepak keperluannya untuk kembali ke Jakarta malam ini. Tidak banyak hal yang ia bawa, selain laptop bersama peralatan kerja lain dalam tas selempang kecilnya. Pakaian yang ia miliki pun hanyalah satu-satunya apa yang melekat di badan sewaktu hari pertama ia menginjakkan kaki ke villa ini. Di luar dari itu, mungkin hanya ada beberapa potongan baju yang sempat dibelikan Andreas se
Penolakan bukan hal baru dalam hidupnya. Beberapa belas tahun lalu, ia pernah berada di titik serupa, bahkan dengan rasa sakit yang jauh lebih besar. Saking hebatnya goresan luka tak terlihat itu, ia nyaris tak bisa merasakan lagi apapun. Termasuk untuk sebuah penyesalan dan amarah sekalipun. Dan satu-satunya hal yang tersisa hanya perasaan hampa dan kosong. Jadi seharusnya semua berjalan baik-baik saja bukan? Belasan tahun tidur diselingi semua mimpi buruk itu, buktinya ia masih bisa bertahan sejauh sekarang. Terbiasa berkawan dengan kehilangan dan perasaan tak diinginkan bukanlah sesuatu yang akan membunuhnya. Ya, Andreas sudah cukup familiar dengan kesakitan seperti itu. Hanya saja kenapa kali ini rasa tak nyaman yang datang sukar sekali memilih sirna? Mematikan puntung rokok kedua, ia menyandarkan diri ke kursi penumpang tanpa melepaskan pandangan dari biasan lampu hilir-mudik kendaraan di luar sana. Embusan napas beratnya terdengar samar. Nyaris setengah j
Rena terbangun dengan keadaan ruang terlampau gelap. Ia tidak yakin selama apa dirinya jatuh tertidur sampai baru kembali terjaga saat langit di luar telah menghitam menyongsong malam. Beringsut bangun, hal pertama yang ia lakukan adalah meraba dinding dan mencari saklar untuk mendapatkan penerangan. Kemudian dengan perlahan membawa tubuhnya menuju kamar mandi membersihkan diri. Langkah Rena terhenti di depan cermin dinding berukuran sedang, menggantung di atas wastafel berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi. Netranya terpancang pada jejak lembab dari bayangan wajah yang dipantulkan di depannya. Seulas senyum miris naik terukir membingkai raut yang memang sudah tampak kacau dan menyedihkan itu. Ah, rupanya tanpa sadar ia bahkan larut menangis dalam tidur. Bertumpu pada pinggiran wastafel, Rena memejam mata berusaha meluruhkan kembali gejolak sesak tersisa. Sejujurnya, ia mulai membenci diri sendiri. Perasaan lemahnya dan ketidakberdayaan dalam memegang
Benar. Mereka memang tidak lagi terbilang asing. Semua hal yang terjadi dua minggu belakangan, menjadi bukti nyata bahwa hubungan yang mengikat keduanya justru lebih dari itu. Apalagi saat nyatanya Rena sendiri sudah mulai menerobos batas-batas masa lalu Andreas yang jarang tersentuh siapapun. Melihat kepribadian sosok tersebut lebih dekat dari orang-orang kebanyakan. Menjadi saksi dari luka lama lelaki itu yang memilih terkubur rapat-rapat. Apa yang tidak akan mungkin dilakukan jika mereka benar-benar asing. Rena cukup tahu. Dan pada akhirnya ia juga menyadari alasan apa yang membuatnya merasa terusik ketika Andreas mengingatkan tentang waktu singkatnya di tempat ini. Awalnya ia pikir keengganan itu murni berasal dari perasaan tak rela karena harus berpisah dari Mbok Irma dan Pak Umar yang sudah ia anggap sebagai orang tua kedua. Atau perasaan keberatan setelah harus melepas suasana tenang dan damai villa ini. Bentuk kenyamanan yang mungkin tak akan ia jumpai di sudut padat
Rena melangkah menuju teras depan dengan kotak P3K melekat dalam pelukannya. Ia merasa seperti de javu karena mengulangi hal yang sama meski dengan situasi berbeda. Tapi tindakan spontannya kali ini murni didasari oleh kehendak hati sendiri, tak seperti sebelumnya yang dilatarbelakangi paksaan nurani. Di undakan tangga beranda, Andreas tampak duduk membelakangi pintu masuk. Tak lupa anak kucing yang sempat ia selamatkan di atas pohon tadi, ikut berbaring malas di sampingnya. Sesekali menyundulkan kepala berbulunya, ketika lelaki itu masih sibuk membersihkan bekas darah pada luka dan sisa-sisa rumput dengan selang dari keran air yang biasa digunakan Mbok Irma menyiram tanaman. Rena semakin merapatkan jarak. Ia bisa mendengar jelas bagaimana lelaki itu mendesis lirih karena sedikit rasa perih dari luka terbuka terkena sapuan air. "Apa cukup parah?" tanyanya, begitu sampai dua langkah dari posisi Andreas terduduk. Suara seseorang yang muncul tiba-t
"Saya belum sempat menyampaikan masalah ini sewaktu anda mendarat dari Makassar kemarin. Meskipun belum ada surat panggilan resminya, tapi beberapa anggota direksi mulai mendesak para komisaris untuk mengambil sanksi tegas atas tindakan konferensi pers anda minggu lalu, yang dianggap berpengaruh merusak nama baik perusahaan di mata masyarakat." Andreas membiarkan suara Lukman tetap terjangkau di telinganya seraya ia menuruni undakan tangga beranda. Berjalan menuju Alphard hitam miliknya yang terparkir di pekarangan. Semenjak turun dari mobil dengan terburu-buru semalam, ia sempat melupakan pengisi daya gawainya yang tertinggal pada dashboard di dalam sana. Selain itu, ada beberapa berkas penting dari hasil negosiasi sengketa tanah kebun kakao Sulawesi yang belum ia keluarkan dari mobil setiba di apartemen kemarin. "Para petinggi berencana sepakat melangsungkan rapat jajaran eksekutif untuk mengusulkan pemberhentian sementara anda sebagai Direktur Utama,
Rena tak mengerti. Ia sungguh-sungguh tak mengerti. Menghadapi segala perubahan sikap Andreas secara tiba-tiba dan tak terduga, terasa seperti mencemari logikanya. Mulai dari kemunculan dadakan lelaki itu semalam, pelukan mengejutkan yang ia berikan, tawaran gila untuk menjadikannya teman tidur, hingga perubahan sikap aneh lainnya pagi ini di meja makan.Semua menjadi sangat membingungkan untuk Rena cerna. Dan ia rasanya bisa mati berdiri jika menyimpan segala kemelut ini seorang diri. Untuk itu, mencari nama Mala di layar kontak adalah pelarian terbaik. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat membagi keresahannya. Tentu saja dengan sedikit improvisasi kebohongan agar tidak membocorkan identitas si sumber kekacauan."Ya apa lagi, Ren. Udah jelas, kan? Kalau sampai main peluk-peluk begitu, apalagi sempat nawarin buat bawa kamu ke ranjang, itu tandanya dia memang minat sama kamu."Rena mendengus kesal. "Aku udah bilang tawaran teman tidur yang dimaksud bukan