Jelita membuka pesan yang dikirimkan Candra padanya.
[Aku peringatkan padamu! Jangan usik Hayu! Jika tidak, kamu akan berurusan denganku, sebaiknya kamu jaga kekasihmu itu agar tak menemuinya! Katakan padanya untuk menjadi pria sejati, bukan seorang pecundang.]Jelita menghela nafasnya, dia tak suka dengan pesan yang dikirimkan Candra padanya, pesan yang mengatakan bahwa dia akan berhadapan dengan sahabatnya yang dulu begitu memujanya itu. Pertemanan mereka yang sudah terjalin bertahun-tahun, akhirnya menjadi terpecah belah hanya karena perempuan. Perempuan yang sama, yang hanya seorang sekretaris, dan bukan dari kalangan mereka, yang hanya orang biasa saja.Jelita tertawa miris, menertawakan dirinya yang tampak menyedihkan, kalah dengan perempuan yang bukan selevel dengannya.Jelita keluar dari kafetaria, tujuan utamanya adakah ke kantor Bisma, dia ingin tahu apa yang dilakukan calon suaminya itu di kantor, kenapa akhir-akhir ini dia mendengar selentingan yang tHayu kembali ke kantornya, tampak candra sedang duduk di kursinya dan melamun. Hayu memicingkan matanya, entah apa yang sedang dilakukan atasannya itu, di meja kerjanya, hingga dia termangu. “Pak, Bapak kesambet?” Candra menatap Hayu, melotot ke arah Hayu. “Kamu ini ,aku khawatir denganmu, kamu malah seenak jidatmu mengatai saya kesambet, kamu pikir di sini ada setannya, setannya baru saja datang. Jadi mana mungkin aku kesambet.” Hayu terkekeh, dia tahu atasannya itu mengatainya, tapi Hayu acuh tak acuh, dia mendorong Candra, agar menyingkir dari kursi kebesarannya. “Please, kembali ke habitat Bapak, i need work!” Candra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia sendiri bingung kenapa begitu mengkhawatirkan sekretarisnya. Hayu menatapnya tajam, membuat Candra mau tak mau kembali ke ruangannya. Dengan Hayu, dia benar-benar kalah dan mengalah. Hayu sudah memegang kendali atas dirinya. Candra tak mampu membantah wanita yang dia cintai itu sedikit pun. Dengan la
Candra diam membisu, dia tahu betapa kejamnya dunia bisnis, karena itulah dia tidak mau mengurus perusahaan keluarganya, dia lebih suka menjadi pegawai ketimbang harus mengurus banyak orang dan berhadapan dengan klien mereka atau mereka yang terang-terangan memperlihatkan persaingan yang sengit.Hayu masuk membawa secangkir kopi, menaruhnya di meja yang berada di depan Bisma, Candra melirik mereka berdua, tampaknya Hayu benar-benar sudah tidak mau peduli lagi dengan mantan kekasihnya. Ada rasa tenang di hati Candra melihat interaksi mereka, katakan saja dia jahat, tapi kali ini dia tidak ingin melepaskan Hayu begitu saja. Dia mau Hayu kali ini, dan juga seterusnya.“Minum, Bisma. Kamu kenapa, sepertinya sedang ada beban berat begitu. Apa Om Adibrata tidak membantumu kali ini, apa dia lepas tangan sehingga kamu salah mengambil langkah?”“Papi sudah hampir tiga hari ini menghilang, kami juga sedang mencarinya, saat yang urgen seperti, ini dia malah menghilang entah ke m
Candra otomatis menoleh, mengarahkan pandangannya, ke arah yang dituju Hayu, dia hampir saja tertawa, ketika melihat mami Bisma sedang berada di sana serang diri. Mungkin sedang menunggu Bisma atau Jelita.“Durhaka, kamu. Kualat sama orang tua. Nanti kalau kamu dikutuk bagaimana? Apa kamu tak takut kalau dia mengutukmu jadi kaya raya.”“Oh, tentu saja, saya tidak menolak kutukan semacam itu, hanya orang bodoh yang menolak kutukan menjadi kaya raya.”Candra mengulum senyum, diacaknya rambut Hayu gemas, namun pemilik rambut itu segera menepiskan tangan Candra, dia kesal jika rambutnya acak-acakan, apalagi sebentar lagi mereka akan bertemu dengan klien yang merangkap partner kerja Candra.Candra merangkulnya, Hayu membiarkannya, sekalian saja dia memanasi Bu Ayu yang sedang melihatnya.Mereka melihat Sean dan juga Dina yang sudah menunggunya di sudut restoran, mereka berdiri menyambut Candra dan juga Hayu. Dia menaik-turunkan aslinya menatap ke arah Hayu, bagai
Dina dan Hayu saling berpandangan, mereka kesusahan menelan salivanya, agak ngeri mendengar peringatan dari Candra tentang uang pesangon. Dina masih butuh pekerjaan, bagaimana dia bisa membayar cicilan mobil dan apartemennya jika dia jadi pengangguran, sementara bekerja dengan Sean, meski melelahkan, gaji yang diberikan padanya cukup tinggi.“Sir, are you kidding me? Don’t do it, Sir, please. I need work, i need money,” ucap Dina mengiba.Dina melancarkan aksinya. Dia sungguh tak mau menjadi pengangguran sejati. Mencari pekerjaan jaman sekarang juga susah. Apalagi dengan gaji yang menggiurkan.Sean terkekeh, tak menyangka jika reaksi sekretarisnya itu akan seperti itu.“Who says? Pak Candra yang mengatakan seperti itu, bukan saya,” ucapnya mengulas senyum.Hayu bahkan melongo melihat atasan Dina yang bertambah kadar ketampanannya, sejak memasang senyum yang tak lepas dari bibirnya yang sexy.“Pak, saya kok jadi pengen pingsan ya, melihat pak Sean ter
Hayu dan Jelita masuk ke dalam ruangan. Jujur dia agak terkejut dengan kedatangan Jelita, namun dengan segera Candra menguasai dirinya, dia memasang wajah datar dan dingin seperti biasanya.“Thanks, Yu. Berikan tamu kita minum,” kata Candra memberi perintah pada sekretarisnya.“Baik, Pak.” Hayu keluar, melangkah menuju pantri dan membuatkan minum untuk Jelita.Candra duduk berhadapan dengan Jelita, dia masih acuh tak acuh, menunggu Jelita membuka suara.“Ndra, apa aku mengganggu kamu?” tanya Jelita, melihat Candra yang tidak begitu ramah padanya, akhirnya kata-kata itu yang pertama kali keluar dari mulutnya, alih-alih mengatakan alasannya kenapa dia datang ke kantor Candra. Apalagi mengingat pesan yang dikirimkan Candra padanya tadi pagi, jujur, itu membuat nyali Jelita menciut.“Kamu bisa lihat sendiri bukan? Tanpa perlu aku jawab, kamu sudah tahu apa yang aku lakukan, jadi langsung saja kamu katakan apa maksud kedatangan kamu kali ini, bahkan seharian ini
Minggu pagi, hari dimana semua orang menunggunya. Mereka yang bekerja bisa melakukan family time ataupun me time, setelah enam hari bekerja keras.Namun naas bagi Hayu, hari ini dia harus pergi ke kediaman keluarga Hardana. Kemarin ketika baru saja dia selesai berdebat dengan Candra dan mendorong atasannya masuk ke ruangannya, Bu Nia datang ke kantor Candra, beliau menghampiri Hayu dan mengatakan, jika hari ini ingin mengajak Hayu membuat kue. Jadi, mau tidak mau Hayu pun menyetujui permintaan wanita ramah itu.Hayu segera bangkit dari ranjangnya, dia bersiap-siap dan harus segera berangkat ke sana. Baginya cepat berangkat sama dengan cepat pulang. Naif memang, tapi itulah harapan yang selalu dia tanamkan pada dirinya. Membuatnya berpikir sepositif mungkin agar dia bersemangat.Hayu yang memakai kulot serta crop tee dan sneakers, tampak seperti anak kuliahan. Wajahnya yang baby face tak memperlihatkan umurnya yang sudah saatnya membina rumah dan tangga.Hayu tur
Setelah terombang-ambing dengan kegilaan sekretarisnya, akhirnya Hayu dan Candra sampai juga di kediaman keluarga Hardana. Bu Nia sudah menyambut mereka berdua di depan pintu masuk. Dia bahagia melihat Hayu datang.Bu Nia sama sekali tidak peduli dengan putranya, dia malah sibuk merangkul Hayu dan mengajaknya masuk ke dalam rumahnya.“Kamu sudah sarapan?”Hayu menggeleng, dia sendiri malah lupa, jika dia sama sekali belum memasukkan apapun ke dalam perutnya."Ayo kita makan dulu, setelah itu temani Ibu ke mall."Hayu melongo, seingatnya mama Candra mengajaknya membuat kue, kenapa jadi mengajaknya ke mall, apa mungkin mengajaknya membeli bahan-bahan terlebih dahulu.Candra yang berjalan di belakang mereka pun kesal, dia seperti di anak tirikan oleh mamanya sendiri. Mereka bertiga sudah duduk di meja makan, jangan tanya papa Candra, tentu saja beliau pagi-pagi sudah berada di lapangan golf.Bu Nia menyiapkan sarapan untuk Hayu dan Candra, beliau send
Saat mereka hendak keluar dari counter sepatu, mereka bertiga berpapasan dengan orang yang paling tak diharapkan Candra.Bu Ayu sedang bersama dengan Jelita, sungguh kebetulan yang membuat mood semua orang anjlok seketika. Bu Ayu menatap Hayu dari atas ke bawah. Bu Nia yang tidak menyukai hal itu pun berdeham.“Hem, ehem, kenapa melihatnya seperti itu jenk, ada yang salah dengan calon menantu saya?” tanya Bu Nia tanpa beban.Jedar!Hayu kaget mendengar pengakuan terang-terangan dari Bu Nia, sedangkan Candra menampilkan wajah datar, tak terkejut sama sekali dengan perkataan ibunya.Jelita dan Bu ayu seketika pias, tak menyangka wanita yang baru kemarin di tendang dari rumahnya, sudah bisa menggaet hati keluarga Hardana."Apa kamu yakin, Jeng. Dia itu nggak sederajat dengan kita, memang kamu nggak malu punya menantu seperti dia, cuma seorang anak yatim piatu yang hanya memiliki ibu. Apa kata dunia kalau pewaris Hardana Group menikah dengan sekretarisnya y
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya. “Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?” “Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?” Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu. “Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.” Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu. Hayu mencium
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan. “Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu. Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.” Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes. Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya. “Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?” Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!” Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk. Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga b
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Mau tak mau Hayu pun membuka matanya, Dia malu sekali karena ketahuan oleh Candra. Candra tersenyum melihat Hayu membuka mata. “Apa kamu menginginkan sesuatu atau kamu mau sarapan apa? Mungkin aku bisa membelikannya untukmu." Hayu menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu repot-repot, Ibu pasti sudah memasakkan sesuatu untuk kita, aku sudah bilang padamu bukan, kalau hari ini, aku ingin di rumah saja.” Candra mengangguk, “Tentu saja, bukankah aku sudah berjanji padamu kemarin, kalau hari ini kamu bisa mengambil cuti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu, baru kamu masuk kerja, toh semuanya sudah aku selesaikan. Bisma juga sudah menandatangani semua yang kita butuhkan. Kalau kamu menginginkan sesuatu atau kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal meneleponku dan aku akan secepat mungkin datang kemari. Sekarang aku harus pergi ke kantor.” Hayu mengangguk. Namun sejurus kemudian ibu Hayu sudah berada di ambang pintu kamar Hayu. “Sarapan dulu sebelum kamu pergi ke kantor, kamu
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men