Minggu pagi, hari dimana semua orang menunggunya. Mereka yang bekerja bisa melakukan family time ataupun me time, setelah enam hari bekerja keras.
Namun naas bagi Hayu, hari ini dia harus pergi ke kediaman keluarga Hardana. Kemarin ketika baru saja dia selesai berdebat dengan Candra dan mendorong atasannya masuk ke ruangannya, Bu Nia datang ke kantor Candra, beliau menghampiri Hayu dan mengatakan, jika hari ini ingin mengajak Hayu membuat kue. Jadi, mau tidak mau Hayu pun menyetujui permintaan wanita ramah itu.Hayu segera bangkit dari ranjangnya, dia bersiap-siap dan harus segera berangkat ke sana. Baginya cepat berangkat sama dengan cepat pulang. Naif memang, tapi itulah harapan yang selalu dia tanamkan pada dirinya. Membuatnya berpikir sepositif mungkin agar dia bersemangat.Hayu yang memakai kulot serta crop tee dan sneakers, tampak seperti anak kuliahan. Wajahnya yang baby face tak memperlihatkan umurnya yang sudah saatnya membina rumah dan tangga.Hayu turSetelah terombang-ambing dengan kegilaan sekretarisnya, akhirnya Hayu dan Candra sampai juga di kediaman keluarga Hardana. Bu Nia sudah menyambut mereka berdua di depan pintu masuk. Dia bahagia melihat Hayu datang.Bu Nia sama sekali tidak peduli dengan putranya, dia malah sibuk merangkul Hayu dan mengajaknya masuk ke dalam rumahnya.“Kamu sudah sarapan?”Hayu menggeleng, dia sendiri malah lupa, jika dia sama sekali belum memasukkan apapun ke dalam perutnya."Ayo kita makan dulu, setelah itu temani Ibu ke mall."Hayu melongo, seingatnya mama Candra mengajaknya membuat kue, kenapa jadi mengajaknya ke mall, apa mungkin mengajaknya membeli bahan-bahan terlebih dahulu.Candra yang berjalan di belakang mereka pun kesal, dia seperti di anak tirikan oleh mamanya sendiri. Mereka bertiga sudah duduk di meja makan, jangan tanya papa Candra, tentu saja beliau pagi-pagi sudah berada di lapangan golf.Bu Nia menyiapkan sarapan untuk Hayu dan Candra, beliau send
Saat mereka hendak keluar dari counter sepatu, mereka bertiga berpapasan dengan orang yang paling tak diharapkan Candra.Bu Ayu sedang bersama dengan Jelita, sungguh kebetulan yang membuat mood semua orang anjlok seketika. Bu Ayu menatap Hayu dari atas ke bawah. Bu Nia yang tidak menyukai hal itu pun berdeham.“Hem, ehem, kenapa melihatnya seperti itu jenk, ada yang salah dengan calon menantu saya?” tanya Bu Nia tanpa beban.Jedar!Hayu kaget mendengar pengakuan terang-terangan dari Bu Nia, sedangkan Candra menampilkan wajah datar, tak terkejut sama sekali dengan perkataan ibunya.Jelita dan Bu ayu seketika pias, tak menyangka wanita yang baru kemarin di tendang dari rumahnya, sudah bisa menggaet hati keluarga Hardana."Apa kamu yakin, Jeng. Dia itu nggak sederajat dengan kita, memang kamu nggak malu punya menantu seperti dia, cuma seorang anak yatim piatu yang hanya memiliki ibu. Apa kata dunia kalau pewaris Hardana Group menikah dengan sekretarisnya y
Bu Ayu yang masih saja terngiang dengan perkataan Bu Nia, dia mendadak tidak mood lagi meneruskan keinginannya untuk memutari mall, dia mengajak Jelita pulang.Sejujurnya dia sudah curiga, beberapa hari ini sebelum hilangnya suaminya, dia seolah acuh tak acuh dengannya. Bahkan dia juga lebih sibuk dengan ponselnya ketimbang bercengkerama dengan dirinya. Mereka berdua terasa jauh satu sama lain.Banyak pertanyaan berkecamuk di dalam benaknya, dengan siapa suaminya itu berani bermain api, dia bukanlah wanita yang bisa di ajak main-main, sekali saja dia di khianati, maka dia tidak akan memaafkannya begitu saja.Apa karena ini, suaminya memberikan hak penuh perusahaan pada putranya, agar dia lebih bebas dan leluasa melakukan segala hal yang dia inginkan tanpa bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Wanita mana yang mampu membuat suaminya hilang kewarasannya hingga dia mengorbankan banyak hal. Dia harus segera menyuruh orang untuk menyelidikinya, sebelum semuanya terl
Hayu merebahkan dirinya di ranjang, seharian memutari mall cukup membuatnya lelah, tiba-tiba saja dia memiliki penyakit encok. Ibu Hayu yang tahu anaknya kelelahan masuk ke kamar mengantarkan jahe lemon hangat. Hayu yang sedang berbaring pun bangun dan tersenyum ke arah ibunya. “Terima kasih, Bu.” Ibu Hayyu menangguk dan duduk di sebelah putrinya, “Capek, Nduk?” “Nggih, Bu. Seharian muter-muter mall, Bu Nia bilang bikin kue, tapi malah mengajak Hayu menghabiskan uang, yang tak ada habisnya,” ujar Hayu mendesah. Ibunya tersenyum melihat anaknya, di luar sana akan banyak perempuan yang menyukai hang out ke mall atau sekedar nongkrong di cafe, tapi anaknya itu sama sekali tak menyukainya. Dia cukup paham situasi keluarganya. “Kamu membeli barang sebanyak ini? Tumben?” Hayu buru-buru mengambil salah satu paperbag dengan brand ternama dan memberikannya pada ibunya. “Ini buat Ibu, semua ini bukan Hayu yang membelinya, Bu Nia dan Candra. Hayu sudah menolakny
Candra yang baru saja keluar dari kamar mandi dan melihat Bisma sedang menatap Hayu pun kesal, dia cemburu Bisma menatap Hayu selekat itu.Dia berdeham, menyadarkan Bisma jika dia sudah ada di sana. “Ehm, sudah lama? Ada apa kemari, bukankah tadi kita bertemu, apa ada hal lain yang membuatmu harus datang kemari, mengajakku makan malam, misalnya?” Hayu kesal dengan perkataan yang diucapkan Candra, entah apa maksudnya, dia ingin memanasi Bisma atau apa. Hayu juga tidak mau peduli. Dia masih sibuk menundukkan wajahnya.“Urusan kita sudah selesai, kamu bisa pulang sekarang,” ucap Candra pada sahabatnya. Dia tahu Hayu sedang sedih saat ini. Hal itu membuat Candra kesal. Bisma yang tahu jika saat ini dia tidak diinginkan di sana pun, dengan enggan berdiri. Dia mengambil berkas yang sudah mereka tanda tangani dan beranjak dari sana.“Aku pergi dulu, Hayu. Nikmati waktu kalian,” ucapnya pedih, bahkan Hayu bisa menangkap getaran pada suaranya itu.Hayu mengang
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya. “Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?” “Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?” Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu. “Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.” Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu. Hayu mencium
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan. “Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu. Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.” Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes. Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya. “Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?” Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!” Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk. Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga b
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Mau tak mau Hayu pun membuka matanya, Dia malu sekali karena ketahuan oleh Candra. Candra tersenyum melihat Hayu membuka mata. “Apa kamu menginginkan sesuatu atau kamu mau sarapan apa? Mungkin aku bisa membelikannya untukmu." Hayu menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu repot-repot, Ibu pasti sudah memasakkan sesuatu untuk kita, aku sudah bilang padamu bukan, kalau hari ini, aku ingin di rumah saja.” Candra mengangguk, “Tentu saja, bukankah aku sudah berjanji padamu kemarin, kalau hari ini kamu bisa mengambil cuti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu, baru kamu masuk kerja, toh semuanya sudah aku selesaikan. Bisma juga sudah menandatangani semua yang kita butuhkan. Kalau kamu menginginkan sesuatu atau kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal meneleponku dan aku akan secepat mungkin datang kemari. Sekarang aku harus pergi ke kantor.” Hayu mengangguk. Namun sejurus kemudian ibu Hayu sudah berada di ambang pintu kamar Hayu. “Sarapan dulu sebelum kamu pergi ke kantor, kamu
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men