Nehan begitu tampan. Mimi memandang kekasihnya dengan dada berdebar. Berdua menikmati hari, indahnya. Nehan bercerita banyak tentang apa saja yang dia lakukan saat pulang ke Jember. Kegiatan ini dan itu bersama teman-teman membuat Nehan merasa hari-harinya berwarna. Mimi ikut gembira dengan semua yang Nehan tuturkan. Itulah Nehan Mahadi, selalu bersemangat dengan apa yang bisa dia kerjakan setiap hari. Hanya sehari bersama, tapi cukup melepas rindu yang sudah bertumpuk sejak libur dimulai. Dari jam sepuluh pagi Nehan menjemput, Mimi dan Nehan mengelilingi kota Surabaya. Jalan-jalan di mall, nonton bareng, masuk arena bermain, hingga makan malam. Ah, asyik, takkan terlupakan. Sederhana saja, tapi tetap menyenangkan. Bukan soal di mana dan bagaimana, yang paling penting dengan siapa bisa menghabiskan waktu. Jika itu dengan dia yang terkasih, semua sangat berkesan. "Ya, sudah malam. Harus mengantar kamu pulang. Dan aku harus balik ke kampung halaman. Coba bisa bawa kamu ke sana, Mi. A
"Tuhan, tolong buat ini berhasil. Kumohon." Mimi mendekap amplop di dadanya. Dia menulis surat pada Allan, isinya penjelasan tentang alasan Mimi tidak berani mengatakan tentang Nehan pada Allan. Dia berharap isi surat itu akan bisa membuka pikiran Allan lalu dia bisa mengerti Mimi. Mimi keluar kamarnya, dia berhenti di depan kamar Allan. Dia menunduk, meletakkan amplop di bawah pintu, lalu dia dorong masuk ke dalam kamar. Sebenarnya Mimi lebih senang jika dia bisa langsung bicara dengan Allan. Masalahnya pesan Mimi tak pernah dibaca. Apalagi telpon, di-reject terus. Menulis surat satu-satunya peluang yang mungkin bisa jadi solusi. Setelah yakin surat itu masuk, Mimi berdiri lagi. Dia betulkan posisi tasnya kemudian berjalan keluar rumah. Mimi berangkat ke kampus. Kembali semester ini Mimi menuju tempat kuliah dengan ojol. Dia kangen duduk di boncengan, di belakang Allan sambil ngobrol. Sesekali Allan akan bercanda dan membuat Mimi tertawa. "Aku kangen Kak Allan yang sudah cer
Hujan turun tidak begitu deras, tapi cukup lama. Sejak siang hingga menjelang sore rintiknya belum juga berhenti. Mimi menatap keluar jendela kamar. Dia perhatikan titik hujan yang jatuh bergantian terus saja membasahi tanah. Ini hari ketiga dia tinggal di tempat kos. Memang dia tidak melihat wajah ketus Allan. Dia tidak perlu berhati-hati bersikap dan takut-takut kalau melakukan sesuatu yang membuat Allan marah. Namun, entah kenapa dia tetap tidak tenang. "Apa Kak Allan ga buka suratku? Apa setega itu? Mungkin saja sudah, tapi dia ga peduli." Hati Mimi bergelut. Allan tak pernah bisa sepenuhnya menyingkir dari pikirannya. Klekk! Mimi menoleh ke arah pintu. Dayinta masuk je kamar, membawa nampan di tangannya. Dia mendekati Mimi dan duduk di sebelah gadis itu. "Lihat, Mi." Senyum Dayinta melebar. Dia tunjukkan nampan yang dia bawa ke depan Mimi. "Teh panas dan pisang goreng. Mantap, kan?" Mimi melihatnya, dia ikut tersenyum. "Cocok banget. Hujan-hujan gini." "Yuk, serbu." D
Di hadapan Mimi berdiri wanita lembut tapi tegas itu. Wanita yang buat Mimi seperti ibu keduanya. Dia ternyata rindu juga pada Velia. Mimi rindu pelukan dan senyum wanita itu. Senyum itu sedang tertuju pada Mimi. "Apa kabar, Sayang?" sapa Velia masih dengan senyum terurai di bagian bibirnya. Mimi memeluk Velia erat. "Aku baik, Tan. Aku sangat kangen sama Tante." Velia membalas pelukan Mimi. Velia pun merindukan gadis itu. Dia sudah terbiasa dengan nyanyian Mimi di rumah. Tawanya yang renyah dan riang memenuhi seluruh ruangan. Semua itu tidak ada lagi. Rumahnya kembali sunyi, dengan Allan yang tidak ceria, yang hanya berdiam diri di kamar atau di ruang kerjanya. "Untunglah kalau kamu baik-baik. Tante agak longgar pekerjaan hari ini, makanya sengaja pingin lihat kamu." Velia memegang kedua tangan Mimi, seperti tidak ingin melepas gadis itu. Kalau mau jujur jauh di dasar hatinya dia berharap Mimi juga cinta pada Allan. Karena bersama Mimi, Allan makin baik dan jauh lebih tenang.
Allan masih mempertimbangkan untuk bertanya lebih jauh tentang situasi papa dan mamanya hingga mereka bisa bersama. Bahkan yang membuat Allan ingin tahu lebih lagi adalah, mengapa Ferdinand sampai nekat berdusta, pada istrinya, pada Velia, sampai terjadi pernikahannya yang kedua. Apakah karena dia tulus cinta pada Velia? Apakah dia kecewa dengan istri pertamanya? Bagaimana bisa dia menyembunyikan begitu rapi kisah cinta dengan Velia? Semua pertanyaan itu sering berkeliling di kepala Allan. "Aku memang melakukan kesalahan dengan membiarkan diriku terlena dan tidak setia pada Lea. Dia wanita yang baik. Dia merawat dua kakak perempuan kamu dengan baik. Aku bahagia memiliki mereka. Tapi, saat bertemu mama kamu, aku tak bisa menahan diri. Velia wanita idaman buatku. Lea baik, hanya dia berbeda. Aku mencintai keduanya ..." "Jadi diam-diam kalian saling bertemu di belakang aku?!" Ayah dan anak itu dengan cepat menoleh ke arah pintu. Velia berdiri di sana dengan mata menyala. Dia sangat
Senyum Mimi menghilang. Dia tahu Dayinta galau. Bagaimana bisa Ricky menyukai dirinya. Dayinta dan Ricky itu bagai langit dan bumi jaraknya. Seperti utara dan selatan yang tidak pernah bisa ketemu. Tapi siapa yang tahu misteri hati dan cinta. Dayinta cewek yang kuat, penuh semangat, pemberani, dan tangguh. Ricky, dia cowok yang tidak terkesan macho, rada ngalem, selengekan, tapi setia kawan dan perhatian. Justru kesannya Dayinta lebih macho dari Ricky. "Day, Ricky baik, kan? Selama ini dia care, tulus, dan ga lelah bantuin kamu dan aku. Kurasa dia serius dengan cintanya. Pikirkan deh, untuk terima dia." Mimi menyampaikan apa yang ada di pikirannya. "Kamu yang bener saja." Dayinta menyahut. Bagaimana bisa dia menerima Ricky kalau hatinya masih nyangkut sama Allan? Meskipun benar, Dayinta sadar, Allan tidak akan melihat padanya, karena pria dingin itu cinta Mimi, bukan berarti dia lalu dengan gampang menerima Ricky. "Bisa dicoba, Day." Mimi membujuk Dayinta. "Beli baju bisa dic
Hati Ricky tidak bisa tenang sejak dia melihat Nehan bersama seorang gadis di dalam mobil tadi. Dia harus memastikan bahwa pikirannya tentang Nehan salah. Gadis yang bersama Nehan bukan siapa-siapa, hanya teman saja. Kebetulan, ada teman Ricky yang tinggal satu tempat kos dengan Nehan. Jadi Ricky memutuskan pergi ke sana untuk mendapat informasi tentang Nehan. "Hei, tumben kamu ke sini. Ada perlu apa?" sambut teman Ricky begitu Ricky sampai di tempat kosnya. "Suntuk aja, Man. Tugas lagi penuh, pingin refreshing." Ricky menepuk bahu Diman. Diman mengajak Ricky masuk ke kamarnya. "Tugas banyak itu dikerjakan. Kok malah maunya nyantai." "Kamu lagi kerja tugas?" tanya Ricky. Mereka sudah di dalam kamar. "Nggak. Lagi nonton." Tanpa merasa bersalah Diman menjawab. "Sialan! Kirain kamu kerja tugas!" Bukan lagi menepuk, Ricky menonjok lengan Diman. "Adauhh!!" Diman sedikit berteriak karena sakit juga lengannya. Ricky ngakak. "Tapi kebetulan dong, aku ikutan deh, nonton. Film apa?" R
Sementara makan, suasana antara Ricky dan Dayinta sedikit kaku. Sangat beda dari biasanya. Yang umum terjadi kalau mereka ketemu keributan muncul. Tapi kali ini seolah keduanya tenggelam dalam dunia masing-masing. "Enak banget. Kamu mau nambah, ga?" Ricky memecah kesunyian di antara mereka. "Oh? Eh, nggak, deh. Udah kenyang aku. Kamu kalau mau nambah ya silakan aja." Dayinta menyahut. Dia melanjutkan menghabiskan sisa makanannya yang tinggal tiga suap. "Baiklah. Kamu ga usah galau. Mimi pasti baik-baik. Kita akan jaga dia. Oke?" Ricky menenangkan Ricky. Itu yang Ricky pikirkan. Dayinta resah karena kabar yang Ricky sampaikan. Dayinta sedikit lega, Ricky tidak curiga kalau dia gelisah justru karena penyataan cinta Ricky beberapa hari lalu. Dayinta menunggu apakah Rikcy berniat akan mengatakan lagi, meyakinkan Dayinta tentang hatinya atau dia memilih mundur dan tetap bersahabat saja. Tidak lama setelah itu, mereka pun pulang. Sampai di tempat kos, Dayinta langsung mencari Mimi. Dia
Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita
Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya
Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje
Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi
Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub
Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T
Allan kembali ke ruangan. Andini dan Yudha tampak tersenyum satu sama lain. Allan mencoba mencermati wajah mereka. Tampak biasa saja. Tidak ada yang aneh. Allan juga mendengar pembicaraan mereka bukan tentang sesuatu yang khusus di antara mereka. Tidak lama kemudian, Allan dan Andini pamitan, meninggalkan Yudha. Dalam perjalanan pulang, ingin sekali Allan bertanya, tapi dia merasa tidak nyaman. Bagaimanapun, Andini pernah ada rasa padanya. Dia mengenal Andini sebagai kakak belum begitu lama. Kikuk dan canggung bertanya hal-hal semacam itu. Allan mengantar Andini ke hotel lalu dia kembali pulang. Baru selesai mandi, dering ponsel terdengar keras. Cepat-cepat dia menerima panggilan itu. Yudha yang menghubunginya. Dengan semangat Yudha menceritakan apa yang terjadi pada pertemuan terakhirnya dengan Andini. Gadis itu menerima Yudha. Mata Allan melebar, dadanya berdegup kencang. Kenapa dia yang merasa tidak karuan padahal Yudha yang mendapat jawaban cinta? "Yudha, serius? Ini beneran?" A
Mimi memperhatikan dua design yang ada di tangannya. Keduanya sangat manis dan Mimi suka. Allan ternyata punya selera bagus juga dalam mode. Mimi memilih gaun dengan model slim di badan, lengan sampai di siku, dari pinggang higga selutut melebar. Allan tersenyum saat Mimi menunjuk design yang dia pilih. Benar-benar mewakili karakter Mimi. Imut, ceria, tetapi juga cerdas. Allan makin tidak sabar segera melihat Mimi memakainya. Dan itu di hari istimewa mereka. Allan sudah menyiapkan hari dia akan datang menemui orang tua Mimi di Surabaya, menggelar pertunangan di sana. "Kak, makasih banget. Aku ga mikir apapun soal pertunangan. Tapi Kak Allan, astaga, aku benar-benar terkejut," ujar Mimi sambil tersenyum senang. Mata cerah Mimi membuat Allan ikut tersenyum lebar. Keluar dari butik itu, Allan langsung membawa Mimi pulang ke salah satu hotel tak jauh dari situ. Kejutan apa lagi yang Allan siapkan? Mimi merasa sore itu Allan bertingkah begitu berbeda. "Kak Astari dan Kak Andin datang. B
Seketika Mimi mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Guntur. Dia menggigit bibirnya dan memandang sedikit takut pada pimpinannya itu. "Katakan saja yang kamu tahu. Aku tahu kamu gadis yang jujur. Aku juga berharap kamu gadis yang berani." Tatapan Guntur tertuju pada Mimi. Makin berdesir hati Mimi. Seperti yang Guntur pikirkan, memang ada masalah dengan pelaporan itu. Mimi merasa makin sulit situasinya. Ini akan menjadi kesempatan dia jadi pahlawan atau di sisi lain, dia akan menjadi musuh beberapa orang di kantor itu. Yang pasti, Mimi tidak mungkin tidak mengatakan yang dia temukan. Jika dia mengatakan yang berbeda karena ingin aman, bisa jadi dia dinilai sebagai pegawai yang buruk. "Mimi, waktu kita tidak banyak." Guntur menegaskan karena Mimi tidak segera menjawab. "Saya minta maaf, Pak, ini ..." Mimi mendekat dan menunjukkan yang dia lihat pada laporan itu. Dag dig di dadanya bukan makin surut. Dalam hati Mimi terus berdoa hari ini menjadi hari baik buatnya. Kalaupun yang ter