Kiara memutar kursinya begitu dia memutuskan sambungan telepon. Dia melihat Nabila yang tersenyum lebar di meja seberang.
“Keuntungan kita bulan ini naik dua puluh persen!” ungkapnya dengan mata berbinar, memandangi layar laptop.
“Dan kita baru saja mendapatkan reseller baru.”
Nabila bersandar sambil menghela napas pendek. “Gue nggak menyangka usaha kita bisa berkembang pesat seperti sekarang. Pilihan gue untuk resign dan membangun usaha bereng lo ternyata memang pilihan yang tepat.”
Empat tahun lalu, setelah Kiara mendapat warisan dari ibunya dan membongkar kejanggalan kebakaran rumah ayahnya, Tante Ayu mengambil alih operasional resor di Batam sehingga Kiara bisa kembali ke Jakarta dan kuliah.
Kiara memutuskan untuk mengambil jurusan bisnis dan manajemen dan lulus 3,5 tahun kemudian sebagai salah satu lulusan terbaik. Setelah itu, terbesit keinginan untuk melamar pekerjaan di perusahaan besar.
“Lihat itu,” Arianto Djaya melempar koran harian dengan kasar di hadapan Ray.Ray hanya bisa menghela napas pasrah. Secara khusus, Arianto memanggil putra bungsunya itu ke rumah.Tangan Ray menjangkau koran itu. Matanya terpaku pada headline hari ini. Mendadak kepalanya pening. Lagi-lagi masalah menimpa perusahaan yang dipimpinnya.“Mereka menyoroti soal pembuangan limbah di pabrikmu.” Arianto berujar berang. “Kau tahu, wartawan itu bahkan berhasil melakukan investigasi yang mendalam. Pembuangan limbah Sinar Tekstil ternyata membahayakan warga sekitar! Kau tahu kan konsekuensinya bagi perusahaanku yang lain?!”“Maaf, Pa.”“Sudah kesejuta kalinya kau minta maaf padaku. Tapi ucapan maafmu itu hanya omong kosong belaka!” Arianto menggebrak pinggiran meja kerjanya.“Aku sudah berusaha setengah mati untuk menekan biaya operasional perusahaan. Kalau Sinar Tekstil menerapkan
Embusan angin kencang membuat butiran-butiran air hujan serta beberapa daun kering menghantam jendela kaca di ruangan Kiara. Di luar, hujan turun dengan derasnya. Sesekali petir menyambar yang membuat Kiara tersentak.Tiba-tiba saja ada satu pesan masuk di ponselnya. Dia sedikit kaget mendapati nama Gian muncul di layar. Kiara tidak bisa menahan senyumnya yang langsung mengembang begitu tahu bahwa Gian mengajaknya bertemu di sebuah café setelah jam kerja selesai.“Gimana kabar Nabila?” tanya Gian setelah menyeruput minuman hangat di hadapannya.Kini, mereka duduk di sebuah café bergaya retro dengan banyak sentuhan kayu dan pajangan-pajangan klasik yang menghiasi ruangan. Lagu-lagu akustik yang diputar seperti tertelan dengan lebatnya air hujan yang turun.“Ibunya sudah keluar dari RS, tapi Nabila masih harus tinggal beberapa hari di sana,” ungkap Kiara, mengaduk sup asparagus yang asapnya mengepul. “Sebenarnya a
“Aku sudah siap,” Kiara berdiri di hadapan Gian dengan gaun hitam tanpa lengan yang memperlihatkan sedikit pundaknya. Rambut panjang Kiara disanggul agak tinggi dengan meninggalkan beberapa anak rambut yang menggantung di belakang tengkuk. Bandul anting mutiara menggantung dengan elegan di kedua telinga Kiara.Gian membenarkan posisi jas abu-abunya sebelum mengamit lengan Kiara menuruni tangga salon.“Wow, aku terkesima,” tukas Gian. “Kamu cantik banget, Ki.”“Trims, Gi.”“Makasih ya mau menemaniku pergi ke acara gala dinner malam ini,” Gian membukakan pintu mobilnya untuk Kiara.Acara gala dinner kali ini diadakan di hotel bintang lima yang diselenggarakan oleh persatuan pengusaha di negeri ini. Kiara senang bisa menemani Gian karena di sana dia juga berkesempatan untuk memperluas networking-nya.Jantung Kiara mulai berdebar kencang begitu mereka melangka
“Oh my God, Ki, gue kangen banget sama lo!” Nabila menyeruak masuk kamar Kiara dan langsung memeluk sahabatnya itu setelah sebulan lamanya mereka berpisah.Kiara tersentak kaget saat dia sedang berbaring di ranjangnya sambil membalas pesan dari Gian. “Lho, kenapa kamu nggak nelepon aku sih? Aku kan janji mau menjemputmu hari ini di stasiun kereta.”“Nggak usah, gue nggak mau ngerepotin lo.” dia menyengir lebar. “Lagian selama ini gue udah menelantarkan lo di kantor sendirian. Tapi semua baik-baik aja kan?”Kiara mengunci layar ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Keadaan terkendali kok. Jadi gimana kabar ibumu?”“Nyokap gue udah jauh lebih baik sekarang. Dan untungnya adik gue yang sedang libur semester udah dateng, jadi dia bisa jagain nyokap gue.”Lantas, Nabila mengeluarkan abon dan sekotak kue lapis khas Surabaya dari paper bag yang dibawanya.&
Di atas ranjang Kiara, Nabila mendengkur pelan. Dia tertidur pulas setelah makan siang. Sementara itu, Kiara menyandarkan kepalanya di dinding. Rasanya begitu pening. Pengakuan Nabila itu sontak membuatnya galau.Akhirnya, Kiara berbohong—tentu saja, dia tidak mungkin mengungkapkan fakta bahwa Gian adalah pacarnya. Dia hanya bilang pria yang dipanggilnya babe itu adalah teman lamanya sewaktu dia tinggal di Batam dulu. Dan mereka dalam masa penjajakan yang serius.Kiara menghela napas panjang keputusasaan. Dia tidak menyangka hubungannya akan rumit seperti ini. Dengan gelisah, Kiara langsung mengirim pesan pada Gian yang memberi tahu bahwa Kiara akan datang ke apartemennya.Tapi Gian ada meeting di akhir pekan ini dan baru pulang menjelang sore. Lantas Kiara memutuskan untuk menunggu di apartemen Gian sambil mencari cara bagaimana mengatakan semua ini.Gian sendiri telah memberi instruksi khusus pada resepsionis agar membiarkan Kiara masuk k
“Gue hampir aja menghubungi polisi kalo sampai 1 x 24 jam lo nggak bisa dihubungi!” pekik Nabila dengan nada yang masih terdengar kalang kabut. “Sekarang lo di mana?”“Bil, tenang,” sergah Kiara.“Astaga, gue pikir lo diculik pas pulang dari toko buku!”“Sorry, Bil, aku nggak sempet…” mulut Kiara kaku seraya memegang pelipisnya. Dia tidak tahu harus melontarkan alasan apa.“Siapa?” Gian tiba-tiba muncul dari balik punggung Kiara. “Nabila?”Sontak Kiara menaruh jari telunjuk di depan bibirnya, menyuruh Gian untuk diam. Di saat yang bersamaan, otak Kiara terus mencari alasan yang tepat.“Lo beneran nggak apa-apa?” Tanya Nabila dengan curiga. “Lo nggak lagi di bawah ancaman seseorang kan?”“Nggak. Aku nggak apa-apa kok.”“Terus, kenapa lo terdengar gugup begitu?” Nabila menarik napasnya dalam-d
Kiara mengecek kembali jumlah coaster yang akan menjadi souvenir di pernikahan kali ini. Tumpukan coaster itu sudah dibungkus rapi dengan label cokelat dan dipermanis tali rami yang diikat berbentuk pita. Setelah itu, dia menatanya di meja penerimaan tamu.Semalam, dia dan Nabila sampai ke Jogja dan menginap di hotel yang juga jadi tempat resepsi Lita, temannya Nabila.Kiara mengedarkan pandangannya ke arah taman di belakang hotel ini. Di ujung sana sudah berdiri pelaminan sederhana yang latar belakangnya terdiri dari kayu-kayu yang dilapisi kain putih serta bunga-bunga yang menghiasi sekitarnya.Lampu-lampu neon sengaja digantungkan secara melintang di batang-batang pohon. Beberapa meja serta kursi kayu sudah disusun dengan rapi.“Kiara,” seorang wanita yang berbalut jubah hotel dan wajah yang terlihat sudah di make-up, menghampirinya. “Makasih ya sudah membantuku.”“Nggak masalah, Lit,” Kiara tersenyum tipis. D
Semburan warna jingga menghiasi langit sore berpadu serasi dengan kelip kuning lampu-lampu neon yang menggantung indah di pepohonan itu.Riuh rendah suara para tamu undang serta alunan musik yang ceria semakin menambah semarak resepsi sederhana ini. Namun Kiara hanya menyendiri di sebelah chocolate fountain. Dia mencelupkan potongan strawberry itu ke lelehan cokelat yang mengalir dan melahapnya. Dia butuh manisnya cokelat untuk meningkatkan mood-nya yang berantakan.Kini Kiara menyandarkan bahunya di salah satu bangku kayu yang kosong, sengaja menjauhi keramaian. Dia menyesap koktailnya. Rasa asam serta pahit langsung memenuhi kerongkongannya. Matanya lalu menangkap sosok Gian yang menjulang di antara teman-temannya itu.Pantulan cahaya langit sore membuat siluet tubuhnya tampak begitu sempurna. Satu tangannya tenggelam di saku celana sedangkan tangan lainnya memegang gelas minuman. Lesung pipinya nampak jelas saat dia tertawa lepas dengan mereka.&ld
#59Awan putih bergerak pelan, membuka hamparan langit biru yang cerah. Deburan ombak terdengar berderu memecah batu karang.Pelaminan putih dengan ornamen bunga-bunga yang membingkai indah berdiri kokoh membelakangi lautan. Jejeran bangku kayu tertata rapi di sekelilingnya. Tidak jauh dari sana sudah dipersiapkan meja-meja panjang yang berisi makanan untuk jamuan para tamu.Beberapa tamu penting terlihat mulai berdatangan yang membuat para pengatur acara pernikahan ini mulai sibuk.Sementara itu di ruangan terpisah, Kiara berdiri menatap cermin panjang yang menggantung di depannya. Sambil memegang buket bunga mawar putih, tubuhnya dilapisi gaun pengantin putih gemerlap dengan ekor yang panjang. Rambutnya digelung sempurna dan di lehernya melingkar kalung berlian yang berkilau.“Astaga, lo begitu cantik.” Tukas Nabila dari balik punggung Kiara. “Orang-orang pasti bakalan terpukau dengan kecantikan lo.”Kiara tidak bis
#58Utami Djaya menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Berita di televisi nasional itu mengabarkan perihal keterlibatan Alisa yang ditemukan tewas bunuh diri atas penyekapan Kiara. Juga Bobby yang ditangkap di pelabuhan saat dia akan menyelundup masuk ke salah satu kapal yang akan berlayar.Berita soal Ray yang menyelamatkan mantan istrinya juga tersiar luas. Orang-orang menanggapnya sebagai kisah heroik. Banyak media yang ingin mewawancarai Ray maupun Keluarga Djaya, namun tentu saja semua itu mereka tolak.Keluarga Djaya tidak level untuk masuk ke dalam pemberitaan infotaiment atau pun acara bincang-bincang yang tidak jelas.“Sekarang anak kita jadi sorotan.” Keluh Utami.Arianto bersedekap seraya matanya tidak lepas dari layar televisi. “Aku tidak habis pikir semua ini terjadi pada keluarga kita.”“Tapi aku tetap bersyukur Ray selamat.” Balas Utami.“Tapi keri
#57Beberapa hari sebelumnya.“Anton, aku butuh bantuanmu.”Prita duduk di sebuah ruangan yang lembab. Di sekitarnya terdapat beberapa kabinet yang berkarat. Cat tembok di ruangan itu begitu kusam dan beberapa bagian bahkan terlihat mengelupas.Sebuah kipas angin yang reyot berputar di atas. Kipas itu hanya memutar angin panas yang bersirkulasi di ruangan ini.“Prita, sudah lama sekali aku enggak bertemu denganmu.” Pria yang bernama Anton itu menyibakkan rambut ikal gondrongnya itu. Matanya memindai Prita yang sedari tadi mengipasi dirinya dengan kertas, dari atas sampai bawah. “Kamu terlihat begitu berbeda.”“Yah, tentu saja. Terakhir kita bertemu itu saat reuni SD. Ingat?”Anton mengangguk. “Lantas, apa yang bisa kubantu?”“Aku tahu kamu masih berkecimpung di bisnis itu kan?” Prita menyipitkan matanya.“Bisnis apa?” ula
#56“Kiara!” Gian berlari ke arah tunangannya yang duduk di ranjang rumah sakit. Gaun yang dipakainya lusuh dan robek serta ada luka-luka di sekujur tubuhnya. Namun, kondisinya tidak begitu parah.“Gian…” Kiara memeluk kekasihnya itu dengan erat. Air mata langsung mengalir dari matanya. “A..aku…”“Sudahlah, Kiara.” Sergah Gian cepat, menghapus air mata yang membasahi pipi Kiara. “Aku sudah mendengar semuanya dari polisi. Yang penting kamu selamat, Sayang.”“Ray.” Tukas Kiara. “Dia yang menyelamatkanku, Gi.”“Aku tahu.”“Lantas, gimana keadaaannya sekarang?” tanya Kiara dengan suara yang agak gemetar.“Dia…dia sedang ada di ruang operasi. Dokter berusaha mengeluarkan peluru yang bersarang di perutnya.” Terang Gian. “Dia sepertinya banyak kehilangan darah juga.”Kiara kembali ter
#55Lampu mobil Ray membelah jalanan yang gelap. Jalan yang dia lewati kini tidak beraspal. Di kanan kirinya terdapat beberapa bangunan kosong, tanah luas yang terbengkalai serta pepohonan yang lebat.Jantungnya berdentum cepat. Pikirannya begitu pening. Di kepalanya terlintas fakta bahwa memang benar wanita yang dia kenal selama ini bernama Jessica itu adalah mantan kakak iparnya. Lantas, Kiara yang dalam bahaya dan soal pembalasan dendam Alisa dan pria asing yang sedang dia untit ini.Untungnya, Ray masih sempat melihat Bobby di pelataran parkir dan berhasil mengikutinya sampai ke sini. Dengan menjaga jarak aman, Ray terus mengikuti mobil Bobby dari belakang.Ray menghentikan mobilnya di depan tanah kosong. Dengan kaki yang gemetar, dia berjalan menembus kegelapan. Ditemani cahaya senter dari ponselnya, Ray menerangi jalanan tanah yang basah. Samar-samar, dia melihat cetakan ban mobil yang menuntunnya ke sebuah gudang kosong yang gelap gulita.Ra
#54Mobil Ray berhenti di pelataran parkir Apartemen Sunny Hill. Jantungnya berdentum keras. Dia akan mengendap masuk ke dalam unit tempat tinggal Jessica untuk memastikan kebenaran identitas wanita itu.“Ah, sungguh bodoh. Aku nggak tahu kata sandi apartemennya!” tukas Ray dari balik kemudi. Dia mengigit bibirnya keras-keras. “Apa yang harus kulakukan?”Tiba-tiba mata Ray menangkap sosok Jesica yang berjalan tergesa melintasi pelataran parkir. Ray segera turun dan menghampirinya.“Jess!” seru Ray.“Astaga, mau apa si bodoh itu ada di sini?” batin Alisa kesal.“Jess, kebetulan.” Ujar Ray begitu dia berada di depan Alisa yang kali ini mengenakan rok mini dan tank top hitam. Alisa mengapit tas tangan cokelat.“Sepertinya dia habis dari kelab Madam,” pikir Ray dalam hati.“Oh, hai Ray. Gimana istrimu? Dia selamat kan? Nggak ada yang mencurigai kamu kan?&
#53Gian mengecup punggung tangan Kiara. “Kamu sungguh cantik malam ini.” Pujinya sembari kedua matanya memandangi penampilan Kiara.Dengan Gaun merah selutut tanpa lengan serta rambut Kiara yang digelung ke atas, membuatnya nampak begitu elegan. Sebuah kalung perak melingkar di lehernya yang jenjang.“Makasih, Gi. Tapi aku begitu gugup.” Balas Kiara. Dia bisa merasakan dentuman jangtungnya sendiri yang berdebar keras. “Ini kali pertamanya aku menghadiri acara di kantormu.”“Tenang saja, karyawanku nggak gigit kok.” Gian berusaha mencairkan suasana. Lantas, dia mengaitkan lengannya pada lengan Kiara, menuntunnya memasuki ballroom hotel yang mewah.Malam ini merupakan perayaan hari jadi perusahaan yang dipimpin Gian. Seluruh karyawan hadir beserta orang-orang penting. Itulah mengapa Kiara begitu cemas. Dia tahu bahwa semua mata akan tertuju padanya sebagai calon istri sang CEO. Apalagi pernikahan merek
Kedua mata Prita membelalak lebar. Pandangannya sedikit kabur namun perlahan dia bisa menangkap dengan jelas kondisi di sekitar. Dia mendapati dirinya terbaring dengan infus yang menggantung. Kedua lubang hidungnya dialiri selang oksigen sementara itu telinganya menangkap bunyi jantungnya yang berdetak perlahan.Tak lama setelah itu, Prita mendengar suara pintu yang mengayun diikuti dengan derap langkah yang mendekati dirinya.Sudut matanya menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sebelah ranjangnya.“Hai, Prita.” Ucap wanita itu dengan suara yang dingin. “Aku turut bersedih dengan kejadian yang menimpa dirimu.”Prita memalingkan wajahnya dan mendapati Kiara yang menatapnya dengan tajam. Tenggorokannya begitu tercekat. “Untuk apa dia ada di sini?!” pekik Prita dalam hati.Kiara mengembuskan napas panjang. Jari-jarinya yang lentik itu membelai pundak Prita dengan lembut. “Sungguh malang, kalian
Siang itu, awan hitam menggantung di langit. Sesekali gemuruh geluduk terdengar dari kejauhan.“Kami turut berduka,” Alex menepuk pelan pundak adiknya itu. Ray hanya bisa mengangguk pelan sambil menghela napas panjang.“Apa yang sebenarnya terjadi, Ray?” tanya Utami tidak percaya. Dia memandangi sosok putra bungsunya dengan iba. Lingkaran hitam di bawah mata Ray nampak jelas dengan rambut yang mencuat kesana-kemari.Ray hanya bisa bersandar pada tembok selasar rumah sakit yang dingin. Sesekali dia menyugar rambutnya, tatapannya terpaku pada ujung sepatunya. Dia tidak berani memandang mata Mamanya itu.Hatinya begitu berkecamuk. Dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi ketika Prita sadar nanti.Ray mengigit bibir bawahnya keras-keras. Seharusnya, dia tidak meninggalkan istrinya yang sekarat begitu saja. Seharusnya dia tidak mengikuti saran bodoh dari wanita yang dikenalnya dengan nama Jessica itu. Tapi apa daya, pik