“Gue hampir aja menghubungi polisi kalo sampai 1 x 24 jam lo nggak bisa dihubungi!” pekik Nabila dengan nada yang masih terdengar kalang kabut. “Sekarang lo di mana?”
“Bil, tenang,” sergah Kiara.
“Astaga, gue pikir lo diculik pas pulang dari toko buku!”
“Sorry, Bil, aku nggak sempet…” mulut Kiara kaku seraya memegang pelipisnya. Dia tidak tahu harus melontarkan alasan apa.
“Siapa?” Gian tiba-tiba muncul dari balik punggung Kiara. “Nabila?”
Sontak Kiara menaruh jari telunjuk di depan bibirnya, menyuruh Gian untuk diam. Di saat yang bersamaan, otak Kiara terus mencari alasan yang tepat.
“Lo beneran nggak apa-apa?” Tanya Nabila dengan curiga. “Lo nggak lagi di bawah ancaman seseorang kan?”
“Nggak. Aku nggak apa-apa kok.”
“Terus, kenapa lo terdengar gugup begitu?” Nabila menarik napasnya dalam-d
Kiara mengecek kembali jumlah coaster yang akan menjadi souvenir di pernikahan kali ini. Tumpukan coaster itu sudah dibungkus rapi dengan label cokelat dan dipermanis tali rami yang diikat berbentuk pita. Setelah itu, dia menatanya di meja penerimaan tamu.Semalam, dia dan Nabila sampai ke Jogja dan menginap di hotel yang juga jadi tempat resepsi Lita, temannya Nabila.Kiara mengedarkan pandangannya ke arah taman di belakang hotel ini. Di ujung sana sudah berdiri pelaminan sederhana yang latar belakangnya terdiri dari kayu-kayu yang dilapisi kain putih serta bunga-bunga yang menghiasi sekitarnya.Lampu-lampu neon sengaja digantungkan secara melintang di batang-batang pohon. Beberapa meja serta kursi kayu sudah disusun dengan rapi.“Kiara,” seorang wanita yang berbalut jubah hotel dan wajah yang terlihat sudah di make-up, menghampirinya. “Makasih ya sudah membantuku.”“Nggak masalah, Lit,” Kiara tersenyum tipis. D
Semburan warna jingga menghiasi langit sore berpadu serasi dengan kelip kuning lampu-lampu neon yang menggantung indah di pepohonan itu.Riuh rendah suara para tamu undang serta alunan musik yang ceria semakin menambah semarak resepsi sederhana ini. Namun Kiara hanya menyendiri di sebelah chocolate fountain. Dia mencelupkan potongan strawberry itu ke lelehan cokelat yang mengalir dan melahapnya. Dia butuh manisnya cokelat untuk meningkatkan mood-nya yang berantakan.Kini Kiara menyandarkan bahunya di salah satu bangku kayu yang kosong, sengaja menjauhi keramaian. Dia menyesap koktailnya. Rasa asam serta pahit langsung memenuhi kerongkongannya. Matanya lalu menangkap sosok Gian yang menjulang di antara teman-temannya itu.Pantulan cahaya langit sore membuat siluet tubuhnya tampak begitu sempurna. Satu tangannya tenggelam di saku celana sedangkan tangan lainnya memegang gelas minuman. Lesung pipinya nampak jelas saat dia tertawa lepas dengan mereka.&ld
Bel kamar berdenting.Dengan enggan, Kiara bangkit dari ranjangnya. Keningnya mengernyit. Dia tidak memesan room service apa pun. Lagi pula sekarang sudah lewat tengah malam.“Mungkin itu Nabila,” pikirnya saat melirik ke ranjang sebelahnya yang masih kosong. “Dia pasti mabuk dan kehilangan kunci kamarnya.”Pintu kamar mengayun terbuka. Namun Kiara malah terkesiap mendapati Gian yang berdiri di hadapannya. Kedua matanya terlihat sayu, tampangnya lesu dan rambutnya yang mencuat berantakan.“Tunggu,” Gian langsung mengganjal pintu dengan kakinya begitu Kiara hendak menutup kembali pintu kamar itu. “Aku tahu alasan kamu melakukan semua ini.”“Sudahlah, Gi.” Keluh Kiara. “Aku lebih mencintai pria yang dijodohkan padaku itu. Hubungan kita sudah berakhir.”Gian berdecak sambil terus menahan pintu. “Sekarang semuanya menjadi jelas.”“K
Dengan napas tersenggal, tubuh Ray langsung ambruk di atas tubuh Prita. Sontak, Prita langsung menghempaskan tubuh suaminya itu. Bibirnya melengkung ke bawah. Hubungan mereka sudah tidak semenyenangkan seperti dulu.Prita bangkit meninggalkan Ray yang langsung terlelap di atas tempat tidur. Dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah berhubungan dengan Ray.Setelah selesai mandi, kini dia menatap tubuhnya di depan cermin yang berembun. Matanya menatap setiap lekukan badannya yang masih molek. Namun, dia menyadari bahwa wajahnya sedikit menua. Sudah ada garis-garis tipis di sekitar mata dan bagian mulut serta kulitnya yang sedikit kusam. Dia harus ekstra menjaga wajah dan tubuhnya karena dia tidak ingin tersaingi dengan Bianca, kakak iparnya yang sempurna itu.Prita menghela napas panjang sambil mengoleskan krim malam di wajahnya. Hidup dengan Ray—beserta keluarganya yang menyebalkan itu—ternyata menguras batinnya.Tiba-tiba saja
Brak!Sebuah kardus cokelat mendarat di atas meja Nabila. Kiara langsung mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Dia melihat sahabatnya itu memasukkan barang-barang di mejanya ke dalam kardus itu.“Mau apa dia?” batin Kiara. Ingin rasanya dia menyapa namun lidahnya terasa kelu. Kejadian di Jogja itu membuat hubungan mereka menjadi dingin. Sudah dua hari Nabila absen tanpa kabar dan dia juga tidak kembali ke kosannya.Kedua telinga Nabila disumpal oleh earphone. Kepalanya mengangguk pelan mengikuti irama musik. Dia tidak menoleh sedikit pun ke meja di seberangnya dan menganggap bahwa Kiara tidak ada.Setelah selesai membereskan mejanya, Nabila segera mengapit laptop di ketiaknya. Sementara kedua tangannya menggotong kardus cokelat itu.“Bil, kamu mau kemana?” pandangan Kiara mengikuti Nabila yang melangkah keluar ruangan. Namun, Nabila bergeming yang membuat Kiara hanya bisa menarik napasnya.Kiar
“Cepat buang pisau itu!” titahnya. Kedua mata wanita itu masih memindai bilah pisau yang tajam. Dia menyeringai melihat bercak darah Kiara yang membekas. Lantas, dia segera melemparkan pisau itu ke air sungai yang mengalir. “Sekarang bukti utamanya sudah lenyap.” Wanita itu menepuk-nepukkan tangannya. Pandangannya kini melayang ke samping pria yang berdiri di sebelahnya. “Terus gimana dengan motor itu?” “Tenang aja, ini motor curian yang gue pinjem dari penadah. Mereka bakal ganti platnya.” Pria itu kini bersedekap lalu berdecak. “Kita tadi hampir ketahuan. Lagian, lo lama banget sih? Nusuk gitu doang. Seharusnya kita langsung kabur setelah lo menikam cewek sialan itu.” “Gue nggak tahan untuk nggak menendangnya.” Wanita itu membuka tudung jaketnya, membiarkan angin malam menyapu dahinya. “Tapi, karena hal itu kita hampir kepergok orang lain.” Wanita itu menepiskan tangannya santai. “Nggak ada yang melihat kita. Kalau pun ada, mereka ng
“Taraaa!!!” Nabila menyerahkan sebuah bungkusan pada Kiara yang berbaring di ranjang.Sudah hampir tiga minggu sejak Kiara diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk sementara waktu ini dia menetap di apartemen Gian demi keamanan. Kiara sudah dimintai keterangan oleh polisi soal kemungkinan besar pelaku penusukannya. Namun, sepertinya sulit untuk melacak keberadaan Alisa.Kiara membuka bungkusan itu. Lantas keningnya mengernyit begitu melihat isinya. “Alat penyetrum?”“Yap, ini buat jaga-jaga kalo ada yang menyerang lo.” Ungkap Nabila yang duduk di atas ranjang. Sejak kepindahan Kiara ke apartemen Gian, Nabila juga mendapatkan kartu akses khusus untuk menyambangi sahabatnya itu. Sementara itu, Gian masih harus bolak-balik Jakarta-Singapura untuk keperluan bisnis.Kiara menaruh alat penyetrum itu di atas nakas dan bangkit. “Kayaknya minggu depan aku bisa masuk kantor lagi.”“Yang bener? Dok
Dari balik selimut, Gian mendekap erat tubuh Kiara. Mereka menikmati malam yang intim setelah sekian lama. Diciumnya ujung kepala Kiara dengan lembut.“Ki, gimana kalau kamu cuti sejenak?” usul Gian kemudian.Kiara yang merebahkan kepalanya di dada Gian yang bidang berujar, “Cuti? Aku sudah lama absen dari kantor setelah operasi.”“Aku tahu, tapi kurasa kamu butuh liburan. Lagi pula, pembukaan butikmu juga berjalan sukses.”“Tapi aku nggak enak kalo ambil cuti lagi. Kasihan Nabila yang harus bekerja sendirian.” Tukas Kiara.“Baiklah, aku ngaku. Sebenarnya aku sih yang butuh liburan.” Gian terkekeh. “Kamu tahu sendiri kan bagaimana kesibukanku akhir-akhir ini?”Kiara mengangguk pelan dan beringsut menatap Gian. “Memangnya kamu mau liburan kemana?”“Entahlah. Yang pasti jangan yang jauh-jauh. Dua minggu lagi aku harus kembali ke Singapura. Kamu ada
#59Awan putih bergerak pelan, membuka hamparan langit biru yang cerah. Deburan ombak terdengar berderu memecah batu karang.Pelaminan putih dengan ornamen bunga-bunga yang membingkai indah berdiri kokoh membelakangi lautan. Jejeran bangku kayu tertata rapi di sekelilingnya. Tidak jauh dari sana sudah dipersiapkan meja-meja panjang yang berisi makanan untuk jamuan para tamu.Beberapa tamu penting terlihat mulai berdatangan yang membuat para pengatur acara pernikahan ini mulai sibuk.Sementara itu di ruangan terpisah, Kiara berdiri menatap cermin panjang yang menggantung di depannya. Sambil memegang buket bunga mawar putih, tubuhnya dilapisi gaun pengantin putih gemerlap dengan ekor yang panjang. Rambutnya digelung sempurna dan di lehernya melingkar kalung berlian yang berkilau.“Astaga, lo begitu cantik.” Tukas Nabila dari balik punggung Kiara. “Orang-orang pasti bakalan terpukau dengan kecantikan lo.”Kiara tidak bis
#58Utami Djaya menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Berita di televisi nasional itu mengabarkan perihal keterlibatan Alisa yang ditemukan tewas bunuh diri atas penyekapan Kiara. Juga Bobby yang ditangkap di pelabuhan saat dia akan menyelundup masuk ke salah satu kapal yang akan berlayar.Berita soal Ray yang menyelamatkan mantan istrinya juga tersiar luas. Orang-orang menanggapnya sebagai kisah heroik. Banyak media yang ingin mewawancarai Ray maupun Keluarga Djaya, namun tentu saja semua itu mereka tolak.Keluarga Djaya tidak level untuk masuk ke dalam pemberitaan infotaiment atau pun acara bincang-bincang yang tidak jelas.“Sekarang anak kita jadi sorotan.” Keluh Utami.Arianto bersedekap seraya matanya tidak lepas dari layar televisi. “Aku tidak habis pikir semua ini terjadi pada keluarga kita.”“Tapi aku tetap bersyukur Ray selamat.” Balas Utami.“Tapi keri
#57Beberapa hari sebelumnya.“Anton, aku butuh bantuanmu.”Prita duduk di sebuah ruangan yang lembab. Di sekitarnya terdapat beberapa kabinet yang berkarat. Cat tembok di ruangan itu begitu kusam dan beberapa bagian bahkan terlihat mengelupas.Sebuah kipas angin yang reyot berputar di atas. Kipas itu hanya memutar angin panas yang bersirkulasi di ruangan ini.“Prita, sudah lama sekali aku enggak bertemu denganmu.” Pria yang bernama Anton itu menyibakkan rambut ikal gondrongnya itu. Matanya memindai Prita yang sedari tadi mengipasi dirinya dengan kertas, dari atas sampai bawah. “Kamu terlihat begitu berbeda.”“Yah, tentu saja. Terakhir kita bertemu itu saat reuni SD. Ingat?”Anton mengangguk. “Lantas, apa yang bisa kubantu?”“Aku tahu kamu masih berkecimpung di bisnis itu kan?” Prita menyipitkan matanya.“Bisnis apa?” ula
#56“Kiara!” Gian berlari ke arah tunangannya yang duduk di ranjang rumah sakit. Gaun yang dipakainya lusuh dan robek serta ada luka-luka di sekujur tubuhnya. Namun, kondisinya tidak begitu parah.“Gian…” Kiara memeluk kekasihnya itu dengan erat. Air mata langsung mengalir dari matanya. “A..aku…”“Sudahlah, Kiara.” Sergah Gian cepat, menghapus air mata yang membasahi pipi Kiara. “Aku sudah mendengar semuanya dari polisi. Yang penting kamu selamat, Sayang.”“Ray.” Tukas Kiara. “Dia yang menyelamatkanku, Gi.”“Aku tahu.”“Lantas, gimana keadaaannya sekarang?” tanya Kiara dengan suara yang agak gemetar.“Dia…dia sedang ada di ruang operasi. Dokter berusaha mengeluarkan peluru yang bersarang di perutnya.” Terang Gian. “Dia sepertinya banyak kehilangan darah juga.”Kiara kembali ter
#55Lampu mobil Ray membelah jalanan yang gelap. Jalan yang dia lewati kini tidak beraspal. Di kanan kirinya terdapat beberapa bangunan kosong, tanah luas yang terbengkalai serta pepohonan yang lebat.Jantungnya berdentum cepat. Pikirannya begitu pening. Di kepalanya terlintas fakta bahwa memang benar wanita yang dia kenal selama ini bernama Jessica itu adalah mantan kakak iparnya. Lantas, Kiara yang dalam bahaya dan soal pembalasan dendam Alisa dan pria asing yang sedang dia untit ini.Untungnya, Ray masih sempat melihat Bobby di pelataran parkir dan berhasil mengikutinya sampai ke sini. Dengan menjaga jarak aman, Ray terus mengikuti mobil Bobby dari belakang.Ray menghentikan mobilnya di depan tanah kosong. Dengan kaki yang gemetar, dia berjalan menembus kegelapan. Ditemani cahaya senter dari ponselnya, Ray menerangi jalanan tanah yang basah. Samar-samar, dia melihat cetakan ban mobil yang menuntunnya ke sebuah gudang kosong yang gelap gulita.Ra
#54Mobil Ray berhenti di pelataran parkir Apartemen Sunny Hill. Jantungnya berdentum keras. Dia akan mengendap masuk ke dalam unit tempat tinggal Jessica untuk memastikan kebenaran identitas wanita itu.“Ah, sungguh bodoh. Aku nggak tahu kata sandi apartemennya!” tukas Ray dari balik kemudi. Dia mengigit bibirnya keras-keras. “Apa yang harus kulakukan?”Tiba-tiba mata Ray menangkap sosok Jesica yang berjalan tergesa melintasi pelataran parkir. Ray segera turun dan menghampirinya.“Jess!” seru Ray.“Astaga, mau apa si bodoh itu ada di sini?” batin Alisa kesal.“Jess, kebetulan.” Ujar Ray begitu dia berada di depan Alisa yang kali ini mengenakan rok mini dan tank top hitam. Alisa mengapit tas tangan cokelat.“Sepertinya dia habis dari kelab Madam,” pikir Ray dalam hati.“Oh, hai Ray. Gimana istrimu? Dia selamat kan? Nggak ada yang mencurigai kamu kan?&
#53Gian mengecup punggung tangan Kiara. “Kamu sungguh cantik malam ini.” Pujinya sembari kedua matanya memandangi penampilan Kiara.Dengan Gaun merah selutut tanpa lengan serta rambut Kiara yang digelung ke atas, membuatnya nampak begitu elegan. Sebuah kalung perak melingkar di lehernya yang jenjang.“Makasih, Gi. Tapi aku begitu gugup.” Balas Kiara. Dia bisa merasakan dentuman jangtungnya sendiri yang berdebar keras. “Ini kali pertamanya aku menghadiri acara di kantormu.”“Tenang saja, karyawanku nggak gigit kok.” Gian berusaha mencairkan suasana. Lantas, dia mengaitkan lengannya pada lengan Kiara, menuntunnya memasuki ballroom hotel yang mewah.Malam ini merupakan perayaan hari jadi perusahaan yang dipimpin Gian. Seluruh karyawan hadir beserta orang-orang penting. Itulah mengapa Kiara begitu cemas. Dia tahu bahwa semua mata akan tertuju padanya sebagai calon istri sang CEO. Apalagi pernikahan merek
Kedua mata Prita membelalak lebar. Pandangannya sedikit kabur namun perlahan dia bisa menangkap dengan jelas kondisi di sekitar. Dia mendapati dirinya terbaring dengan infus yang menggantung. Kedua lubang hidungnya dialiri selang oksigen sementara itu telinganya menangkap bunyi jantungnya yang berdetak perlahan.Tak lama setelah itu, Prita mendengar suara pintu yang mengayun diikuti dengan derap langkah yang mendekati dirinya.Sudut matanya menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sebelah ranjangnya.“Hai, Prita.” Ucap wanita itu dengan suara yang dingin. “Aku turut bersedih dengan kejadian yang menimpa dirimu.”Prita memalingkan wajahnya dan mendapati Kiara yang menatapnya dengan tajam. Tenggorokannya begitu tercekat. “Untuk apa dia ada di sini?!” pekik Prita dalam hati.Kiara mengembuskan napas panjang. Jari-jarinya yang lentik itu membelai pundak Prita dengan lembut. “Sungguh malang, kalian
Siang itu, awan hitam menggantung di langit. Sesekali gemuruh geluduk terdengar dari kejauhan.“Kami turut berduka,” Alex menepuk pelan pundak adiknya itu. Ray hanya bisa mengangguk pelan sambil menghela napas panjang.“Apa yang sebenarnya terjadi, Ray?” tanya Utami tidak percaya. Dia memandangi sosok putra bungsunya dengan iba. Lingkaran hitam di bawah mata Ray nampak jelas dengan rambut yang mencuat kesana-kemari.Ray hanya bisa bersandar pada tembok selasar rumah sakit yang dingin. Sesekali dia menyugar rambutnya, tatapannya terpaku pada ujung sepatunya. Dia tidak berani memandang mata Mamanya itu.Hatinya begitu berkecamuk. Dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi ketika Prita sadar nanti.Ray mengigit bibir bawahnya keras-keras. Seharusnya, dia tidak meninggalkan istrinya yang sekarat begitu saja. Seharusnya dia tidak mengikuti saran bodoh dari wanita yang dikenalnya dengan nama Jessica itu. Tapi apa daya, pik