"Hei! Perempuan Sint*Ng! Pelak*r murahan! Keluar kamu!" Suara teriakan perempuan terdengar dari luar. "Mas, siapa itu?" Mas Ubay yang masih malas-malasan di kasur malah menarik tubuhku untuk kembali tidur."Buka pintunya! Jangan sembunyi kamu perempuan kampung! Kamu sudah mempermalukan aku! Keluar! Kamu penyebab videoku tersebar, kamu harus tanggung jawab!"Lalu terdengar suara dia berteriak-teriak sambil berontak, seperti sedang ditarik oleh seseorang.Tok tok tok!."Non, Tuan, ada Mbak Aina diluar, teriak-teriak ga jelas," suara Bik Irah."Mas, ayo liatin ada masalah apa lagi,""Duh, mantan meresahkan banget, ga lihat apa orang mau nambah belum puas," gerutunya, aku mencubit perut rata suamiku itu."Apa an sih, Mas. Nanti ada yang dengar dikira ga puas begituan,""Begituan apa? Kan Mas ga nyebutin puas apa?""Ya puas buat itu?"sahutku sungkan."Kamu, lagi pengen, ya?""Astaghfirullah, Mas Ubay!" Laki-laki itu tersenyum manis."Canda Sayang, yuk kita lihat. Sudah dapat dipastikan i
Hari terus berlalu, beberapa bulan sudah terlewati sejak kecelakaan yang dialami Flo. Flo sendiri sudah sadar, tapi sama sekali belum bisa di ajak bicara. Perempuan malang itu hanya bisa duduk di kursi roda tanpa mampu melakukan apa-apa. Aku tahu dari Lea. Hanya Lea saat ini yang rajin ke sana. Bibi Rosita juga tak berani untuk mengusir Lea, karena ponakannya yang satu itu sudah terkenal dengan wataknya yang keras. Sementara Mama Hana juga Mas Ubay memilih menjaga jarak.Tentang minyak yang sengaja di taruh di anak tangga itu, juga sudah terlupakan. Seolah sudah meyakini jika Flo pelakunya.Aku sendiri juga di sibukkan dengan keadaan diri yang makin payah, kehamilanku sudah berusia delapan bulan artinya tinggal menunggu waktu saja. Perut terasa sangat besar. Sehingga, aku tidak di ijinkan untuk melakukan aktifitas berlebihan. Mas Ubay yang kini mulai memegang perusahaan Papa juga semakin sibuk. Tak jarang dia pulang larut malam. Walau terkadang mengeluh lelah, tapi semuanya tetap dia
Disaat kekurangan dana, ada keinginan untuk menjual satu restoranku saat itu. Restoran yang sudah punya dua cabang itu lumayan besar pendapatannya. Hingga saat Ustadz Malik mengatakan butuh biaya operasional di pondok, aku bisa menggunakan tabunganku pribadi. Aku juga ingin mendapatkan pahala jariyah jika apa yang dibangun dijadikan tempat beribadah kepada Allah.Telepon pun berakhir, Mas Ubay sepertinya hari ini masih sangat sibuk. Aku memaklumi. Sambil mengusap perut aku terus berdzikir. Menenangkan hati, entah kenapa hatiku tiba-tiba saja tidak tenang. Kemudian berjalan hendak ke kamar ketika suara dering kembali terdengar. Ketika aku hendak kembali ke depan, pintu rumah terbuka perlahan. Ruang depan yang terhalang lemari tinggi membuatku tak bisa melihat siapa yang datang."Bik ... Bik Irah sudah pulang?"Tapi, tak ada jawaban. Aku melangkah ke depan. Kini nafasku juga mulai pendek-pendek karena perut yang makin membesar, sesak sekali.Setiba di ruang tamu, aku begitu terkejut."A
"Tenanglah, Alina ... Kenapa kamu seperti orang yang begitu takut menghadapi kematian? seharusnya kamu bersyukur masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup, karena Flo yang menggantikan posisimu yang seharusnya sekarat seperti saat ini," ujar Andre dengan nada menghina.Keringat dingin mengucur deras. Kini aku terjebak. Tembok ini yang menghalangi pelarianku."Kamu yang seharusnya bersyukur, Ndre. Masih diberi kesempatan untuk menjadi suami yang memang punya kewajiban untuk mendidik Istrinya agar lebih baik, bukannya mengikuti sifat istrimu yang jelas-jelas salah,"Andre menyeringai."Aku rasa, aku tak butuh seorang istri, aku hanya butuh Flo agar aku tetap bisa menjadi suami yang mapan. Karena sejak Flo seperti mayat hidup, aku bebas. Bisa kemana saja aku suka. Tak lagi mendengar ocehannya yang memekakkan telinga. Dan aku begitu menikmati hidupku saat ini," tuturnya dengan suara sumbang, aku yakin laki-laki ini hanya tertekan dengan sikap Flo yang tak menghargai dia sebagai seoran
Aku terjatuh, beruntung bukan perutku duluan yang mengenai lantai. Rasa sakit tiba-tiba datang, perutku kram, aku berteriak kencang, sambil memegang pinggang. Bagian bawah tubuhku terasa sakit semua. Tak lama aku merasakan ada cairan yang keluar dari jalan lahir.'Allah ... Allah ... Hamba mohon bantuanMu,'Cairan merah mulai merembes dari pakaian bawahku. Celana panjang yang kukenakan basah."Al, kita akan pergi bersama, kita akan bahagia," Andre mendekat lalu menarik ujung kerudungku hingga kepalaku terangkat ke atas. Air mataku tak bisa lagi kubendung. Bayang-bayang Mas Ubay dengan senyum penuh bahagia menyambut anak pertamanya itu memudar.Rasa sakit itu kian menjadi, aku tak sanggup lagi ya Allah ...Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku masih sempat menahan pisau yang di arahkan Andre padaku. Hingga tanganku pun terasa basah oleh cairan yang mungkin saja itu darah.*****Aku terbangun, dengan alat oksimetri yang terpasang di hidung. Kepala terasa sangat berat, perlahan aku membu
POV UbaySetelah menelpon sang kekasih hati, aku meletakkan kembali ponsel di atas meja. Entah kenapa hari ini pikiranku tak tenang. Namun, aku tetap berusaha berpikir positif, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kehamilan pertama Alina membuatku deg-degan luar biasa. Tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang Ayah.Aku tersenyum sendiri. Hingga ponselku berbunyi.'Ustadz Akmal?' beliau adalah orang yang kuberi amanah untuk mengurus urusan pembangunan maupun pelaksanaan program pendidikan di yayasan yang sudah beberapa bulan ini aku dan Alina rencanakan. "Assalamu'alaikum, Ustadz,""Wa'alaykumussalam, Pak Baihaqi. Saya mau ke rumah, mau minta tanda tangan Bapak dan Bu Alina. Ada beberapa dokumen yang perlu ditanda tangani untuk keperluan yayasan,""Wah, saya sedang di kantor, Ustadz. Cuma ada istri di rumah,"Ustadz itu terdiam sejenak. "Gapapa deh, Pak. Saya minta tanda tangan Bu Alina dulu, karena dokumen ini harus diserahkan hari ini, nanti saya akan kembali untuk meminta
Aarggghh!Aku makin menginjak dalam-dalam pedal gas, hingga mobil ini bagai melayang di atas aspal.Sekitar lima belas menit, aku sampai. Tampak ustadz Malik dan pak Satpam tengah melumpuhkan Andre yang meronta-ronta."Pak, tolong istri Bapak di dalam. Keadaannya kritis," serunya. Aku bergegas masuk tanpa ikut membantu mereka.Meski Ustadz muda itu tampak kewalahan. Tak lama sebuah mobil datang dan beberapa anggota polisi turun membantu dan menangkap Andre.Di dalam rumah, keadaan begitu kacau. Pecahan guci berserakan. Tongkat baseball yang biasa aku simpan di belakang pintu tergeletak tak jauh dari sesosok tubuh yang diam tak bergerak."Alinaaa!"Aku berlari menghambur. Air mata berlompatan keluar. Allah ... Allah ... Jangan ambil istriku.Aku mengecek tanda-tanda kehidupan Alina. Masih ada denyut nadi walau sangat lemah.Beberapa anggota polisi yang melihat membantu mengangkat tubuh Alina yang sudah bersimbah darah. Ya Allah, istriku, anakku ...Pikiranku kalut, aku meraung melihat
Keadaan Alina sudah membaik, luka di tangan dan bekas operasinya juga mulai kering. Walau bagian perut masih sering terasa ngilu. Aku teris menemani istriku itu, tak ingin lagi meninggalkannya. Satpam dirumah kutambah menjadi dua. Biar aku merasa tenang saat sesekali keluar meninggalkan anak dan istriku.Hari ini Alina sudah diperbolehkan pulang. Tentu saja kini membawa seorang bayi mungil yang tampan. Hafidz Noval Safwan, itu nama bayi kami. Seorang laki-laki dermawan yang kuat ingatannya seperti batu karang. Begitulah kira-kira artinya. Aku ingin kelak anakku ingat bahwa kelahirannya penuh perjuangan, ada nyawa yang dipertaruhkan. Andre sedang dalam proses hukum. Aku ingin laki-laki itu dihukum seberat-beratnya. Biar saja, walau dia masih ada hubungan persaudaraan denganku, aku tak peduli. Jika salah, ya harus di hukum."Mas, apa ga berlebihan?"Aku menatap Alina yang tengah menyusui Hafidz."Malah, jika ada di negri ini hukum qisash, dimana pelaku dihukum sesuai dengan apa yang di