Seorang wanita paruh baya berdiri tepat di depan Arka, wanita yang mengenakan kemeja berwarna biru itu sedikit tersenyum ke arahnya. Namun, meskipun bibir itu tersenyum, tapi Arka bisa melihat matanya berkaca-kaca, tampaknya wanita itu sedang sedih. "Bi Sri .…" "Den .…" "Masuklah, Bi." Arka mempersilakan Bi Sri masuk. Ia menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang bagi wanita itu. Bi Sri mengangguk pelan, lalu perlahan melangkah masuk. Langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang ia bawa di pundak. Begitu memasuki rumah, Bi Sri merasakan perasaan tak enak yang terus mengusik hatinya. Selama ini, ia sudah berbohong pada Arka—anak majikannya yang ternyata juga menantunya. "Duduklah, Bi." Arka menunjuk ke arah sofa yang ada di ruang tamu. Namun, alih-alih duduk di sofa yang empuk, Bi Sri justru memilih duduk di lantai. Tubuhnya tampak membungkuk sedikit, seolah ia takut keberadaannya akan membuat tempat itu kotor. "Kenapa Bibi duduk di lantai? Duduklah di atas
"Apa yang bisa aku bantu, Kak? Apa yang kamu butuhkan?" Suara Kiran terdengar begitu khawatir saat melihat kondisi Arga yang memprihatinkan. Lelaki itu tampak kacau. Tanpa menjawab, Arga langsung menunduk, membungkam bibir Kiran dengan bibirnya. Ciumannya begitu liar, hasratnya sudah tidak terkendali, seolah-olah seluruh emosi Arga dituangkan dalam setiap gerakan bibirnya yang mendarat di bibir Kiran. Kiran tersentak kaget, seluruh tubuhnya menegang ketika merasakan sentuhan tak terduga itu. Ia mendorong dada Arga dengan sekuat tenaga. "Kak, hentikan! Apa yang kamu lakukan?" Kiran berusaha melepaskan diri dari genggaman kuat lelaki itu. Namun, Arga tidak menghentikan gerakannya. Bibirnya tetap menelusuri setiap inci bibir Kiran yang begitu terasa manis di lidahnya. "Kiran … jangan menolakku," bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya terdengar berat. "Kamu tahu, aku sudah menahan diri terlalu lama .…" "Apa kamu gila?" Kiran mendorong tubuh Arga ke belakang. Ia berdiri terpaku,
"Kiran ...." Arga mengedarkan pandangannya menyapu ke setiap penjuru kamar. Akan tetapi, ia tak mendapati Kiran di kamar tersebut. Ia segera bangkit dari tempat tidur, memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai, lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa. "Apa yang sudah aku lakukan padanya? Apakah aku menyakitinya?" Hatinya berdenyut sakit, rasa bersalah menyeruak memenuhi seluruh dada Arga. Setelah berpakaian, Arga berlari keluar dari kamar untuk mencari sosok Kiran. Ia merasa tubuhnya lemas, kakinya nyaris gemetar, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap tegak. "Aku harus menemuinya … aku harus meminta maaf." Tiba di dapur, ia berhenti sejenak ketika melihat pemandangan di depannya. Kiran sedang berdiri di meja dapur, seperti sedang sibuk menyiapkan sarapan. Arga menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia harus melakukan sesuatu. Perlahan, ia mendekat, dan sebelum Kiran sempat menyadari kehadirannya, ta
"Oh iya, aku sudah membuat sandwich untukmu. Cepat dimakan." Kiran menyodorkan piring berisi sandwich yang masih hangat di atas meja. Matanya sesekali melirik ke arah Arga yang menatapnya sambil tersenyum tipis. "Kamu tahu sekali kalau aku sedang kelaparan." Arga menerima sandwich itu dengan senang hati. Mata mereka beradu sejenak, dan entah kenapa, senyum Arga yang biasanya terlihat dingin kini memancarkan kehangatan yang berbeda. Arga memegang sandwich itu, memperhatikannya seolah-olah makanan sederhana itu adalah sesuatu yang sangat berharga. "Bagaimana rasanya?" Arga menggigit sandwich itu perlahan, mengunyah dengan hati-hati. Ketika ia menelan suapan pertama, bibirnya membentuk senyum kecil. "Sangat enak," pujinya. "Kamu pandai sekali membuat sandwich." Kiran menghela napas lega, matanya terlihat berbinar. "Benarkah? Aku hanya membuatnya dengan bahan-bahan yang ada di dapur. Tidak ada yang istimewa." "Tidak ada yang istimewa?" Arga mengangkat sebelah alisnya, menatap K
Arka begitu senang karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Kiran. Ia berharap Kiran mau memaafkannya, dan memberi kesempatan kedua. Saat ini, lelaki itu sudah berada di Paris, udara terasa begitu dingin, salju turun perlahan sampai membuat pakaiannya memutih. Sejak tadi malam, ia sudah mencoba menghubungi kakaknya, Arga, tapi tak ada satu pun panggilan yang diangkat. Meski begitu, Arka masih merasa beruntung karena ia ingat alamat apartemen Arga—tempat yang pernah diberitahukan sebelumnya oleh kakaknya itu. Arka menyeret kopernya menyusuri jalan, sambil terus menahan rasa dingin yang menusuk. Setibanya di depan apartemen, langkah kakinya terhenti. Saat itu juga, sebuah pemandangan tak terduga seakan menghantamnya tanpa ampun. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tercekat. Ia melihat sosok Arga dan Kiran, berdiri berhadapan di depan apartemen. Namun yang membuat hatinya terasa hancur adalah ketika Arga mendekat, lalu mengecup bibir Kiran. Seketika itu juga, darah Arka terasa m
Arka meninggalkan tempat itu dengan perasaan kesal dan marah. Ia tidak menyangka bahwa kakaknya sendiri akan begitu tega mengambil Kiran darinya—wanita yang pernah sangat ia cintai dan kini masih mengisi ruang di hatinya. Rasa sakit hati dan amarah berputar-putar dalam pikirannya, menguasai setiap langkah yang ia ambil. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bukankah ia yang seharusnya memperjuangkan Kiran, bukan Arga? Tanpa pikir panjang, Arka memutuskan untuk pergi ke rumah Kiran. Di tengah rasa frustrasi dan kebingungan yang menghantam, hanya ada satu hal yang terpikir olehnya: ia harus bertemu dengan Kiran. Ia harus meminta maaf atas semua kesalahannya dulu, meskipun tahu mungkin Kiran tidak akan memaafkannya dengan mudah. Setidaknya, ia ingin menutup luka lama dan memberi penjelasan yang selama ini tertahan. Sesampainya di depan rumah Kiran, Arka berhenti sejenak. Rasa ragu melandanya. Namun ia tetap melangkah maju, berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa. Tangan Arka tera
Arga menghela napas panjang saat mematikan panggilan telepon dari James. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa ayah Kiran tiba-tiba ingin bertemu dengannya. Suaranya terdengar serius, bahkan sedikit tegang. Meski ia dan James cukup dekat, karena hubungan mereka selama bertahun-tahun, ada sesuatu yang terasa janggal dari permintaan pertemuan ini. Namun, karena rasa hormatnya pada James, ia tidak berpikir dua kali dan langsung bersiap untuk pergi. Arga berdiri di depan cermin, melihat pantulan dirinya sejenak. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, menyesuaikan dengan suasana pertemuan yang seharusnya formal. Namun, tetap santai. Ia merapikan rambutnya dengan jari, lalu menghela napas panjang lagi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya sambil menyambar jaket hitam yang tergantung di sandaran kursi. Setelah memastikan semua barangnya — kunci, dompet, dan ponsel — berada di tempatnya, ia pun keluar dari apartemen. Di perjalanan, pikiran Arga terus berputar tentang kemungkinan-kemungki
Nadira yang memperhatikan perubahan ekspresi sahabatnya, langsung menyentuh bahu Kiran. "Kamu nggak apa-apa?" bisik Nadira lagi. Kiran menggeleng lemah. Matanya tertuju pada Arga yang duduk dengan ekspresi tegang di hadapan ayahnya. Hatinya terasa pedih ketika mendengar bagaimana ayahnya memaksa Arga untuk meninggalkannya. Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut James terasa seperti belati yang menusuk hatinya berkali-kali. Kiran menelan ludah, berusaha menahan isak yang hendak keluar. Ia tidak ingin berada di sini. Ia tidak ingin mendengar lebih lanjut. Namun, kakinya seakan terpaku, tidak bisa bergerak. Saat Arga berkata dengan tegas bahwa ia tidak akan meninggalkan Kiran, bahwa Kiran adalah hidupnya, Kiran merasa ada secercah kehangatan di dalam hatinya. Ia tahu Arga benar-benar tulus mencintainya. Ia tahu Arga akan selalu berjuang untuknya. Namun, mendengar ayahnya terus memaksa dan mengancam Arga, membuat kepercayaan diri Kiran mulai goyah. Apakah hubungan mereka akan be
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.