Kiran segera bergegas naik ke lantai dua setelah tahu siapa yang menghubunginya. Ia hanya tak ingin percakapan mereka terganggu. Apalagi sampai mendengar pertengkaran dirinya dan juga Arka. Begitu sampai di kamarnya, Kiran langsung menutup pintu dengan pelan dan menuju balkon untuk mendapatkan sedikit privasi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Kiran menjawab telepon. "Halo." "Kiran, apa kamu masih menganggapku ibumu?" Suara ibunya di ujung telepon terdengar kesal. Tentu saja, pertanyaan itu membuat Kiran merasa bersalah. "Apa maksud Mama ngomong seperti itu?" tanyanya bingung, meskipun dalam hati ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. "Kiran, apa kamu tidak mengerti apa maksud mama? Mama sudah tahu semuanya. Kenapa kamu menyembunyikan ini semua dari mama?" Kinanti merasa kecewa kepada putri satu-satunya itu karena tak pernah cerita apa pun tentang rumah tangganya bersama Arka. Selama ini bila Kiran dan Arka sedang ribut atau ada masalah, ia memang lebih sering cerita deng
Darah Kiran berdesir hebat ketika ia mendengar suara dua orang yang sedang bercinta dari dalam kamar. Terlebih, ia mengenali suara desahan suaminya sendiri. Tangannya mencengkram erat gelas, amarahnya sudah tidak bisa lagi untuk dikendalikan. "Berani-beraninya mereka bercinta di rumah ini!" Prang! Gelas yang dipegangnya dilemparkan ke lantai, sampai pecah berkeping-keping, dan menimbulkan suara gaduh. Arka terkejut, seketika menghentikan apa yang sedang ia lakukan. Ia langsung berdiri dan dengan cepat mengambil celana yang tergeletak di lantai. Ia mengenakannya dengan tergesa-gesa sambil berlari ke luar kamar. "Mas, kamu mau ke mana? Aku belum keluar!" teriak Lita, ia kecewa melihat suaminya yang langsung pergi tanpa mempedulikannya lagi. Arka tak menjawab, ia sudah keluar dari kamar. Ketika pintu kamar terbuka, Arka terkesiap melihat Kiran berdiri dengan pandangan tajam menusuk ke arahnya. "Kiran .…" Arka mencoba memanggil dengan suara rendah, merasa bersalah tapi tak tahu h
Arga terdiam mendengar pertanyaan adik iparnya itu. Ia tak pernah menyangka bahkan berpikir sedikit pun bila pertanyaan tersebut akan keluar dari mulut Kiran begitu saja. Pertanyaan tersebut tentu membuatnya bingung. Lelaki yang sudah berumur 32 tahun itu merasa sulit untuk menjawab. Terlebih selama ini Kiran adalah adik iparnya, bahkan Arga sendiri sudah menganggap Kiran sebagai adik kandung, tapi satu hal yang sulit untuk ia hindari, yaitu perasaan yang tiba-tiba saja muncul tanpa permisi.Arga tidak tahu harus menjawab apa, ia takut akan menyakiti hati Kiran atau mungkin menyakiti hati Arka, adik kandungnya sendiri. "Kiran? Kenapa kamu bertanya seperti itu?" "Aku hanya ingin tahu, Kak. Apa aku berarti buat Kakak?" Arga mematikan hair dryer ketika melihat rambut Kiran sudah kering, ia lalu menatap Kiran dengan serius. "Kiran, kamu sangat berarti buatku. Aku tidak ingin melihat kamu terluka atau bersedih seperti ini. Tapi, perasaan kita ...." Arga menarik napas panjang, mencoba me
Arka terus mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya terlihat begitu cemas. Setiap beberapa detik, ia mencoba lagi menghubungi Kiran, namun yang didapat hanyalah nada sibuk atau suara operator yang memberitahu bahwa nomor yang dia hubungi tidak aktif. Rasa khawatir menyelimuti pikirannya, terutama mengingat kejadian sebelumnya ketika Kiran memergokinya bersama Lita. "Di mana kamu, Kiran? Kenapa ponselmu tidak aktif terus?" gumam Arka sambil terus mencoba menghubungi istrinya. Wajahnya begitu gelisah, dan matanya terus melirik ke arah ponsel yang ada digenggamannya. Lita yang masih mengenakan lingerie hitam berjalan ke arah Arka dengan kesal. Dia melihat suaminya yang gelisah, dan itu membuatnya semakin tidak senang. Pasalnya, Arka tiba-tiba berhenti di tengah-tengah permainan panas mereka karena kehadiran Kiran yang tiba-tiba. Kini, Lita merasa frustrasi karena Arka begitu khawatir dengan Kiran dan mengabaikan dirinya begitu saja, terlebih ia belum puas dengan permainan mereka. "Mas,
Kiran mengerjapkan mata ketika sinar matahari menembus jendela. Ia menggeliat perlahan, merentangkan tubuhnya yang masih terasa pegal. Setelah benar-benar terjaga, ia memandangi sekeliling kamar, tapi tak melihat sosok Arga di sana. Kiran menyibak selimut dan perlahan turun dari ranjang. Ia berjalan gontai menuju kamar mandi untuk mencuci muka agar kantuknya segera hilang. Semalaman Kiran tidak bisa tidur, ia terus kalut dengan perasaannya sendiri. Entah apa yang wanita itu pikirkan saat ini. Namun satu hal yang pasti, ia hanya ingin hidup bahagia.Kiran kembali ke luar ketika sudah membersihkan wajahnya, ia pun mulai mencari sosok kakak iparnya itu, yang sedari tak tak terlihat. "Kak Arga ...." Kiran sudah mencari ke sana kemari, tapi tak kunjung menemukan Arga, ia pun memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Di rumah sebesar ini, Arga memang hanya tinggal berdua dengan Noah, meskipun kadang lelaki itu lebih memilih tidur di rumah ibunya, Maria. Kiran sudah tidak sabar bertemu d
Kiran terdiam, matanya memandang jauh ke arah jalan yang terbentang di hadapannya. Pikirannya melayang entah ke mana. Setelah sarapan tadi, Kiran dan Arka berpamitan kepada Maria untuk pulang ke rumah mereka. Bukannya merasa bahagia atau senang karena suaminya menjemputnya pulang, Kiran malah merasakan kekosongan yang tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Mungkinkah ini karena kepergian kakak iparnya, Arga? Tapi kenapa? Mengapa perasaan gelisah dan tak menentu ini begitu menguasainya? Kiran menunduk, memandang ponsel yang ada di genggamannya. Dengan hati-hati, ia menyalakan layar ponsel dan membuka sebuah aplikasi berwarna hijau. Ibu jarinya bergerak menggeser layar ke atas, mencari nomor kontak Arga. Setelah menemukannya, Kiran mulai mengetik beberapa kata. "Kak, kenapa kamu pergi?" Begitu selesai menulis, Kiran langsung mengirim pesan itu. Ia berharap Arga akan segera membalasnya, menjelaskan alasan kepergiannya yang tiba-tiba. Namun, sayangnya, sudah sepuluh menit berlalu, dan pe
Suasana di ruang makan malam ini terasa begitu tegang. Kiran dan Arka duduk di meja makan, bersama Lita yang duduk tepat di seberang Kiran.Sesekali Kiran menatap mata Lita jengah, sebenarnya ia sama sekali tak berselera makan, terlebih suaminya itu malah menyuruh Lita untuk makan bersama mereka. Kiran sedari tadi hanya memainkan sendok dan garpu, seolah makanan yang ada di atas piring adalah mainan yang menarik baginya. Arka sesekali mencicipi makanan sambil melirik ke arah Kiran yang sedari tadi tak kunjung makan, ia pun merasa heran kepada istrinya itu, semenjak kepulangannya ke rumah, ia hanya diam termenung, tanpa berkata apa pun. Apalagi ketika ia mengajak Lita makan bersama mereka, tidak seperti biasanya, Kiran tak menolak atau pun marah. Yang ada ia hanya diam membisu seakan tak tertarik dengan apa pun lagi. "Sayang, kenapa kamu tidak makan? Apa makanannya tidak enak?" Arka bertanya sambil terus memperhatikan wajah Kiran yang ditekuk. Kiran menghela napas dan meletakkan s
"Ma .…" Arka segera bangkit dari kursinya begitu melihat ibunya, Maria, datang ke rumah sambil menenteng beberapa kantong kresek besar di tangannya. Ia mendekati ibunya dengan wajah heran. "Apa yang Mama bawa ini?" tanya Arka sambil mengambil salah satu kantong dari tangan Maria. Maria tersenyum melihat ekspresi bingung putranya itu. "Mama bawa susu hamil untuk Kiran. Mama pikir, dia pasti butuh asupan yang cukup, apalagi kandungannya masih muda," jawab Maria begitu perhatian. Arka mengintip ke dalam kantong-kantong yang dibawa Maria, dan matanya melebar saat melihat begitu banyak kotak susu ibu hamil di dalamnya. "Ma, tapi ini terlalu banyak." Arka begitu heran mengapa ibunya bisa membawa begitu banyak susu ibu hamil. Pasalnya, stok susu di lemari juga masih banyak. Kiran tidak mungkin menghabiskan semuanya secepat itu. Maria tertawa kecil mendengar kekhawatiran Arka. "Lebih baik banyak daripada kurang, 'kan? Lagi pula, susu hamil itu bagus untuk kesehatan Kiran dan cucu mam