Arka terus mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya terlihat begitu cemas. Setiap beberapa detik, ia mencoba lagi menghubungi Kiran, namun yang didapat hanyalah nada sibuk atau suara operator yang memberitahu bahwa nomor yang dia hubungi tidak aktif. Rasa khawatir menyelimuti pikirannya, terutama mengingat kejadian sebelumnya ketika Kiran memergokinya bersama Lita. "Di mana kamu, Kiran? Kenapa ponselmu tidak aktif terus?" gumam Arka sambil terus mencoba menghubungi istrinya. Wajahnya begitu gelisah, dan matanya terus melirik ke arah ponsel yang ada digenggamannya. Lita yang masih mengenakan lingerie hitam berjalan ke arah Arka dengan kesal. Dia melihat suaminya yang gelisah, dan itu membuatnya semakin tidak senang. Pasalnya, Arka tiba-tiba berhenti di tengah-tengah permainan panas mereka karena kehadiran Kiran yang tiba-tiba. Kini, Lita merasa frustrasi karena Arka begitu khawatir dengan Kiran dan mengabaikan dirinya begitu saja, terlebih ia belum puas dengan permainan mereka. "Mas,
Kiran mengerjapkan mata ketika sinar matahari menembus jendela. Ia menggeliat perlahan, merentangkan tubuhnya yang masih terasa pegal. Setelah benar-benar terjaga, ia memandangi sekeliling kamar, tapi tak melihat sosok Arga di sana. Kiran menyibak selimut dan perlahan turun dari ranjang. Ia berjalan gontai menuju kamar mandi untuk mencuci muka agar kantuknya segera hilang. Semalaman Kiran tidak bisa tidur, ia terus kalut dengan perasaannya sendiri. Entah apa yang wanita itu pikirkan saat ini. Namun satu hal yang pasti, ia hanya ingin hidup bahagia.Kiran kembali ke luar ketika sudah membersihkan wajahnya, ia pun mulai mencari sosok kakak iparnya itu, yang sedari tak tak terlihat. "Kak Arga ...." Kiran sudah mencari ke sana kemari, tapi tak kunjung menemukan Arga, ia pun memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Di rumah sebesar ini, Arga memang hanya tinggal berdua dengan Noah, meskipun kadang lelaki itu lebih memilih tidur di rumah ibunya, Maria. Kiran sudah tidak sabar bertemu d
Kiran terdiam, matanya memandang jauh ke arah jalan yang terbentang di hadapannya. Pikirannya melayang entah ke mana. Setelah sarapan tadi, Kiran dan Arka berpamitan kepada Maria untuk pulang ke rumah mereka. Bukannya merasa bahagia atau senang karena suaminya menjemputnya pulang, Kiran malah merasakan kekosongan yang tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Mungkinkah ini karena kepergian kakak iparnya, Arga? Tapi kenapa? Mengapa perasaan gelisah dan tak menentu ini begitu menguasainya? Kiran menunduk, memandang ponsel yang ada di genggamannya. Dengan hati-hati, ia menyalakan layar ponsel dan membuka sebuah aplikasi berwarna hijau. Ibu jarinya bergerak menggeser layar ke atas, mencari nomor kontak Arga. Setelah menemukannya, Kiran mulai mengetik beberapa kata. "Kak, kenapa kamu pergi?" Begitu selesai menulis, Kiran langsung mengirim pesan itu. Ia berharap Arga akan segera membalasnya, menjelaskan alasan kepergiannya yang tiba-tiba. Namun, sayangnya, sudah sepuluh menit berlalu, dan pe
Suasana di ruang makan malam ini terasa begitu tegang. Kiran dan Arka duduk di meja makan, bersama Lita yang duduk tepat di seberang Kiran.Sesekali Kiran menatap mata Lita jengah, sebenarnya ia sama sekali tak berselera makan, terlebih suaminya itu malah menyuruh Lita untuk makan bersama mereka. Kiran sedari tadi hanya memainkan sendok dan garpu, seolah makanan yang ada di atas piring adalah mainan yang menarik baginya. Arka sesekali mencicipi makanan sambil melirik ke arah Kiran yang sedari tadi tak kunjung makan, ia pun merasa heran kepada istrinya itu, semenjak kepulangannya ke rumah, ia hanya diam termenung, tanpa berkata apa pun. Apalagi ketika ia mengajak Lita makan bersama mereka, tidak seperti biasanya, Kiran tak menolak atau pun marah. Yang ada ia hanya diam membisu seakan tak tertarik dengan apa pun lagi. "Sayang, kenapa kamu tidak makan? Apa makanannya tidak enak?" Arka bertanya sambil terus memperhatikan wajah Kiran yang ditekuk. Kiran menghela napas dan meletakkan s
"Ma .…" Arka segera bangkit dari kursinya begitu melihat ibunya, Maria, datang ke rumah sambil menenteng beberapa kantong kresek besar di tangannya. Ia mendekati ibunya dengan wajah heran. "Apa yang Mama bawa ini?" tanya Arka sambil mengambil salah satu kantong dari tangan Maria. Maria tersenyum melihat ekspresi bingung putranya itu. "Mama bawa susu hamil untuk Kiran. Mama pikir, dia pasti butuh asupan yang cukup, apalagi kandungannya masih muda," jawab Maria begitu perhatian. Arka mengintip ke dalam kantong-kantong yang dibawa Maria, dan matanya melebar saat melihat begitu banyak kotak susu ibu hamil di dalamnya. "Ma, tapi ini terlalu banyak." Arka begitu heran mengapa ibunya bisa membawa begitu banyak susu ibu hamil. Pasalnya, stok susu di lemari juga masih banyak. Kiran tidak mungkin menghabiskan semuanya secepat itu. Maria tertawa kecil mendengar kekhawatiran Arka. "Lebih baik banyak daripada kurang, 'kan? Lagi pula, susu hamil itu bagus untuk kesehatan Kiran dan cucu mam
Maria begitu panik ketika melihat darah segar yang terus mengalir dari kaki Kiran. Wanita paruh baya itu pun berteriak memanggil putranya. "Arka! Arka! Cepat ke sini!" Maria tidak tahu apa yang senenarnya terjadi dengan Kiran. Kenapa Kiran pendarahan seperti ini? "Ada apa, Ma?" Arga bertanya ketika sudah sampai di kamar. "Arka, Kiran pendarahan!" Arka terkesiap melihat kondisi Kiran. Darah yang keluar dari kaki Kiran begitu banyak. Tanpa berpikir panjang, Arka langsumg berjongkok. "Kiran …." "Mas ... sakit ...," rintih Kiran, suaranya begitu lemah sambil terus menahan sakit yang tak kunjung reda. "Arka, cepat bawa Kiran ke rumah sakit sekarang! Mama takut terjadi apa-apa sama Kiran." "Baik, Ma." Arka mengangguk. Dia segera menggendong Kiran dengan hati-hati. "Mas, ada apa dengan Kiran?" Lita bertanya ketika melihat suaminya membawa Kiran, ia pun melihat banyak sekali darah segar yang ada di kaki Kiran. "Kiran mengalami pendarahan, aku harus segera membawanya k
Maria memandangi bungkus obat yang ada di tangannya. Ia tidak mengerti mengapa ada obat itu di tasnya. "Obat apa ini?" Arka yang mendengar ucapan Maria langsung melepaskan pelukannya dari Kiran dan melihat ke arah ibunya. "Bungkus obat apa itu, Ma?" Maria yang masih bingung, segera menjawab, "Mama tidak tahu. Mama tidak pernah merasa membawa obat ini." Dokter yang kebetulan masih berada di ruangan tersebut mendekat dan dengan sopan meminta untuk melihat obat itu. "Boleh saya lihat, Bu?" Maria menyerahkan bungkus obat tersebut ke dokter. Dokter merasa familiar dengan nama obat itu, ia membuka bungkus itu dan melihat isinya dengan cermat. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya berkata, "Ini ... ini adalah obat penggugur kandungan." Deg! Perkataan dokter tersebut membuat suasana di ruangan itu seolah berhenti sejenak. Kiran menatap dokter dengan seksama, sedangkan Arka langsung berdiri dengan wajah memerah karena kaget. "Ma, kenapa obat itu bisa ada di tas Mama?" Sua
"Ma, apa-apaan ini? Kenapa Mama menuduh Lita yang memasukkan obat itu ke minuman Kiran?" Arka segera masuk ke rumah ketika melihat Maria yang sedang menuduh Lita—memasukan obat ke minuman Kiran. "Lalu, apa kamu pikir mama yang melakukan itu?" "Ma, jelas-jelas obat itu ada di tas Mama. Kenapa Mama malah menyalahkan orang lain atas kesalahan Mama sendiri." Maria hanya bisa menggelengkan kepala, menatap Arka heran. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya bahwa anak yang ia lahirkan dan besarkan dengan kasih sayang malah menuduhnya. Alih-alih percaya padanya, Arka justru lebih percaya pada Lita, wanita yang baru hadir dalam kehidupnya. "Kamu benar-benar berpikir mama yang menaruh obat itu? Setelah semua yang mama lakukan untukmu, untuk keluarga kita, kamu malah percaya pada omongan wanita ini daripada ibumu sendiri?" "Ma, bukannya aku tidak percaya sama Mama. Mama terlalu terburu-buru menyalahkan Lita? Mungkin ada penjelasan lain kenapa obat itu bisa ada di tas Mama." "Penj
Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me
Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo
Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen
Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda
Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.
"Kita … kita harus segera mencari donor, Dok. Apa pun yang bisa dilakukan, kami akan lakukan. Tolong selamatkan Kiran." James berharap putrinya akan mendapatkan donor mata secepat mungkin, ia tak bisa membayangkan bila Kiran tak bisa melihat. Dokter mengangguk. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Kami juga akan mulai mencari donor yang cocok untuk segera dilakukan transplantasi mata," katanya sebelum kembali masuk ke dalam ruang gawat darurat. James dan Kinanti berdiri di depan pintu ruang perawatan dengan perasaan yang bercampur aduk, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan penglihatan putri mereka. Tubuh James terasa lemas saat mendengar kondisi Kiran yang begitu kritis. Kakinya hampir tak kuat menopang tubuhnya, dan ia terpaksa bersandar pada dinding untuk menahan beban emosinya. Ia berharap putri semata wayangnya akan baik-baik saja, meski situasinya tampak begitu sulit. Di dalam hatinya, James terus berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Kiran. Clari
Aldo menyeringai dari balik kemudi mobilnya ketika melihat sosok wanita yang dikenalnya, Kiran. Wanita yang selama ini ia benci. "Jadi, kamu sudah kembali lagi, Kiran? Baguslah. Sekarang waktunya aku membalas dendam atas kematian Cintya dan juga atas apa yang terjadi pada Lita," gumamnya, sorot matanya menatap Kiran seperti api yang berkobar. Ia masih kesal ketika mengetahui adik sepupunya, Lita, dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan kondisi mentalnya semakin parah. Lima tahun lalu, Lita tertangkap basah oleh Arga ketika sedang mencoba membekap Maria. Tanpa belas kasih, Arka memasukan Lita begitu saja ke Rumah Sakit Jiwa. Sampai mental Lita sudah terlanjur kacau, terkadang dia menangis tanpa sebab, kadang juga tertawa seperti orang yang kehilangan akal. "Sekarang waktunya kamu untuk mati." Aldo berdesis seraya menancap pedal gas begitu kuat. Kiran yang sedang berjongkok di tepi jalan, ia terlalu sibuk memunguti barang belanjaannya yang berjatuhan, sampai ia tidak menyadari ada
"Ayo, sini! Aku akan kenalkan kamu sama kakakku." Cleo tampak sangat bahagia ketika melihat ayahnya datang bersama seorang gadis kecil yang baru ia temui beberapa hari lalu. Wajah Cleo berseri-seri saat menarik tangan Clarissa menuju tempat kakaknya berada. "Kamu punya kakak?" Cleo mengangguk. "Iya, dia sedang main motor-motoran," jawab Cleo sambil menunjuk ke arah Noah yang sedang asyik bermain di arena permainan. Sesampainya di dekat Noah, Cleo langsung berhenti dan memanggilnya, "Kak Noah!" Noah menoleh saat mendengar suara Cleo dari samping. "Ada apa, Dek?" "Lihat, aku bawa siapa!" Cleo tersenyum lebar, seraya menunjuk seorang gadis mungil yang berdiri di sampingnya. Noah segera turun dari permainan dan melihat ke arah gadis kecil itu. "Dia siapa?" "Dia Clarissa, Kak." "Oh, jadi ini Clarissa yang sempat kamu bilang kemarin, ya?" Clarissa melirik ke arah Cleo. "Kamu ngomong apa tentang aku?" "Aku bilang kamu cantik." Perkataan Cleo membuat Clarissa sedikit tersipu malu.