Nazwa bergegas memasuki Kafe yang didirikannya setelah bercerai dengan Rafi. Hobinya memasak dan membuat kue-kue ternyata berguna bagi dirinya sekarang. Ia sangat bersyukur, mampu berdiri di kakinya sendiri dan membuktikan kepada Rafi bahwa ia baik-baik saja. Tunjangan yang didapat dari Rafi tak sedikitpun ia sentuh. Baik untuk anak-anak maupun dirinya sendiri. Bukan ia tidak menghargai, hanya saja rasa kecewanya yang begitu besar telah membuatnya berlaku seperti itu.
Rasa kecewa yang berlipat karena tak pernah mengetahui alasan sebenarnya ia diceraikan. Kehidupan rumah tangga mereka selama ini baik-baik saja dan harmonis. Tentu saja itu membuat ia kaget dan shock karena harus menerima perceraian. Jujur, sampai kini pun ia masih bertanya-tanya alasannya. Dan itulah yang membuat ia mau bertemu dengan Renata.
Nazwa mengenal Renata sebagai sahabat keluarga mereka dari pihak Rafi khususnya. Karena orang tua Renata adalah orang tua angkat Rafi. Walaupun belum pernah bertemu atau berbicara dengan orang tua Renata, tapi Nazwa telah mengenalnya lewat cerita-cerita Rafi. Bagaimana Renata dan kedua orang tuanya telah berjasa menjadikan seorang Rafi yang sukses dari Rafi yang sebatang kara dan terlunta-lunta.
Perceraian orang tua kandung Rafi membuat hidupnya berantakan. Karena tak ada di antara mereka yang mau merawat Rafi. Bagi mereka, Rafi adalah sebuah beban hidup. Memang, pernikahan mama dan papa Rafi terjadi karena adanya Rafi di rahim mamanya. Dan itu yang menjadi sebab pertikaian dan perceraian mereka. Karena saling mempertahankan keegoisan pribadi, merasa menjadi pihak yang paling benar. Tak ada yang mau menyadari apa yang telah terjadi karena kesalahan bersama, yang harus dihadapi suka atau tidak.
Ia sudah disambut oleh Siska di depan pintu masuk. “Ada di mana tamu saya?” tanyanya pada Siska.
“Ibu Renata ada di ruang tamu di lantai 2, Bu,” Jawab Siska.
“Sudah diberi suguhan?” tanyanya lagi.
“Sudah. Sekalian untuk Ibu juga.”
“Baik. Terima kasih, Siska. Saya ke atas dulu.”
“Baik, Bu.” Siska menanggapi ucapan Nazwa dengan memberikan senyum manisnya dan mengacungkan jempolnya.
Nazwa memasuki ruang tamu dengan mengucapkan salam. Terlihat olehnya seorang perempuan berwajah ayu dengan pakaian yang sangat modis, duduk di sofa ruang tamunya. Sontak perempuan itu berdiri melihat kedatangan Nazwa sambil menjawab salam yang diucapkan Nazwa.
Renata mengulurkan tangannya kepada Nazwa. “Terima kasih sudah mau meluangkan waktumu,” Ucapnya sambil tersenyum.
Nazwa menyambut uluran tangan Renata dan juga memberikan senyumnya. “Sama-sama. Silahkan duduk.”
Renata melepas tautan tangan mereka dan kembali duduk. “Ini Café milikmu?” tanyanya.
Nazwa mengambil tempat di samping tamunya yang berwajah ayu ini. “Ya. Saya mendirikannya setelah bercerai dengan Rafi,” Jawab Nazwa tegas.
Renata tersenyum mendengar nada bicara Nazwa. Rafi benar, Nazwa adalah wanita yang tegas dan sangat mandiri. Ia tak pernah main-main dengan hidupnya. Kalau belum mengenal Nazwa, mungkin orang akan melihatnya sombong dan ketus. Padahal ia adalah wanita yang baik dan lembut. Dan ketegasannya itu yang membuat ia menjadi wanita yang menarik. Renata juga telah banyak mendengar tentang Nazwa dari Rafi, sehingga ia mengenal karakter Nazwa.
“Kamu memang wanita yang hebat, Naz,” Puji Renata.
“Terima kasih. Saya hanya mencoba untuk bisa bertahan hidup setelah perceraian itu. Saya mempunyai dua orang anak yang harus dirawat dengan baik. Dan itu membutuhkan biaya,” Tandas Nazwa.
Tiba-tiba raut wajah Renata berubah menjadi sedih. Ia menatap dalam mata Nazwa. Perasaan bersalah menggelayuti hatinya. “Naz, seperti ucapan saya kemarin, meminta waktumu untuk mau bertemu dengan saya, adalah tentang alasan perceraianmu dengan Rafi. Tapi sebelum saya menceritakannya, saya perlu meminta maaf darimu terlebih dulu.”
“Maaf? Untuk apa?” taut Nazwa.
“Kamu akan mengerti nanti, setelah saya bercerita,” Ucap Renata.
“Baiklah,” Jawab Nazwa walaupun ia belum mengerti maksudnya.
Renata mulai menceritakan kisah yang menimbulkan gelegar petir di hati Nazwa. Ia merasa bermimpi di siang bolong. Renata bercerita dengan rintik air mata yang turun di pipinya.
“Sungguh, Naz. Saya tak pernah berniat untuk menghancurkan keluarga mungilmu. Tapi, keadaan memaksa. Ayah menderita kanker otak. Stadium akhir. Dokter memprediksi umurnya tak lagi lama. Beliau ingin saya menikah dengan Rafi. Sayangnya hanya Rafi. Rafi, Naz! Laki-laki yang dipercaya ayah untuk menjaga putrinya ini.” Renata menjeda ceritanya. Ia menggenggam jemarinya mengusir rasa gugup.
“Tadinya saya meminta Rafi untuk membicarakan masalah ini denganmu. Memohon keikhlasanmu, untuk bersedia menerima saya sebagai madumu. Tapi Rafi berpendapat kalau kamu pasti tidak akan bersedia, sehingga dia mengambil langkah untuk menceraikanmu.” Renata memberanikan diri memandang mata Nazwa. Mata yang cantik, secantik paras pemiliknya. Kini dilihatnya mendung pun bergelayut di kedua kelopak mata cantik itu.
Nazwa tak bisa berkata-kata. Ia shock! Petir menggelegar begitu dahsyat sampai ia merasa darah di tubuhnya berhenti mengalir.
“Naz,” Renata memegang tangan Nazwa. “Tolong jangan kau salahkan, Rafi. Ia tidak bersalah. Posisinya terjepit. Ia hanya ingin membalas budi. Bakti seorang anak pada orang tuanya. Saya bisa mengerti kalau kamu marah. Tapi tolong, tolong mengerti alasan Rafi.” Renata menggeleng. “Tidak.” Ia terdiam sejenak. “Alasan kami melakukan ini,” ujarnya pelan. “Saya hanya ingin kamu memposisikan diri bagaimana jika kamu berada di posisi saya dan Rafi,” Lanjut Renata lirih saat Nazwa menatapnya.
Nazwa masih terdiam. pikirannya masih terikat dengan ketidak percayan atas apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Ya Allah, salah apa aku? Isak batinnya.
Berkelebat di pikirannya sebelum perceraiannya terjadi. Rafi selalu marah-marah tanpa alasan. Semua perhatian dan perlakuan Nazwa yang selama ini sangat dipuja Rafi, berubah menjadi suatu kesalahan. Semuanya salah. Sampai Nazwa merasa letih. Letih dengan argumentasi, tangisan dan teriakan. Fisik dan hatinya lelah. Luar biasa lelah. Puncaknya, diterimanya keinginan Rafi untuk menceraikannya walau ia tak pernah bisa menerima bahkan mengerti alasan Rafi untuk bercerai. Jadi, ini alasan sebenarnya! Nazwa memejamkan matanya. Mencoba menyusun kekuatan dan ketenangan. Dikeluarkannya beban berat di hatinya seiring dengan hembusan nafasnya.
“Kalian . . . sudah . . . menikah?” gamang Nazwa bertanya.
Renata mengangguk. “Setahun yang lalu. Dan dua bulan setelahnya, ayahku meninggal.”
“Saya turut berduka,” ucap Nazwa tulus.
“Terima kasih, Naz. Kamu memang wanita yang cantik. Tidak hanya parasmu, tetapi juga hatimu,” Renata begitu terharu mendengar ketulusan dari nada suara Nazwa. Walau ia telah disakiti, tetapi ia masih mau berempati terhadap seseorang yang menjadi pangkal kesakitannya. “Pantas kalau Rafi begitu memujamu,” gumam Renata kemudian.
Mendengar nama Rafi disebut, entah darimana timbul kekuatan di hati Nazwa. “Maaf, tapi kedatangan kamu ini atas kemauan Rafi? Bukan bermaksud kasar, bukankah kalian sudah mendapatkan keinginan kalian? Lalu, apa maksudmu menceritakan ini semua?” tanya Nazwa.
“Bukan, Naz. Kedatangan saya bukan atas kemauan Rafi. Ini kemauan saya sendiri. Saya ingin mengaku dosa kepadamu, karena telah menghancurkan hidupmu, Rafi dan anak-anak. Saya tak tenang, Naz. Apalagi sejak ayah meninggal. Saya merasa Rafi ... Rafi tak sungguh-sungguh ingin menghabiskan hidupnya bersama saya.” Renata tertunduk sesaat.
“Maksudnya?”
“Sejak kami menikah, Rafi belum pernah menyentuh saya,” lirih Renata pelan.
*************
Bersambung
“Kedatangan saya bukan atas kemauan Rafi. Ini kemauan saya sendiri. Saya ingin mengaku dosa kepadamu, karena telah menghancurkan hidupmu, Rafi dan anak-anak. Saya tak tenang, Naz. Apalagi sejak ayah meninggal. Saya merasa Rafi ... Rafi tak sungguh-sungguh ingin menghabiskan hidupnya bersama saya.” Renata tertunduk sesaat.“Maksudnya?” tanya Nazwa tak mengerti.“Sebagai seorang suami, Rafi adalah suami yang baik. Ia memberikan saya nafkah lahir yang lebih dari cukup. Tapi sebagai seorang laki-laki, ia bukan laki-laki pembohong. Ia tak bisa melenyapkan bayanganmu darinya. Dan itu yang membuat ia tak bisa menggenapkan nafkah batinnya kepada saya, Naz. Mungkin kamu tidak percaya, tapi saya berkata jujur.” Renata menatap mata Nazwa. “Sejak kami menikah, saya belum pernah disentuh Rafi,” lirih Renata pelan.“Astaghfirullah alaziem,” ucap Nazwa dalam hati. Ditatapnya lekat-lekat mata Renata. Dan ia tidak menem
“Keluarga kecilmu bisa dipersatukan satukan kembali, Naz. Saya akan melepaskan Rafi. Kalian bisa menikah kembali. Dan anak-anak tidak akan kehilangan ayah dan bundanya,” Ucap Renata berusaha meyakinkan.Nazwa terdiam sejenak. Kemudian bertanya, “Ta, Rafi-kah yang memberitahu rencana pernikahan saya?”Renata hanya memandang Nazwa dalam.“Tolong, jujur pada saya, Ta!” ujar Nazwa lagi karena Renata tak menjawab.Renata menghembuskan nafasnya sebelum berbicara. “Ya. Rafi yang memberitahuku. Dan dia juga bilang, bahwa ia tak pernah benar-benar ingin melepaskanmu. Kalau ada yang bisa ia lakukan untuk mendapatkanmu kembali, dia akan melakukan apa saja, walaupun mempertaruhkan nyawanya. Asalkan kalian bisa bersatu lagi,” Jawab Renata pada akhirnya.“Aku sudah curiga. Karena saat dia tahu rencana ini, dia menyatakan keberatannya. Tapi ya, alasannya adalah anak-anak,” adu Nazwa berkeluh kesah.
“Assalamu’alaikum. Rafi, aku ingin bertemu. Bisa kamu datang ke Kafe Wien jam tiga nanti?” Nazwa berbicara cepat saat suara di seberang telinganya berkata halo.“Nazwa? Ada apa? Salsa dan Hanif ada masalah?” tanya Rafi kaget.“Mereka baik. Hanya ada yang aku mau bicarakan! Aku tunggu di sana ya.” Nazwa langsung menutup panggilannya. Ia tak ingin berbasa-basi dengan Rafi. Sesungguhnya ia enggan untuk membicarakan hal ini, tapi tak bisa dibiarkannya tindakan Rafi yang menurutnya sudah sangat menyebalkan.“Mama, bicara dengan siapa?” Pertanyaan Salsabila, putri pertamanya, mengagetkan Nazwa yang sempat melamun setelah menelpon Rafi tadi. “Astaghfirullah, Kakak. Kaget Mama, Nak,” Nazwa mengusap dadanya. “Mama kenapa sih? Sudah seminggu ini Salsa melihat Mama sering melamun,” Salsa kembali bertanya. Nazwa tersenyum. Diulurkan tanga
Rafi menunduk sejenak. Kemudian ditatapnya Nazwa. “Maafkan aku, Naz. Aku memang terlalu pengecut untuk berkata jujur. Renata pastinya sudah bercerita kepadamu kejadiannya. Jujur, Naz. Aku tak pernah ingin berada dalam situasi seperti ini. Kalau aku bisa mengulang kembali cerita hidupku, ingin rasanya aku tak berhutang budi kepada orang tua Renata. Sehingga aku tak harus memenuhi permintaan ayah angkatku untuk menikahi Renata,” Keluh Rafi.“Aku tak meminta pembelaan dirimu, Fi. Yang terjadi pastilah yang harus terjadi. Aku hanya ingin kamu tidak berbohong padaku dan anak-anak! Kamu sendiri yang bilang, bahwa apapun yang akan kita lakukan itu berkaitan dengan anak-anak dan mereka mempunyai hak yang harus kita pertimbangkan dengan langkah yang akan kita ambil. Ingat, saat kamu mengetahui Kafka ingin menikahiku? Kamu kesal karena aku tak menanyakan pendapat anak-anak tentang itu. Bagaimana dengan kamu sendiri? Satu tahun bukan waktu yang sebentar, Fi!” tan
Golden Tower “Maaf menunggu lama, Naz.” Ujar Kafka begitu masuk ke ruang rapat tempat Nazwa menunggunya. “Ada apa, Naz. Tiba-tiba datang ke sini. Ada hal penting sampai tak bisa menunggu aku datang ke rumahmu, Mmh? Besar sekalikah desakan kerinduanmu untukku?” goda Kafka. “Sepertinya hari ini cuaca hatimu sedang cerah ya?” Nazwa menyunggingkan senyum sinis. “Mmh ... ya. Aku berhasil memenangkan tender, Naz. Itu tender besar. Jelas aku excited sekali,” Jelas Kafka dengan senyum mengembang. “Oh ya? Bukan karena telah berhasil mendapatkan rival untuk memperlihatkan seberapa besar kekuatan kamu memikat wanita?” sin
Rafi cukup terkejut dengan cerita yang dialami Kafka. “Tapi aku memaafkannya, Fi. Mengingat anak kami masih kecil. Saya minta Ewi untuk bersabar menunggu saya kembali memulihkan kondisi ekonomi kami. Tetapi bisnis saya tak mengalami kemajuan, dan saat bisnis saya benar-benar hancur, Ewi tidak terima. Ia memilih laki-laki lain yang bisa memuaskannya secara materi. Ia lebih memilih untuk menikahi seorang duda yang usianya di atas usia ayahnya sendiri. Sekarang anaknya menjadi lima orang. Satu anak kami dan empat orang anak duda itu. Ewi bilang itu bukan masalah, asal secara materi ia berkecukupan. Ya jelas saja, duda itu seorang direktur di salah satu bank swasta terkemuka. Cerita yang klise bukan, Fi? Tapi ya itu yang terjadi,” Hela Kafka. “Hidup memang terkadang kejam, Kaf. Kadang juga seperti mempermainkan kita,” s
Setelah merasakan kekuatan yang tiba-tiba merasuk ke hatinya setelah kepasrahan dan permohonan yang ia panjatkan. Nazwa membuka matanya dan menatap dalam kedua mata Kafka. Mata teduh dan kelam itu begitu menentramkan hatinya acapkali dipandang. Jujur, pesona itu merebut hatinya untuk mau melabuhkan hatinya. Kafka memberikannya kedamaian, ketenangan juga perlindungan saat berada di dekatnya. Laki-laki sejati yang ia cari. Laki-laki tegar yang ia perlukan. Dan ia telah tahu ketegaran seorang Kafka saat ia ditinggalkan kekasih hatinya. tapi, Nazwa juga harus jujur pada dirinya sendiri saat ini. “Kafka, tolong. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri saat ini. Setelah semuanya, aku betul-betul butuh berbicara dengan hati dan pikiranku. Kamu tahu kan, kita sudah pernah mengalami hal yang sangat menyakitkan dalam kehidupan kita masing-masing. Dan aku tidak in
Belum lagi Salsa menjawab, hp Nazwa kembali berdering kencang. Rafi calling. Nazwa hanya meliriknya sebentar dan mengacuhkan panggilan itu.Kembali Nazwa mengulangi pertanyaannya. “Hanif kemana, Sa? Masih di kamar?”“Tadi pamit main sepeda sama Rio ke lapangan.”“Kok ngga pamit Mama?”“Tadi Mama sedang di kamar mandi, jadi pamitnya ke aku,” terang Salsa.“Oh begitu.” Nazwa menganggukan kepalanya. Tak lama ia membawa sebuah baki yang berisikan dua buah piring macaroni schotel dan dua buah gelas yang satu berisi coklat hangat untuk Salsa dan lemon tea hangat untuk dirinya sendiri.“Mmh . . . It’s look yummy,” Salsa menggesekkan kedua telapak tangannya sambil bergumam melihat makanan dan minuman yang dipindahkan oleh Nazwa dari baki ke atas meja.Nazwa tersenyum melihat reaksi Salsa. Inilah alasannya mengapa ia se
Pupil mata Kafka melebar mendapati sosok yang sedang merangkul Nazwa-nya. Ya, perempuan yang sedang merebahkan kepalanya di dada laki-laki itu adalah Nazwa, calon istrinya. Ia sudah akan mengiyakan permintaan Nazwa untuk kembali melanjutkan pernikahan mereka. Tidak salah bukan, jika sejak saat itu Nazwa kembali menjadi miliknya. Walau jawabannya itu belum sempat didengar oleh Nazwa, karena kedatangan dan interupsi Ewi, mantan istrinya.“Nazwa!” tegur Kafka. Terdengar jelas nada tidak suka dari suaranya.Nazwa bergeming. Tubuhnya seperti kaku mendengar suara dari arah belakangnya itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi direbahkannya di dada Razky. Ditatapnya Razky sebelum ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.“Kaf … ka?” lirihnya dengan nada terkejut.“Apa yang sedang kamu lakukan? Belum satu jam yang lalu kami memintaku untuk melanjutkan pernikahan kita. Lalu mengapa sekarang kamu bersandar pada dia!” tunjuk Kafka pada Razky penuh emosi.“Aku … aku hanya … me …,”“Apa kamu sedang m
Nazwa mengerjapkan mata untuk meraih kesadarannya. Netranya menangkap siluet wajah seorang lelaki gagah yang terkejut melihat kehadirannya.“Razky?” tanyanya juga dengan tak percaya.Lelaki gagah yang bernama Razky itu tersenyum dengan sangat manis mendapati Nazwa menyebutkan namanya.“Kamu sedang apa di sini, Angel?” Razky mengulang pertanyaannya yang memang belum terjawab oleh Nazwa tadi.“Aku … Aku …,” tiba-tiba Nazwa tergugu saat menjawab pertanyaan Razky. Sontak ia menoleh ke arah belakang, ke tempat di mana ia bertemu dengan Kafka, Rafi dan Ewi. Nazwa menunjukkan telunjuknya ke arah Café Seroja.Razky paham dengan gerakan Nazwa. “Oke … Kamu dari Café itu?” tunjuknya.Nazwa menganggukkan kepalanya.“Bertemu siapa? Kamu ada urusan bisnis di sini?” tanya Razky menggali informasi.Nazwa menggelengkan kepalanya.Razky mengernyitkan keningnya. Perempuan di hadapannya saat ini bukanlah Nazwa yang ia kenal. Setahunya, Nazwa adalah perempuan yang tidak mudah terguncang oleh suatu peristi
“Jika apa?” tanya Kafka dipenuhi rasa penasaran.Ewi menghembuskan napasnya, seolah berat untuk menjawab pertanyaan Kafka. “Nayla bilang, ia ingin bertemu denganmu jika kamu sudah menjadi Papa-nya lagi.”“Menjadi Papa-nya lagi?” taut Kafka tak mengerti.“Iya … Dia bilang kita harus tinggal serumah dulu, baru kamu adalah Papa-nya lagi,” jawab Ewi.Kafka tertawa mendengarnya. “Lelucon apa ini? Anak sekecil Nayla bicara begitu? Aku yakin, itu hanya akal-akalanmu saja, Wi!” decih Kafka.“Kalau kamu tak percaya, terserah,” jawab Ewi seolah tak terpengaruh dengan ucapan Kafka. Walau dalam hatinya ia meradang karena tak menyangka reaksi Kafka akan seperti ini. Ternyata Kafka yang sekarang bukanlah lagi Kafka yang ia kenal dahulu.“Kamu tahu … Aku tak percaya kalau Nayla mempunyai pikiran seperti itu.” Kafka mengembuskan napasnya dengan kesal. “Dengar, aku akan gugat kamu jika kamu masih menjauhkan Nayla dariku! Satu lagi, aku sibuk. Kalau kamu sudah selesai, silahkan keluar! Pintunya di sebe
afka melepaskan pelukannya pada Nazwa cepat. Ia terkejut dengan kedatangan Ewi, mantan istrinya ini. Hal yang sama pun dirasakan oleh Nazwa dan Rafi. Walau mereka belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mereka sudah mendengar kisah pernikahan Kafka dan istrinya itu.“Ewi? Jangan bilang kalau …,”“Apa? Jangan bilang apa? Jangan bilang kalau anak kita sedang menderita sakit yang parah, yang umurnya tak lama lagi itu, ia ingin kita kembali bersatu. Kamu pikir aku main-main? Iya?!” Ewi kembali memotong ucapan Kafka.“Ini … Jika kamu membutuhkan bukti-bukti! Jika kamu tak mempercayai omonganku!” Ewi menyerahkan sebuah dokumen kepada Kafka.Kafka menerima itu dengan pandangan tak percaya. Tangannya bergetar. Menyadari jika apa yang ada di dalam dokumen itu benar, maka …“Kamu yang bernama Nazwa?” tanya Ewi pada Nazwa seraya menarik sebuah kursi untuk ia tempati. “Kenalkan, aku Ewi. Dan Kamu siapa?” tanyanya pada Rafi.“Aku Rafi …,” jawab Rafi menilai penampilan Ewi. Ia mencoba menging
Nazwa segera turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu ia berpakaian dengan baju yang telah ia persiapkan malam sebelumnya. Nazwa melihat tampilan dirinya di depan cermin. Ia tersenyum manis dan berkata, “Semangat Nazwa! Kita mulai dengan Bismillah!”Detik itu jua ia kembali merasakan debaran kencang di hatinya. Dan debaran itu mengiringi langkah kakinya meninggalkan hotel tepatnya menginap dan menyebrangi jalan menuju Café Seroja, tempat yang ditunjukkan oleh Rafi dimana Kafka berada di pagi hari ini.Nazwa mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki yang dicintainya itu. Didapatinya sosok itu tengah bercengkrama dengan dengan laki-laki yang Nazwa ketahui sosoknya. Hey, bagaimana bisa … Tak ayal Nazwa juga merasa heran. Tapi sedetik kemudian ia menyadari kebiasaan sosok itu. Dasar Rafi! Geram Nazwa dalam hatinya.“Naz …Wa?” Kafka yang pertama bersuara saat Nazwa berada di antara Kafka dan Rafi duduk.Nazwa bisa melihat keterkejutan di wajah Kafk
Cepat ia meraih lengan Nazwa sebelum mantan istrinya ini berjalan lebih jauh. “Maaf … Maaf, Naz,” pintanya dengan tulus. “Aku tidak bermaksud melecehkanmu,” ujarnya lagi.“Lalu apa maksud dari tertawamu yang terdengar bahagia di atas penderitaan orang lain itu?” ketus Nazwa mengerucutkan bibirnya.Rafi tersenyum sebelum menjawab. “Aku hanya senang melihat kebingungan di wajahmu. Sudah lama sejak aku melihat ekspresi di wajahmu hanya ekspresi serius saja. Tak ada ekspresi senang, bingung dan yang lainnya,” tukas Rafi.Nazwa menghela napasnya. “Kamu tahu sebabnya kan?” sindir Nazwa.“Ehem …,” Rafi mendehem mendengar ucapan Nazwa yang secara tidak langsung menyatakan kalau ialah penyebab ekpresi wajah Nazwa sekarang selalu datar. “Aku kirimkan lewat WA ya alamatnya,” ucap Rafi seraya mengeluarkan smartphonenya dari saku kemeja dan mengirimkan pesan ke smartphone Nazwa.“Rafii …,” terdengar suara Renata memanggil dari arah ruang makan.“Ya … Sebentar aku ke sana,” jawab Rafi dengan suara
"Sebentar lagi ... Kalian akan mendapat seorang adik," ujar Rafi memberitahu. "Adik?" Hanif mengerutkan keningnya seraya berpandang dengan Salsabila, kakaknya. "Iya. Adik kecil. Hanif akan dipanggil Kakak. Tante Renata sedang mengandung saat ini." Rafi menjelaskan dengan sumringah. Salsabila dan Hanif kembali berpandangan. Tiiba-tiba Hanif berteriak mengagetkan. "YeaYeay ... Hanif akan punya adik ... Yeay ... Hanif mau punya adik laki-laki, ya Ayah. Biar bisa bantu Hanif kalau Kak Bila menyerang Hanif," ucapnya dengan wajah penuh harap. Semua yang hadir di situ tertawa mendengar permintaan Hanif. "Kakek dan Nenek bantu doakan ya, Hanif," ujar Bapak kepada Hanif. Hanif tertawa senang mendengar perkataan kakeknya itu. "Terima kasih, Kakek, Nenek. Tante Renata, tolong dijaga ya adikku. Makan yang banyak, jangan kecapean dan istirahat yang cukup." Seperti orang tua Hanif berpesan kepada Renata. Renata tersenyum geli dan menganggukkan kepalanya. "Oke, Kakak Hanif. Tante akan menjag
"Hanif?" Kali ke dua Rafi bertanya. Hanif masih saja terdiam. Matanya saja yang bergerak. Menatapi Rafi, Nazwa dan Renata bergantian. Terakir ia menatap Salsabila, kakaknya. "Ha-nif ... se-dih," ujarnya ringan. Salsabila meraih tangan Hanif dan menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Diberikannya senyum untuk meyakinkan kalau Hanif bisa berbicara mengutarakan isi hatinya. "Hanif ... Hanif sedih karena Ayah dan Bunda berpisah. Hanif selalu ditertawakan oleh teman-teman karena itu. Hanif tak tahu harus marah sama siapa. Pada Ayah atau Bunda?. Lalu Hanif melihat di malam hari Bunda menangis. Ternyata Bunda juga merasakan apa yang Hanif rasakan, dan Hanif marah sama Ayah. Hanif kesal pada Ayah!" Tanpa sadar Hanif memandang Rafi tajam melampiaskan kemarahannya. Rafi menelan ludahnya mendengar ucapan Hanif. Apa yang dikatakan Nazwa benar. Hati anak-anaknya sungguh terluka dengan keputusannya saat itu. "Hanif ... Ayah ...," Rafi berusaha untuk menjelaskan alasannya. "Tapi Bunda bilang,
“Mmh … Kenapa Ayah ngga bilang mau ke sini? Hanif tadi kaget lihat mobil Ayah di halaman. Ngg .. memangnya ini sudah jadwalnya Hanif menginap di rumah Ayah lagi? Bukannya baru kemarin ya Hanif dan Kakak menginap di rumah Ayah?” Hanif menjawab pertanyaan Ayahnya dengan begitu terus terang.Semua yang mendengarnya pun paham, terlebih Rafi. Bahwa begitu pilunya mendengar ucapan Hanif. Ini adalah resiko dari sebuah perceraian. Resiko berat yang harus ditanggung oleh korban dari perceraian sepasang manusia yang telah diikat oleh sebuah janji suci. Hasil dari janji itulah yang terkadang sepasang manusia itu lupakan. Bahwa hasil itu juga berwujud manusia dan mempunyai jiwa. Yang pasti remuk redam dan terluka saat perpisahan itu terjadi.Rafi tersenyum getir. Ia menggelengkan kepalanya dan memeluk anak laki-lakinya. “Ayah ke sini bukan untuk menjemput Hanif dan Kak Bila. Tapi ayah mengantarkan Tante Renata dan Nenek Mira,” sahut Rafi mencoba tenang dan melepaskan pelukannya.“Nenek Mira?” tau