Rumah keluarga Sullivan yang lama tak ditempati sempat diperbaiki dahulu oleh kedua orang tua Levana. Sama seperti waktu dirinya masih kecil, Levana menempati kamar tidurnya yang ada di lantai atas.Jendela kamar tidurnya menghadap langsung ke area perkebunan yang berada di bagian depan rumahnya. Terlihat begitu asri dan menenangkan, tetapi sayang, Levana justru salah fokus pada seorang pria yang berada di dekat mobil hitam yang semula ia lihat.“Dia belum juga pergi,” gumam Levana yang kini menutup jendela menggunakan kain tipis berwarna putih.Yang dilakukan Levana saat ini tengah memperhatikan pria yang tengah serius dengan ponselnya. Sesekali pria itu terlihat seolah tengah marah dan entah kenapa membuat Levana refleks tertawa.“Sepertinya kau punya banyak masalah, Rave. Salahmu sendiri karena bukannya bekerja, kau justru mengikutiku ke sini,” cetus Levana yang bicara pada dirinya sendiri.Levana yang hendak melihat suaminya kembali refleks bersembunyi di balik dinding kamarnya. T
Sebelum bertemu dengan Rave, yang Levana lakukan pertama kali adalah bertemu dengan Francis Maverick. Selama beberapa hari dirinya tinggal di Wiltshire, hampir setiap hari Levaan bertemu dengan Yara Maverick, ibu dari Rave. Banyak yang mereka bahas hingga keputusan akhir Levana yang ingin bercerai dengan Rave.“Aku sudah mendengar semuanya dari Yara,” gumam Francis yang terlihat begitu tertekan saat ini.“Maafkan aku karena tidak bisa memenuhi janji yang sebelumnya telah kita sepakati bersama.” Suara Levana terdengar begitu tegas karena dirinya sudah meyakinkan untuk mengakhirinya.Francis Maverick tidak langsung bersuara, tetapi terlihat pria tua itu cukup sulit untuk mengatur napasnya. “Dan maafkan aku karena tidak bisa menjagamu, Levana. Aku sudah berjanji padamu akan melindungimu dari orang-orang jahat yang ingin mencelakai dirimu, tetapi aku gagal. Seharusnya aku langsung bertindak tanpa persetujuanmu sebelumnya, sehingga kau, aku dan yang lainnya tidak kehilangan apa yang kita s
Jari telunjuk Levana segera menekan angka 1095 pada kunci pintu elektronik di hadapannya. Rasa nyaman langsung menghampirinya begitu pintu terbuka, membuat dirinya enggan meninggalkan rumah itu lebih lama.Barang belanjaan yang sempat ia beli sewaktu pulang ke rumahnya di Richmond segera dibukanya. Ia mulai memasak menu makan malam untuk dua orang. Menu spesial yang ia masak dengan hati yang bahagia untuk pertama dan terakhir kalinya.Tepat dirinya selesai menyajikan makan malam di atas meja makan, Levana mendengar pintu rumah yang terbuka. Ia merasakan langkah kaki yang terdengar begitu tergesah melangkah ke dapur.“Levana!”Senyum terbaik dirinya pun segera ditampakkannya. “Kau sudah datang,” sapa Levana sembari menuangkan jus jeruk ke dalam gelas. “Cuci tanganmu dan ayo kita makan malam bersama.”“Kau baik-baik saja?” Rave segera melangkah mendekat ke arah Levana, menyentuh kedua pipinya agar tatapannya membalas ke arah sang suami.“Cuci tanganmu segera, Rave. Aku sudah cukup lapar
“Aku tahu ini tidak adil bagimu, Levana, tapi kau harus meyakinkan Rave agar dia bisa menerimamu menjadi istri kedua. Nasib keluarga kita ada di tanganmu!” Kalimat itu terlontar dari mulut sang ayah sebelum meninggalkan Levana seorang diri di sebuah restoran.Kepergian sang ayah tidak langsung membuat Levana bangkit dari duduknya. Pertemuannya barusan dengan sang ayah dan ayahnya Rave yang sudah lebih dulu pergi tentu saja tidak berjalan dengan baik. Ditambah Rave yang juga tak kunjung datang membuatnya lebih memilih untuk menunggu sebentar kedatangan pria itu.Tak lama, pintu ruangan VIP terbuka dan menampilkan sosok Rave yang datang tergesa-gesa. “Jadi, bagaimana keputusannya? Kau tentu saja menolak perjodohan ini kan, Levana?” tanya Rave dengan suara datar dan tatapan penuh harap agar Levana menolaknya.“Maaf, Rave, tapi ... Aku tidak bisa melakukannya,” ucap Levana dengan raut wajah bersalah.Mendengar ucapan Levana barusan membuat mata Rave menyiratkan kemarahan. “Aku sudah bilan
“Lilian, apa yang kau lakukan!” Rave refleks berseru saat melihat Lilian menampar wajah Levana. Diraihnya tangan Lilian, tetapi pandangannya fokus ke arah Levana yang tertunduk, terluka baik secara fisik maupun emosional. “Bukan begini caranya! Kita bisa membicarakan ini dengan tenang tanpa kekerasan.”“Tenang? Kau pergi menemui wanita lain di belakangku, dan kau ingin aku bersikap tenang?” teriak Lilian dengan amarah yang memuncak. Tangannya pun langsung ditarik begitu saja hingga pegangan Rave terlepas.Levana yang semula terdiam pun kini mengusap pipinya pelan karena tamparan yang diberikan Lilian barusan. Dengan suara tegas, tetapi tetap terdengar lembut, Levana berkata, “Lilian, aku mengerti perasaanmu. Aku mohon jangan salah paham. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu.”“Apa yang ingin kau jelaskan pada istriku, Levana! Ayo kita pergi dari sini,” ajak Rave pada Lilian yang mana istrinya itu tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri. “Tapi, Rave. Lilian juga berhak tah
Tidak pernah terpikirkan oleh Levana sebelumnya jika pernikahannya akan diadakan dengan begitu mewah. Ia pikir pernikahannya akan diadakan secara tertutup, mengingat dirinya menikah dengan pria yang sudah beristri. Namun, pikirannya itu salah karena pesta tersebut bahkan mengundang media besar dan meliput pesta pernikahannya.“Sampai kapan aku harus menemui mereka semua, aku bahkan tidak mengenal satu orang pun di pesta ini,” bisik Levana saat Rave kembali menghampirinya.“Tentu saja sampai orang yang menjanjikan akan melunasi utang perusahaanmu puas,” balas Rave yang mana arah pandangnya ke arah ayah mertua Levana.“Tidak bisakah kau mencari alasan agar kita bisa pergi dari sini?” tanya Levana yang mana justru membuat sudut bibir Rave terangkat.“Aku punya banyak alasan untuk kabur dari pesta ini, Levana, tapi tidak dengan dirimu. Nikmati saja pesta malam ini dan biar kuberi kau satu tips,” bisik Rave yang kini lebih mendekat ke Levana. “Manfaatkan untuk mencari kenalan yang bisa men
“Kau tidak mau turun?”Tersadar dari lamunannya, Levana langsung memperhatikan area sekitar. Dirinya tiba di depan salah satu rumah sederhana yang biasa ditemui di London. Bangunan berwarna putih terlihat sangat nyaman dipadukan dengan teras berwarna coklat muda.“Di mana kita sekarang?” tanya Levana saat keluar dari dalam mobil.“Richmond,” jawab Rave singkat yang mana berhasil membuat Levana berlari mengikuti pria itu.“Richmond?” ulang Levana dan tidak mendapat balasan apa pun dari Rave yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah baru mereka.Berbeda dengan keadaan di luar yang tampak tenang dan indah, bagian dalam justru tampak kosong. Hanya ada satu kursi kayu di dalam sana yang mana langsung diduduki oleh Rave. Pria itu kini lebih fokus melihat ponselnya dibandingkan memberi informasi untuk Levana.“Aku akan tinggal di sini mulai sekarang?” tanya Levana yang berharap Rave akan mengatakan tidak kepadanya.“Ya.”Jawaban singkat Rave berhasil membuatnya mengembuskan napas panjang. R
Selama 30 tahun dirinya hidup, Levana tidak pernah merasa punya musuh sebelumnya. Dirinya selalu bersikap baik kepada siapa saja yang ditemuinya. Saat dirinya menjadi korban perundungan pun, ia tidak pernah sekalipun membalas. Dirinya hanya diam menerima semua perlakuan buruk yang ditujukan kepadanya.Lalu sekarang, di hari pertama dirinya menikah dengan Rave sudah ada yang mengirimkannya pesan ancaman. Tentu saja hal tersebut membuat Levana sedikit takut sekaligus penasaran siapa pengirimnya. Yang terlintas di pikirannya hanya Lilian karena mau bagaimanapun juga, Levana memang sudah menyakiti wanita itu, jadi menurutnya hal yang wajar jika memang benar Lilian si pengirim pesan ancaman tersebut.“Kau menikmati pernikahanmu dengan Rave, Levana? Bagaimana kalau aku memberi tahu Rave atau keluarga Maverick lainnya bahwa kau tidak bisa hamil?” ucap seseorang dari seberang telepon saat Levana menghubungi si pengirim pesan ancaman.Tubuhnya refleks bergetar saat mendengar suara pria di sebe