Seperti yang Albert katakan, bahwa selama seminggu itu, dia begitu sibuk dan bahkan jarang pulang ke rumah. Berita baiknya, Albert tidak pernah absen menghubungi Sophia, mengiriminya pesan-pesan pendek saat makan siang dan malam adalah hal yang rutin.Sophia mengubur dalam-dalam rasa kecewanya karena mereka tidak bisa pergi ke luar. Padahal baru beberapa hari lalu mereka melakukan persetujuan secara resmi untuk hubungan mereka, tapi sekarang sudah dipisahkan seperti ini.Sophia menidurkan kepalanya pada sandaran sofa sambil menatap ke luar jendela. Dedaunan telah menguning dan jatuh, angin mulai membawa udara dingin mendekat, tanda bahwa musim gugur akan datang.Sophia begitu penasaran dengan pohon ek yang Dana gembar-gemborkan. Katanya usianya diperkirakan sudah ratusan tahun, telah tumbuh di tanah mereka bahkan sebelum Dana datang ke tempat ini.Namun Sophia hanya ingin mengunjunginya bersama Albert, dia menolak pergi sendirian.Sophia dengar pohon ek adalah pohon yang sangat sakral
Sophia bangun dari tidurnya dengan badan sedikit pegal karena lagi-lagi semalam dia begadang untuk menulis naskah.Setiap kali mendapatkan telepon dari Albert selama pria itu bekerja minggu ini, setelahnya Sophia selalu mendapatkan ide yang mengalir deras dari kepalanya. Hal itu tentu saja tidak Sophia sia-siakan sehingga dia buru-buru menuliskannya, sampai tidak sadar bahwa waktu telah menunjukkan pukul dini hari.Namun, pagi ini ada yang berbeda, karena Sophia terbangun dan mendapati dirinya tidak tidur seorang diri di ranjang. Ada tangan kokoh yang bertengger di perutnya membuat Sophia menoleh ke samping.“Albert?” bisik Sophia dengan suara serak.Albert tengah tertidur dengan posisi tengkurap. Wajahnya setengah tersembunyi di bantal, rambutnya acak-acakan dan seperti biasa, lelaki itu tidak mengenakan atasan sehingga kulitnya yang agak gelap tampak kontras dengan selimut Sophia yang putih.‘Sejak kapan dia pulang? Bukankah dia bilang bahwa minggu ini dia akan sangat sibuk dan tida
“Al-Albert…!” seru Sophia terbata. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan lelaki itu tengah berdiri di hadapan toiletnya dengan celana terbuka dan—“Hm?” Albert menjawab dengan gumaman. Dan suara pancuran air yang keras itu belum selesai.“K-kau… kau menjijikkan dan… v-vu-vulgar!” pekik Sophia.Dengan refleks dia menutup wajahnya dengan tangan untuk menahan malu dari apa yang sedang dia dengar. Sophia bahkan tidak peduli pada odol yang berhasil lolos ke tenggorokannya karena semua itu.Suara tawa Albert langsung menggema setelahnya. “What? Aku hanya buang air kecil, Sophie.”Suara flush toilet terdengar setelah itu. Albert ke luar dari dalam sana dan mendekati Sophia. Dia mencuci tangannya di wastafel sambil menatap sang istri di cermin dengan tatapan geli.“Sudah, kau tidak perlu menutup matamu karena aku tidak sedang telanjang,” kata Albert, terkekeh pelan sambil menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari yang basah.Sophia pun mengintip dari sela jarinya, mendapati Albert yang ten
Sophia mengenakan sun dress berwarna putih dengan hiasan pita di kerahnya yang tinggi, berlengan lebar yang mengerut di bagian pergelangan, dan rok yang panjangnya mencapai mata kaki.Gaun itu adalah salah satu gaun favorite Sophia dan yang paling ingin dia kenakan, tapi belum pernah menemukan waktu yang tepat untuk mengenakannya. Dia bahagia bisa menggunakan momen ini untuk menggunakan gaun itu.Sophia menatap dirinya di depan cermin dan berpikir apakah dia harus mengikat rambutnya atau membiarkannya tergerai. Pilihan itu begitu membingungkan karena Sophia tidak tahu harus memilih yang mana, sampai sebuah suara terdengar menghela napas keras di belakangnya.Albert yang sedari tadi menunggu Sophia sambil berbaring di atas ranjang wanita itu pun bangkit dan menghampiri Sophia di meja riasnya.“Aku lebih suka kalau rambutmu digerai,” kata Albert, kemudian mengambil alih ikat rambut yang mengambang di tangan kanan Sophia.Sophia menatap Albert melalui cermin dan bertanya, “Kenapa?”Deng
Keseluruhan tanah milik Albert di sini memang sangat luas, sampai berpuluh-puluh hektar jauhnya. Jarak antara gerbang utama ke pintu utama saja memakan waktu sekitar sepuluh menit.Selama Sophia tinggal di sana, dia tidak terlalu menaruh peduli akan kekayaan suaminya, tapi sekarang Sophia melihatnya sendiri dan dia merasa sedikit tercengang, padahal Sophia belum melihat semuanya. Albert pasti sangat-sangat kaya raya!Kesadaran itu membuat Sophia merasa jarak di antara mereka semakin jauh dan sulit saja. Tapi Sophia segera menepisnya. Khusus hari ini, dia tidak boleh membiarkan satupun pikiran negatif lolos dari benaknya dan menghancurkan harinya yang indah.Sophia pun menoleh pada Albert dan menatap lelaki itu. Ketampanan Albert masih mengejutkan Sophia terkadang walau dia melihatnya setiap hari. Bahkan sekarang juga begitu, profil samping wajah itu tampak sempurna.Sophia tidak percaya bahwa lelaki di sampingnya ini adalah suaminya. Dan walau hubungan mereka di awal tidak baik-baik s
Apa yang Sophia bayangkan dengan apa yang terjadi sebenarnya ternyata jauh berbeda. Saat Sophia hanya bisa membayangkannya saja, dia tidak merasa perasaan bahagia yang membuncah ini. Saat masih dalam bayangan saja, Sophia tidak bisa merasakan semilir angin lembut dan suara kicauan burung yang indah. Intinya, apa yang terjadi ternyata lebih menyenangkan dari yang dia pikirkan.Sophia ingin terus tersenyum seperti orang bodoh, tapi dia menahan bibirnya sampai-sampai terasa sakit. Dia tidak mau Albert melihatnya seperti orang aneh.Di hadapannya, lelaki itu tengah fokus pada kertas gambar yang dia bawa. Sophia hampir lupa bahwa Albert memiliki bakat yang hebat dalam seni. Sementara itu, Sophia berbaring malas-malasan di atas selimut sambil sibuk makan dan bersantai menikmati semuanya.Mereka sama-sama tidak berbicara, tapi keheningan itu terasa begitu menenangkan.“Sophie, boleh aku minta anggur?” ujar Albert.Sophia berguling, lalu menuangkan wine merah ke dalam gelas yang telah kosong.
“Katakan sesuatu, Sophie,” bisik Albert dengan suara serak.“A-apa?”“Apapun! Alihkan pikiranku!”Sophia merasa tersanjung sekaligus ingin berlari kabur karena takut. “A-aku… tidak tahu!”Kalau ada yang perlu dialihkan pikirkannya sekarang, itu bukan hanya Albert, tapi juga Sophia!“Haah…!” Albert terdengar menghela napas panjang lagi. Bukannya menjauh, Albert malah memeluk Sophia semakin erat, membungkuk dan menyandarkan kepalanya pada punggung wanita itu.“Kau tercium seperti kebun bunga,” lirih Albert, matanya terpejam erat.Sophia meremas gaunnya kuat-kuat. “Itu karena… ini baju baru,” sahutnya.Albert terkekeh. “Hm… pantas saja. Aku suka kau menggunakan gaun ini.”“Kenapa?”“Kau selalu mengenakan gaun hitam atau pakaian dengan warna gelap lainnya. Melihatmu mengenakan warna putih untuk pertama kali… kau terlihat seperti bidadari.”Sophia nyaris saja ditelan oleh rasa tersanjung, tapi dia segera menyadarkan dirinya. “Bidadari itu kan… sempurna,” gumam Sophia.“Hm?”“Kau mau aku me
Ciuman yang awalnya lembut dan terkesan polos itu berubah menjadi panas dan basah.Albert menahan punggung dan leher Sophia, mendorong tubuh mereka semakin dekat sampai tidak ada lagi jarak di antara keduanya.Sophia mengerang pelan saat Albert menggigit bibirnya dengan lembut, lalu kembali menciumnya. Lidah bertemu lidah, saling memagut satu sama lain. Suasa cecapan dari apa yang tengah mereka lakukan membuat Sophia semakin dibakar gairah.Perlahan, Albert mendorong tubuh Sophia berbaring di atas selimut. Mulut lelaki itu menekan mulut Sophia dan ciuman mereka menjadi semakin dalam.Sophia mengalungkan kedua tangannya di leher Albert, menarik keras rambut lelaki itu saat rasa yang ia rasakan terasa tidak tertahankan.Albert menjauh. Matanya yang ditutup kabut gairah menatap Sophia sayu. Tangan Albert bermain di ikatan pita di leher Sophia.“Boleh kah?” Albert meminta izin.Sophia masih terengah, menutup mulutnya dengan punggung tangan sebelum mengangguk lemah.Albert tidak membuang w