Rafael sudah berusaha keras menahan hasratnya selama beberapa hari ini. Sejak menikmati istri kontraknya, tidak dapat dipungkiri, hasrat Rafael terus bangkit. Namun, Rafael tahu untuk yang pertama kalinya pasti sangat tidak nyaman bagi Alba. Mungkin akan bengkak, mungkin akan perih, mungkin akan cidera, entahlah, Rafael juga tidak pernah membahasnya. Sungguh, kalau bukan karena tangan Alba mendadak memegangi tangan Rafael yang sudah memegang celananya, Rafael pasti benar-benar membuka celananya yang sudah sesak karena sesuatu di dalam sana sudah memberontak minta dipuaskan. "Aku serius, Alba. Kalau kau sudah tidak sakit, kita sudah bisa melakukannya lagi kan?" goda Rafael yang saat ini sudah menundukkan wajahnya mendekati wajah Alba. Alba menahan napasnya sejenak, apalagi saat wajah Rafael sudah begitu dekat dengan wajahnya. "Rafael ...." Rafael tidak menjawabnya, tapi malah langsung membungkam bibir Alba dengan bibirnya. Awalnya kedua bibir itu hanya menempel, tapi saat Alba ti
"Kau yakin kau sudah baik-baik saja, Alba?"Rafael terus melirik Alba saat ia sudah melajukan mobilnya lagi ke menuju ke resort. Mereka sempat pergi ke minimarket dan Alba beristirahat di sana sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. "Aku baik-baik saja, Rafael," jawab Alba yang wajahnya masih sangat pucat. "Baiklah, kalau kau sudah baik-baik saja, kau sudah bisa bercerita kan apa yang terjadi tadi? Mengapa mendadak kau melakukannya? Aku benar-benar terkejut dan kita bisa saja menabrak mobil lain, Alba." Rafael sempat marah tadi, tapi melihat Alba yang lemas dan pucat, alih-alih makin marah, Rafael malah mendadak panik. "Maafkan aku, Rafael. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi, aku hanya tiba-tiba pusing dan mengira truck itu akan menabrak mobil kita, karena itu aku ... aku langsung refleks melakukannya." "Itu berbahaya, Alba!" "Aku tahu! Maafkan aku lagi, Rafael!" "Ya, tidak apa. Tapi begini saja, lebih baik kau tidur dulu saja karena perjalanan ke puncak masih lumayan lama. I
"Mendadak kau manja sekali hari ini, Alba." Alba yang sudah duduk di ranjang malam itu pun terlihat salah tingkah mendengar ucapan Rafael. "Aku? Tidak, aku tidak manja." "Kau terus menempel padaku sampai aku susah bergerak, apanya yang tidak manja? Untung saja kita tidak sedang berkerja, karena itu, aku mengijinkanmu menempel padaku. Kalau kita sedang bekerja, pasti aku sudah naik darah." Alba mendadak tidak terima mendengarnya. "Hmm, kalau Louisa yang mendekatimu apa kau lebih suka?" Rafael memicingkan mata mendengarnya. "Apa hubungannya dengan Louisa? Mengapa tiba-tiba kau membahasnya?" Alba mengembuskan napas kesalnya. "Sejak tadi dia tidak berhenti mendekatimu sampai aku kesal melihatnya. Padahal kau sudah punya istri, mengapa dia tidak punya harga diri sebagai wanita?" omel Alba sewot. Rafael pun terdiam sejenak sebelum ia mengulum senyumnya. Beberapa hari yang lalu, pasti Rafael sudah marah melihat sikap Alba yang seperti ini, tapi sekarang, alih-alih marah, mendadak Rafa
"Mengapa saat sedang berlibur, hari itu terasa begitu cepat?" keluh Yola saat ia sedang bersantai bersama Alba. "Mungkin karena isinya hanya bersenang-senang tanpa stres, Yola." "Kau benar, Alba! Semuanya senang, hanya satu yang stres," sahut Yola sambil mengedikkan kepalanya ke arah Louisa yang masih duduk nan jauh di sana dan Alba pun hanya bisa mengulum senyum melihatnya. Louisa sendiri yang masih duduk di tempat yang jauh dari Alba nampak juga sedang menatap Alba dengan rasa kesal yang luar biasa karena sampai hari terakhir liburan, ia tidak bisa mendekati Rafael. Alba bukan hanya menghalanginya, tapi Alba bahkan mulai melakukan perlawanan. Setelah waktu itu Louisa gagal mempertontonkan dirinya pada Rafael di pemandian air panas, Louisa pun kembali mencoba memakai baju minim kurang bahan untuk menggoda Rafael pada malam harinya, tapi dengan kurang ajar, Alba langsung menutup tubuh Louisa dengan jaket besar milik Onad. "Kau bisa masuk angin kalau semua serba terbuka seperti in
"Akhh!" Teriakan Bella dan Alba mendadak membuat semua orang menoleh kaget. Mereka pun langsung membelalak melihat bagaimana Alba memeluk Bella dan mereka terguling jatuh ke bawah dengan posisi yang tidak beraturan dan menyakitkan.Kejadian itu berlangsung begitu cepat, tapi napas semua orang hampir saja berhenti melihatnya. Onad dan Yola yang berdiri di bawah tangga begitu syok sampai mereka hanya bisa berteriak tanpa bergerak, sedangkan refleks Rafael adalah yang paling cepat. "Alba! Bella!" Rafael segera berlari menghampiri Bella dan Alba yang sudah jatuh ke tanah, barulah yang lain ikut menghampiri dan melihat mereka."Alba, Bella, apa yang terjadi? Kalian tidak apa?" Rafael sudah berjongkok untuk membantu Bella berdiri. Bella terlihat sedikit pusing dan oleng, tapi Bella masih bisa berdiri dengan tegak. "Sakit," sahut Bella yang terus memegangi kepala dan kakinya sambil mulai menangis. Thomas pun buru-buru memeluk anak bungsunya itu. Alba sendiri masih tetap sadar, tapi Alb
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di resort dan aktivitas semua orang pun kembali normal. Louisa benar-benar sudah tidak pernah datang lagi ke rumah maupun saling menelepon dengan Ivana. Tentu saja sebenarnya Louisa mencoba menelepon sekutunya itu beberapa kali, tapi Ivana tidak pernah mau mengangkat teleponnya. Namun, Louisa juga terlalu malu untuk berkunjung ke rumah itu lagi. Sikap Ivana sendiri berangsur membaik pada Alba. Walaupun Ivana tidak biasa beramah tamah atau berbasa-basi menanyakan kabar Alba setiap hari, tapi Ivana sudah bisa tersenyum menatap Alba dan membiarkan Bella bersama Alba lebih sering daripada biasanya. Hubungan romantis antara Alba dan Rafael sendiri pun menjadi makin dalam walaupun gambaran yang muncul di kepala Alba mulai menggila dan tidak mau pergi. Seperti saat Alba kembali memimpikan scene kecelakaannya malam itu. "Tidak! Ada truk di sana! Tidak! Akhh!" Alba memekik keras sambil membuka matanya kaget saat ia mengalami mimpi yang sama selama tiga
Alba memulai harinya pagi itu dengan sakit kepala yang cukup menyiksa. Alba yang sudah mulai kembali bekerja itu pun sama sekali tidak bisa fokus dan ia terus gelisah tidak jelas, walaupun ia juga tidak berani menceritakan kegelisahannya pada siapa pun. "Apa yang sedang kau pikirkan, Alba?" tanya Yola yang sejak tadi melihat keanehan Alba. "Sepertinya sejak tadi dahimu berkerut dan kau terus bicara sendiri, apa kau mau menceritakannya padaku?" Alba mengerjapkan matanya menatap Yola. "Eh, itu ... tidak ada, Yola. Tidak ada apa-apa." "Lalu apa yang membuatmu gelisah, hah? Padahal semuanya baik-baik saja, kau sudah berhasil menyingkirkan Louisa, bahkan kau dan Bos Rafael juga sudah begitu mesra. Eh, tapi kupikir ada baiknya kau meminta pembatalan kontrak waktu itu. Kalian lebih cocok menjadi suami istri sungguhan daripada suami istri kontrak." "Sstt, suaramu terlalu keras, Yola. Tapi sebenarnya aku juga sudah berpikir begitu. Kami harus menyobek surat kontrak itu bersama," sahut Alba
Alba masih gelisah memikirkan nama yang begitu mengusik hatinya, Sophia dan Gemma. Alba pun mencoba mengingat-ngingat wajah wanita yang menyapanya tadi, tapi sungguh, sampai Alba berusaha sekuat tenaga pun, Alba tidak ingat siapa wanita itu. Mungkin memang Alba tidak pernah bertemu wanita itu sebelumnya atau bisa saja wanita itu hanya modus karena berniat menipu Alba saja. Untung saja Alba bisa segera pergi dengan alasan menerima telepon, tapi entah mengapa kedua nama itu seolah tersangkut dan tidak mau pergi. Rafael sendiri yang masih menyetir mobilnya pulang ke rumah pun terus melirik Alba yang sejak keluar dari supermarket hanya terus diam. "Kau kenapa, Alba? Apa yang kau pikirkan? Kau terus diam sejak tadi." Namun, Alba nampak tidak mendengar pertanyaan Rafael dan masih berpikir keras sampai Rafael pun mengernyit dan memanggil Alba lagi."Alba! Alba!" Sontak Alba tersentak dan menoleh. "Ya, Rafael? Kau memanggilku?" "Ya, aku bicara denganmu tapi kau malah melamun. Ada apa,
"Oek ... oek ...." Satu bulan lebih sejak pernikahan Onad dan Yola akhirnya Sophia pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat gemuk dan tampan. Sungguh, prosesnya sama sekali tidak mudah karena Sophia mengalami sakit seharian sejak kemarin, sebelum hari ini akhirnya bayinya berhasil lahir dengan selamat juga. Sophia sendiri sudah lama memutuskan untuk melahirkan secara normal. Rafael yang tidak tega melihat istrinya kesakitan pun sudah berulang kali hampir menyerah dan meminta operasi saja, tapi Sophia bertahan dan ia masih yakin mampu menahan semua rasa sakit itu. Dan perjuangannya tidak sia-sia. Semua rasa sakitnya pun mendadak lenyap saat mendengar tangisan merdu dari bayi mereka. "Oh, Sophia, Sayang, bayi kita, Sayang. Bayi kita!" seru Rafael yang terus menciumi wajah Sophia yang masih berkeringat itu. Rafael terus menggenggam tangan Sophia saat Sophia mengejan dan setiap detik kesakitan Sophia membuat hati Rafael begitu pilu. Kalau bisa, Rafael saja yang sakit, janga
"Hmm, akhirnya kita satu kamar lagi, Rafael." "Dan selamanya kita akan satu kamar sekarang, Sayang!" Rafael dan Sophia saling bertatapan mesra di kamar mereka malam itu. Setelah pesta sederhana di pagi hari, mereka kembali menjamu beberapa tamu makan malam sebelum mereka bisa beristirahat di malam pengantin mereka itu. Keduanya saling bertatapan mesra dan mereka pun menyatukan bibir mereka dengan mesra juga. Kali ini pagutan bibir mereka begitu menghayati karena tidak ada penonton seperti wedding kiss tadi, hanya ada mereka berdua di kamar sampai tangan Rafael pun leluasa membelai punggung Sophia. Tangan Sophia sendiri juga sama membelai punggung Rafael sambil ia terus memagut bibir suaminya. Mereka baru saling melepaskan bibir mereka saat mereka mengambil napas, namun napas mereka sendiri sudah tersengal. Rafael pun menatap Sophia dengan penuh cinta. "Dokter bilang kita sudah boleh melakukannya kan, Sayang? Aku sudah menahan diriku begitu lama," bisik Rafael dengan suara parau
"Apa itu anak Jackson, Sophia?" Sophia langsung dibawa ke ruang keluarga begitu Jenni mengetahui Sophia hamil. Sungguh, perasaan Sophia tidak karuan saat ini. Sebenarnya bukan hal aneh Sophia hamil karena memang ia punya suami sebelumnya, tapi yang jadi masalah adalah suaminya sudah meninggal dan anak ini bukan anak suaminya. "Ayah senang sekali akan mempunyai cucu, tapi Ayah sedih karena cucu Ayah akan lahir tanpa Papanya," seru Lewis lagi. Namun, baik Jenni maupun Sophia tidak berkomentar apa pun. "Tunggu dulu, Lewis. Sophia, bukankah kau pernah bilang kalau kau belum pernah berhubungan dengan Jackson?" tanya Jenni tiba-tiba. Lewis mengernyit mendengarnya. Tentu saja bagi Lewis, suami istri itu sudah biasa berhubungan ranjang, malahan kalau belum pernah berhubungan itu baru tidak biasa. Dan Lewis tidak tahu kalau Sophia dan Jackson belum pernah berhubungan karena Sophia tidak terbuka pada ayahnya. Sophia hanya terbuka tentang hubungan ranjang pada ibunya. "Apa maksudmu, Jenni?
Beberapa hari berlalu sejak meninggalnya Gemma dan semua ritual untuk penghormatan terakhir pun sudah selesai keluarga Lewis lakukan. Semua prosesnya berjalan lancar dan kali ini, keluarga Rafael datang semua untuk mengucapkan belasungkawa. Kakek Robert dan orang tua Rafael datang sebagai teman dan Lewis pun menyambut mereka dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. "Kami turut berduka cita, Pak Lewis." "Terima kasih, Pak Robert. Terima kasih, Pak Thomas dan Bu Ivana. Terima kasih." "Turut prihatin dan berduka cita, Bu Jenni," ucap Ivana sambil memeluk wanita itu. "Terima kasih, Bu Ivana. Aku tidak akan melupakan bantuanmu menemaniku di rumah sakit waktu itu. Terima kasih." Jenni masih begitu melow dan berpelukan erat dengan Ivana dan Ivana pun seolah bisa merasakan kesedihan Jenni. Bagaimanapun, kehilangan anak adalah hal yang sangat menyakitkan. "Yang sabar ya, Bu. Gemma sudah tenang di sana." Jenni hanya mengangguk dengan air mata yang belum mau berhenti menetes. Sophia
Dua minggu berlalu dan kondisi Lewis terus berangsur membaik. Lewis sudah diijinkan keluar dari rumah sakit dan Rafael adalah orang yang selalu setia menemani di rumah sakit serta membantu semua untuk Lewis. Bahkan, Rafael membantu memapah Lewis ke mobil hari itu lalu mengantarnya pulang ke rumah. "Untung ada Rafael, terima kasih, Rafael," seru Jenni. "Mengapa harus merepotkan Rafael? Bukankah ada sopir?" seru Lewis yang masih kaku. Lewis sendiri sebenarnya sudah membuka hatinya. Bahkan, selama dua minggu ini, Lewis sudah tidak pernah protes melihat Rafael di kamarnya. Rafael membantu Lewis melakukan banyak hal dan menjaga Lewis saat semua orang tidak ada. Hanya saja, untuk mengatakan secara langsung masih berat bagi Lewis. Sophia yang mendengar ucapan Lewis hanya tertawa geli. "Rafael dan sopir tentu saja berbeda, Ayah. Bahkan, Rafael sampai sering meninggalkan pekerjaannya hanya demi menemani kita." "Ayah tidak pernah menyuruhnya. Tapi mana kakekmu yang tua itu? Mengapa dia t
"Kondisi pasien sangat kritis. Kami hanya bisa bilang kami akan berusaha semaksimal kami." Setelah menangis begitu lama melihat jasad Jackson, akhirnya keluarga Sophia kembali menunggu Gemma di depan ruang operasi. Operasi besar berjalan sangat lama karena luka yang serius di tubuh dan kepala Gemma. Dan setelah menunggu begitu lama sejak Gemma dioperasi dan dipindahkan ke ruangan lain, akhirnya dokter pun menemui Sophia dan Jenni untuk memberitahu kabar yang sama sekali tidak baik itu. "Apa maksudnya, Dokter? Apa maksudnya?" tanya Jenni lemas. Namun, Sophia terus memeluk dan menenangkan Jenni. "Tenanglah, Ibu. Dokter bilang akan berusaha semaksimal mungkin kan? Kita tunggu saja. Kita tunggu saja." Jenni hanya bisa menggeleng dan terus menangis di pelukan Sophia, sedangkan Rafael mencoba bicara dengan dokter tentang kondisi Gemma yang ternyata memang sangat kritis, tapi Gemma masih tetap bertahan. Ivana juga tetap ada di rumah sakit untuk memberikan Jenni semangat, sedangkan Yol
Tragis. Tidak ada kata lain yang lebih tepat lagi mengungkapkan apa yang Jackson dan Gemma alami. Mereka mengalami kecelakaan yang begitu tragis, bahkan mungkin lebih tragis dibanding kecelakaan Sophia waktu itu. Jackson sempat menyingkirkan Gemma sesaat sebelum mobil mereka menabrak pembatas beton, tapi malah sebuah benda tajam yang entah apa menembus dada Jackson. Benda tajam itu terbawa oleh mobil dengan kecepatan tinggi itu dan terus menusuk ke dada Jackson hingga rasanya begitu menyakitkan. Jackson merasakan dengan jelas detik-detik napasnya mulai memendek, detik-detik malaikat maut mempermainkannya dan menertawakannya. Semua sakit, sakit sampai Jackson tidak sanggup menjelaskan rasa sakitnya. Tubuhnya menggigil dan gemetar, perutnya bergejolak sampai ia hampir muntah. Rasanya dingin dan nyeri di sekujur tubuhnya, terutama di jantungnya, seolah organ berharga itu sedang dikoyak saat ini. Pecahan kaca dan serpihan lain dari mobil juga menghantam wajahnya dan membuat tusukan d
Jackson masih melajukan mobilnya tidak beraturan karena ulah Gemma. Keduanya terombang ambing di dalam mobil Jackson yang sudah berjalan zig-zag, tapi Gemma belum mau menghentikan serangannya pada Jackson. Tidak hanya mencekik Jackson, Gemma bahkan mulai memukuli Jackson sampai Jackson terus mengumpat dan makin kasar pada Gemma. Jackson menarik kencang rambut Gemma sampai Gemma terjungkal ke depan dan Jackson pun memukul Gemma di bagian mana pun yang bisa ia raih dengan tinjunya. "Akhh!" pekik Gemma kesakitan dan frustasi. "Rasakan itu, Wanita Jalang!" "Kau brengsek, Jackson! Kau brengsek! Seharusnya dari awal aku tidak bekerja sama denganmu! Kau brengsek!" pekik Gemma yang berniat menyerang Jackson lagi. Gemma sendiri sudah terjungkal sampai ke kursi depan tadi. Gemma berusaha keras memperbaiki posisinya dan bermaksud mencekik Jackson lagi, tapi malah Jackson sekarang yang mencekik Gemma duluan dengan satu tangannya. "Akhh! Lepas!" Gemma memukuli tangan Jackson, tapi Jackson m
"Sayang, kau baik-baik saja kan? Tidak ada yang terluka kan?"Rafael begitu cemas sekaligus lega saat akhirnya ia melihat Yola membawa Sophia keluar. "Rafael! Rafael!" Sophia langsung memeluk Rafael begitu erat sambil menitikkan air matanya. "Sophia!" Rafael juga memeluk dan menciumi pelipis Sophia dengan begitu sayang. "Untunglah kau selamat, Sayang. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai terjadi apa-apa padamu," ucap Rafael lagi sambil menangkup wajah Sophia. Sophia begitu terharu sekaligus sedih mendengarnya. Terharu karena ada pria yang bersedia bertaruh nyawa demi menyelamatkannya. Ucapan Rafael, tatapan mata Rafael, dan semuanya benar-benar membuat hati Sophia tersentuh akan cinta yang begitu besar. Sedangkan Jackson, suami Sophia sendiri yang seharusnya menjaga dan melindungi Sophia, tapi malah menjadi orang yang ingin membunuh Sophia. "Aku mencintaimu, Rafael! Aku mencintaimu!" ucap Sophia akhirnya yang tidak bisa menahan perasannya lagi. Sejak kembali mengi