Untuk pertama kali dalam hidup Gina, ia di dalam mobil bersama Revan tak lain pria asing yang baru saja ia kenal. Hatinya bergemuruh antara takut, nyaman, tidak enak hati dan juga debaran jantung tidak stabil.
Jangan sebut namanya Revan Alexander jika ia tidak mampu menundukkan semua karakter wanita termasuk Gina Syakilla.
Sepanjang perjalanan Revan memasang senyum penuh kemenangan atas keberhasilannya. Pada akhirnya, ia berhasil meluluhkan keras hati Gina yang terusan menolak Revan.
"Revan, apakah yang kau lakukan ini tidak terlalu berlebihan?" Tanya Gina pelan.
"Gina ... kita berteman dan aku hanya mengajakmu ke perayaan saja. Ada masalah? Aku pikir itu bukanlah masalah yang serius."
"Tap-tapi aku ...," Gina berhenti, tidak melanjutkan kata.
Revan menatap Gina sekilas lalu menyetir santai, "Aku tidak akan menyakitimu Gina, kau percaya denganku 'kan? Aku tid
Chenni melepas pelukan itu lalu menatap kembali luka memar pada dada Gina."Apa kau tidak merasakan sakit pada tubuhmu?" Tanya Chenni merasakan dadanya kian sesak.Gina mengepalkan tangan, tidak ingin membuat siapapun melihat ia merasa kasihan atas nasib menimpanya saat ini. Chenni menunduk lalu ia menangis sesunggukan membuat Gina kaget dan tak henti menatap Chenni."Mba Chenni, m-maaf?! Apa aku melakukan hal yang salah? Maaf Mba ...," ucap Gina tidak enak hati.Chenni mengusap air mata yang membasahi pipi, lalu tersenyum kecut."Bagaimana mungkin ada orang yang tega melakukan kekerasan pada wanita hamil sepertimu?" Tanya Chenni bernada serak.Gina memelow, "Aku merasa ini tidak sakit kok."Chenni menarik napas panjang lalu menatap kembali kehamilan Gina, "Berapa usia kandunganmu?""4 bulan, Mba Chenni." 
"Oke, baiklah ... mari kita pergi?!" Revan membuyarkan lamunan.Gina tersenyum kecil, "Baiklah."Revan kembali menatap Gina lalu menatapn Chenni, wanita itu mengangguk seolah kini telah menyadari jika hidup Gina memang pantas diperlakukan berbeda."Mba Chenni, terimakasih sudah memolesku dengan jemari luar biasanya."Chenni tersenyum, "Kalau kau mau, datang saja aku akan memberikanmu potongan harga terbaik dari rumah kecantikanku."Gina mengangguk sambil tertawa kecil."Ingat! Jangan terlalu kecapaian. Kau sedang hamil, pikirkan kehamilanmu.""Iya, terimakasih."Chenni mengangguk. Gina dan Revan pun segera bergegas dan pergi meninggalkan rumah kecantikan Chenni.Gina begitu berbahagia atas kebaikan orang sekitarnya. Walaupun baru mengenal namun Chenni memahami kehidupan Gina, dia sangat baik
Mobil pun melaju semakin menjauhi lokasi butik Gewa. Gina masih tidak menyangka wajah polos tanpa pernah polesan make up akan terlihat begitu sempurna bahkan sepanjang perjalanan Gina hanya bisa meremat tangan gugup."R-Revan, bagaimana dengan pakaian dan sepatuku?" Tanya Gina pelan."Tenang saja, serahkan urusan itu pada Gewa. Dia akan menyimpan dengan baik.""Terimakasih, Revan."Revan menatap Gina sekilas lalu kembali fokus menyetir.Hingga akhirnya, mereka telah sampai di tempat yang dimaksud. Sebuah gedung pencakar langit menjulang tinggi, Gina menatap dari dalam mobil sambil bibirnya terkatup ragu."A-apakah ini?" Tanya Gina.Apartemen Pranaja, tertulis pamplet nama tersebut."Ya, sesuai namanya.""Ini besar sekali, aku pikir aku tidak akan cocok Revan berada di perayaan itu."&
"Ayo?" Revan mengajak kembali."K-kemana? Apa kita akan pulang?" Tanya Gina ragu."Ikut saja denganku."Gina menurutinya, kali ini Revan tidak sungkan menggenggam erat tangan Gina. Seolah tidak memerdulikan pandangan orang terhadap mereka lagi.Mereka kembali memasuki apartemen, Rey menatap aneh masih dengan kernyitan. Apa yang terjadi dengan mereka saat ini? Revan melepaskan tangan Gina sejenak lalu ia menuju Rey."Kau bisa memberikan kunci kamarmu?"Rey menatap semakin bingung, "Kau mau berbuat apa?""Jangan banyak tanya Rey! Kau pasti paham."Rey sedikit mengatupkan bibir lalu ia merogoh kantong celana memberikan kunci kamar pribadinya."Kau sudah gila!" Tekan Rey pelan dan sarkas.Rey semakin mempertajam pandangannya, sangat serius bahkan tatapan Rey seolah memperingatkan
Vero keluar dari mobilnya, mengejar waktu ke butik Gewa."Gewa, kamu sudah tutup?" Vero bertanya buru-buru.Tampak Gewa membawa sepatu dan juga pakaian, namun Vero tidak bertanya tentang pakaian yang sedang Gewa rapikan."Vero? Hei ... kau kemalaman?" Gewa terlihat kaku."Ya, aku tadi sehabis makan malam bersama calon Mama mertua-lah."Gewa terdiam, tampak bengong."Gew, kau kenapa? Ada masalah?" Vero menatap Gewa dalam."Eh, tidak. Aku hanya berpikira tentang gaun pengantinmu saja. Kau mengatakan ingin melihat konsepnya seperti apa bukan?"Vero langsung terdiam. Ia terlihat sangat murung, bahkan senyum anggun yang ia tunjukan sedari datang terlihat memudar. Rasanya Gewa tidak tahu harus apa sekarang apalagi mengingat perilaku Revan bersama wanita asing."Tunda saja."Gewa men
Mobil hitam garang Revan berhenti beberapa meter dari rumah Gina. Terlihat dari raut wajah Gina tampak takut, merasa sesuatu hal mengganjal perasaan. Mereka diam sejenak sambil memikirkan hal entah apa. Gina menunduk, meremati tangan dengan ragu bahkan bibirnya inging mengucapkan sesuatu masih terbungkam entah keenapa. Hatinya cemas, mengingat jika ia pulang dan Aston bertanya tentang kenapa tidak pulang semalaman. Alasan apa yang akan Gina sampaikan lagi. Revan menyadari ketika Gina menatap jalanan dengan gelisah. "Gina?" Panggil Revan pelan. Gina segera menoleh, "Ya, kau memanggilku?" "Ada suatu hal mengganjal hatimu?" "M-memangnya wajah seperti apa yang aku tunjukan?" "Terlihat pucat, gelisah dan tidak tenang. Katakan, apa Aston akan menyakitimu?" Gina l
Mentari pagi telah kembali menyinari cerah dengan suasana kamar yang tampak menggelap tanpa lampu menerangi. Tanpa malu-malu sang mentari membuat siapa saja akan bahagia menyambut kehadirannya.Dulu, Gina menyukai mentari terbit. Akan tetapi matahari saja sudah tidak mampu lagi membuat hati Gina seperti dulu atau sekadar berbahagia, hatinya kini sangat miris. Gina masih ingat perlakuan Aston semalam.Semalaman ia tidak bekerja, memilih menghabiskan waktu di kamar merenungi nasib na'as yang kini harus ia jalani dengan hati perih.Gina memaksa diri terbangun dari tidur tidak nyenyak. Ia menatap terusan brokat pemberian Revan terobek bahkan meninggalkan luka pada sudut bibir atas tamparan keras Aston. Gina merasakan tubuhnya bak dipukul orang sekampung.Letih dan melelahkan.Sambil menahan kesakitan, Gina pun menujun kaca rias kamar. Ia menatap wajah serta tubuhnya yang kini acakkan
Semenjak pengakuan Gina kemarin, Alya masih tidak menyangka bahkan perasaan mereka semakin gugup juga sulit mengungkapkan hal apapun lagi. Alya menatap Gina ragu namun ia tidak bisa menyalahkan Gina karena ia memang pantas diberi perhatian oleh pria asing.Sangat disayangkan, jika pria itu sudah dimiliki orang lain tak lain pelanggan yang mereka anggap kakak. Sulit mengartikan namun inilah kenyataan hidup yang harus Gina jalani."Gina, Re—""Gina? Alya?" Vero menyapa.Deg!Belum sempat Gina menyebut nama Revan, Vero telah hadir di antara mereka. Melihat Vero rasanya ia tidak memiliki kuasa untuk mengucapkan tentang Revan lagi, ia menatap Alya berharap merahasiakan hal ini."Hey, apa yang terjadi dengan kalian? Kalian tampak menegang sekali," ucap Vero dengan senyum tipis.Alya mempertunjukkan wajah menyimpan perasaan kaku, menegang
Di perusahaan cabang di Indonesia, Revan tengah mengetuk pena di meja kerja dengan terletak jelas cetakan jabatan CEO perusahaan yang ia geluti sejak lama. Menunduk memikirkan suatu hal. Ya, masa waktu Revan di negara ini akan segera berakhir. Tidak terasa sebentar lagi, ia akan kembali ke New York tapi kali ini tidak pulang sendiri atau bersama Vero tapi bersama dengan Gina. Wanita berbeda dari yang ia nyatakan di hati kecil dahulu.Setelah menjalani beberapa meeting, Revan memilih kembali ke rumah. Ingin bertemu Gina, masih belum menemukan waktu yang tepat.Sembari menyetiir, Revan memikirkan bagaimana perkataan yang pantas ia katakan nanti pada Vero. Sesampai di rumah, ia menuju pantry meneguk beberapa tegukan air putih dan menetralkan pikiran berkecamuk. Ia meletak kasar gelas tersebut, ia meremat rambut sehingga teracak serta kegelisahan mulai menyerang perlahan."Tumben siangan begini sudah pulang kamu," ucap Alline mengagetkan Revan.Revan menoleh sejenak wajah Alline yang mas
Pagi ini Revan menikmati sarapan pagi, tapi setelah berpikiran semalaman kalau Gina bersentuhan lagi dengan Aston-suaminya. Jujur, ia marah dan tidak rela demi apa pun membiarkan Gina berpaling darinya.Ia sudah menekankan di hati, Gina akan tetap menjadi milik Revan utuh. Tidak akan membiarkan kesakitan dihati wanita yang begitu ia cintai tersebut.Bayang-bayang percintaan panas mneyeruak dalam pikiran Revan, sentuhan yang ia berikan membuat Gina ikhlas lahir batin bahkan tidak ada kata menyesal atau mara ia ungkapkan entah karena menikmati atau sentuhan seperti inilah yang ia inginkan sesungguhnya.Revan sudah berjanji pada hati kecil, kalau Gina akan tetap menjadi wanita terbahagia. Ia sudah bertekat untuk menjalani perlahan hingga waktu tiba membawa Gina sejauh-jauhnya dari Aston. Pria iu sudah menyiakan Gina yang seharusnya ia hujani dengan penuh cinta."Ehem-- pikirin apaan? Bengong begitu, kosong pandangan." Alline nyeletuk.Revan
Vero yang merasa hidupnya hancur berkeping tak berhenti menangis pilu, tadi itu? Ia merasa kebahagiaan itu hanya miliknya sejenak tidak selamanya. Beginikah hasil ketika mengetahui sang tunangan tak lagi mencintai sepenuh hati?Tidak bisa ia bayangkan jika ia dan Revan harus berpisah.Baru kemarin mereka bahagia, bertunangan dan kini pria berstatus tunangannya harus merenggang menyakitkan. Tanpa ia sadari, sang ibu menyadari kesedihan Vero yang tampak menutupi kalau hati sedang kalut.Sebagai ibu yang paham tentang keadaan Vero, ia berdiri di ambang pintu dan menyaksikan bagaimana Vero menahan sedih tapi ingin mencuatkan semua. Ia mencoba membaur, tersenyum kecil."Begadang sayang?" Anita memasuki kamar."Eh, Mama--" Vero langsung mengusap air mata secepat mungkin.Mencatut wajah sang putri dari cermin, ia mengusap punggug Vero. Ia yakin, melalui sentuhan ini ia sedang memberi koneksi Vero agar mengatakan tentang isi hati sebenar
Revan menggertakkan gigi, masih di lokasi tempat Gina dan Aston tengah berbincang seolah tidak menyadari kehadirannya. Tidak akan tinggal diam, padahal tadi dia sudah sangat gempar ingin membuat Gina mempercayai dan membawa wanita ia cintai tersebut jauh dari jangkauan orang.Baiklah, kalau memang Gina dan Aston menginginkan persaingan di mulai dengan senang hati Revan menerima dan sangat siap untuk menyerang secara halus. Segala perbuatan merebut tidak harus terangan terlihat.Hati-hati tapi mematikan.Bila perlu mematikan secara perlahan hingga ke jantung. Ia mengalah malam ini, tapi tidak dengan hari berikutnya. Akan ia balas, Revan pun menghidupkan mesin mobil dan memundurkan perlahan.Dencitan demi dencitan terdengar nyaring, ia sedikit kasar sambil membunyikkan gas-rem beberapa kali memberitahu kalau ia siap menyerang.Ia pergi meninggalkan lokasi, menjauh dari Gina beberapa saat. Gina tau, mobil yang baru saja pergi tersebut milik
Gina menatap dengan pandangan tak berkedip sedikit pun. Mulutnya tengah terkatup setelah menyadari kalau Aston-suaminya yang memanggil."Istriku?!" Aston tersenyum bak pria iblis sedang memenangkan kehadiran."K-kau sedang apa?"Aston mengernyit, "Hubungan kita kurang baik belakangan ini, kenapa kau seperti tidak menyukai kehadiranku? Kau tergganggu?"Gina menarik napas, tatapan merah nanar. Menggeleng gelisah karena sulit mengatakan apa pun saat ini. Bukankah seharusnya bertemu Revan malam ini?Ke mana pria tersebut?"B-bukan, aku hanya kaget kau hampir tidak pernah laggi menjemputku. Hanya merasa bingung dan kaget.""Gina sayang, aku tau ... aku melakukan banyak kesalahan padamu. Aku juga ingin membuatmu tetap nyaman.""Maksud ucapanmu?""Eh, begini, aku sedang menunggumu pulang. Aku sudah menantikan jam pulangmu. Tapi, aku berkeliling dahulu tadi ke kota."Tubuh Gina mulai gemetar, apa yang baru saja Aston katakan? Ia masih tidak percaya kalau su
Vero benar-benar kalut kalau saja memang Revan memiliki wanita lain selainGina menyusun rapi roti yang baru masuk, ia tersenyum penuh raut wajah tersungging memesona. Tampilan yang memperlihatkan kalau ia akan baik saja. Mencintai Revan tanpa siapa pun yang tau. Tidak. Alya mengetahui dan apa saja tentang Gina.Revan akhirnya sampai di Toko Roti, memendarkan pandangannya dan menatap Gina dengan lembut. Seulas senyum tercetak menawan dari pahatan wajah Revan. Embusan napas tertoreh elegan dari bibir sensualnya."Hai," sapanya.Gina menoleh, susah payah menelan saliva. Ia menatap lama wajah tampan dilapisi kulit legam eksotis. Dia memang pria bule yang khas.Gina Syakilla menatap Revan sambil meletakkan kue yang hendak ia susun."Revan, kau sedang apa? K-kenapa?" Gina sedikit gugup."Bertemu denganmu," jawab Revan.Alya yang menatap mereka syok, hanya bisa termangu dan tidak menyangka kalau Revan mulai terangan b
Revan meraih kemeja putihnya, ia mengenakan ke tubuh sempurna yang banyak digilai para wanita. Ia tahu, jika tubuhnya banyak diidamkan kaum hawa termasuk Gina. Ia telah merasakan betapa nikmat ia dalam kungkungan pria tersebut.Ia ingin memutuskan bertemu Gina, ia ingin menunjukkan sikap kalau ia juga berhak memberikan perhatian terhadap Gina. Ia sisir dengan rapi rambutnya ke belakang. Ia tersenyum pulas sambil menyemprotkan cologne. Reavn begitu memukau, bak sedang ingin menyatakan cinta pada wanita yang begitu ia cintai.Revan memang bukanlah tipikal pria yang sukanya mengumbar pesona di hadapan banyak wanita. Sekali ia mencintai, ia akan mencintai satu orang wanita tanpa memikirkan syarat apa untuk sekadar mencintainya saja. Revan memiliki kelembutan luar biasa, ia akan senang membantu kaum wanita yang tertindas.Kecuali dengan Gina, ia memang membantu tapi ia jatuh cinta.Ah!
Gina tampak menunduk setelah percakapannya dengan Vero. Kini ia menatap kosong area dapur tempat melaksanakan makan siang bergantian dengan Alya.Hati kecilnya seolah terkikis ingin marah pada kenyataan, tapi ia memikirkan ia pun pantas mendapatkan yang sudah menjadi impiannya sejak sekian lama. Perasaan yang telah lama tersakiti, telah diberi warna oleh Revan.Pria yang sudah memberikannya banyak warna.Alya tampak membawa bekal, ia memang sudah terbiasa selalu membawa bekal ke Toko. Ia menatap Gina yang tengah melamunkan entah apa. Ia terlihat gelisah, mengembuskan napas kelelahan yang tidak berhenti.Alya tahu perasaannya."Gina," panggilnya menyentuh pundak lembut."Eh ... Alya, apa kau tidak memiliki pelanggan di depan?""Lagi kosong."Alya memberesi bekalnya, Gina hanya menatap dengan tatapan kosong.&nbs
Semenjak pengakuan Gina kemarin, Alya masih tidak menyangka bahkan perasaan mereka semakin gugup juga sulit mengungkapkan hal apapun lagi. Alya menatap Gina ragu namun ia tidak bisa menyalahkan Gina karena ia memang pantas diberi perhatian oleh pria asing.Sangat disayangkan, jika pria itu sudah dimiliki orang lain tak lain pelanggan yang mereka anggap kakak. Sulit mengartikan namun inilah kenyataan hidup yang harus Gina jalani."Gina, Re—""Gina? Alya?" Vero menyapa.Deg!Belum sempat Gina menyebut nama Revan, Vero telah hadir di antara mereka. Melihat Vero rasanya ia tidak memiliki kuasa untuk mengucapkan tentang Revan lagi, ia menatap Alya berharap merahasiakan hal ini."Hey, apa yang terjadi dengan kalian? Kalian tampak menegang sekali," ucap Vero dengan senyum tipis.Alya mempertunjukkan wajah menyimpan perasaan kaku, menegang