Erlangga merasakan kegelisahan yang tak tertahankan saat dia meraih kemejanya dan mengenakannya dengan terburu-buru. "Aku harus menyusulnya, Lia," desahnya dengan suara yang penuh kecemasan.
Nathalia, berdiri di sudut ruangan, memandang suaminya dengan tatapan penuh keprihatinan. "Jangan sekarang, Angga," cegahnya tegas. "Saat ini dia masih terguncang."
"Tapi dia sedang mengandung, Lia. Bagaimana aku bisa tenang hanya menunggu seperti ini. Bagaimana kalau...." Erlangga tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Hatinya terasa hancur saat membayangkan Venina yang sedang mengandung anak mereka, terluka dan sendirian. Dia memejamkan matanya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin mengguncang hatinya.
Nathalia mendekat, meremas tangan suaminya dengan lembut. "Justru karena dia sedang hamil, kamu harus memberinya waktu untuk
Dua jam kemudian, Erlangga tiba di rumah sakit bersama Nathalia. Suasana tegang dan cemas menyelimuti setiap langkahnya menuju ruangan VVIP di mana kekasihnya dirawat. Di sana, Venina telah dipindahkan setelah dokter berhasil menjahit kembali otot-otot perutnya yang terluka."Untunglah pisau itu tumpul sehingga tidak menembus lebih dalam dan merusak organ-organ vital di dalam abdomennya," kata dokter bedah yang menangani Venina. "Kami berhasil menjahit kembali luka di perutnya, dan saat ini dia dalam kondisi stabil.""Jadi mereka baik-baik saja, kan, Dok?" tanya Erlangga dengan nada penuh kekhawatiran, tak sabar menunggu penjelasan lebih lanjut."Sampai saat ini kita masih memantau kondisinya. Seorang psikiater juga akan mendampinginya," sahut dokter tersebut perlahan."Psikiater? tanya Erlangga dengan tak percaya. "Untuk apa? Dia tidak gila.""Kami hanya ingin berjaga-jaga, Pak. Jangan sampai Ibu Venina kembali melakukan percobaan seperti ini lagi," sergah dokter Erick, seorang dokte
Venina menatap punggung Erlangga yang menjauh dengan getir. Rasa sakit dan kekecewaan melanda hatinya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa pria yang dia pikir sangat mencintainya justru menjadi sumber penderitaannya."Maafkan Nina, Bu," gumam Venina ketika malam itu dia hanya sendiri di dalam kamar perawatannya. Hening malam seolah memperdalam rasa kesepiannya."Maafkan aku, Rio," bisiknya lirih, air mata mulai turun tanpa henti. Wajah ibunya dan Rio silih berganti menerpa benaknya. Masih teringat jelas dalam kotak memorinya bagaimana sakitnya tatapan mata mereka saat dia lebih memilih pergi bersama Erlangga. Kesalahan itu seperti bayangan hitam yang terus menghantuinya, membuatnya sulit bernapas.Namun, semua penyesalan itu sudah tidak ada gunanya. Venina tidak berani menemui mereka lagi dalam
Selepas Nathalia pergi dan pintu kamar tertutup, Venina menangis sepuasnya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, dan dia masih belum tahu apakah keputusan yang diambilnya ini tepat atau tidak.Setelah beberapa saat, Venina mulai merenungkan segalanya. Dia menganggap semua rasa sakit yang dirasakannya saat ini sebagai hukuman atas kesalahannya sendiri. Dia telah mengecewakan dan menghancurkan hati orang-orang yang mencintainya dengan tulus—ibunya dan Rio. Rasa bersalah yang mendalam menjalar di setiap sudut hatinya, menambah luka yang sudah menganga.Venina bertekad untuk menanggung semua beban itu. Di sisi lain, dia juga ingin memberi pelajaran pada Erlangga yang telah menyakitinya sedalam ini. Dia akan mengajarkan pria itu arti kehilangan dan pengorbanan yang sesungguhnya."Terima kasih, Nina. Terima
Nathalia menatap Erlangga dengan senyum manis di wajahnya. "Malam ini aku tidur di kamar yang dekat taman ya, Sayang," katanya sambil merangkul lengan suaminya dengan mesra.Erlangga, yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba tersentak mendengar permintaan istrinya. "Jangan di kamar itu, Lia," sergahnya perlahan dan sangat hati-hati, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik suaranya."Kenapa?" tanya Nathalia dengan heran, matanya mengerjap penasaran."Venina tidur di sana. Dia sangat menyukai kamar itu," sahut Erlangga dengan perasaan tak enak, terutama saat melihat segurat kenyerian di sorot mata istrinya."Oke. Aku bisa tidur di mana saja," ucap Nathalia dengan tenang, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyergap hatinya.
Malam itu, di dalam kamarnya yang sunyi, Venina mencoba memejamkan mata dan melupakan semua rasa sakit. Namun, bayangan masa lalu terus menghantuinya, membuatnya terjaga dalam penderitaan yang tak berkesudahan."Cukup, Nina. Cukup," bisiknya pada diri sendiri dengan getir, mencoba mengumpulkan kekuatan di tengah badai emosinya. Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan, seakan berharap semua beban yang menghimpit dadanya ikut terlepas bersama hembusan itu."Terimalah nasibmu, Nina. Rasa sakit ini adalah harga yang harus kamu bayar karena kebodohanmu," gumamnya lagi, suaranya terdengar getir dan penuh penyesalan. Dia merebahkan diri di atas ranjang, berusaha memejamkan mata dan mengistirahatkan tubuh serta pikirannya yang terus berkecamuk.Namun, bayangan Erlangga dan Nathalia terus menghantui be
"Sudah siap, Nina?" suara Erlangga memecah keheningan di ruangan. Dia berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh perhatian pada kekasihnya."Sebentar lagi," jawab Venina singkat, tanpa menoleh sedikit pun. Tangannya sibuk memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil yang akan dibawanya ke rumah Erlangga di Jakarta."Tidak perlu membawa banyak, Nina. Bawa saja secukupnya," kata Erlangga dengan lembut, mencoba menenangkan kekasihnya. "Saya sudah menyiapkan semua yang diperlukan untukmu dan calon bayi kita di rumah."Venina tersenyum pahit mendengar kata rumah yang diucapkan pria itu. Tetapi dia memilih tidak membahasnya dan hanya mengangguk. "Saya akan keluar lima menit lagi," ujarnya dengan datar, suaranya hampir tak terdengar di antara suara zip tas yang tertutup.
Para pelayan dan pekerja lainnya menyambut kedatangan Erlangga dan Nathalia dengan penuh semangat. Setelah beberapa tahun, akhirnya tuan dan nyonya mereka akan kembali menempati rumah mewah itu. Mereka berkumpul di pintu masuk, berbaris rapi, menunggu dengan penuh antisipasi.Ella, kepala pelayan yang telah mengurus rumah itu dengan penuh dedikasi, menyongsong mereka dengan senyum hangat di wajahnya. "Selamat datang, Tuan. Selamat datang, Nyonya," sapanya dengan suara yang penuh hormat, sambil menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.Nathalia tersenyum ramah. "Hai, Ella," balasnya dengan lembut.Namun, sebelum percakapan bisa berlanjut, Erlangga dengan cepat menyela. "Apa kamar yang saya minta sudah dipersiapkan?" sergahnya dengan nada tegas, menghentikan interaksi yang baru saja dimulai.
Setelah beberapa hari berada di rumah itu, Venina mulai mencoba membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Meski hatinya masih berat menerima keadaan yang tak diinginkannya. Meski setiap hari, dia terpaksa menelan pandangan penuh penilaian dari para pelayan, dia tahu bahwa dia harus bertahan. Mereka mungkin bertanya-tanya, kenapa Erlangga membawa wanita lain yang tampak biasa saja dibandingkan dengan istri sahnya yang begitu memukau.Meski tak ada yang mengatakannya di hadapannya, Venina bisa merasakan bisikan-bisikan di balik punggungnya. Dia tahu apa yang mereka pikirkan, terutama setelah tanpa sengaja mendengar percakapan mereka ketika melewati dapur."Kalau dia memang bukan siapa-apa, kenapa Tuan kelihatannya sayang sekali dengannya?" ujar Sri, salah satu pelayan dengan nada penasaran, tanpa menyadari ba
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa