Para pelayan dan pekerja lainnya menyambut kedatangan Erlangga dan Nathalia dengan penuh semangat. Setelah beberapa tahun, akhirnya tuan dan nyonya mereka akan kembali menempati rumah mewah itu. Mereka berkumpul di pintu masuk, berbaris rapi, menunggu dengan penuh antisipasi.
Ella, kepala pelayan yang telah mengurus rumah itu dengan penuh dedikasi, menyongsong mereka dengan senyum hangat di wajahnya. "Selamat datang, Tuan. Selamat datang, Nyonya," sapanya dengan suara yang penuh hormat, sambil menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Nathalia tersenyum ramah. "Hai, Ella," balasnya dengan lembut.
Namun, sebelum percakapan bisa berlanjut, Erlangga dengan cepat menyela. "Apa kamar yang saya minta sudah dipersiapkan?" sergahnya dengan nada tegas, menghentikan interaksi yang baru saja dimulai.
Setelah beberapa hari berada di rumah itu, Venina mulai mencoba membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Meski hatinya masih berat menerima keadaan yang tak diinginkannya. Meski setiap hari, dia terpaksa menelan pandangan penuh penilaian dari para pelayan, dia tahu bahwa dia harus bertahan. Mereka mungkin bertanya-tanya, kenapa Erlangga membawa wanita lain yang tampak biasa saja dibandingkan dengan istri sahnya yang begitu memukau.Meski tak ada yang mengatakannya di hadapannya, Venina bisa merasakan bisikan-bisikan di balik punggungnya. Dia tahu apa yang mereka pikirkan, terutama setelah tanpa sengaja mendengar percakapan mereka ketika melewati dapur."Kalau dia memang bukan siapa-apa, kenapa Tuan kelihatannya sayang sekali dengannya?" ujar Sri, salah satu pelayan dengan nada penasaran, tanpa menyadari ba
Malam itu, suasana rumah terasa berbeda. Erlangga pulang lebih cepat dari biasanya, tepat jam tujuh dia sudah tiba di rumah. Nathalia, dengan senyum hangatnya yang menenangkan, menyambut kedatangan suaminya di depan pintu sambil menyodorkan segelas minuman dingin yang sudah dipersiapkannya."Terima kasih, Sayang," ucap Erlangga dengan penuh kasih sambil mencium kening istrinya. Sentuhan hangat itu adalah rutinitas yang selalu mereka lakukan setiap kali Erlangga pulang. Namun, malam ini ada sepasang mata lain yang mengamati dari kejauhan, dengan hati yang penuh luka.Venina mengawasi mereka dengan perasaan yang bercampur aduk. Hatinya terasa nyeri melihat kemesraan mereka. Meskipun tahu bahwa Nathalia adalah istri sah Erlangga, dia tidak bisa menahan rasa sakit yang menggerogoti hatinya.Saat Venina henda
Erlangga terdiam, terjebak dalam kebisuan yang membekukan lidahnya. Hatinya berkecamuk, namun tak sepatah kata pun mampu keluar dari mulutnya. "Nina, dengar dulu...." ucapnya dengan nada memohon, tapi kalimatnya terhenti di ujung bibirnya.Venina menghela napas panjang, tatapannya kosong, seolah semua harapan telah musnah. "Maaf, Mas. Mungkin saya yang terlalu berlebihan," kata Venina dengan suara yang penuh kegetiran.Erlangga menggeleng, mencoba membantah, namun kata-katanya terhalang oleh rasa bersalah yang mendalam. "Saya tidak bermaksud...." ia berusaha menjelaskan, namun Venina sudah memotong ucapannya."Saya tahu, Mas. Sekarang saya benar-benar paham di mana posisi saya!" sergahnya dengan tegas, suaranya menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sunyi. Dia melangkah mendekati Erlangga, tangannya yang gemetar
Venina melangkah mendekati Nathalia yang masih berusaha keras menahan air matanya."Maafkan mereka, Nina. Tolong jangan masukkan kata-kata mereka ke dalam hati," ujar Nathalia sambil menundukkan kepalanya, suaranya bergetar menyiratkan kepahitan yang mendalam.Venina bisa merasakan getaran kepahitan dan kesedihan dalam suara Nathalia. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa wanita itu sama dengannya. Mereka sama-sama tak berdaya, terjebak dalam lingkaran penderitaan yang diciptakan oleh cinta yang mereka miliki untuk Erlangga."Jadi ini alasan untuk semuanya?" tanyanya dengan pelan, suaranya hampir tak terdengar.Nathalia mendongak, air matanya sudah menggenang di sudut matanya. "Saya ingin sekali bisa mengandung anak saya sendiri, Nina. Saya ingin membahagiaka
Venina sudah terlelap ketika mendengar pintu kamarnya terbuka perlahan. Jantungnya berdebar saat melihat bayangan Erlangga menyelinap masuk dalam gelap. Pria itu naik ke atas ranjang dengan hati-hati, merapatkan tubuhnya dan memeluk kekasihnya dengan mesra, merasakan hangat tubuhnya di bawah selimut."Mbak Lia sudah tidur, Mas?" bisiknya lembut.Erlangga terkejut saat menyadari Venina tidak sepenuhnya terlelap. "Maaf ya, saya tidak bermaksud untuk membangunkanmu," ujarnya dengan nada lembut, merasa bersalah.Venina membalik tubuhnya, kini menghadap ke arah Erlangga. "Setiap malam kamu masuk ke kamar saya?" tanyanya, penasaran.Erlangga mengangguk perlahan, matanya tetap terfokus pada wajah wanita di depannya. "Ya, tapi baru malam ini saya berani memelukmu lagi."
"Kamu sakit, Nina?" tanya Erlangga perlahan di samping ranjang, suaranya dipenuhi kekhawatiran.Venina membuka matanya yang berat, memandang Erlangga dengan lemah. "Cuma pusing, Mas," balasnya sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut."Kita ke dokter, ya," kata Erlangga dengan nada cemas, wajahnya menunjukkan betapa khawatirnya dia.Venina menggeleng pelan. "Saya mau istirahat aja. Paling juga nanti sembuh sendiri," ujarnya, mencoba meyakinkan kekasihnya.Erlangga tampak ragu. "Kamu yakin, Nina? Dari kemarin kepalamu juga sering sakit, kan?"Venina menarik napas dalam. "Kemarin-kemarin kan saya banyak pikiran dan sering memendam emosi, Mas," jawabnya tanpa nada menyinggung, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya yan
Kondisi Venina semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Tekanan darahnya semakin tinggi, dan rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Erlangga terus berada di sampingnya, menggenggam tangan kekasihnya dengan penuh kekhawatiran. Nathalia pun setia menemani, memberikan dukungan yang sama kuatnya.Dokter Risa akhirnya mengambil keputusan yang berat namun perlu. “Pak Erlangga, kita harus melakukan persalinan lebih awal untuk menyelamatkan nyawa Bu Venina dan bayi yang dikandungnya,” katanya dengan tegas.Erlangga menatap dokter itu dengan mata berkaca-kaca. “Tolong, Dok, lakukan yang terbaik. Saya tidak bisa kehilangan Venina,” ujarnya dengan suara serak.Venina terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak rapuh. Melihatnya dalam kondisi seperti ini, Nathali
Erna Putri Krisdiantoro tumbuh menjadi anak yang cantik dan menggemaskan. Dalam usianya yang baru satu tahun, tingkah lakunya selalu berhasil membuat orang-orang langsung jatuh hati padanya. Senyumnya yang manis, celotehannya yang menggemaskan, serta matanya yang bersinar ceria, membuat siapa pun sulit untuk memarahinya.Bahkan, nenek dan kakeknya yang sebelumnya enggan datang ke rumah Erlangga, kini menjadi pengunjung setia. Mereka sangat menyayangi Erna, memanjakannya dengan kasih sayang yang melimpah.Namun, di balik kehangatan dan keceriaan yang dibawa Erna, masih ada bayang-bayang ketidakharmonisan di rumah itu. Amita masih tidak menyukai Nathalia dan Venina. Setiap kali dia datang, selalu ada saja kritik dan omelan yang keluar dari mulutnya.“Kamu harusnya lebih perhatian sama anakmu, Lia,” b
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa