Pada bulan berikutnya, Natalie Casiraghi duduk termenung lama di sebuah kafe di Paris. Masa pendekatan dengan Julien seolah menemui jalan buntu. Bukannya Jules lelaki yang buruk. Justru sebaliknya, Julien Toussaint telah membuktikan diri sebagai seorang pejuang.Pesan-pesannya datang secara terjadwal di ponsel Natalie. Setelah rangkaian pesta musim gugur berakhir pun, Julien terkadang menyempatkan diri main ke Paris untuk mengunjungi Natalie.Namun, herannya semua yang dilakukan Julien tak pernah menimbulkan apa pun di dalam hati Natalie."Pesanan Anda, Nona. Cokelat panas tanpa kopi." Seorang pelayan kafe mengantarkan pesanan Natalie.Natalie mendongak dan berterima kasih ringan, tepat di saat kedua teman dekatnya datang. Chiara Brignone dan Achilleas Konstantinos.Achi mencibir gemas. "Cokelat panas tanpa kopi? Di sebuah kafe? Nat, kau bisa membuat yang seperti itu di kantor saja."Chiara mengambil tempat duduk di depan Natalie. "Dan kau sudah punya banyak sekali cokelat."Natalie m
Ketika langit mulai berubah warna menjadi gelap, Natalie duduk di kursinya di dalam kantor Lyubova. Kursi Catherine, sebetulnya. Di atas mejanya, tertumpuk rapi cokelat-cokelat favorit dalam kemasan dan di hadapan Natalie, ada sepucuk surat.Tangan Natalie terulur untuk menyentuh kertas tebal berwarna keemasan tersebut. Namun, kemudian terhenti di udara. Logika gadis cantik itu memerintahkan untuk jangan menerima pemberian apa pun lagi dari pria b*jingan tidak tahu diri ini. Akan tetapi, hati Natalie berkata lain.Lantas hatilah yang kali ini memenangkan pertempuran.[Nat, ini aku Dietrich.Mon Dieu. Sulit sekali bicara denganmu belakangan ini. Rasanya ... kau pergi begitu jauh, padahal aku tahu di mana kau berada. Kau tidak memblokir nomorku atau mematikan ponsel, tapi mengapa kau membuatku mengira bahwa kau sedang memberikan tembok pembatas—yang membuatku berpikir jutaan kali lagi sebelum mengetik apa pun dan mengirimkannya padamu?Nat. Maafkan aku. Aku bersalah padamu. Tindakanku m
Julien Toussaint sudah sebulan lebih berkenalan lebih dekat dengan Natalie Casiraghi. Ini aneh. Biasanya, dia cepat bosan dengan perempuan. Akan tetapi, rekomendasi paman Axel memang jempolan. Top tier.Natalie merupakan wanita istimewa yang jarang sekali ditemukan di tahun-tahun belakangan. Tutur katanya lembut dan santun. Cara bergeraknya anggun. Julien tidak pernah melihat Natalie marah—kecuali pada saat Dietrich mengganggu gadis itu. Well. To be fair—Untuk keadilan, Dietrich kan memang menyebalkan. Julien saja sering jengkel setengah mati pada pria itu.Yang paling penting, Natalie sangat cantik. Kecantikannya klasik—jenis yang cocok sekali untuk melengkapi deretan trophy wife dalam keluarga Toussaint. Garis keturunannya yang tak perlu diragukan lagi menambah poin plus. Julien tersenyum perlahan-lahan. Kakek Auguste akan sangat bangga padanya. Tidak ada seorang pun—sekali lagi, tidak seorang pun—dalam keluarga Toussaint yang menikah dengan anggota keluarga kerajaan yang masih berk
"Sebelum kami memberimu daftar lelaki yang pantas untuk dijadikan suami, mungkin kau bisa bergegas ke Ritz Hotel terlebih dulu."Suara Achilleas Konstantinos terdengar dari ambang pintu. Lelaki berambut ungu tersebut mengetuk pintu hanya sebagai formalitas, lalu masuk ke dalam ruangan Natalie dan merebahkan diri di sebuah sofa berbahan suede."Julien Toussaint ada di sana. Salah satu temanku melihatnya ada di sana." Achi menjelaskan. "Aku tidak akan memberikan nama-nama lelaki potensial untuk dijadikan suami jika kau masih punya calon tunangan."Chiara mengangguk membenarkan. "Itu akan menimbulkan masalah lain."Achilleas menimpali. "Selesaikan dulu dengan Julien."Natalie menyingkirkan surat Dietrich ke dalam laci, lalu bangkit berdiri perlahan-lahan agar kepalanya tidak terkena serangan pusing mendadak akibat gerakan yang terlalu tiba-tiba."Achi. Kau yakin Julien ada di sana?" Perempuan cantik itu bertanya sekali lagi untuk memastikan.Achilleas mengangguk. "Positif."Natalie menga
“Kami terus melihat hasil yang kuat pada kuartal ketiga, melebihi ekspektasi kami terhadap pertumbuhan RevPAR di seluruh sistem, dengan pertumbuhan di seluruh segmen pelanggan. Kami juga terus memanfaatkan portofolio merek-merek terkemuka di industri untuk mendorong pertumbuhan lebih lanjut jaringan global kami." Sigismund, pria paruh baya botak keturunan Bohemia yang kini menjadi orang kepercayaan Dietrich berkata.Namun, dia tidak yakin bahwa bosnya benar-benar mendengarkan."Kami yakin kami telah berhasil, titik perubahan dan mengharapkan peningkatan yang berarti dalam pembukaan pada kuartal keempat dengan momentum positif yang berkelanjutan hingga kuartal berikutnya kami akan dapat menggerakkan pipeline terbesar dalam sejarah kami. Dengan catatan, kami harus mempercepat net unit growth dari 5.5% ke 6% tahun depan."Dietrich Toussaint membereskan pekerjaannya lebih cepat hari itu. Entah mengapa, perasaannya tidak menentu seolah ada yang salah. Sesuatu mengusik hatinya. Tidak, ini b
Dietrich menyingkirkan Monsieur Randall dan menggantinya dengan dirinya sendiri—untuk menyetir Rolls Royce milik Toussaint dari bandara Charles de Gaulle menuju Ritz Hotel Paris. Monsieur dulunya kehilangan pendengaran dan lumayan kesulitan bicara. Akan tetapi, malam ini pria paruh baya itu sengaja menutup indra penglihatannya. Takut, karena Dietrich menyetir ugal-ugalan dan menyebabkan sebagian besar pengguna jalan di jalanan kota Paris membunyikan klakson mereka bersamaan.Kedatangan Rolls Royce Toussaint sudah terpantau lewat kamera pengintai sejak jauh. Para petinggi Ritz Hotel tergopoh-gopoh mempersiapkan diri dan berlarian menuju lobi. Lengkap dengan pakaian terbaik mereka. Pada saat seseorang keluar dari pintu pengemudi, mereka tidak terlalu memerhatikan pada awalnya.Namun, sang General Manager tanpa sengaja melihat siapa yang baru saja turun. Lelaki tinggi berkacamata itu terkesiap keras. "Tuan Dietrich Toussaint!"Seluruh petinggi Ritz Paris terbelalak, kemudian buru-buru me
Monsieur Laurent Raffray membawa Dietrich dan Natalie menuju Suite Imperiale. Sebuah suite yang cocok bagi seorang ratu. Luasnya mencapai 218 meter persegi, dengan pemandangan yang mengarah langsung ke Place Vendôme. Seluruh ruangan yang ada dalam suite didesain dengan cermat. Dinding-dinding ruangan utama dicat putih gading dan terdapat beberapa lukisan mahal sebagai penghias. Kamar tidurnya merupakan replika kamar Marie Antoinette lengkap dengan kanopi berlapis sutra.Dietrich meletakkan Natalie pelan-pelan sekali di atas ranjang. Gadis cantik itu masih gemetar dan memejamkan mata membuat Dietrich benar-benar merasa khawatir.Lelaki itu menoleh ke belakang, pada deretan bodyguard Natalie beserta supir sekaligus bodyguard Dietrich sendiri—Monsieur Randall. "Kalian semua berjaga di luar saja." Dietrich hampir memutar bola mata. "Oh, Monsieur Randall, dan jangan lupa panggilkan Misha.""Baik, Tuan." Monsieur Randall dan yang lain segera meninggalkan ruangan.Pada saat seluruh suite ter
"Kalau begitu jangan berhenti."Dietrich membatu di tempat saat mendengar kalimat itu. Seluruh dunia seolah berguncang. Kalimat itu merupakan undangan secara tersirat atau justru terang-terangan?Natalie nyaris menggigit bibir malu. Gadis cantik itu tidak berpengalaman. Well, tidak terlalu. Namun, yang jelas, ini adalah kali pertamanya mengungkapkan sebuah persetujuan untuk melakukan hal itu.Jantung Nat berdebar-debar. Tubuhnya berubah menjadi panas sekaligus dingin. Sebuah sensasi yang selalu menderanya apabila berdekatan dengan Dietrich. Jika mereka tanpa sengaja menjadi terlalu dekat. Natalie menjilat bibirnya yang mendadak kering. Apakah ini sebuah kesalahan? Dietrich tampak sangat ... shock. Sepertinya bahkan lebih terkejut daripada saat melihat Natalie dipukul oleh Julien."Natalie ...." Dietrich menoleh. Wajahnya dipenuhi berbagai emosi sekaligus. "Kau baru saja mengalami sebuah kejadian yang teramat buruk. Ini bukan benar-benar keinginanmu."Natalie membuka mulut. Tercengang
Ruang makan di kastil Toussaint pagi itu ramai sekali. Acara makan pagi kali ini diselenggarakan secara tidak formal. Bahkan, anak-anak juga diizinkan untuk ikut makan bersama."Natalie!" Catherine berseru riang saat melihat sahabat yang kini telah menjadi kakak iparnya itu memasuki ruangan. "Sini! Duduklah bersama kami! Kau juga, Dietrich!"Maka, Natalie dan Dietrich duduk bersama dengan Catherine dan keluarga kecilnya, setelah berkeliling mengucapkan salam pada meja-meja lain yang berisi para tetua."Bonjour—Selamat pagi," sapa Natalie. Wanita itu tampak cerah dengan sebuah senyuman yang sungguh menampilkan kebahagiaan.Catherine kesulitan berdiri untuk menyapa, jadi Natalie merunduk untuk mencium kedua pipi sahabatnya itu."Pagi, Nat. Apakah tidurmu nyenyak?" Catherine bertanya.Natalie melirik Dietrich. Dietrich berdeham dengan wajah merona sedikit.Natalie tergelak ringan. "Well, ya. Kami tidur nyenyak. Bagaimana denganmu?"Catherine menunjuk perutnya. "Tidak senyenyak dirimu, te
Namun, apa yang dilakukan oleh Dietrich selanjutnya justru membuat Nat semakin gelisah. Kepalanya menjadi pening dengan serbuan sensasi yang melandanya bertubi-tubi. Dietrich membisikkan kalimat-kalimat lembut yang nyaris tak terdengar di telinga Nat—di atas perut wanita itu. Sepertinya, Dietrich sedang memberikan salam pada anak mereka dan hal itu membuat Natalie begitu tersentuh hingga hampir menangis. Kemudian ciuman Dietrich bergerak semakin ke selatan menuju area kewanitaannya yang telah basah."Let me kiss you—Biarkan aku menciummu ...." ucap Dietrich di antara paha Natalie yang merapat dengan kaku. "Let me love you, Nat—Biarkan aku mencintaimu, Nat ...."Natalie terisak keras di saat Dietrich benar-benar membuka dirinya. Mulut pria itu terasa panas di bawah sana. Bibirnya lembut dan basah membelai bagian luar labia Natalie hingga kepala perempuan cantik itu terlempar ke kanan dan ke kiri.Cairan kewanitaan Natalie mengalir semakin banyak. Akan tetapi, Dietrich melakukan hal gi
Tidak ada percakapan yang terjadi saat Dietrich dan Natalie bergerak menuju kamar mereka di quartier kamar tidur anggota keluarga. Bulan yang tersamarkan oleh awan menggantung rendah di langit Belgia. Sinarnya menembus jendela-jendela kaca kuno besar di salah satu sisi koridor. Membaur layaknya cincin asap besar di kegelapan malam musim dingin.Tangan Dietrich dan Natalie saling bertaut. Sesekali mereka menoleh untuk melemparkan sebuah senyuman satu sama lain. Pipi Dietrich merah sebelah. Rahangnya terasa kaku, dan wajah Natalie masih menampakkan sisa-sisa air mata. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk berbahagia.Saat sampai di depan pintu ganda yang menghubungkan dua kamar terbesar di kastil ini, jantung Natalie mengentak cepat. Ini bukan kamar Dietrich yang dulu—jelas bukan kamar yang sama dengan kamar Dietrich yang dimasukinya diam-diam bersama Catherine di masa remaja.Kamar ini ... adalah kamar The Lord and The Lady of The House."Dietrich ...." Tangan Natalie dengan
Dietrich dan Natalie pergi ke Brussel di saat salju turun semakin tebal di akhir tahun. Para paparazzi sudah tidak tampak di sekitar apartemen Dietrich di Paris—sepertinya mereka pulang ke tempat asal masing-masing untuk liburan natal dan tahun baru. Pada saat Dietrich dan Natalie keluar dari gedung apartemen, rasanya sejuk sekali. Seolah mereka berdua baru saja menghirup udara kebebasan.Monsieur Randall mengantarkan mereka berdua menuju Charles de Gaulle. Kemudian, saat mendarat di Brussel, Paman Axel mengirimkan sebuah Rolls Royce yang mengantarkan mereka langsung menuju kastil Toussaint."Dietrich aku gugup sekali ...." Natalie berbisik pelan saat mobil yang mereka berdua tumpangi memasuki pintu gerbang kastil.Dietrich mengangguk pada sang istri. Tangannya meremas tangan Natalie pelan. "Aku juga. Tapi, jangan khawatir. Kita bisa menghadapi ini bersama-sama.""Kuharap mereka tidak terlalu marah.” Natalie balas meremas tangan suaminya.Dietrich tidak menyukai raut cemas di wajah Na
[From: Catherine To: Dietrich Kami semua sudah kembali ke Brussel. Pulanglah, Di, dan bawa istrimu ke rumah. Tunggu. Kau benar-benar sudah menikah dengan Nat?]Dietrich mendapatkan pesan tersebut beberapa hari kemudian. Dia dan Natalie sudah tinggal cukup lama—bersembunyi, meski tempat persembunyian itu tidak dapat dikatakan terpencil—dari semua hal yang memusingkan. Keduanya mematikan ponsel selama berhari-hari. Pun dengan sengaja tidak menyalakan ponsel dan tidak keluar dari apartemen untuk menghindari para pencari berita.Saat dirasa seluruh kontroversi sudah mulai mereda, Dietrich baru membuka ponsel dan menemukan pesan dari sang adik.Jemari lelaki itu dengan cepat mengetikkan balasan.[To: Catherine From: Dietrich Ya. Aku sudah menikah dengan Nat. Apakah Kakek marah besar? Bagaimana dengan suamimu? Kennedy sekarang memusuhi kita? Lalu ... apakah Bibi Stéphanie murka?]Balasan Catherine datang dengan agak terlalu cepat.[From: Catherine To: Dietrich Kakek, Papa, Paman
Natalie tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, tetapi saat membuka mata dan melihat Dietrich yang tertidur pulas setelah penerbangan panjang belasan jam menuju Paris, perempuan itu baru sadar bahwa dia sekarang sudah menikah. Ini sudah hampir 24 jam berlalu, tetapi Natalie masih belum menyangka bahwa dirinya sekarang sudah berstatus menjadi istri pria yang sejak dulu ia impikan ini.Dia sedang mengandung anak dari Dietrich.Masa depan memang sebuah misteri, tetapi apa yang akhir-akhir ini terjadi benar-benar menjungkirbalikkan dunia Natalie tanpa sisa.Pun tentang pernyataan cinta Dietrich .... Entahlah. Natalie tidak bisa berpikir jernih sekarang. Wanita itu menggigit bibir. Ia ingin memercayai suaminya. Namun, rasanya benar-benar sulit. Benarkah Dietrich merasakan hal yang sama untuknya? Atau ... pria itu hanya ingin sekadar menenangkan dan memaksanya masuk ke dalam jurang pernikahan yang sama-sama tidak mereka inginkan pada awalnya?"Hei, kau tidak tidur?" Suara parau khas
Dietrich merasa was-was. “Jangan bilang kau merasa ragu? Kau tidak bisa meninggalkanku di altar, Nat ….”Natalie menelan ludah dan menghindari tatapan Dietrich. “Nat, Pastor Ryan sudah menunggu kita. Dia hampir membeku kedinginan,” ucap Dietrich dengan keputusasaan. “Jangan lakukan ini padaku. Kumohon padamu ….” Natalie menghela napas. Ketika mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak ingin kau menyesal, Dietrich kau bahkan … tidak mencintaiku.” Air mata Natalie menetes. Lalu, tetesan itu berubah menjadi deras. Dietrich tertegun. “Siapa yang mengatakan itu padamu?” Natalie menggeleng cepat. “Bukan siapa yang mengatakan apa. Ini adalah tentang kau tidak mengatakan apa-apa.” Dietrich memandang Natalie tak percaya. “Apakah kau tidak bisa melihat bahwa seumur hidupku, orang yang paling kupedulikan adalah kau? Tidak bisakah kau merasakan bahwa aku menc—“ “Cukup. Jangan membohongi kita berdua, Di. Kau sendiri yang mengatakan bahwa cinta itu omong kosong? Kau tidak mencintaiku. Tidak
Tak lebih dari dua jam kemudian, Natalie dan Dietrich sudah duduk di sebuah penerbangan first class menuju Nevada. Keduanya cekikikan bersama-sama. Meski para pramugari sedang menuangkan anggur—untuk Dietrich dan jus untuk Natalie, mereka berdua tidak bisa berhenti tertawa."Apakah kau bisa membayangkan raut wajah Vladimir saat kita kabur?" Dietrich tertawa tengil. "Malam ini agak gelap. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi aku bisa membayangkannya."Natalie tertawa lagi. "Kau benar-benar nakal, kau tahu?" Dietrich mencolek hidung Natalie sekilas. "Coba tebak, karena siapa aku jadi begini?" Natalie menepuk dada Dietrich main-main. Kebahagiaan membuncah di dadanya. Sebentar lagi. Hanya tinggal sebentar lagi mereka berstatus sebagai suami istri.Seharusnya Natalie malu. Dia bukan hanya mendobrak tradisi agung pernikahan keluarga kerajaan, tetapi juga menurunkan standar pernikahan ke posisi paling bawah. Pernikahan drive-thru. Sekarang bukan hanya makanan cepat saji saja yang
Dietrich mendekatkan wajahnya, memosisikan bibir Natalie sehingga bertaut dengannya. Lidahnya menyusuri bibir manis beraroma mint milik Natalie. Napas Natalie terengah ketika Dietrich menekan lidahnya lebih dalam menjelajahi mulut Natalie. Sedikit terburu-buru didesak hasrat, Dietrich tak bisa menahannya lagi. Natalie adalah miliknya dan ia sudah menginginkan Nat sejak lama. Tubuh Natalie dengan mudah dikuasainya. Tangan Dietrich menurun ke pundak Nat, membelai kulit halus yang terbuka itu. Dietrich menyesap sisi leher Natalie—yang seketika membuat desah wanita cantik itu terlontar begitu saja. Kemudian, si presdir tampan mencium dan menenggelamkan wajahnya di leher Natalie. Suara ciuman yang menggelora berhenti sejenak. Dietrich melepaskan dan menatap wajah Natalie yang sudah memerah. Sementara itu, sorot mata Natalie tampak sayu sekaligus bergairah. Sial. Bagaimana Dietrich dapat berhenti sekarang? Miliknya yang mengeras bergesekan dengan milik Natalie yang terasa basah. Dietr