Victor melirik jam di pergelangan tangannya saat keluar dari lokasi pemotretan. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30, dan agenda berikutnya sudah menunggunya. Live Talk Show "Celebrity Spotlight" yang disiarkan langsung di salah satu stasiun TV nasional.Begitu ia melangkah ke dalam van yang telah disiapkan untuknya, Ayla sudah lebih dulu duduk di sana, mengecek jadwalnya di tablet."Kita harus langsung ke studio sekarang. Acara dimulai pukul 18.00, dan kau harus sudah berada di ruang makeup setidaknya 30 menit sebelumnya," kata Ayla tanpa menoleh.Victor hanya mengangguk santai. "Aku tahu."Joe, supir mereka, segera menyalakan mesin dan mulai melajukan kendaraan. Sementara itu, Ayla masih fokus membaca catatan di tabletnya."Host talk show kali ini adalah Laura Satria. Kau ingat dia?"Victor menyandarkan kepalanya ke kursi. "Tentu saja. Laura itu blak-blakan dan suka melempar pertanyaan jebakan."Ayla tersenyum tipis. "Makanya, jangan lengah. Mereka pasti akan membahas comeback-mu da
Victor hanya mengangkat bahu, masih dengan senyuman misteriusnya.Acara pun terus berlanjut dengan berbagai segmen, termasuk permainan cepat di mana Victor harus menjawab pertanyaan dalam 10 detik.Namun, sepanjang acara, ada satu hal yang Ayla sadari—Victor tidak hanya bersikap profesional di depan kamera, tetapi juga tahu bagaimana memainkan perannya sebagai bintang.Dan yang lebih menyebalkan lagi, ia tahu betul bagaimana membuat orang lain memperhatikannya. Termasuk Ayla.Setelah sesi tanya jawab utama, Laura tersenyum lebar dan bertepuk tangan."Baiklah, Victor, sekarang kita masuk ke segmen spesial kita, Rapid Fire Questions! Dalam segmen ini, aku akan memberikan pertanyaan cepat, dan kau harus menjawabnya dalam waktu kurang dari 10 detik. Jawaban yang terlalu lama dianggap batal. Siap?"Penonton bersorak, sementara Victor hanya menyesuaikan duduknya dengan santai. "Siap," jawabnya penuh percaya diri."Oke, pertanyaan pertama! Jika kau hanya bisa memilih satu—akting atau menyany
Ayla berjalan cepat menuju toilet staf, berharap bisa menenangkan diri. Jantungnya masih berdebar tidak karuan setelah kejadian di panggung tadi."Brengsek," gumamnya pelan.Kenapa Victor selalu tahu cara menarik perhatiannya? Kenapa pria itu bertindak seolah-olah tidak pernah ada luka yang ia tinggalkan?Begitu sampai di toilet, Ayla menyandarkan diri ke wastafel, menatap bayangannya di cermin. Wajahnya masih sedikit memerah. Entah karena marah atau efek dari sorotan Victor yang begitu dalam saat bernyanyi tadi.Namun, sebelum sempat menarik napas untuk menenangkan diri, suara pintu terbuka membuatnya refleks berbalik.Victor berdiri di ambang pintu, tangannya bersandar di kusen, bibirnya tertarik dalam senyum menggoda."Kau melarikan diri begitu saja," katanya dengan nada santai, namun tatapannya penuh intensitas.Ayla mengeraskan ekspresinya. "Kau tidak seharusnya ada di sini, Victor. Ini toilet wanita."Victor mengangkat bahu, melangkah masuk tanpa ragu. "Toilet staf, lebih tepatn
"Kau menguntitku?!" dengus Ayla seraya mengusap kasar air matanya. Suaranya masih bergetar karena luapan emosi yang belum sepenuhnya reda.Victor hanya menipiskan bibir, lalu berjalan menuju tepian rooftop. Ia menyandarkan satu tangan ke pagar besi, kemudian merogoh saku jaketnya. Sebatang rokok terselip di jemarinya, putih sempurna dengan ujung sedikit remuk, seakan sudah sering digenggam sebelum akhirnya dinyalakan.Dengan gerakan santai, ia mengambil korek, menggesek roda pemantiknya hingga api kecil berkobar. Cahaya oranye sekejap menerangi wajahnya saat ia menyalakan rokok itu, lalu mengisapnya dalam-dalam sebelum meniupkan asap tipis ke udara malam."Aku tidak mengikutimu," jawabnya santai tanpa sekalipun melirik Ayla.Ayla menghapus air matanya dengan kasar, menahan geram yang kembali muncul. Tatapannya menyipit penuh jijik begitu melihat Victor merokok dengan begitu alami.Sejak kapan dia jadi seperti itu?Dulu, Victor paling tidak tahan dengan asap. Entah itu rokok, dupa, at
Tiba-tiba ponsel Ayla bergetar, membuatnya menoleh sejenak ke arah benda pipih yang tergeletak di samping laptop. Layarnya menyala, menampilkan satu nama yang membuat napasnya langsung tertahan.Nicko.Ayla memejamkan mata, lalu menghela napas panjang sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Sudah hampir seminggu pria itu tak menghubunginya, dan kini tiba-tiba muncul di layar, seolah tahu bahwa Ayla sedang rapuh.Nicko. Pria yang selama setahun terakhir ini terus mengejarnya dengan cara yang tenang, sabar, dan tak memaksa.Mereka pertama kali bertemu di pemakaman orang tua angkat Ayla. Saat itu, Ayla nyaris pingsan karena kelelahan dan terlalu larut dalam kesedihan. Dan di sanalah Nicko datang—berdiri di antara pelayat, wajahnya tampan dan bersih, dengan kemeja putih yang tergulung hingga siku, tampak sangat kontras dengan latar langit kelabu sore itu.Ternyata, Nicko adalah anak dari sahabat lama Mama Ayla. Ia datang sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk kedua orang tua a
Setelah beberapa menit yang terasa menenangkan, Nicko akhirnya pamit. Ia tidak memaksa Ayla untuk bicara banyak, hanya menepuk pelan bahu gadis itu dan meninggalkan sebaris kalimat yang menenangkan sebelum masuk ke dalam mobilnya.Ayla menatap punggung mobil yang menjauh, lalu menarik napas panjang sebelum berbalik. Tubuhnya menggigil sedikit saat kembali menaiki lift dan masuk ke apartemen.Begitu pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruangannya. Ayla berjalan pelan ke meja, menatap laptop yang masih menyala, menampilkan foto Victor—cuplikan dari video wawancaranya beberapa tahun lalu, ketika ia baru saja memenangkan penghargaan musik internasional.Ayla menghela napas panjang, duduk dengan lelah di kursinya. Tangannya terulur untuk menutup layar, tapi gerakan itu terhenti saat sebuah notifikasi email muncul di pojok kanan atas.[New Mail - 23:46 | “Tawaran Eksklusif: Reality Show Terbaru Victor Noelle”]Alis Ayla mengernyit, lalu segera membuka email itu.Subject: Tawaran
Beberapa hari setelah pertemuan itu, keputusan akhirnya datang.Victor setuju untuk bergabung di The House of Hearts.Meski awalnya menolak, Victor akhirnya menerima tawaran itu setelah mempertimbangkan dengan matang. Ia setuju dengan syarat: tidak ada skenario palsu, tidak ada pengaturan pasangan, dan Ayla ikut dalam tim produksi sebagai pengawas kreatif—agar ia tahu tidak akan dijebak untuk membuat drama murahan.Keputusan itu membuat Darren lega. Ia segera menghubungi pihak produksi untuk mengatur detail, sementara Ayla, meski ragu, tidak punya pilihan selain menyanggupi.Hari pertama syuting di Bali dimulai dengan angin laut yang lembut berembus, membawa aroma asin yang menyatu dengan hangatnya sinar matahari pagi. Vila besar yang digunakan sebagai lokasi syuting berdiri megah di atas tebing, menghadap langsung ke hamparan Samudera. Bangunannya berarsitektur tropis modern, berdinding kaca dan kayu alami, menampilkan perpaduan antara kemewahan dan kehangatan. Di dalamnya, terdapa
Senja mulai turun perlahan, mewarnai langit Bali dengan semburat oranye dan ungu yang indah. Cahaya matahari terakhir jatuh tepat di permukaan kolam infinity, memantulkan warna emas yang hangat. Di rooftop vila, makan malam pertama sudah disiapkan. Meja panjang dari kayu jati dihiasi lampu gantung bohemian dan lilin-lilin kecil dalam toples kaca. Aroma ayam bakar, udang panggang, dan sambal matah menyeruak memikat indra.Para peserta mulai mengambil tempat duduk. Tertawa, bersenda gurau, dan sesekali melempar candaan tentang siapa yang bakal dekat dengan siapa. Semua terdengar natural, seperti yang diharapkan kru produksi.Victor duduk di ujung kanan meja, berseberangan dengan Luna yang tampak tak berhenti menatapnya sambil sesekali memulai obrolan ringan. Di sisi kiri Victor, ada kursi kosong.Ayla datang beberapa menit kemudian, membawa tablet kecil dan earpiece yang tergantung di telinganya. Ia tidak berniat ikut makan malam, hanya ingin memastikan bahwa audio dan angle kamera be
Langit Bali diselimuti bintang, angin laut berhembus lembut ke arah lounge rooftop tempat para peserta dan kru bersantai. Musik dari speaker kecil mengalun pelan, diselingi tawa-tawa ringan dan bunyi gelas bersentuhan. Beberapa minuman beralkohol beredar di meja, tidak banyak, hanya sekadar pemecah dingin malam.Ayla baru saja menyelesaikan review rekaman hari itu ketika ia naik ke atas untuk mengecek keadaan. Rambutnya diikat setengah, mata lelah tapi tetap awas. Ia tidak berniat tinggal lama, hanya memastikan semuanya terkendali, lalu kembali ke kamarnya.Tapi seseorang memanggilnya.“Ey, Ayla.”Suara itu serak. Dalam.Victor.Ia duduk sendirian di ujung sofa, satu botol bir setengah kosong di tangan. Tatapannya kosong menatap lautan malam, tapi ketika Ayla menoleh, sorot itu langsung menancap padanya.“Kau ngapain masih di sini?” tanya Ayla, berdiri agak jauh, menjaga jarak.Victor tersenyum miring, lalu meneguk minumannya. “Mungkin... menunggu kau datang.”Ayla menghela napas. “V
Setelah sesi di api unggun selesai dan para peserta satu per satu kembali ke vila, Ayla memilih untuk tetap tinggal di pantai. Cahaya bulan memantul di permukaan laut, menciptakan riak berkilauan yang indah dan sendu. Sepi perlahan menyelimuti, hanya suara ombak dan desir angin yang menemani. Ia berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku sweater, memandang ke cakrawala seolah mencari sesuatu yang tak akan pernah benar-benar bisa ia temukan.Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Ayla menoleh perlahan.Kenzo.Ia datang tanpa suara, mengenakan jaket parasut tipis dan celana santai, rambutnya sedikit acak karena angin, wajahnya separuh gelap karena cahaya bulan yang tidak merata. Ia berhenti di samping Ayla, tak terlalu dekat, tapi cukup untuk membiarkan keheningan tumbuh nyaman di antara mereka.“Aku nggak nyangka kamu beneran jawab pertanyaanku tadi,” ujar Kenzo, suaranya pelan, seolah takut mengusik malam.Ayla tidak langsung membalas. Ia hanya menarik napas dalam dan membia
Malam ketiga di vila pinggir pantai Bali terasa hangat meski angin berembus kencang dari laut. Api unggun menyala tenang di tengah lingkaran kursi rotan yang disusun setengah melingkar, memantulkan cahaya oranye ke wajah-wajah yang berseri karena lelah dan tawa. Di sekeliling, lampu-lampu gantung dari bohlam kecil berkedip lembut, menciptakan suasana seperti pesta kecil yang intim.Ayla duduk di antara dua peserta pria, masih mengenakan sweater abu oversized yang menutupi separuh lengannya, dipadukan dengan celana jeans longgar dan sandal rumah. Rambutnya dibiarkan tergerai, beberapa helaian terbang ditiup angin malam, dan matanya yang tajam tak berhenti mengamati sekeliling—kebiasaan seorang produser yang tak bisa diam.Padahal, awalnya ia tak berniat duduk di sana.Namun, karena salah satu peserta perempuan mendadak sakit, produser memintanya untuk bergabung demi meramaikan sesi behind-the-scenes ini. Ice breaking, katanya. Konten lucu-lucuan. Ayla menolak halus, tapi sorotan kamer
Senja mulai turun perlahan, mewarnai langit Bali dengan semburat oranye dan ungu yang indah. Cahaya matahari terakhir jatuh tepat di permukaan kolam infinity, memantulkan warna emas yang hangat. Di rooftop vila, makan malam pertama sudah disiapkan. Meja panjang dari kayu jati dihiasi lampu gantung bohemian dan lilin-lilin kecil dalam toples kaca. Aroma ayam bakar, udang panggang, dan sambal matah menyeruak memikat indra.Para peserta mulai mengambil tempat duduk. Tertawa, bersenda gurau, dan sesekali melempar candaan tentang siapa yang bakal dekat dengan siapa. Semua terdengar natural, seperti yang diharapkan kru produksi.Victor duduk di ujung kanan meja, berseberangan dengan Luna yang tampak tak berhenti menatapnya sambil sesekali memulai obrolan ringan. Di sisi kiri Victor, ada kursi kosong.Ayla datang beberapa menit kemudian, membawa tablet kecil dan earpiece yang tergantung di telinganya. Ia tidak berniat ikut makan malam, hanya ingin memastikan bahwa audio dan angle kamera be
Beberapa hari setelah pertemuan itu, keputusan akhirnya datang.Victor setuju untuk bergabung di The House of Hearts.Meski awalnya menolak, Victor akhirnya menerima tawaran itu setelah mempertimbangkan dengan matang. Ia setuju dengan syarat: tidak ada skenario palsu, tidak ada pengaturan pasangan, dan Ayla ikut dalam tim produksi sebagai pengawas kreatif—agar ia tahu tidak akan dijebak untuk membuat drama murahan.Keputusan itu membuat Darren lega. Ia segera menghubungi pihak produksi untuk mengatur detail, sementara Ayla, meski ragu, tidak punya pilihan selain menyanggupi.Hari pertama syuting di Bali dimulai dengan angin laut yang lembut berembus, membawa aroma asin yang menyatu dengan hangatnya sinar matahari pagi. Vila besar yang digunakan sebagai lokasi syuting berdiri megah di atas tebing, menghadap langsung ke hamparan Samudera. Bangunannya berarsitektur tropis modern, berdinding kaca dan kayu alami, menampilkan perpaduan antara kemewahan dan kehangatan. Di dalamnya, terdapa
Setelah beberapa menit yang terasa menenangkan, Nicko akhirnya pamit. Ia tidak memaksa Ayla untuk bicara banyak, hanya menepuk pelan bahu gadis itu dan meninggalkan sebaris kalimat yang menenangkan sebelum masuk ke dalam mobilnya.Ayla menatap punggung mobil yang menjauh, lalu menarik napas panjang sebelum berbalik. Tubuhnya menggigil sedikit saat kembali menaiki lift dan masuk ke apartemen.Begitu pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruangannya. Ayla berjalan pelan ke meja, menatap laptop yang masih menyala, menampilkan foto Victor—cuplikan dari video wawancaranya beberapa tahun lalu, ketika ia baru saja memenangkan penghargaan musik internasional.Ayla menghela napas panjang, duduk dengan lelah di kursinya. Tangannya terulur untuk menutup layar, tapi gerakan itu terhenti saat sebuah notifikasi email muncul di pojok kanan atas.[New Mail - 23:46 | “Tawaran Eksklusif: Reality Show Terbaru Victor Noelle”]Alis Ayla mengernyit, lalu segera membuka email itu.Subject: Tawaran
Tiba-tiba ponsel Ayla bergetar, membuatnya menoleh sejenak ke arah benda pipih yang tergeletak di samping laptop. Layarnya menyala, menampilkan satu nama yang membuat napasnya langsung tertahan.Nicko.Ayla memejamkan mata, lalu menghela napas panjang sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Sudah hampir seminggu pria itu tak menghubunginya, dan kini tiba-tiba muncul di layar, seolah tahu bahwa Ayla sedang rapuh.Nicko. Pria yang selama setahun terakhir ini terus mengejarnya dengan cara yang tenang, sabar, dan tak memaksa.Mereka pertama kali bertemu di pemakaman orang tua angkat Ayla. Saat itu, Ayla nyaris pingsan karena kelelahan dan terlalu larut dalam kesedihan. Dan di sanalah Nicko datang—berdiri di antara pelayat, wajahnya tampan dan bersih, dengan kemeja putih yang tergulung hingga siku, tampak sangat kontras dengan latar langit kelabu sore itu.Ternyata, Nicko adalah anak dari sahabat lama Mama Ayla. Ia datang sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk kedua orang tua a
"Kau menguntitku?!" dengus Ayla seraya mengusap kasar air matanya. Suaranya masih bergetar karena luapan emosi yang belum sepenuhnya reda.Victor hanya menipiskan bibir, lalu berjalan menuju tepian rooftop. Ia menyandarkan satu tangan ke pagar besi, kemudian merogoh saku jaketnya. Sebatang rokok terselip di jemarinya, putih sempurna dengan ujung sedikit remuk, seakan sudah sering digenggam sebelum akhirnya dinyalakan.Dengan gerakan santai, ia mengambil korek, menggesek roda pemantiknya hingga api kecil berkobar. Cahaya oranye sekejap menerangi wajahnya saat ia menyalakan rokok itu, lalu mengisapnya dalam-dalam sebelum meniupkan asap tipis ke udara malam."Aku tidak mengikutimu," jawabnya santai tanpa sekalipun melirik Ayla.Ayla menghapus air matanya dengan kasar, menahan geram yang kembali muncul. Tatapannya menyipit penuh jijik begitu melihat Victor merokok dengan begitu alami.Sejak kapan dia jadi seperti itu?Dulu, Victor paling tidak tahan dengan asap. Entah itu rokok, dupa, at
Ayla berjalan cepat menuju toilet staf, berharap bisa menenangkan diri. Jantungnya masih berdebar tidak karuan setelah kejadian di panggung tadi."Brengsek," gumamnya pelan.Kenapa Victor selalu tahu cara menarik perhatiannya? Kenapa pria itu bertindak seolah-olah tidak pernah ada luka yang ia tinggalkan?Begitu sampai di toilet, Ayla menyandarkan diri ke wastafel, menatap bayangannya di cermin. Wajahnya masih sedikit memerah. Entah karena marah atau efek dari sorotan Victor yang begitu dalam saat bernyanyi tadi.Namun, sebelum sempat menarik napas untuk menenangkan diri, suara pintu terbuka membuatnya refleks berbalik.Victor berdiri di ambang pintu, tangannya bersandar di kusen, bibirnya tertarik dalam senyum menggoda."Kau melarikan diri begitu saja," katanya dengan nada santai, namun tatapannya penuh intensitas.Ayla mengeraskan ekspresinya. "Kau tidak seharusnya ada di sini, Victor. Ini toilet wanita."Victor mengangkat bahu, melangkah masuk tanpa ragu. "Toilet staf, lebih tepatn