Sayang-sayang jangan lupa masukin ke daftar baca kalian ya---
Bab 24Diperjalanan Irene hanya menatap keluar kaca mobil.Hingga mereka tiba di sebuah Gedung tinggi, area apartment tempat Irene tinggal. Irene menoleh kea rah Gerald, ia memberikan senyuman tipis, “Terimakasih atas tumpangannya.”Wanita cantik itu memainkan jemarinya, dengan suara pelan ia berkata, “Aku… Aku menganggap pertemuan kita kali ini adalah sebuah kesengajaan yang tak perlu di ingat, Gerald. Terimakasih untuk pakaian ini. Dan maaf sudah menyusahkanmu, membuatmu terlibat sampai akhir.”Irene tak berani mengangkat wajahnya, ia sadar jika saat ini Gerald tengah menatapnya dengan intens.“Irene…”“Hmm?”Gerald yang memang menggenggam tangan Irene, menaikkan tangannya, memberikan kecupan lembut di punggung tangan wanita cantik itu, “Look at me.”Seperti kata-kata hipnotis, Irene menoleh saat Gerald memintanya, entah dia yang gila atau alam bawah sadarnya yang sudah terbiasa akan hal itu.Gerald tersenyum tipis, senang Irene tak membantah, ia membelai wajah cantik Irene, “Apa ti
"Ugh, sakit!" Seruan Irene menggema kala ia terduduk di tempat tidur sembari mengusap bagian tubuhnya yang terasa perih.Ia menghela napas berat, ingin merutuki nasibnya yang terombang-ambing selama ini.Karena obsesi Bertha-Ibu tirinya, ia harus selalu bersembunyi dari tuntutan Bertha yang ingin menjodohkannya dengan beberapa pengusaha kaya raya yang telah berumur. Bahkan tanpa segan menyewa orang untuk menyeretnya pulang. Semua demi kepentingan membayar hutang-hutangnya bermain kasino setelah meninggalnya sang Ayah.Tetapi di kala oasis yang melanda, Owen-sahabatnya semasa kecil datang melamarnya, "Irene, menikahlah denganku, aku sangat mencintaimu sejak dulu. Dan kamu tidak perlu khawatir dengan Ibu tirimu, aku yang akan membayar semua hutang piutangnya agar kamu tidak lagi berhubungan dengannya."Sebuah lamaran dari pria mapan dan tampan yang telah ia cintai selama ini, seketika membuat Irene tersentuh, dan membuatnya berpikir bahwa pria itu bisa memberinya masa depan yang lebih b
Irene terkejut. Tubuhnya membeku seketika, seolah kata-kata Owen baru saja merampas semua kehangatan yang tersisa dari tubuhnya. Wajahnya memucat, bibirnya bergetar saat mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi pernyataan suaminya. Bagaimana bisa Owen, pria yang selama ini ia cintai dan percayai, mengucapkan sesuatu yang lebih keji dari apa yang pernah dilakukan oleh ibu tirinya?"Apa maksud kamu, Owen?" suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan yang tercekik. Matanya yang besar, kini dipenuhi oleh rasa sakit dan ketidakpercayaan, menatap Owen berharap menemukan secercah penyesalan atau kesalahan dalam ucapannya.Namun, Owen tampak mengabaikan pertanyaan Irene. "Besok ikut aku ke suatu tempat dan pakai pakaian terbaikmu, Irene," katanya dingin sambil berdiri, seolah-olah tidak ada yang salah dengan permintaannya."Owen, kau belum menjawab pertanyaanku!" Irene menaikkan nada suaranya, menatap Owen dengan intens.Dengan manik berwarna coklat gelap ia menatap Irene de
“Aoch!” Irene memijit keningnya yang terasa perih, ia perlahan membuka matanya, “Ini dimana?” wanita cantik itu terkejut melihat ruangan yang asing bahkan pandangannya membulat saat mendapati tubuhnya telah mengenakan gaun berwarna merah maroon yang sangat seksi.“Tunggu! Jangan bilang... Ini—“ Irene terhenti saat mendengar suara yang sangat dikenalnya.“Irene,” suara Owen membuat Irene mendongak dan melihat suaminya berdiri di depan pintu.“Owen? Jelaskan! Apa semua ini!” hardik Irene dengan sorot mata tajam, penuh kemarahan dan kebingungan.Owen melangkah masuk ke dalam ruangan dan berdiri tepat di depan Irene.“Owen... Ayo pulang! Aku tidak mau di sini!” lirih Irene, matanya menatap pria di depannya dengan penuh rasa kecewa. Pria yang ia pikir akan menjadi pelindung dan sumber kebahagiaannya kini terasa seperti orang asing. Hatinya remuk, namun ia tetap berharap Owen akan mendengarnya dan membawanya pergi dari tempat ini, meski hanya ada setitik harapan.Owen menghela napas panjang
Irene terkejut mendengar suara berat pria yang saat ini berbisik di telinganya, terasa familiar, suara yang tak dapat ia lupakan, suara seorang pria yang sudah mengambil ciuman pertamanya saat itu, "Tu-tuan Gerald?" paraunya.Pria bertopeng itu pun cukup terkejut saat Irene masih mengingatnya, ia tersenyum tipis dan merengkuh pinggang Irene, membuat tubuh mereka semakin rapat, "Mulai detik ini, tidak kuizinkan orang lain memilikimu!"Deg! Irene terperanjat. "Ma-maaf-"Tanpa melanjutkan perkataan Irene, Gerald meraih dagu Irene, menyapu bibir wanita cantik di depannya. Irene kembali dibuat terkejut, "Ciuman ini..." Irene segera tersadar dan menarik tubuhnya.Irene dapat melihat senyuman tipis tersirat di wajah pria bertopeng di depannya. Tanpa diduga Gerald membuka jas yang ia kenakan dan menaruh di bahu Irene, menutup pakaian seksi yang melekat ditubuh Irene. lalu meraih tangan Irene, membawanya turun dari atas panggung.Owen menajamkan pandangan dan pendengarannya, "Apa yang mereka b
Gerald kembali mencumbu Irene penuh damba, liar dan menuntut. Tanpa Irene duga, pria bertubuh atletis itu mengangkat tubuhnya ala bridal, "Tidak disini." Kemudian ia melangkah menuju salah satu ruangan. Irene yang diangkat ala bridal cukup terkejut hingga spontan mengaitkan kedua tangannya di leher Gerald agar tubuhnya tidak terjatuh.Hingga Irene kembali terpesona dengan kamar yang sangat luas dan mewah itu, di sana terlihat ranjang berukuran sangat besar dengan sprei berwarna silver. Interior yang di dominasi warna navy dan silver, elegan dan maskulin. Irene merasa seperti terjebak dalam mimpi yang tidak terkontrol.Di saat ia terpana dengan ruangan, suara Gerald kembali membuatnya tersentak, "Malam ini, kau hanya harus fokus padaku, Irene." Suaranya terdengar seperti perintah, membuat Irene merasa seperti boneka yang dikendalikan.Deg! "Sejak kapan aku di atas tempat tidur?" batinnya, sadar jika saat ini yang telah berbaring di atas ranjang, dan posisi Gerald yang mengukungnya. Ire
“...tapi, malam ini, aku tidak menyesal sama sekali bertemu denganmu, Irene.” Gerald menatap tajam manik indah Irene. “Dan, maaf aku terlambat datang padamu.”Ia mengambil selimut, menutupi tubuh Irene yang polos itu.“Apa maksud kamu?” tanya Irene, tidak paham dengan perkataan Gerald yang terakhir. “Minta maaf untuk apa? Dan kenapa kamu mau menemuiku, Tu—”“Gerald,” Gerald menyela, tidak menyukai panggilan Irene yang terdengar sangat asing.Irene terdiam, ragu menatap Gerald. Tatapannya membuat Gerald ingin sekali menggodanya.“Bukannya kita sepasang kekasih?”Irene seketika membelalakkan matanya. “Ba-bagaimana…” kemudian ia membekap mulutnya dan dan menutup wajahnya. Kembali mengingat kejadian pertama kali mereka bertemu.Wajahnya merona dan terasa panas, pertemuan singkat yang tidak bisa Irene pungkiri sangat berkesan padanya. Tapi karena permasalahan keluarganya saat itu. Ia tak lagi memikirkan pria yang pernah menolongnya saat itu. Karena bantuan Gerald saat itu, ia berhasil lepa
"Irene?" "Hmm?" Irene bergumam sebagai jawaban, tangisannya mulai mereda menyisakan malu pada Gerald. Bagaimana bisa ia menangis selepas itu, bahkan di dalam pelukan Gerald."Hah... Ini benar-benar memalukan..." gumamnya dalam hati sembari menutup mata.Gerald mengusap surai hitamnya beberapa kali, seolah memberikan ketenangan untuknya. Dan hal itu benar-benar bekerja, ia merasa jauh lebih baik.“Pasti dia bingung melihatku seperti ini…”Cup! Irene seketika merasa tubuhnya membeku saat mendapatkan kecupan di pipinya.Kecupan yang lembut dan hangat.Irene menutup mata dan mengepalkan tangannya, berusaha melepaskan pelukan Gerald, ia tertunduk dan berkata pelan, “Maaf dan terimakasih.”“Syukurlah, kamu sudah jauh lebih tenang.”Saat itu juga Irene mengangkat wajahnya, melihat ke arah Gerald, membuat pandangan mereka saling bertemu.“Kamu tetap terlihat menawan,” ucap Gerald sembari mengusap bawah matanya yang sembab dengan lembut.“Ge-gerald…” Irene meremas selimut, ia tidak ingin kem
Bab 24Diperjalanan Irene hanya menatap keluar kaca mobil.Hingga mereka tiba di sebuah Gedung tinggi, area apartment tempat Irene tinggal. Irene menoleh kea rah Gerald, ia memberikan senyuman tipis, “Terimakasih atas tumpangannya.”Wanita cantik itu memainkan jemarinya, dengan suara pelan ia berkata, “Aku… Aku menganggap pertemuan kita kali ini adalah sebuah kesengajaan yang tak perlu di ingat, Gerald. Terimakasih untuk pakaian ini. Dan maaf sudah menyusahkanmu, membuatmu terlibat sampai akhir.”Irene tak berani mengangkat wajahnya, ia sadar jika saat ini Gerald tengah menatapnya dengan intens.“Irene…”“Hmm?”Gerald yang memang menggenggam tangan Irene, menaikkan tangannya, memberikan kecupan lembut di punggung tangan wanita cantik itu, “Look at me.”Seperti kata-kata hipnotis, Irene menoleh saat Gerald memintanya, entah dia yang gila atau alam bawah sadarnya yang sudah terbiasa akan hal itu.Gerald tersenyum tipis, senang Irene tak membantah, ia membelai wajah cantik Irene, “Apa ti
Bab 23Berbalut dress berwarna hitam dari salah satu brand mewah, Irene terlihat sungguh mempesona. Rambut hitamnya terurai dengan indah, kulit putihnya terlihat semakin bercahaya, membuatnya tampak seperti seorang putri malam.Gerald terpesona untuk kesekian kalinya, matanya tidak bisa berpaling dari kecantikan Irene. Pria itu menghampiri Irene, berdiri tepat di depan Irene. "Cantik." dengan suara rendah ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Irene."Terimakasih. Aku menerimanya karena tidak ada pilihan lain, maaf." Irene merasa tidak enak hati harus menerima pakaian senilai ribuan dollar itu.Gerald tersenyum tipis, mengusap lembut punggung Irene, "Semua yang di dalam sana adalah milikmu." Suaranya lembut, namun tetap memiliki nada yang dominant."Tetap saja..." Irene masih merasa tidak nyaman dengan kemewahan yang diberikan kepada dirinya."Ssssttt..." Gerald membisikkan, membuat Irene terdiam. Jarak mereka yang begitu dekat membuat jantung Irene berdegup dengan cepat.
Bab 22Gerald mengaminkan apa yang ia katakan, semalam ia benar-benar memakan Irene dengan lahap, di setiap inchi tubuh Irene tidak ia lewatkan barang sejengkal.Bahkan untuk malam mereka pun, Gerald meminta pelayan yang menyiapkannya saat Irene tertidur.Namun setelah menyantap makan malam, Gerald kembali melahap Irene di atas meja makan seperti saat ini.“Ah Gerald… Apa kau ingin melakukannya lagi?” Irene kembali di buat mendesah dengan kaki yang terbuka lebar di atas meja makan berbahan marmer itu.Melihat Gerald yang melahap miliknya di bawah sana tiada henti, bahkan ia sudah mendapatkan orgasme pertamanya tapi Gerald tak kunjung berhenti menjilati dan melumat liang kewanitaannya.“Oh! Stop! Stop!” Irene kembali menjerit, mengunci tubuhnya, bahkan kuku-kuku jarinya terlipat ke dalam saat serangan Gerald semakin intens.Desakan dalam perutnya kembali siap meledak, “Ge-gerald…! Ah!”“Hah… Hah… Hah…!” Nafas Irene tersengah-sengal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gerald meraih tangan
"Aku tidak ingin kamu kembali. Tinggallah denganku, Irene." Suara Gerald terdengar begitu serius, membuat Irene tercenung.Irene diam, mencerna apa yang baru saja ia dengar, "Aku akan pura-pura tidak mendengarnya." Ia berusaha untuk menghindari topik tersebut, namun Gerald tidak mungkin menyerah begitu saja."Irene, please." Gerald mendekat, matanya memandang Irene dengan intensitas yang meningkat, suaranya penuh harapan.Mata Irene sayu, "Aku mohon, jangan membuatku berada di posisi yang sulit, Gerald. Saat ini aku hanya menjalankan pekerjaanku." Ia berusaha untuk menjelaskan, namun Gerald tampaknya tidak terpengaruh."Tapi aku tidak berpikir demikian, Irene." Gerald mengambil langkah lebih dekat, suaranya rendah dan penuh emosi.Irene tersenyum sangat tipis bahkan terkesan hambar, "Aku sudah menikah, suamiku menungguku di rumah." Ia mengeluarkan senjata terakhir, berharap itu akan membuat Gerald mundur.Gerald menurunkan tangannya, rahangnya mengeras, dadanya terbakar. Ia mengepalkan
Bab 20“Kamu sudah bangun?” Gerald menghampiri Irene yang saat ini tengah duduk di sofa sambil menonton drama di layer televisi 100 inch.Irene yang mendengar suara Gerald langsung menoleh, “Iya, dari tiga puluh menit yang lalu.”Gerald tersenyum, menunduk dan mengecup kening Irene, “Hmm, maaf. Aku tadi ada sedikit keperluan di luar.”Irene cukup terkejut, apa yang dilakukan Gerald saat ini terlihat begitu alami.“Y-ya. Tidak masalah.”“Sudah makan?”Irene menggeleng pelan, “Belum lapar.” Ia memang melihat makanan tersaji di meja makan. Tapi ia merasa sungkan untuk langsung menyantapnya.Gerald menghela nafas, ia melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, “Hah! Ayo temani, aku sudah lapar.” Ujar Gerald santai sembari membuka jasnya, meletakkannya di atas sofa, lalu menarik lembut tangan Irene.Usai menghabiskan pagi panas mereka, Irene kembali tertidur. Dan di saat itulah Gerald menyempatkan diri untuk menyelesaikan beberapa keperluannya. Tidak lupa meminta pelaya
Bab 19“Maaf.” Irene mengalihkan pandangannya, membuka kedua pahanya, menyerahkan diri pada kehendak Gerald. Baru saja ia mengalihkan pandangannya, ia kembali dibuat terkejut dengan apa yang dilakukan Gerald. Jari-jari lembutnya menyentuh area paling intimnya, membuat Irene terlonjak."Ah! Ge-gerald... A-pa yang kamu lakuin?" suara Irene tertahan dengan desakan geli di inti tubuhnya. Matanya terbuka lebar, mencoba memahami tindakan Gerald.Gerald mengangkat wajahnya dan menatap Irene dengan pandangan yang sulit Irene tebak, "Tentu saja mengobatimu... Slurp!" Suara Gerald yang rendah dan berat membuat Irene merasa geli dan malu pada saat yang sama."Oh... Gerald... Stop! Ah! Bukannya ada bekas obat di sana?" Irene mencoba menahan Gerald, tangannya mencengkeram udara, mencari sesuatu untuk dipegang."It's lickable!" jawab Gerald asal, kembali melanjutkan aktifitasnya tanpa peduli dengan protes Irene. Lidahnya melintasi setiap inci kulit Irene, membuatnya semakin tergelitik."Hah! Pria in
Bab 18“Teflon itu yang mana?” tanya Gerald dengan ekspresi datarnya, seolah itu bukanlah sesuatu yang aneh.Irene memejamkan mata dan menghela nafas, ia mengambil teflon yang sudah dipakai Gerald, "Ini." ujarnya singkat, berharap Gerald bisa mengerti."Oh, ok!" jawab Gerald acuh kemudian membuka lemari dapur satu persatu, hingga akhirnya dia mendapatkan sesuatu yang berbeda tetapi mirip, "Ini saja?"Irene menoleh, lagi-lagi ia dibuat kehabisan kata-kata oleh Gerald, "Itu bukan teflon tapi wok pan.""Ini saja, lagi pula ini lebih bagus karena jauh lebih besar." Gerald menaruhnya langsung di atas kompor."Look? More better!" ujarnya puas, seolah semua masalah telah teratasi."Hah! Terserah kamu saja!" Irene menyerah dan melanjutkan untuk memanggang daging. Ia memberikan bumbu yang ada di atas meja dapur, meraciknya sedikit kemudian memanggangnya.Cisssss! Suara daging yang mulai matang membuat aroma menggoda memenuhi dapur."Hati-hati...!" Gerald memeluk Irene dari belakang dan mengangk
Bab 17Irene menggigit bibir bawahnya, dengan wajah merona ia membuka kedua pahanya. Memperlihatkan area kewanitaannya kepada Gerald."Damn!" Gerald mengumpat, matanya terfokus pada area yang terbuka.Irene kaget dan kembali merapatkan pahanya, "Biar aku saja.""Tahan!" Gerald segera mengangkat tangan, mencegah Irene menutup dirinya lagi.Gerald membuka wadah obat pereda nyeri tersebut dan mengusap dengan hati-hati di area kemerahan, "Maaf." Ucapanya sedikit berbisik, suaranya penuh empati.Perasaan Irene kembali terombang-ambing, baru beberapa jam ia bersama Gerald, tetapi sikap Gerald selalu membuatnya membandingkan dengan suaminya sendiri yang tidak pernah peduli kepada dirinya. Bahkan di saat ia merasa sakit, suaminya itu tidak peduli selama hasratnya terpuaskan.Berbeda dengan pria yang saat ini tanpa ragu mengobati dirinya. Irene merasa sebuah ketulusan dan kehangatan, namun berusaha menyembunyikan perasaannya."Sssss..." Irene mendesis pelan saat jari-jemari Gerald terus menyent
Bab 16Apa yang dikatakan Gerald tadi, ia aminkan. Selama beberapa jam, ia dan Irene saling bercumbu dan menyalurkan hasrat mereka. Dari kamar mandi, mereka berpindah ke kamar, kemudian ke sofa, ruangan walk in closet, dan bahkan ruang tamu.Gerald yang ingin menghubungi asistennya untuk membatalkan semua jadwalnya, akhirnya membawa semuanya kembali ke kamar. Mereka terus bercinta, terhanyut dalam gelombang cinta dan gairah.Saat ini, Irene tertidur pulas, begitu juga Gerald. Mereka saling berpelukan, dengan tubuh polos yang hanya tertutup oleh selimut.Irene pertama membuka matanya, sedikit kesulitan bergerak. Ia sadar bahwa saat ini ia dipeluk erat oleh Gerald, bahkan bibir pria itu tepat berada di keningnya.Irene menggigit bibir bawahnya, "Dia masih tidur kan?" pikirnya sambil perlahan memindahkan tangan Gerald. Ia ingin bangkit, namun merasa ragu.Kemudian, ia memundurkan kepalanya, “Huft!” Ia menarik napas lega saat berhasil lepas dari pelukan Gerald. Dengan hati-hati, ia berusah