Eliz mengusap pelan milik Marko yang masih dilapisi celana. Dia sengaja menempelkan tubuhnya ke Marko.
"Kau tampan juga. Masuklah, aku akan memuaskanmu," ucap Eliz menarik tangan Marko pelan memasuki apartemennya. Di saat kulit Marko bersentuhan dengan kulit lembut Eliz, dia merasa ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya. Dia jadi bertenaga, bahkan dia tak merasa lapar lagi padahal dia belum sarapan tadi. "Kak Eliz, maksudku Nona Eliz, kau tinggal di apartemen ini sendirian?" tanya Marko ketika dia sudah duduk di sofa. "Iya. Memangnya kenapa?" balas Eliz menutup pintu apartemen, lalu menyusul duduk di samping Marko. Eliz membiarkan tubuhnya tetap polos. Dia duduk di sofa dengan sengaja membuka kedua kakinya sehingga bagian di antara pahanya terekspos jelas. "Tidak. Aku hanya penasaran saja." Marko bergerak tak nyaman di sofa. Celananya terasa sesak karena miliknya membesar dan menegang di bawah sana. "Lebih baik aku pulang sekarang, Nona Eliz," ucap Marko hendak berdiri, tapi dengan cepat Eliz memindahkan tubuhnya ke pangkuan Marko. "Jangan tergesa-gesa. Tinggallah di sini lebih lama. Aku akan memberikan tip tambahan padamu." Marko menelan ludahnya dengan susah payah, lantas mengangguk. Tip lumayan untuknya membeli makanan nanti. Perlahan Eliz memindahkan tatapannya ke arah milik Marko. Dia menggigit bibirnya membayangkan milik Marko yang tampak besar dalam bungkusan celana itu memasuki miliknya. "Apa kau sudah punya kekasih?" tanya Eliz kini mendekatkan dadanya ke wajah Marko. "Kau sangat tampan. Aku yakin kau sudah punya kekasih." "Ehmm .... Sebenarnya aku sudah menikah, Nona Eliz," jawab Marko berusaha menahan gejolak gairah yang memenuhi dirinya. "Sayang sekali. Istrimu pasti beruntung memilikimu. Dia pasti bangga memamerkan milikmu itu pada teman-teman perempuannya sehingga membuat mereka semua iri." Marko bergeleng pelan. Mungkin kah Stella bangga punya Marko? Entahlah. Stella bahkan belum pernah sekali pun mengajak Marko pergi menemui teman-temannya. "Entahlah. Kurasa begitu," balas Marko tak ingin ambil pusing. Eliz memegang tangan Marko. "Milikku sudah basah dan berdenyut, Marko. Apa kita bisa melakukannya sekarang? Punyamu juga harus segera dibebaskan." Sebelum Marko menjawab, suara dobrakan di pintu mengejutkan mereka berdua. Pintu didobrak sangat keras dari luar, disertai teriakan seorang pria yang dipenuhi amarah. "Eliz, buka pintunya! Aku tahu kau sedang bersama pria lain di dalam! Buka atau aku tendang pintu ini!" Eliz langsung memucat. Itu Charlie, kekasihnya. "Sembunyilah! Cepat!" Tanpa menunggu sahutan dari Marko, Eliz sudah lebih dulu mendorong Marko menuju ke lemari pakaiannya. Eliz akan menyembunyikan pria itu sementara di sana sampai Charlie pulang. "Eliz, buka pintunya!" Teriakan Charlie terdengar lagi. Dengan tergesa Eliz menyambar selimutnya, dan membuka pintu. "Ada apa, Charlie? Aku baru saja bangun tidur." Eliz pura-pura menguap dengan rambut acak-acakan. Charlie menebarkan pandangannya ke segala penjuru apartemen Eliz, lalu menatap Eliz dengan curiga. "Baunya. Kau baru saja masturbasi?" Eliz tersentak sesaat, lalu berucap pelan. "Iya. Karena kau pergi lama, aku jadi memuaskan diri sendiri." "Jadi begitu. Maafkan aku yang sudah curiga padamu." Charlie langsung memeluk Eliz erat. "Aku akan memuaskanmu sekarang, Eliz." Charlie menggendong Eliz menuju ke kamar. Tapi di saat dia melewati lemari pakaian, dia melihat ada jari-jari kaki yang terlihat. "Eliz, sejak kapan lemarimu memiliki kaki?" tanya Charlie mulai kesal karena merasa dipermainkan oleh kekasihnya. "Itu ...."Marko sudah tak bisa menahan diri lagi. Dia merasa sekujur tubuhnya panas. Dan perlahan, otot-ototnya terasa lebih kuat. "Wah .... Ini sangat luar biasa," pukau Marko takjub menatapi kedua tangannya. Ternyata pesan misterius berisi misi itu tidak main-main. Marko jadi semakin kuat karena bersentuhan dengan Eliz! Brakk!! Charlie membuka lemari, tempat Marko bersembunyi dengan kasar. "Keluar kau, Bajingan! Kau sudah menyentuh kekasihku, sekarang kau harus menanggung akibatnya!" Charlie menarik Marko keluar dari lemari, dan mendorongnya ke dinding. Dia semakin dibuat kesal karena Marko justru mengulas senyum kekanakan padanya, dan bukannya bergetar ketakutan. "Apa kelebihanmu dibandingkan aku, hah?! Sampai Eliz mau disentuh denganmu. Kau cuma kurir pengantar makanan. Bau dan miskin!" Charlie buru-buru melepaskan cengkeramannya dari baju Marko, dan berdecak jijik. Marko menarik sebelah alisnya ke atas, menilai Charlie yang baru saja merendahkannya dari atas sampai ke bawah. Dia ny
"Maafkan aku, Stella. Aku terlambat," ucap Marko pada Stella yang berdiri bersedekap di depan kantor. Halaman kantor tampak sepi, sepertinya semua orang sudah pulang.Tanpa membalas ucapan Marko, Stella langsung duduk di jok motor tua Marko. "Cepat jalan! Jangan buang-buang waktuku lagi!"Marko mengangguk cepat, dan segera melajukan motornya menuju rumah.Sepanjang perjalanan Marko dilingkupi rasa cemas, memikirkan Stella akan mengomelinya nanti di rumah sampai telinganya panas. Belum lagi Nyonya Dawson, ibu mertuanya juga pasti ikut memarahinya.Memikirkan itu membuat Marko nyaris menabrak pohon di pinggir jalan. Dia mengerem mendadak sehingga tubuh Stella terdorong ke depan. Dada padat wanita itu menabrak punggung Marko cukup keras. Marko merasa nikmat saat benda kenyal itu menempel punggungnya. Stella segera memundurkan posisi sambil berdeham. "Hati-hati kalau mengendarai motor! Kau mau membunuhku, hah?!""Tidak, Stella. Mana mungkin aku ingin membunuhmu.""Makanya fokuslah di jal
Stella tiba-tiba terjingkat bangun karena haus. Mendapati pergerakan Stella, Marko dengan cepat membalikkan tubuhnya sebelum ketahuan. "Hah, panas sekali," desah Stella mengusap kedua matanya, lalu berderap keluar untuk mengambil air minum. Melihat Stella sudah pergi, Marko menendang selimutnya dengan kesal. Tadi hampir saja dia berhasil. Tapi, ada saja yang mengganggunya! Menyebalkan! *** Pagi harinya, Marko bangun lebih awal dari biasanya. Wajahnya tampak lelah karena semalaman dia tak bisa tidur. "Marko, nanti kau antarkan Lily ke pesta ulang tahun temannya," ucap Stella melemparkan kunci mobil ke depan Marko. Marko menangkapnya dengan cekatan. "Jam berapa?" "Nanti sore." "Lalu, kau bagaimana?" "Aku bisa pulang naik taksi," balas Stella tanpa menatap Marko. Dia mengambil jas kerjanya, lalu berderap pergi. Marko terbengong melihat kunci mobil di tangannya. Baru kali ini dia diizinkan membawa mobil keluarga Dawson yang berharga. Selain karena hanya ada satu, mobil ini ju
"Lily, jangan lakukan ini! Aku kakak iparmu! Bersikaplah sopan!" Marko begitu tegas menolak Lily. Lily menggerutu pelan. Dia kembali ke tempat duduknya sambil memperbaiki dressnya. "Kenapa? Karena aku tak secantik Kak Stella?" "Bukan begitu. Kau juga cantik. Tapi, aku suami kakakmu, dan aku sangat mencintainya." Lily semakin kesal mendengarnya. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, dan melempar pandangannya jauh-jauh ke luar jendela mobil. Tiba di gedung tempat pesta ulang tahun teman Lily diadakan, Marko melihat banyak sekali yang datang. Dan semuanya anak kuliahan. Lily turun dari mobil, lalu mengajak Marko ikut dengannya. "Ayo, Kak Marko!" "Aku menunggu di mobil saja, Lily. Kau masuklah sendiri," tolak Marko bergeleng pelan. "Kak Marko, semua temanku membawa pasangannya. Masa aku pergi sendirian? Bagaimana kalau ada pria berengsek yang menggodaku?" Berpikir sejenak, akhirnya Marko mengiyakan permintaan Lily untuk ikut masuk ke dalam gedung megah itu. Tak jauh dari Ma
Marko berhasil menambah kekuatannya setelah menyentuh Eliz. Sekarang dia merasa lebih kuat dan bertenaga. Sementara, Eliz duduk lemas di atas toilet dengan senyuman senang. Hanya dengan jari Marko saja dia sudah sepuas ini, apalagi memakai kejantanannya yang tampak besar di balik celana itu. "Terima kasih, Nona Eliz. Sudah mengizinkanku menyentuhmu. Kau sungguh wanita yang baik," ucap Marko tulus. Marko hendak keluar dari bilik kamar mandi, tapi Eliz menahan tangannya. "Marko, andai kita bertemu lagi. Maukah kau melakukannya dengan milikmu?" ucap Eliz dengan napas masih terengah-engah. Dia duduk dengan kedua kaki terbuka lebar tanpa mengenakan celana dalam. "Aku tidak bisa berjanji, Nona Eliz," balas Marko sambil meremas payudara Eliz sebagai penutupan. Eliz sangat menyukai Marko. Kalau bisa, dia ingin mengabdikan dirinya pada Marko. Jadi wanita simpanannya. Sayangnya Marko sudah pergi lebih dulu sebelum dia mengutarakan keinginannya itu. Marko melangkah tegas menghampiri Charl
"Harga mobilnya satu miliar, Kak Marko. Bagaimana ini? Aku jadi takut pulang," ucap Lily dengan mata berkaca-kaca. Mendengar harga mobil keluarga Dawson tak terlalu mengejutkan Marko, karena koleksi mobil Marko Davies harganya jauh di atasnya. Tapi, Marko memucat saat mengingat dirinya tak akan bisa mengganti uang satu miliar itu. Tabungannya di brankas hanya bisa dia ambil setelah melewati pemeriksaan ketat, termasuk scan wajah dan sidik jari. Mana mungkin, dia bisa mengambil uangnya dengan memakai tubuh Marko Hubert. Tentu, dia akan dikira pencuri dan dijebloskan ke penjara. Marko lalu menemukan ide lain. "Bagaimana kalau kau kuantar pulang sekarang dan bilang pada Mommy kalau aku menginap di rumah teman?" "Tidak. Aku tak akan membiarkanmu menanggungnya sendiri. Kau sudah baik mau mengantarkanku, jadi aku juga harus membantumu, Kak Marko." Marko tersenyum mengerti. Adik iparnya itu memang selalu peduli padanya. "Kalau begitu kita tidur di luar saja malam ini sampai kita me
Marko meremas sepasang benda lembut dan kenyal di kedua tangannya sambil mendesah kegirangan. Ini benar-benar menyenangkan, pikirnya dengan terus meremas gunung kembar milik wanita yang tengah tertidur di ranjangnya tanpa pakaian. Kejantanan Marko yang semula meringkuk kini mengeras dan berdiri tegak bagaikan mercusuar. Namun, sebelum Marko mengeluarkan benda kebanggaannya itu untuk memasuki celah sempit milik si wanita, sesuatu menamparnya dengan keras. Plakk!! “Marko, bangun! Sudah jam setengah tujuh! Apa kau mau kehilangan pekerjaan lagi?” Suara Stella yang tajam menyerbu telinga Marko, diikuti rasa perih akibat tamparan wanita itu di pipi Marko. Ternyata yang tadi hanyalah mimpi indah Marko. Marko mencoba bangkit, tapi mengingat dirinya yang tak memakai celana di balik selimut, membuatnya mengurungkan niat. Dia memilih tetap bertahan di atas tempat tidur dengan mengambil posisi duduk. “Stella, semalam aku lembur membantu Mommy jadi aku kelelahan dan lupa memasang al
Lily Dawson, adik Stella yang masih kuliah itu berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan mata melebar. Pandangannya bertemu dengan mata amber Marko sejenak, lalu beralih ke milik Marko yang besar, panjang, dan berdiri tegak. Detik berikutnya, Lily baru tersadar dengan apa yang terjadi, lalu berteriak sangat keras. Sampai teriakannya memenuhi kamar mandi yang dia tempati, dan menggetarkan gendang telinga Marko."Arghh! Kak Marko, kau sungguh mesum!"Belum juga Marko berhasil menaikkan celananya, Lily berteriak kembali."Arghh!! Mommy!"Karena takut teriakan Lily membangunkan semua orang di rumah, dan membuat mereka salah paham pada Marko. Marko refleks membungkam mulut Lily dengan sebelah tangannya."Hush! Diam atau aku setubuhi kau," ancam Marko dengan menempelkan miliknya ke bagian belakang tubuh Lily. Tentu, dia tak serius dengan ucapannya. Dia hanya ingin menakut-nakuti Lily.Marko tak punya cara lain. Dia harus membuat adik iparnya itu tutup mulut. Melihat wajah cantik Lily mem
"Harga mobilnya satu miliar, Kak Marko. Bagaimana ini? Aku jadi takut pulang," ucap Lily dengan mata berkaca-kaca. Mendengar harga mobil keluarga Dawson tak terlalu mengejutkan Marko, karena koleksi mobil Marko Davies harganya jauh di atasnya. Tapi, Marko memucat saat mengingat dirinya tak akan bisa mengganti uang satu miliar itu. Tabungannya di brankas hanya bisa dia ambil setelah melewati pemeriksaan ketat, termasuk scan wajah dan sidik jari. Mana mungkin, dia bisa mengambil uangnya dengan memakai tubuh Marko Hubert. Tentu, dia akan dikira pencuri dan dijebloskan ke penjara. Marko lalu menemukan ide lain. "Bagaimana kalau kau kuantar pulang sekarang dan bilang pada Mommy kalau aku menginap di rumah teman?" "Tidak. Aku tak akan membiarkanmu menanggungnya sendiri. Kau sudah baik mau mengantarkanku, jadi aku juga harus membantumu, Kak Marko." Marko tersenyum mengerti. Adik iparnya itu memang selalu peduli padanya. "Kalau begitu kita tidur di luar saja malam ini sampai kita me
Marko berhasil menambah kekuatannya setelah menyentuh Eliz. Sekarang dia merasa lebih kuat dan bertenaga. Sementara, Eliz duduk lemas di atas toilet dengan senyuman senang. Hanya dengan jari Marko saja dia sudah sepuas ini, apalagi memakai kejantanannya yang tampak besar di balik celana itu. "Terima kasih, Nona Eliz. Sudah mengizinkanku menyentuhmu. Kau sungguh wanita yang baik," ucap Marko tulus. Marko hendak keluar dari bilik kamar mandi, tapi Eliz menahan tangannya. "Marko, andai kita bertemu lagi. Maukah kau melakukannya dengan milikmu?" ucap Eliz dengan napas masih terengah-engah. Dia duduk dengan kedua kaki terbuka lebar tanpa mengenakan celana dalam. "Aku tidak bisa berjanji, Nona Eliz," balas Marko sambil meremas payudara Eliz sebagai penutupan. Eliz sangat menyukai Marko. Kalau bisa, dia ingin mengabdikan dirinya pada Marko. Jadi wanita simpanannya. Sayangnya Marko sudah pergi lebih dulu sebelum dia mengutarakan keinginannya itu. Marko melangkah tegas menghampiri Charl
"Lily, jangan lakukan ini! Aku kakak iparmu! Bersikaplah sopan!" Marko begitu tegas menolak Lily. Lily menggerutu pelan. Dia kembali ke tempat duduknya sambil memperbaiki dressnya. "Kenapa? Karena aku tak secantik Kak Stella?" "Bukan begitu. Kau juga cantik. Tapi, aku suami kakakmu, dan aku sangat mencintainya." Lily semakin kesal mendengarnya. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, dan melempar pandangannya jauh-jauh ke luar jendela mobil. Tiba di gedung tempat pesta ulang tahun teman Lily diadakan, Marko melihat banyak sekali yang datang. Dan semuanya anak kuliahan. Lily turun dari mobil, lalu mengajak Marko ikut dengannya. "Ayo, Kak Marko!" "Aku menunggu di mobil saja, Lily. Kau masuklah sendiri," tolak Marko bergeleng pelan. "Kak Marko, semua temanku membawa pasangannya. Masa aku pergi sendirian? Bagaimana kalau ada pria berengsek yang menggodaku?" Berpikir sejenak, akhirnya Marko mengiyakan permintaan Lily untuk ikut masuk ke dalam gedung megah itu. Tak jauh dari Ma
Stella tiba-tiba terjingkat bangun karena haus. Mendapati pergerakan Stella, Marko dengan cepat membalikkan tubuhnya sebelum ketahuan. "Hah, panas sekali," desah Stella mengusap kedua matanya, lalu berderap keluar untuk mengambil air minum. Melihat Stella sudah pergi, Marko menendang selimutnya dengan kesal. Tadi hampir saja dia berhasil. Tapi, ada saja yang mengganggunya! Menyebalkan! *** Pagi harinya, Marko bangun lebih awal dari biasanya. Wajahnya tampak lelah karena semalaman dia tak bisa tidur. "Marko, nanti kau antarkan Lily ke pesta ulang tahun temannya," ucap Stella melemparkan kunci mobil ke depan Marko. Marko menangkapnya dengan cekatan. "Jam berapa?" "Nanti sore." "Lalu, kau bagaimana?" "Aku bisa pulang naik taksi," balas Stella tanpa menatap Marko. Dia mengambil jas kerjanya, lalu berderap pergi. Marko terbengong melihat kunci mobil di tangannya. Baru kali ini dia diizinkan membawa mobil keluarga Dawson yang berharga. Selain karena hanya ada satu, mobil ini ju
"Maafkan aku, Stella. Aku terlambat," ucap Marko pada Stella yang berdiri bersedekap di depan kantor. Halaman kantor tampak sepi, sepertinya semua orang sudah pulang.Tanpa membalas ucapan Marko, Stella langsung duduk di jok motor tua Marko. "Cepat jalan! Jangan buang-buang waktuku lagi!"Marko mengangguk cepat, dan segera melajukan motornya menuju rumah.Sepanjang perjalanan Marko dilingkupi rasa cemas, memikirkan Stella akan mengomelinya nanti di rumah sampai telinganya panas. Belum lagi Nyonya Dawson, ibu mertuanya juga pasti ikut memarahinya.Memikirkan itu membuat Marko nyaris menabrak pohon di pinggir jalan. Dia mengerem mendadak sehingga tubuh Stella terdorong ke depan. Dada padat wanita itu menabrak punggung Marko cukup keras. Marko merasa nikmat saat benda kenyal itu menempel punggungnya. Stella segera memundurkan posisi sambil berdeham. "Hati-hati kalau mengendarai motor! Kau mau membunuhku, hah?!""Tidak, Stella. Mana mungkin aku ingin membunuhmu.""Makanya fokuslah di jal
Marko sudah tak bisa menahan diri lagi. Dia merasa sekujur tubuhnya panas. Dan perlahan, otot-ototnya terasa lebih kuat. "Wah .... Ini sangat luar biasa," pukau Marko takjub menatapi kedua tangannya. Ternyata pesan misterius berisi misi itu tidak main-main. Marko jadi semakin kuat karena bersentuhan dengan Eliz! Brakk!! Charlie membuka lemari, tempat Marko bersembunyi dengan kasar. "Keluar kau, Bajingan! Kau sudah menyentuh kekasihku, sekarang kau harus menanggung akibatnya!" Charlie menarik Marko keluar dari lemari, dan mendorongnya ke dinding. Dia semakin dibuat kesal karena Marko justru mengulas senyum kekanakan padanya, dan bukannya bergetar ketakutan. "Apa kelebihanmu dibandingkan aku, hah?! Sampai Eliz mau disentuh denganmu. Kau cuma kurir pengantar makanan. Bau dan miskin!" Charlie buru-buru melepaskan cengkeramannya dari baju Marko, dan berdecak jijik. Marko menarik sebelah alisnya ke atas, menilai Charlie yang baru saja merendahkannya dari atas sampai ke bawah. Dia ny
Eliz mengusap pelan milik Marko yang masih dilapisi celana. Dia sengaja menempelkan tubuhnya ke Marko. "Kau tampan juga. Masuklah, aku akan memuaskanmu," ucap Eliz menarik tangan Marko pelan memasuki apartemennya.Di saat kulit Marko bersentuhan dengan kulit lembut Eliz, dia merasa ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya. Dia jadi bertenaga, bahkan dia tak merasa lapar lagi padahal dia belum sarapan tadi."Kak Eliz, maksudku Nona Eliz, kau tinggal di apartemen ini sendirian?" tanya Marko ketika dia sudah duduk di sofa."Iya. Memangnya kenapa?" balas Eliz menutup pintu apartemen, lalu menyusul duduk di samping Marko.Eliz membiarkan tubuhnya tetap polos. Dia duduk di sofa dengan sengaja membuka kedua kakinya sehingga bagian di antara pahanya terekspos jelas."Tidak. Aku hanya penasaran saja." Marko bergerak tak nyaman di sofa. Celananya terasa sesak karena miliknya membesar dan menegang di bawah sana."Lebih baik aku pulang sekarang, Nona Eliz," ucap Marko hendak berdiri, tapi d
Lily pergi dari kamar Marko dengan kesal setelah Marko menolaknya mentah-mentah. Apa kurangnya dia? Jika dibandingkan dengan Stella, kakaknya, Lily tak kalah cantik. Bahkan tubuhnya lebih montok. Dan, dadanya juga lebih besar. Lily duduk di meja makan dengan muka merah padam. Bayangan kejantanan Marko tadi terus menghantui pikirannya. Dia tak pernah menduga jika Marko, kakak iparnya yang terkenal tak berguna itu ternyata menyimpan sesuatu yang sangat berharga. Padahal, selama ini Stella sering mengeluh tentang pernikahannya dengan Marko pada Lily. Termasuk Marko yang tidak bisa memuaskan Stella sama sekali dan mencukupi kebutuhan biologisnya. Namun, pandangan di kamar mandi tadi membantah segalanya. Marko jelas bisa memuaskan kakaknya, bahkan lebih dari itu. Atau jangan-jangan Stella justru belum tahu betapa milik Marko luas biasa perkasa. Lily menggigit bibir bawahnya, berusaha keras mengalihkan pikirannya. Tapi, bayangan milik Marko yang besar dan memancang terus muncul d
Lily Dawson, adik Stella yang masih kuliah itu berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan mata melebar. Pandangannya bertemu dengan mata amber Marko sejenak, lalu beralih ke milik Marko yang besar, panjang, dan berdiri tegak. Detik berikutnya, Lily baru tersadar dengan apa yang terjadi, lalu berteriak sangat keras. Sampai teriakannya memenuhi kamar mandi yang dia tempati, dan menggetarkan gendang telinga Marko."Arghh! Kak Marko, kau sungguh mesum!"Belum juga Marko berhasil menaikkan celananya, Lily berteriak kembali."Arghh!! Mommy!"Karena takut teriakan Lily membangunkan semua orang di rumah, dan membuat mereka salah paham pada Marko. Marko refleks membungkam mulut Lily dengan sebelah tangannya."Hush! Diam atau aku setubuhi kau," ancam Marko dengan menempelkan miliknya ke bagian belakang tubuh Lily. Tentu, dia tak serius dengan ucapannya. Dia hanya ingin menakut-nakuti Lily.Marko tak punya cara lain. Dia harus membuat adik iparnya itu tutup mulut. Melihat wajah cantik Lily mem