Share

27

Author: Meisya Jasmine
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

27

            Saat perjalanan menuju pulang, ponselku berdering. Cepat kuangkat. Ternyata nomor Ibu. “Halo,” ucapku sembari menenangkan diri agar tak terdengar gugup.

            “Ayu, kamu di mana? Sibuk nggak?” Suara Ibu terdengar begitu manis di telepon. Berbanding terbalik dengan sikapnya di masa lalu yang dingin dan kasar padaku.

            “Di rumah. Nggak sibuk, Cuma lagi beres-beres aja.” Tentu saja berbohong adalah keahlianku saat ini. Kulirik Mas Wisnu, lelaki itu hanya tertawa kecil sembari menggelengkan kepala.

            “Bisa minta tolong ke rumah sakit, Yu? Kasihan mbakmu. Dia kesepian. Dari pagi tadi kerjaannya hanya menangis saja. Suaminya juga tak kunjung pulang dari kantor. Ib

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Hasrat Seorang Ipar   28

    28 Melihat Mbak Mel menangis sesegukan, Mas Wisnu perlahan mulai berjalan mendekat ke arah kami. Ibu tampak jengkel, tetapi tak dapat berkata apa pun. Sedang aku memilih untuk melepaskan Mbak Mel dari pelukan. Mas Wisnu kini berada tepat di depan kami. Lelaki itu maju dan meraih tubuh Mbak Mel. Cepat aku beringsut dan memilih untuk duduk di sofa. Begitu pula Ibu, dia mengikuti gerakanku. “Maafkan Mas, Mel.” Mas Wisnu memeluk istri tuanya sembari menciumi kepala Mbak Mel. Lelaki itu terisak. Entah akting atau sungguhan, hal tersebut mampu membuatku merasa begitu cemburu. “Mas sibuk akhir-akhir ini. Mas juga stres dengan banyaknya masalah di kantor. Terlebih sikapmu menjadi pe

  • Hasrat Seorang Ipar   29

    29 Saat Mbak Mel telah tertidur pulas di atas ranjang pesakitannya, Ibu yang sedari tadi menunggu di luar, kususul dan membawanya untuk masuk ke dalam. Sekilas aku mencari keberadaan Mas Wisnu yang belum kunjung kembali. Kemana lelaki itu? Bukankah dia berjanji untuk menunggu di luar bangsal? Awas saja Mas Wisnu kalau kelayapan dan tak kembali. Besok akan aku omeli dia habis-habisan. Ah, tapi aku jadi tak yakin apa bisa mara betulan padanya. Secara, melihat senyuman manisnya saja aku sudah ingin menyerah. Apalagi dengar suara lembut penuh rayu. Meleleh langsung! “Dia sudah tidur, Yu?” tanya Ibu dengan wajah cemas. Wanita paruh baya itu tampak lelah dengan kantung mata yang semakin menghitam. “Sudah lumayan lelap sejak setengah jam lalu, Bu,&

  • Hasrat Seorang Ipar   30

    Tepat pukul 01.25 aku dan Ibu memutuskan untuk tidur setelah kami bercakap cukup panjang lebar. Namun, saat Ibu telah lelap dalam buaian mimpi, mataku tak kunjung dapat terpejam. Bayang Mas Wisnu terus menghantui.Di mana lelaki itu? Apakah dia tidur di rumah? Atau ada di luar sana?Aku bangkit dari tidur. Merogoh tas yang kuletakkan di sudut dekat kaki nakas. Mencari ponsel dan berniat untuk menghubungi Mas Wisnu.Saat aku melihat kontak WhatsApp-nya yang digunakan khusus untuk menghubungiku, lelaki itu sedang online. Maka, dengan kilat kutekan tombol panggilan suara.Sial, Mas Wisnu tengah berada di dalam panggilan lain. Kutekan tombol merah tanda memutuskan panggilan. Beberapa kalimat kuketik untuk menanyakan keberadaannya. Siapa juga yang sedang dia telepon malam buta begini? Bukankah nomor itu katanya hanya untuk menghubungiku?Beberapa saat kutunggu, tetapi tak kunjung ada balasan. Lelaki itu masih berada di dalam panggilan lain.Dada

  • Hasrat Seorang Ipar   31

    31 Tak terasa, kami telah bercengkrama selama kurang lebih satu jam lamanya. Malam semakin beranjak dan beberapa jam lagi fajar pun akan menyingsing. Mas Wisnu bagai segelas kafein yang membuat mata terjaga. Aku sama sekali tak merasa letih apalagi mengantuk, meski belum tertidur barang semenit pun. “Mas, aku kembali dulu ke dalam. Takut-takut Mbak Mel terbangun dan menanyakan ke mana aku pergi.” Aku beranjak dari duduk. Lagipula, nyamuk mulai berdatangan dan menggerayangi kaki serta telinga. “Oke, Dek. Mas di sini saja sampai pagi. Kalau Melani butuh sesuatu, telepon saja.” Mas Wisnu meraih tanganku saat kami akan berpisah. Tak disangka, pria itu mengecupnya dengan hangat.&

  • Hasrat Seorang Ipar   32

    32 “I-iya ....” Ucapan Mas Wisnu terbata. Langkahnya seperti enggan kala kembali ke arah kami. “Maaf, apakah kalian saling mengenal?” tanyaku sembari menelisik perempuan tinggi dengan tubuh bak model dan berwajah sangat cantik tersebut. Dagunya lancip dengan pipi tirus, berbibir penuh dan menggoda, bagai menggunakan filler. Aku sebagai wanita jadi minder sendiri. Terlebih, ketika tahu bahwa dia mengenal suamiku. Apa hubungan keduanya? “Tentu saja. Sebelum Wisnu menikah, kami berteman baik. Eh, sebentar. Istri Wisnu namanya Melani, bukan? Namun, yang kubaca di iklan itu owner dari Renjana adalah Rahayu. Ini yang namanya Mbak Rahayu, kan? Soalnya, seingat saya, Melani itu lebih tinggi dan tidak pakai hijab.” Perem

  • Hasrat Seorang Ipar   33

    33 Dengan debaran jantung yang belum stabil, aku bergegas masuk ke rumah dan menghambur pada Dewi serta Arifin yang sedang sibuk bekerja. “Yu, aku minta ma—” “Ssst! Lupakan!” cegahku pada Arifin dengan suara pelan sembari meletakkan telunjuk di depan bibir. Wajah lelaki itu tampak penuh penyesalan akibat perkataannya di depan Septi tadi. Namun, sekarang aku tak lagi mempermasalahkannya. Mungkin ini adalah sebuah pembuka langkah bagiku untuk menyibak tabir misteri yang melingkupi kehidupan Mas Wisnu. “Dew, tolong cepat cek followers Renjana di Instagram dengan nama Septi.” Aku memerintahkan Dewi yang tengah bekerja di depan layar laptopnya.

  • Hasrat Seorang Ipar   34

    34 Sambil menguatkan hati, aku segera membuka aplikasi Telegram yang semula memang telah terpasang pada gawai. Kupilih fitur secret chat dan menambahkan kontak Septi sebagai si penerima pesan. Berharap, percakapan rahasia ini tak dapat bocor serta disadap oleh siapa pun termasuk Mas Wisnu. [Mbak, ini aku, Ayu. Masalah Mas Wisnu. Apakah kalian sebelumnya memiliki sebuah hubungan spesial?] Langsung saja aku to the point tanpa berbasa basi lagi. Tak sabaran hati ini untuk menerima segala apa pun yang bakal perempuan tersebut ceritakan. Benar atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting dapat informasi dahulu, baru kemudian cross check. Tak berselang lama, pesan masu

  • Hasrat Seorang Ipar   35

    35 “Terima kasih, Aunty. Ayo, kita duduk.” Septi duduk sembari memangku bocah yang terus menatapku dengan senyuman lebar itu. Sesekali, bayi berusia empat bulan tersebut tertawa geli memperlihatkan gusinya yang masih tak bergigi. Aku masih sedikit syok. Dengan menguatkan diri, sebisa mungkin kusembunyikan rasa kaget yang begitu luar biasa. Kucoba untuk menatap ke arah Septi yang menenangkan Danendra yang terus ingin berdiri dan melonjak dari pangkuannya. Namun, hati ini ternyata begitu rapuh. Ada rasa sedih dan kecewa yang teramat dalam, hingga lelehan air mata ini entah mengapa tiba-tiba ingin mendesak keluar. Tahan, Ayu! Kamu harus kuat. Hadapi semua kenyataan, baik manis atau pahit sekalipun. “Hei, Danendra. Apakah mau Om Ar gendong? S

Latest chapter

  • Hasrat Seorang Ipar   66

    Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk

  • Hasrat Seorang Ipar   65

    Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku

  • Hasrat Seorang Ipar   64

    Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”

  • Hasrat Seorang Ipar   63

    Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik

  • Hasrat Seorang Ipar   62

    Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus

  • Hasrat Seorang Ipar   61

    Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak

  • Hasrat Seorang Ipar   60

    Bagian 60POV DimasSepanjang perjalanan pulang, satu-satunya yang kupikirkan hanya taktik tentang penaklukan gadis polos bernama Rahayu alias Ayu yang tak lain adalah adik dari istriku sendiri. Terbayang dalam benak ini, betapa bahagianya aku jika bisa menguasai rumah dengan luas tanah yang lumayan. Hei, apa kau tidak tahu jika harga tanah semakin hari tambah gila saja nominalnya? Bayangkan jika sertifikatnya berhasil digadai. Bayangkan dulu aja, deh. Berapa rupiah yang bakal masuk ke dalam kantong? Belum lagi sawah Melani. Duh, betul-betul jadi miliarder aku! Beruntung sekali aku punya tampang setampan ini, pikirku. Perempuan tolol banyak yang terpikat. Satu orang telah masuk perangkap dan satunya lagi tinggal menunggu waktu. Meski wajahnya terkesan judes dan tak ramah, tetapi aku yakin bahwa anak itu bakal mudah untuk ditaklukkan. “Mas, kamu kok melamun, sih? Mikirin apa?” tanya Melani membuyarkan lamunan.“Ah, enggak. Lagi mikirin besok enaknya usaha apa, ya?” jawabku mengad

  • Hasrat Seorang Ipar   59

    Bagian 59POV WisnuMelihat aku menangis, Septi yang sedari tadi telah menitikkan air mata pun, kini semakin menjadi guguannya. Betapa ajaibnya malaikat kecil yang baru saja hadir di tengah kami ini. Dia mampu membuat kerasnya hati dan ego runtub seketika. Menyatukan rekatan yang semula tercerai berai. “Sekarang kita jahit luka robekannya ya, Bu.” Suara bidan yang menolong persalinan Septi membuat kami sejenak menghentikan tangis haru.“Apa? Dijahit?” Aku syok. Panik sendiri. Setelah digunting, Septi kini harus kembali dijahit. “Iya, Pak. Biar rapi dan perdarahannya berhenti.” Bidan tersebut menjelaskan dengan sabar dan lembut. Meski tubuhnya tambun, wajahnya selalu saja tersenyum manis sehingga aura yang dia keluarkan begitu positif. Berbeda dengan rekannya yang lebih muda dan langsing tersebut. Jutek dan mudah terpancing. “Sep, kuat, ya.” Kuseka keringat yang membasahi kening dan pelipis Septi. Tangan perempuan itu memeluk tubuh bayinya yang sedang sibuk mengecap-ngecap dada si i

  • Hasrat Seorang Ipar   58

    Bagian 58POV Wisnu“Jangan sinting kamu, Sep! Oke, aku akan ke sana. Tolong jangan kau lakukan ide gilamu itu.” Aku benar-benar menyerah. Kini Septi menjelma bak malaikat maut yang siap mencabut 'nyawaku' kapan pun dia mau. Benar-benar perempuan jahanam! “Makanya, jangan sekali-kali kamu mempermainkanku, Wisnu. Kamu pikir, kamu bisa lepas dari jeratan? Tidak sama sekali!” Suara Septi penuh jemawa. Kemenangan mutlak kini berada di dalam genggamannya. Aku kini bagaikan sepotong boneka kayu yang ditali. Gerakanku sempurna dimainkan oleh Septi. Ke kanan dan ke kiri, pokoknya semau hati betina culas itu. Biadab!“Sudahi omong kosongmu, Sep. Simpan tenagamu untuk melahirkan. Aku akan ke sana setelah mengantarkan Melani. Harusnya kau menghubungi lebih cepat agar aku bisa langsung ke rumah sakit.” Kutoleh ke belakang, ternyata Melani masih berdiri bersandar di samping motor. Gadis itu tengah sibuk memainkan gawainya. “Aku juga tidak tahu bakal melahirkan hari ini, bodoh! Seharusnya HPL-ku

DMCA.com Protection Status