"Krish, bisa kita bicara?" Tanya Vidwan begitu memastikan pintu di belakangnya tertutup rapat. Krish tidak menjawab. Ia hanya melihat Vidwan sekilas lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Dengan langkah ringan, Vidwan mendekati Krish. Laki-laki itu tidak terlihat canggung sedikit pun meskipun tubuhnya tanpa busana."Aku terpikir membuat video juga." Ujar Vidwan yang langsung terdiam karena Krish terlihat sengaja mengabaikan dirinya. Vidwan mencoba bersabar meskipun Krish tidak juga segera merespons apa yang baru saja ia katakan. Krish memang terlihat sibuk dengan kameranya juga beberapa peralatan penunjang pemotretan. Entah, laki-laki itu memang sibuk sungguhan atau hanya berpura-pura sibuk. "Krish, aku mengajakmu bicara! Dari tadi!" Musnah sudah kesabaran yang dipupuk Vidwan. Krish telah menjelma menjadi sosok yang sangat menyebalkan."Aku mendengarkan." Jawab Krish dingin. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya, mengecek peralatan untuk pemotretan ilustrasi."Aku tidak hanya butuh dide
“Wow… wow…, apa-apaan ini?” Ola yang tetiba muncul dari balik pintu sukses mengejutkan Grisse, Vidwan, juga Krish. Sebagai ekspresi kesal karena adanya interupsi dari Ola, Krish dan Vidwan berdecak nyaris bersamaan. Sementara Grisse, tangan gadis itu sibuk menjangkau selimut untuk menutupi kembali tubuh polosnya.“Grisse?” Ola tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya begitu pandangannya menangkap sosok Grisse yang tengah duduk di atas ranjang. “Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Ola penuh rasa ingin tahu. Grisse tidak menjawab. Gadis itu justru menundukkan pandangannya, seolah malu karena tepergok Ola dalam kondisi telanjang di depan dua pria.“Siapa kamu?” Tanya Vidwan dengan suara keras. Ola kemudian mengalihkan pandangannya pada sosok Vidwan yang juga tanpa pakaian.“Bukankah kamu…” Ola tanpa sadar mengacungkan telunjuknya pada Vidwan. Ia sedang mencoba mengingat sosok laki-laki di hadapannya. Yang seolah tidak malu menunjukkan dirinya yang tanpa busana.“Ah, Anda Guru Vidwan y
"Aku ingin royalti diberikan selama bukumu dikontrak penerbit." Ola membuat keputusan sendiri karena Vidwan tak kunjung memberi kepastian."Penerbit tidak memberi batasan waktu.” Jawab Vidwan dengan menunjukkan ketidaksukaannya pada Ola. “Kalau begitu bagus.” Sambar Ola dengan mata berbinar. Terbayang di benaknya, berapa banyak uang yang akan dia hasilkan dari kerja samanya dengan Vidwan.“Tidak ada yang bagus. Aku yang mengendalikan semuanya, Ola. Bukan kau!” Vidwan mengarahkan telunjuknya pada Ola. Ola berdecak sebagai bentuk protes. “Terserah!” Jawab Ola sambil kemudian beranjak dari duduknya. Bernegosiasi dengan orang pelit seperti Vidwan memang membuang waktu dan tenaga. Ola berpikir bahwa lebih baik ia pergi menemui Krish dan meminta pekerjaan pada laki-laki itu. Siapa tahu, ketika mereka kembali terlibat dalam satu sesi pemotretan, Ola bisa menggoda Krish sehingga laki-laki itu akan kembali ke pelukannya.“Tunggu!” Suara Vidwan langsung menghentikan langkah Ola. Wanita itu ke
“Ada apa, Krish?” Tanya Grisse sambil mengubah posisinya menjadi miring ke kanan, menghadap arah kedatangan Krish. Krish tidak menjawab. Ia memilih untuk melempar tatapan pada Grisse dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan.“Krish?” Ulang Grisse. Kali ini gadis itu sudah tidak lagi berbaring. Ia perlahan turun kemudian mendekati sosok laki-laki tampan yang masih menatapnya intens.“Hey.” Grisse menelengkan kepalanya kemudian kedua tangannya menyentuh lengan Krish lembut."Ada yang ingin kau bicarakan?" Lanjut Grisse. Tidak ada raut risih di wajah gadis itu tatkala Krish memindai tubuhnya beberapa kali."Jadilah milikku, Grisse." Bisik Krish yang kontan membuat Grisse mengerutkan kening."Kenapa?" Grisse tidak tahu apakah ia melempar kata tanya yang tepat untuk kalimat Krish."Besok aku akan mengantarmu untuk membatalkan pernikahanmu dengan Vidwan." Jawab Krish sambil menahan pandangan pada sepasang manik indah Grisse."Vidwan sudah mau melepaskanku?" Tanya Grisse setengah tidak p
“Aku minta maaf.” Krish mengulangi kalimatnya. Kali ini Grisse sengaja memalingkan wajahnya, enggan untuk merespons Krish."Aku ingin mandi. Gerah." Ujar Grisse sambil mundur satu langkah untuk menghindari Krish yang tengah menyasar ceruk lehernya. Krish sengaja berdecak dengan suara keras sebagai ekspresi kesal. Bukan kesal pada Grisse, tapi lebih pada dirinya sendiri. Krish merutuk dirinya yang telah salah memulai interaksi dengan Grisse tadi. “Aku akan mengantarmu.” Tawar Krish sambil meraih tangan Grisse. Dengan cepat, gadis itu mengibaskan tangannya.“Tidak perlu.” Tolak Grisse kemudian meninggalkan Krish yang masih berdiri di tempatnya. Krish melihat Grisse berjalan menuju kamarnya dengan langkah tergesa. Beberapa saat setelah sosok Grisse menghilang di balik pintu kamar yang tertutup, Krish berinisiatif menyusul Grisse ke kamar mandi. Ia berpikir bahwa mungkin jika mereka mandi bersama, Grisse tidak akan marah padanya lagi.Krish membuka pintu kamarnya. Dari arah kamar mandi,
“Aku akan memasang kamera dulu. Kau bersiap-siaplah.” Pinta Krish pada Grisse yang masih memandangi lembaran kertas dengan serius.“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Grisse sambil mengangkat bahu. Krish tertawa karena baginya pertanyaan Grisse terdengar lucu.“Merias diri mungkin? Atau kau ingin menata rambutmu?” Ternyata Krish kesulitan juga mendeskripsikan instruksinya sendiri. “Kau tidak melakukan apa pun, bagiku tidak masalah karena aku suka dirimu yang apa adanya.” Bisik Krish sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Grisse. Grisse mengangguk perlahan.“Baguslah karena aku tidak bisa merias diri.” Jawab Grisse sambil menyugar rambutnya beberapa kali. Krish tersenyum menanggapi kalimat Grisse. Ia kemudian kembali berkutat dengan kamera serta penyangganya. Krish menggerakkan kamera beberapa kali guna memperoleh posisi yang tepat untuk kameranya merekam aktivitasnya dan Grisse di atas tempat tidur.“Sempurna.” Ujar Krish dengan helaan napas lega karena akhirnya ia berhas
“Kau siap?” Tanya Krish sambil menyentuh tangan Grisse perlahan. Yang ditanya hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tetiba, Grisse diserang rasa gugup yang teramat mengganggu dirinya. Terlebih ketika bayangan akan percintaan yang panas dan penuh gairah dengan Krish beberapa kali berkelebat dalam benaknya. “Krish, apa kau merasa gugup?” Tanya Grisse sambil menatap lurus ke arah netra Krish. Laki-laki itu langsung menggeleng.“Kau gugup?” Krish balik bertanya. Grisse mengangguk.“Kenapa?” “Entahlah.” Grisse tidak yakin dengan dirinya.“Kau memikirkan sesuatu?” Tanya Krish dengan kerlingan menggoda. Grisse kembali mengangguk.“Aku membayangkan kita….” Grisse tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Gadis itu menunduk karena tersipu.“Kita bercinta lebih hebat dari sebelumnya.” Tebak Krish yang diikuti anggukan lemah Grisse. Krish langsung memeluk Grisse. Merengkuh kepala gadis itu dalam dekapannya. Krish akui ia juga gugup. Ia juga mempunyai pikiran yang sama dengan Grisse. Meskipun ini
Grisse memilih melangkah menjauhi tempat tidur. Gairah yang tadinya menggebu, kini langsung sirna begitu ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan akan berpisah dengan Krish. Dengan tubuh polosnya, Grisse melangkah menuju dinding kaca yang terbuka tirainya. Pandangannya langsung tertuju pada bangunan hotel yang berada tepat di depannya. Di hotel itulah, Grisse dan Vidwan bercinta dengan disaksikan banyak pasang mata. Grisse tersenyum sinis, juga miris, jika teringat betapa bodohnya dia. Mau saja menurut demi memuaskan fantasi gila Vidwan.Krish yang memilih untuk tetap duduk di tepian ranjang, tidak juga mau melepas pandangan dari sosok Grisse. Krish tahu pikiran Grisse sedang kalut. Sekalut pikiran Krish sendiri, tapi Krish tidak mau berlarut-larut dalam mengikuti pikirannya. Prinsipnya, selama belum terjadi, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan Krish ingin sekali Grisse juga bisa mempunyai pikiran seperti itu. Setelah beberapa saat berlalu tanpa aktivitas yang berarti, Krish kem
“Pagi!” Sapa Krish ketika Grisse membuka kedua matanya perlahan. Grisse menjawab kemudian menggeliat, mencoba meregangkan tubuhnya yang terasa pegal luar biasa. “Kau pasti kelelahan.” Imbuh Krish sambil memandang penuh ketertarikan pada wajah Grisse. Satu tangan laki-laki itu bergerak perlahan, menyingkirkan anak rambut dari wajah khas bangun tidur sang kekasih. Grisse tersenyum kemudian mengangguk. Bagaimana tidak kelelahan jika sepanjang malam mereka sibuk bergulat di atas ranjang. Bagi Grisse, Krish seperti menggila tadi malam. Stamina laki-laki itu mendadak menjadi luar biasa. Padahal Grisse seratus persen yakin bahwa Krish tidak mengonsumsi apa pun sebelumnya. Tidak ada jenis makanan afrodisiak dalam menu makan malam mereka kemarin. Krish juga terkesan enggan membiarkan waktu berlalu begitu saja, terbuang percuma istilahnya. Dan yang terpenting dari semuanya, dari semua kenangan indah yang diciptakannya bersama Krish tadi malam adalah perasaan Grisse. Ya, Grisse merasa senang b
Grisse menatap sedih bangunan rumah Krish yang setiap sudutnya dikenalnya dengan baik. Tidak, bukan hanya baik tapi bisa dikatakan sangat baik. Rumah Krish telah menjelma menjadi tempat terfavorit bagi Grisse sehingga ada rasa tidak rela ketika ia mendapati kenyataan bahwa dirinya akan segera meninggalkan rumah itu.Krish yang telah melepas sabuk pengamannya, melihat ke arah Grisse yang sedari tadi sangat irit bicara. Gadis di sampingnya itu terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sangat kentara jika pikirannya tengah berkecamuk saat ini. “Ada apa?” Pertanyaan Krish membuat Grisse menoleh. Gadis itu mengerjap beberapa kali, berusaha menahan bulir bening yang telah menggenang di kelopak matanya, sebelum akhirnya menggeleng. Krish ingin kembali bersuara, tapi urung ketika Grisse dengan gerakan cepat melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.“Kurasa kopermu tidak perlu diturunkan.” Saran Krish ketika tangan Grisse telah menyentuh pintu bagasi. “Aku membutuhkan beberapa pakaian unt
Grisse tidak menggubris pertanyaan Krish. Gadis itu lebih memilih mengepak barang-barangnya dengan cepat. Beruntung, barang yang dimiliki Grisse tidak terlalu banyak. Sejak awal sebelum berangkat, Grisse memang bertekad untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berusaha seefisien mungkin. Berusaha menyediakan seluas mungkin ruang kosong dalam kopernya. Semua itu dilakukan Grisse agar ia bisa membawa buku-buku yang dibelinya selama menjadi peserta program pertukaran mahasiswa. Sementara Krish, laki-laki itu yang sangat tahu jika dirinya diabaikan oleh Grisse, akhirnya lebih memilih untuk mengamati Grisse berkemas. Diam-diam, Krish memuji kepiawaian Grisse dalam mengepak barang-barangnya yang bisa muat dalam satu koper besar. Krish menjadi sangat tertarik ketika Grisse melipat kaos-kaosnya menjadi super kecil hingga kemudian dijejalkan di sela-sela barang lainnya. Krish sempat menahan napas ketika dengan susah payah Grisse akhirnya berhasil menutup koper dan menguncinya.“Hah….” Hel
Grisse masih bergeming. Pertanyaan Aditi jelas membuatnya tersudut. Di saat seperti ini, Grisse sangat berharap Vidwan buka suara untuk mengklarifikasi semuanya. "Grisse…." Hati-hati, Aditi memanggil nama Grisse sambil menyentuh punggung tangan gadis itu lembut. Aditi terlihat sangat tegang. Sangat kentara jika Aditi sebenarnya juga takut mendengar jawaban Grisse. Antara takut dan tidak siap, tepatnya."Oh, itu…." Grisse berusaha menjawab dengan suara sejernih mungkin. Sedikit saja terdengar getar dalam suaranya akan membuat Aditi curiga. Grisse sengaja menggantung kalimatnya, berusaha mengulur waktu. Gadis itu sibuk memutar otak untuk menemukan jawaban yang menurutnya terbaik."Aku tidak tahu. Aku hanya diminta mengantarkannya ke kantor Pencatatan Pernikahan." Tanpa Grisse dan Aditi duga, Vidwan akhirnya buka suara. Sayangnya, Grisse justru tidak suka mendengar jawaban Vidwan.Sialan!Berengsek!Serta berbagai kata makian lainnya, Grisse tujukan pada Vidwan meskipun dalam hati.Adit
“Krish… kau sudah siap?” Tanya Grisse dari arah meja makan. Gadis itu sudah rapi dalam balutan kemeja warna putih dengan rok pensil berwarna hitam sebatas lutut. Sebuah blazer berwarna senada dengan rok diletakkan Grisse pada salah satu sandaran kursi makan. Krish menyahut sambil menuruni anak tangan dengan setengah berlari.“Kemeja dan dasi?” Tanya Grisse keheranan melihat penampilan Krish. Tidak biasanya Krish bekerja dengan “kostum” seperti ini: Kemeja lengan panjang polos berwarna putih tulang yang terlihat serasi dengan dasi motif garis dengan warna dasar abu tua. Celana hitam dari bahan kain dengan bekas lipatan berupa garis vertikal di bagian depan celana membuat penampilan Krish sempurna. Penampilan Krish ini tentu saja berbanding terbalik dengan kebiasaan laki-laki itu. Andalan Krish, untuk urusan pakaian kerja, biasanya adalah kaos hitam dipadu dengan kemeja motif kotak dari bahan flanel yang tidak dikancingkan serta celana jin.“Ada apa dengan… penampilanmu, Krish?” Pertany
“Hey, kau sudah bangun?” Sapa Krish, tepat ketika Grisse menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Grisse menjawab pertanyaan Krish dengan senyuman disertai anggukan pelan.“Hai, Krish.” Balas Grisse sambil menatap sosok Krish yang sedikit berkeringat. Bulir-bulir keringat tampak meleleh dari kening Krish.“Selamat pagi, Sayang.” Sapa Krish. Laki-laki itu kemudian menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. “Selamat pagi. Ke marilah, Krish.” Pinta Grisse sambil menepuk sisi kanan tubuhnya. Krish menurut. Perlahan, ia melangkah mendekat ke arah Grisse. Ekspresi wajah Krish penuh tanya. Ia memang penasaran dengan permintaan Grisse untuk mendekat pada gadis itu.“Beri aku pelukan selamat pagi, Krish.” Lanjut Grisse sambil merentangkan kedua lengannya, menyambut Krish ke dalam pelukannya. “Tentu, tapi maaf aku sangat berkeringat.” Balas Krish sambil membungkuk sekaligus mencondongkan tubuhnya.“Tidak masalah. Aku juga baru bangun tidur. Tubuhku pun masih bau.” Grisse ber
Grisse memperlihatkan kekecewaan di wajahnya dengan teramat jelas. Pertanyaan yang baru saya ia lontarkan hanya dijawab dengan gelengan cepat Krish. Laki-laki itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Grisse. Krish lebih suka menyimpan semuanya sendiri, menjadikannya rahasia yang akan dijaganya sampai batas waktu yang tidak Grisse ketahui.“Krish….” Desis Grisse sambil mencoba peruntungannya satu kali lagi. Dan sayangnya, Krish juga masih teguh dengan pendiriannya.“Aku tidak merencanakan apa pun.”Bohong! Kau pasti merencanakan sesuatu, Krish!Napas Grisse berubah tersengal. Ia seolah baru selesai melontarkan kalimat makian pada Krish. Padahal kenyataannya, kemarahan Grisse tidak pernah ia luapkan. Grisse hanya mampu marah dalam hati. Sudut terkecil hatinya mengatakan bahwa Krish pasti punya alasan untuk tidak mengatakan apa pun. Kejutankah?Krish pasti tahu bahwa Grisse sangat menyukai kejutan, tapi kejutan seperti apa yang akan diberikan Krish kali ini? Seandainya memang benar
“Mencariku?” Tanya Grisse dengan wajah semringah. Sepasang bibir gadis itu membentuk lengkung sempurna. Melukiskan senyum yang secara instan membuat wajah manisnya terlihat semakin manis. Laki-laki yang disapa Grisse dengan sebuah pertanyaan singkat itu sontak menoleh ke arahnya. “Tentu saja!” Jawab Krish lantang. Seolah enggan didahului detik yang akan berlalu, Krish segera mendekati Grisse yang berdiri tidak jauh darinya.“Bagaimana, apa jadwal presentasimu sudah keluar?” Tanya Krish sambil melingkarkan lengannya ke pinggang Grisse. Grisse memandangi tangan Krish yang telah mendarat di pinggangnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Krish lalu menyingkirkannya dari tempatnya semula.“Kita di tempat umum, Krish.” Bisik Grisse dengan suara lembut namun tegas. Krish hanya nyengir kuda. “Aku tidak peduli. Justru aku ingin mereka tahu tentang hubungan kita.” “Jangan konyol, Krish. Aku tidak ingin membuat seluruh kampus heboh.” Grisse mulai menekuk wajahnya. Gadis itu kesal. Grisse tidak
"Aku harus bertemu Vidwan!" Ujar Grisse dalam gerakan bibir yang teramat samar. Gadis itu kemudian membawa langkahnya menyusuri koridor yang menghubungkan seluruh ruangan dalam gedung kampus tersebut. Langkahnya mantap, semantap pendiriannya untuk menuntaskan apa yang mengganjal dalam hatinya setelah mendengar percakapan Krish dengan Vidwan tadi. Sebelumnya, Grisse memang sudah bertekad untuk mengakhiri semua hal yang berhubungan dengan Vidwan. Ia merasa harus menyudahi semua kisah yang melibatkan Vidwan di dalamnya. Grisse hanya tidak ingin bayangan Vidwan akan mengikutinya terus hingga ia tiba di negara asalnya.Ya, Grisse akan segera meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Program yang diikutinya hampir berakhir dan tidak lama setelahnya izin tinggalnya juga akan habis masa berlakunya. Hal-hal itulah yang membuat Grisse membulatkan tekadnya untuk menemui Vidwan. Kau adalah masa lalu! Kalimat itu terus-menerus didengungkan oleh Grisse. Sudah seperti merapal mantra saja bagi Gri