Latihan akan dimulai lima menit lagi, tapi Vidwan belum juga bersiap. Ia masih mengenakan pakaian yang dipakainya mengajar. Kaos beserta celana pendeknya masih terlipat rapi dan tergeletak di atas meja. Matras yoganya juga masih tergulung, belum dibentangkan. Ia menolak ketika Grace menawarkan diri untuk menyiapkan matras miliknya.
Beberapa peserta yang sudah datang dan siap mengikuti latihan memandanginya heran. Tidak biasanya sang guru belum siap. Vidwan tidak peduli dengan pandangan penuh tanya seluruh peserta yang hadir. Banyak dari anggota Klubnya berasal dari luar kampus. Mereka mengikuti sesi latihan bersama Vidwan karena kagum dengan sosoknya.
Vidwan gelisah seperti ini karena sedang menunggu Grisse. Ia sangat khawatir Grisse urung hadir latihan sehingga kunjungan gadis itu ke apartemen miliknya juga batal. Kini, Vidwan menyadari bahwa ia telah mengatakan hal bodoh pada Grisse tadi. Secara terang-terangan Vidwan meminta Grisse menginap. Ia berdalih bahwa beberapa koleksinya adalah buku-buku langka yang sudah tidak ada di toko buku. Bahkan di perpustakaan universitas termasuk dalam koleksi khusus yang aksesnya sangat terbatas. Vidwan sampai harus mengarang kebohongan lainnya ketika Grisse mengatakan keberatannya. Gadis itu seolah menuntut janji Vidwan yang mengatakan akan meminjamkan buku yang diperlukan.
“Aku minta maaf telah membuatmu salah paham. Aku memang tidak keberatan untuk meminjamkan buku-bukuku, Grisse tapi tidak untuk dibawa keluar dari apartemenku.”
Vidwan sengaja memasang tampang menyesal sambil berharap Grisse berubah pikiran.
“Tapi, Sir….” Nada ragunya terdengar sangat jelas, tapi Vidwan tidak peduli. Yang Vidwan pedulikan saat ini adalah bagaimana membuat Grisse datang ke apartemennya sehingga ia bisa melancarkan aksinya. Vidwan sadar bahwa ia tak ubahnya seperti predator lapar yang kurang sabar dalam mengejar buruan. Namun lagi-lagi, Vidwan tidak peduli dengan itu. Vidwan hanya menginginkan Grisse datang ke apartemennya.
“Guru, apakah Anda baik-baik saja?” Pertanyaan Grace, mahasiswi yang ditunjuknya menjadi manajer klub, membuyarkan kecamuk pikiran Vidwan.
“Ya, aku baik-baik saja Grace. Thanks. Latihan akan kita mulai lima menit lagi. Pandulah orang-orang untuk melakukan pemanasan terlebih dulu.”
Grace tampak lega mendengar apa yang dikatakan Vidwan. Setelah mengangguk, Grace kemudian berlalu pergi dari hadapan Vidwan.
Tepat ketika Vidwan hendak melangkah menuju ruang ganti pakaian, Terdengar suara derit yang dihasilkan dari pintu kaca yang dibuka perlahan. Vidwan langsung menoleh. Dan seketika wajahnya semringah ketika mendapati sosok yang baru saja melangkah melewati pintu masuk aula tempat latihan yoga.
“Sorry, I am late.”
Again.
Vidwan tersenyum mendengar kalimat Grissse. Hari ini sudah dua kali gadis itu terlambat hadir. Terlintas dalam benak Vidwan bahwa ia akan menghukum Grisse nanti, di apartemennya.
“Apa kau tidak tahu kapan latihan yoga dijadwalkan?” Grace menyambut Grisse dengan pertanyaan yang sudah pasti tujuannya untuk menyindir. Grisse bergeming beberapa saat hingga akhirnya ia menjawab pertanyaan Grace.
“Aku tidak punya matras sehingga aku pergi untuk membelinya dulu.”
“Mahasiswa baru?” Tanya Grace lagi. Grisse mengangguk.
“Dasar bodoh. Seharusnya kamu membaca panduan yang dilampirkan bersama kartu anggota klub.” Grace terlihat kesal. Grisse mengerjap mendengar kalimat Grace. Ia sama sekali tidak tahu apa yang Grace maksud.
Grace terlihat akan melanjutkan bicaranya, namun dengan cepat Vidwan memotong. Ia bermaksud menengahi kesalahpahaman ini. Vidwan ingin sekali memarahi Grace. Gadis itu selalu ketus pada semua orang. Seandainya Vidwan punya pilihan lain, tentu ia tidak akan menunjuk Grace sebagai manajer klub. Sebagai manajer klub seharusnya ia tidak bersikap demikian. Sikapnya bisa membuat orang-orang yang ingin ikut latihan yoga mengurungkan niat atau kabur. Dan sangat mungkin Grace membuat mereka membatalkan keanggotaan.
“Grace, tolong pimpin semua orang latihan hari ini. Aku akan bicara dengan Grisse.”
Melalui kode berupa anggukan, Vidwan meminta Grisse mengikutinya. Mereka menuju sebuah ruangan yang di bagian atas pintu terdapat tulisan coach.
“Duduklah.” Vidwan mempersilakan Grisse duduk di salah satu kursi dalam ruangan itu. Setelah Grisse duduk, Vidwan mengubah posisi kursi lainnya menjadi berhadapan dengan Grisse. Vidwan sengaja memberi sedikit jarak antara kursinya dengan Grisse. Alhasil, ketika Vidwan duduk, kedua lututnya menyenggol lutut Grisse.
“Sorry, Sir.” Grisse segera beranjak. Ia bermaksud memundurkan kursinya, namun gerakannya seketika terhenti. Grisse meringis kesakitan sambil memegangi kaki kanannya.
"Aahh…." Grisse menjerit sambil berusaha menahan sakit. Vidwan segera beranjak sambil menatap Grisse cemas. Tangan kanannya secara refleks menyentuh punggu tangan Grisse.
"Kenapa?"
"Kaki kanan saya kram, Sir."
Dengan sigap Vidwan membimbing Grisse untuk duduk di lantai sambil meluruskan kedua kakinya. Ia kemudian ikut duduk dengan menghadap Grisse. Perlahan Vidwan menyentuh kaki kanan Grisse, mencoba mencari bagian yang kram. Grisse meringis tatkala Vidwan memijat pelan betisnya.
"Sakit, Sir." Grisse berusaha menahan tangis. Vidwan duduk bersila. Ia mengangkat kaki kanan Grisse dan meletakkannya ke atas.
"Jangan, Sir." Tolak Grisse sambil berusaha menurunkan kakinya. Sialnya, rasa sakit menyerangnya lagi. Grisse pun menangis kali ini.
"Sir." Panggil Grisse sambil merintih.
"Maaf, saya tidak sopan"
"Jangan menganggap ini tidak sopan. Kamu kesakitan dan butuh bantuan."
Vidwan memegangi pergelangan kaki dan ujung telapak kaki Grisse. Dalam gerakan perlahan Vidwan menegakkan telapak kaki Grisse. Grisse merasa otot kakinya seperti ditarik, tapi ia tidak merasakan sakit. Justru rasa nyaman hadir menggantikan rasa sakit. Grisse mulai tersenyum. Ia lega karena rasa sakit di kakinya berangsur hilang.
"Bisakah kamu menahan ujung jari kakimu?" Vidwan melepaskan pegangannya pada telapak tangan Grisse setelah gadis itu mengangguk. Vidwan kemudian meraba betis Grisse. Jantungnya berdetak lebih cepat tatkala jemarinya bersentuhan dengan kulit mulus Grisse.
"Sakit?" Tanya Vidwan sambil menekan-nekan perlahan beberapa titik di betis Grisse. Grisse sesekali mengangguk ketika bagian yang sakit ditekan Vidwan. Jemari Vidwan kemudian kembali meraba kaki Grisse. Kali ini sentuhannya bergerak naik sampai ke paha Grisse. Vidwan meraba bagian belakang paha Grisse. Dirasakannya otot yang kaku dan tegang.
"Ototnya tertarik sampai ke pangkal paha." Vidwan meraba paha Grisse. Grisse bergerak kikuk karena sebuah rasa asing menghinggapinya. Grisse belum pernah merasakan ini sebelumnya.
"Kenapa?" Vidwan menatap Grisse lekat.
"Tidak ada apa-apa, Sir."
"Kau terlihat tidak nyaman."
Grisse menggeleng. Ia malu mengatakan tentang rasa asing tersebut. Vidwan berusaha menahan senyum. Ia tahu apa yang tengah dirasakan Grisse.
"Sebaiknya kita ke apartemenku sekarang." Vidwan beranjak untuk mengemasi beberapa benda miliknya. Setelahnya, ia keluar dari ruangan dan kembali tidak lama kemudian.
"Ayo, kita ke apartemenku. Kamu sudah mampu berjalan atau aku minta seseorang untuk mengantar kita.
"Saya bisa berjalan, Sir." Grisse beranjak perlahan. Vidwan membantunya berdiri sambil memegangi bagian atas tubuhnya. Tangan Vidwan yang terselip di antara dada bagian samping dan lengan Grisse tanpa sengaja menyentuh payudara gadis itu. Grisse merona karena malu. Lagi-lagi rasa asing itu muncul lagi.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyentuhnya." Vidwan melepaskan tangannya dari dada Grisse dan berpindah ke pinggang gadis itu.
"Tidak apa-apa, Sir." Grisse berusaha maklum. Ia tidak mungkin mencurigai Vidwan mengambil kesempatan untuk melecehkannya.
"Saya kembali ke asrama saja, Sir." Grisse berusaha menunjukkan bahwa ia sudah membaik, namun Vidwan menolak. Ia merasa bahwa kaki kram Grisse bisa kembali kambuh.
"Kita ke apartemenku karena aku akan merawatmu." Kalimat Vidwan lebih terdengar seperti perintah yang tidak boleh dibantah.
"Apakah Anda memang baik pada semua mahasiswa, Sir?" Ragu-ragu Grisse bertanya. Sesekali ia melirik Vidwan yang tampak sibuk merapikan satu-satunya meja dalam ruangan.
"Aku hanya baik padamu." Vidwan menatap Grisse tanpa berkedip.
"Kenapa? Jika berikutnya kata itu yang muncul dalam benakmu maka jawabannya karena aku ingin kita dekat."
***
Aku dan Guru Vidwan hendak keluar dari ruangan pelatih. Sebelum akhirnya kami memutuskan untuk keluar ruangan, Vidwan memintaku untuk memanggilnya dengan nama saja, tanpa embel-embel guru. Aku mengangguk tanda setuju, tapi nyatanya beberapa kali aku masih saja memanggilnya Guru Vidwan."Guru, kumohon biarkan aku memanggil Anda seperti itu khususnya bila kita di keramaian."Vidwan melangkah mendekatiku, "Oke, tapi ketika kita hanya berdua kamu harus memanggilku Vidwan."Aku tersenyum sambil mengangkat tangan dengan dua jemari teracung membentuk huruf V, “Janji!”Vidwan terkekeh perlahan kemudian menunduk. Ia mendekatkan wajahnya ke ujung jemariku yang teracung.“Cup!” Bunyi kecupan singkatny
"Grisse!" Suara Vidwan yang memanggil dari arah kamar membuat Grisse terlonjak. Refleks gadis itu memegangi dadanya yang berdebar hebat. Ia benar-benar terkejut mendengar panggilan Vidwan yang tiba-tiba. Tak berselang lama, Vidwan mengulangi panggilannya sekali lagi. Kali ini Grisse segera beranjak dari duduknya. Dengan sedikit bergegas, Grisse melangkah menuju kamar Vidwan. Diketuknya pintu kamar satu kali dan segera Grisse mendengar suara Vidwan dari dalam untuk menyuruhnya masuk."Sir." Panggil Grisse sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu."Masuklah!" Suara Vidwan terdengar dari sudut yang dekat dengan pintu kamar. Sepertinya di balik pintu itu kamar mandi karena Grisse bisa mendengar suara gemericik air yang perlahan menghilang. Grisse menurut. Ia melangkah masuk kemudian menutup pintu kamar perlahan. Grisse memilih diam mematung di temp
Grisse mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Untuk beberapa saat ia bergeming, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Otaknya sibuk bekerja, berpikir keras dan sesekali melakukan penyangkalan tatkala memikirkan pertanyaan, atau tepatnya permintaan, dari Vidwan. Grisse masih tidak percaya bila sang guru dengan gamblang dan tanpa ragu meminta apa yang selama ini ia jaga.Kehormatannya.Kesuciannya.Mahkotanya.Kegadisannya.Ya Tuhan….Selama ini orang tuanya, terutama sang ibu, selalu berpesan padanya agar tidak sekali pun tergoda pada rayuan lelaki. Tergoda rayuan yang memintanya menyerahkan keperawanan. Grisse menjerit dalam hati. Dipanggilnya ibu
Vidwan berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia tinggalkan terbuka. Ya, Vidwan memang sengaja melakukan itu karena jika ia menutup pintu kamarnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintip Grisse ketika gadis itu sedang berganti pakaian. Vidwan kembali teringat tubuh polos Grisse tadi. Ia masih mengingat dengan baik tiap jengkal tubuh gadis itu. Bahkan kedua tangannya pun, ia sangat yakin, masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah dilakukannya tadi. Ya Tuhan, hati kecil Vidwan protes dengan kelakuannya yang tidak senonoh. Mengintip. Betapa ia telah melakukan hal gila. Selain gila, tentu saja yang Vidwan lakukan itu juga hina. Namun, Vidwan tidak peduli. Ia benar-benar tergila-gila pada Grisse. Benar saja, mendapati Grisse menanggalkan jubah mandinya dan memperlihatkan kembali tubuh polosnya, Vidw
“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya
“Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya.” Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun t
Vidwan tertegun beberapa saat. Ia merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.Benarkah apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya?Benarkah Grisse menuntut yang lebih lagi?Benarkah itu yang dikatakan Grisse?Benarkah?Benarkah?Kepala Vidwan dipenuhi berbagai pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk dirinya sendiri.Vidwan berdeham untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Grisse."Vidwan…." Panggilan Grisse membuat Vidwan tanggap. Untuk sesaat ia menghentikan gerakan tangannya."Iya, Grisse."
Vidwan sempat terheran-heran melihat ekspresi wajah Grisse yang meskipun hanya menunjukkan seulas senyum tipis, tapi Vidwan tahu bahwa hati Grisse sedang berbunga-bunga.Tentu saja.Gadis mana yang tidak berbunga-bunga jika seorang laki-laki dengan latar belakang seperti Vidwan telah melamarnya. Seorang dosen yang sudah jelas pintar serta tampan. Benar-benar kombinasi dambaan Grisse.Ya, Vidwan telah melamar Grisse. Tak tanggung-tanggung, laki-laki dengan usia yang terpaut dua puluh tahun dengan Grisse itu baru saja memintanya untuk menjadi istrinya.Ya, bukan menjadi kekasih atau pacar, tapi istri.Bukankah kedudukan seorang istri lebih baik daripada kekasih?Tentu saja.
“Pagi!” Sapa Krish ketika Grisse membuka kedua matanya perlahan. Grisse menjawab kemudian menggeliat, mencoba meregangkan tubuhnya yang terasa pegal luar biasa. “Kau pasti kelelahan.” Imbuh Krish sambil memandang penuh ketertarikan pada wajah Grisse. Satu tangan laki-laki itu bergerak perlahan, menyingkirkan anak rambut dari wajah khas bangun tidur sang kekasih. Grisse tersenyum kemudian mengangguk. Bagaimana tidak kelelahan jika sepanjang malam mereka sibuk bergulat di atas ranjang. Bagi Grisse, Krish seperti menggila tadi malam. Stamina laki-laki itu mendadak menjadi luar biasa. Padahal Grisse seratus persen yakin bahwa Krish tidak mengonsumsi apa pun sebelumnya. Tidak ada jenis makanan afrodisiak dalam menu makan malam mereka kemarin. Krish juga terkesan enggan membiarkan waktu berlalu begitu saja, terbuang percuma istilahnya. Dan yang terpenting dari semuanya, dari semua kenangan indah yang diciptakannya bersama Krish tadi malam adalah perasaan Grisse. Ya, Grisse merasa senang b
Grisse menatap sedih bangunan rumah Krish yang setiap sudutnya dikenalnya dengan baik. Tidak, bukan hanya baik tapi bisa dikatakan sangat baik. Rumah Krish telah menjelma menjadi tempat terfavorit bagi Grisse sehingga ada rasa tidak rela ketika ia mendapati kenyataan bahwa dirinya akan segera meninggalkan rumah itu.Krish yang telah melepas sabuk pengamannya, melihat ke arah Grisse yang sedari tadi sangat irit bicara. Gadis di sampingnya itu terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sangat kentara jika pikirannya tengah berkecamuk saat ini. “Ada apa?” Pertanyaan Krish membuat Grisse menoleh. Gadis itu mengerjap beberapa kali, berusaha menahan bulir bening yang telah menggenang di kelopak matanya, sebelum akhirnya menggeleng. Krish ingin kembali bersuara, tapi urung ketika Grisse dengan gerakan cepat melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.“Kurasa kopermu tidak perlu diturunkan.” Saran Krish ketika tangan Grisse telah menyentuh pintu bagasi. “Aku membutuhkan beberapa pakaian unt
Grisse tidak menggubris pertanyaan Krish. Gadis itu lebih memilih mengepak barang-barangnya dengan cepat. Beruntung, barang yang dimiliki Grisse tidak terlalu banyak. Sejak awal sebelum berangkat, Grisse memang bertekad untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berusaha seefisien mungkin. Berusaha menyediakan seluas mungkin ruang kosong dalam kopernya. Semua itu dilakukan Grisse agar ia bisa membawa buku-buku yang dibelinya selama menjadi peserta program pertukaran mahasiswa. Sementara Krish, laki-laki itu yang sangat tahu jika dirinya diabaikan oleh Grisse, akhirnya lebih memilih untuk mengamati Grisse berkemas. Diam-diam, Krish memuji kepiawaian Grisse dalam mengepak barang-barangnya yang bisa muat dalam satu koper besar. Krish menjadi sangat tertarik ketika Grisse melipat kaos-kaosnya menjadi super kecil hingga kemudian dijejalkan di sela-sela barang lainnya. Krish sempat menahan napas ketika dengan susah payah Grisse akhirnya berhasil menutup koper dan menguncinya.“Hah….” Hel
Grisse masih bergeming. Pertanyaan Aditi jelas membuatnya tersudut. Di saat seperti ini, Grisse sangat berharap Vidwan buka suara untuk mengklarifikasi semuanya. "Grisse…." Hati-hati, Aditi memanggil nama Grisse sambil menyentuh punggung tangan gadis itu lembut. Aditi terlihat sangat tegang. Sangat kentara jika Aditi sebenarnya juga takut mendengar jawaban Grisse. Antara takut dan tidak siap, tepatnya."Oh, itu…." Grisse berusaha menjawab dengan suara sejernih mungkin. Sedikit saja terdengar getar dalam suaranya akan membuat Aditi curiga. Grisse sengaja menggantung kalimatnya, berusaha mengulur waktu. Gadis itu sibuk memutar otak untuk menemukan jawaban yang menurutnya terbaik."Aku tidak tahu. Aku hanya diminta mengantarkannya ke kantor Pencatatan Pernikahan." Tanpa Grisse dan Aditi duga, Vidwan akhirnya buka suara. Sayangnya, Grisse justru tidak suka mendengar jawaban Vidwan.Sialan!Berengsek!Serta berbagai kata makian lainnya, Grisse tujukan pada Vidwan meskipun dalam hati.Adit
“Krish… kau sudah siap?” Tanya Grisse dari arah meja makan. Gadis itu sudah rapi dalam balutan kemeja warna putih dengan rok pensil berwarna hitam sebatas lutut. Sebuah blazer berwarna senada dengan rok diletakkan Grisse pada salah satu sandaran kursi makan. Krish menyahut sambil menuruni anak tangan dengan setengah berlari.“Kemeja dan dasi?” Tanya Grisse keheranan melihat penampilan Krish. Tidak biasanya Krish bekerja dengan “kostum” seperti ini: Kemeja lengan panjang polos berwarna putih tulang yang terlihat serasi dengan dasi motif garis dengan warna dasar abu tua. Celana hitam dari bahan kain dengan bekas lipatan berupa garis vertikal di bagian depan celana membuat penampilan Krish sempurna. Penampilan Krish ini tentu saja berbanding terbalik dengan kebiasaan laki-laki itu. Andalan Krish, untuk urusan pakaian kerja, biasanya adalah kaos hitam dipadu dengan kemeja motif kotak dari bahan flanel yang tidak dikancingkan serta celana jin.“Ada apa dengan… penampilanmu, Krish?” Pertany
“Hey, kau sudah bangun?” Sapa Krish, tepat ketika Grisse menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Grisse menjawab pertanyaan Krish dengan senyuman disertai anggukan pelan.“Hai, Krish.” Balas Grisse sambil menatap sosok Krish yang sedikit berkeringat. Bulir-bulir keringat tampak meleleh dari kening Krish.“Selamat pagi, Sayang.” Sapa Krish. Laki-laki itu kemudian menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. “Selamat pagi. Ke marilah, Krish.” Pinta Grisse sambil menepuk sisi kanan tubuhnya. Krish menurut. Perlahan, ia melangkah mendekat ke arah Grisse. Ekspresi wajah Krish penuh tanya. Ia memang penasaran dengan permintaan Grisse untuk mendekat pada gadis itu.“Beri aku pelukan selamat pagi, Krish.” Lanjut Grisse sambil merentangkan kedua lengannya, menyambut Krish ke dalam pelukannya. “Tentu, tapi maaf aku sangat berkeringat.” Balas Krish sambil membungkuk sekaligus mencondongkan tubuhnya.“Tidak masalah. Aku juga baru bangun tidur. Tubuhku pun masih bau.” Grisse ber
Grisse memperlihatkan kekecewaan di wajahnya dengan teramat jelas. Pertanyaan yang baru saya ia lontarkan hanya dijawab dengan gelengan cepat Krish. Laki-laki itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Grisse. Krish lebih suka menyimpan semuanya sendiri, menjadikannya rahasia yang akan dijaganya sampai batas waktu yang tidak Grisse ketahui.“Krish….” Desis Grisse sambil mencoba peruntungannya satu kali lagi. Dan sayangnya, Krish juga masih teguh dengan pendiriannya.“Aku tidak merencanakan apa pun.”Bohong! Kau pasti merencanakan sesuatu, Krish!Napas Grisse berubah tersengal. Ia seolah baru selesai melontarkan kalimat makian pada Krish. Padahal kenyataannya, kemarahan Grisse tidak pernah ia luapkan. Grisse hanya mampu marah dalam hati. Sudut terkecil hatinya mengatakan bahwa Krish pasti punya alasan untuk tidak mengatakan apa pun. Kejutankah?Krish pasti tahu bahwa Grisse sangat menyukai kejutan, tapi kejutan seperti apa yang akan diberikan Krish kali ini? Seandainya memang benar
“Mencariku?” Tanya Grisse dengan wajah semringah. Sepasang bibir gadis itu membentuk lengkung sempurna. Melukiskan senyum yang secara instan membuat wajah manisnya terlihat semakin manis. Laki-laki yang disapa Grisse dengan sebuah pertanyaan singkat itu sontak menoleh ke arahnya. “Tentu saja!” Jawab Krish lantang. Seolah enggan didahului detik yang akan berlalu, Krish segera mendekati Grisse yang berdiri tidak jauh darinya.“Bagaimana, apa jadwal presentasimu sudah keluar?” Tanya Krish sambil melingkarkan lengannya ke pinggang Grisse. Grisse memandangi tangan Krish yang telah mendarat di pinggangnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Krish lalu menyingkirkannya dari tempatnya semula.“Kita di tempat umum, Krish.” Bisik Grisse dengan suara lembut namun tegas. Krish hanya nyengir kuda. “Aku tidak peduli. Justru aku ingin mereka tahu tentang hubungan kita.” “Jangan konyol, Krish. Aku tidak ingin membuat seluruh kampus heboh.” Grisse mulai menekuk wajahnya. Gadis itu kesal. Grisse tidak
"Aku harus bertemu Vidwan!" Ujar Grisse dalam gerakan bibir yang teramat samar. Gadis itu kemudian membawa langkahnya menyusuri koridor yang menghubungkan seluruh ruangan dalam gedung kampus tersebut. Langkahnya mantap, semantap pendiriannya untuk menuntaskan apa yang mengganjal dalam hatinya setelah mendengar percakapan Krish dengan Vidwan tadi. Sebelumnya, Grisse memang sudah bertekad untuk mengakhiri semua hal yang berhubungan dengan Vidwan. Ia merasa harus menyudahi semua kisah yang melibatkan Vidwan di dalamnya. Grisse hanya tidak ingin bayangan Vidwan akan mengikutinya terus hingga ia tiba di negara asalnya.Ya, Grisse akan segera meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Program yang diikutinya hampir berakhir dan tidak lama setelahnya izin tinggalnya juga akan habis masa berlakunya. Hal-hal itulah yang membuat Grisse membulatkan tekadnya untuk menemui Vidwan. Kau adalah masa lalu! Kalimat itu terus-menerus didengungkan oleh Grisse. Sudah seperti merapal mantra saja bagi Gri