Lagi dan lagi, sosok dalam balutan jaket berpenutup kepala itu bergeming. Sepertinya ia memang sengaja tidak merespons Grisse meskipun wanita itu sudah menanyainya beberapa kali. Sosok itu juga sepertinya ingin mengerjai Grisse dan membuatnya marah. Terbukti, Grisse menjadi sebal dan tanpa sadar ia kembali mengulang pertanyaan yang sama. Namun kali ini Grisse bertanya sambil sengaja mengangkat dagunya: mencoba menantang sosok misterius itu. Di saat seperti ini, Grisse harus mampu mengalahkan rasa takutnya sehingga ia berusaha tetap memperlihatkan ekspresi marah di wajahnya.
Tanpa banyak kata, sosok itu meraih pinggang Grisse kemudian menariknya mendekat. Grisse sempat meronta, berusaha melepaskan diri. Namun rangkulan tangan di pinggang Grisse sangatlah erat. Semakin Grisse melawan, semakin kuat sosok itu memeluk pinggangnya.
“Aku mau dirimu. Sekarang!&rd
“Apa kita akan bercinta lagi sampai pagi?” Tanya Grisse dengan polosnya sambil tangan kanannya meraih ujung selimut yang terdekat dengannya. Grisse bermaksud menutupi dadanya yang telanjang dengan selimut, namun dengan cepat tangan Vidwan menarik selimut yang dipegang Grisse hingga terlepas kemudian mengempaskannya ke lantai. Tak habis akal, Grisse langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. Kedua kakinya ia tekuk dengan lutut hampir menyentuh dada. Sementara wajahnya sengaja ia benamkan dalam-dalam dengan kening bertumpu pada kedua lututnya.Grisse sadar bahwa ia dan Vidwan telah menikah sehingga seharusnya tidak perlu ada lagi kecanggungan di antara mereka. Termasuk rasa canggung dikarenakan tidak berpakaian di depan satu sama lain. Bukankah sebelumnya ia dan Vidwan sudah sangat sering tidak berpakaian ketika hanya berdua saja? Bahkan Grisse yakin bahwa Vidwan juga sama seperti dirin
Grisse sedikit mengangkat tubuh bagian atasnya, memberi jarak antara kepala serta dada bagian atas dari permukaan dipan kayu kokoh yang berlapis handuk lebar. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri demi mencari keberadaan Vidwan karena laki-laki itu belum juga mulai memijat dirinya. Padahal, sudah lebih dari dua kali Grisse nyaris tertidur karena alunan musik yang lembut dan menenangkan."Hm, kau tidak sabar rupanya." Goda Vidwan yang muncul dari balik tirai serupa kamar pas di toko-toko pakaian. Ternyata laki-laki itu baru saja mengganti pakaiannya dengan selembar kain yang menutup mulai bagian pinggang ke bawah. Vidwan mengambil cawan berisi minyak aromaterapi lalu meneteskannya di beberapa bagian belakang tubuh Grisse: punggung, bokong, paha, betis, dan telapak kaki.Grisse akui bahwa ia sedikit terkejut melihat penampilan Vidwan dan bertanya-tanya dalam
“Kau sanggup?” Pertanyaan Grisse terdengar seperti tantangan. Sepertinya wanita itu benar-benar menjadi lebih tidak sabaran kini. Mereka baru saja berciuman dan Grisse langsung menodongnya dengan pertanyaan yang tentu saja harus segera Vidwan jawab.“Tentu aku sanggup. Apakah selama ini aku pernah mengecewakanmu dengan tidak pernah memenuhi keinginanmu?” Tanya balik Vidwan. Grisse mendengus kecil lalu tertawa. Tentu saja Vidwan tidak pernah mengecewakannya. Ops, ralat. Bukan tidak pernah, tapi satu kali yaitu ketika Vidwan ingin fantasinya diwujudkan. Fantasi yang menurut Grisse sangat gila. Vidwan begitu ingin mempertontonkan aktivitas super privat mereka. Karenanya kini mereka ada di sini sekarang. Di dalam sebuah kamar hotel yang dibatasi oleh dinding kaca. Begitu bersemangatnya Vidwan demi merealisasikan fantasinya, laki-laki itu langsung menyibak seluruh tirai yang menyelimuti
Kamera!Ya, Grisse sangat yakin bahwa laki-laki yang tidak terlihat wajahnya itu tengah memegang kamera. Dan bukan tidak mungkin laki-laki itu akan menjadikan dirinya dan tentu saja aktivitas bercintanya dengan Vidwan sebagai sebuah objek yang sangat menarik. Yang sangatlah sayang untuk dilewatkan. Menyadari adanya kemungkinan seperti itu, Grisse menjadi kehilangan fokus. Gairah bercintanya mendadak lenyap. Semoga laki-laki itu tidak mengambil gambarku.Semoga dia tidak mengabadikan kegiatanku dan Vidwan lalu menyebarkannya ke media sosial.Atau yang tak kalah buruk, laki-laki itu mengambil keuntungan dengan cara memerasku dan Vidwan.Segala pikiran buruk menjejali otak Grisse sekarang. Ia benar-benar didera rasa takut. Ia juga tidak mampu membayangkan seandainya ekspresi wajahnya, ketika menikmati kegiatan bercinta atau ketika berada di puncak kenikmatan, dibidik oleh si laki-laki. Semoga dia laki-laki yang baik.Tidak!Aku tidak boleh berp
Sebuah ketukan di pintu membangunkan Grisse dari tidurnya. Wanita itu langsung meraih jam tangan miliknya dari atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia menduga ketukan tersebut berasal dari layanan kamar yang kemarin malam memang dipesan Vidwan untuk mengantar makan pagi mereka.Pukul sembilan tiga puluh.Grisse membelalakkan matanya, tidak percaya bahwa ia telah tertidur selama enam setengah jam. Grisse masih sangat mengantuk dan ia bermaksud untuk melanjutkan tidurnya kembali. Ia berpikir bahwa petugas layanan kamar akan kembali lagi nanti. Namun ketukan di pintu bukannya berhenti, justru semakin intens terdengar. Jika seperti ini, berarti bukan pihak hotel yang melakukan. Tidak mungkin mereka mengorbankan reputasi dengan mengetuk pintu kamar pelanggan secara bertubi-tubi. Enggan untuk bangun dan mengecek siapa yang datang membuat Grisse lebih
“Grisse! Grisse, tunggu!” Krish setengah berteriak memanggil Grisse. Laki-laki itu berharap Grisse mau menghentikan langkahnya. Namun, harapan Krish tidak terwujud. grisse terus saja melangkah, bahkan sesekali langkahnya semakin dipercepat. Grisse setengah berlari demi menjauh dari Krish. Krish yang awalnya yakin dengan langkah lebarnya akan mampu menyusul Grisse, akhirnya berlari juga. Ia bertekad untuk bicara dengan Grisse.“Grisse, dengarkan aku!” Ujar Krish sambil terengah setelah ia berhasil meraih tangan Grisse. Grisse memberontak. Tangannya ia gerakkan agar cekalan Krish pada pergelangannya lepas.“Lepaskan, Krish!” grisse sedikit meninggikan suaranya. Ia sebenarnya tidak ingin menumpahkan kekesalan dan amarahnya pada Krish, tapi Grisse yakin bahwa Krish menyusulnya karena Vidwan.
“Apa yang membuatmu menyukai kejutan dariku, Grisse?” Tatapan lembut Krish refleks membuat Grisse menunduk. Dalam jarak sedekat ini, Krish menjadi berkali lipat lebih tampan. Dan Grisse yakin wajahnya telah serupa kepiting rebus sejak tadi. Sejak Krish berdiri di depannya kemudian meraih tangannya untuk mengajaknya masuk ke dalam rumah.“Di sini sangat sunyi dan tenang. Aku bisa mendengar suara alam selembut apa pun.” Grisse menutup matanya sambil mempertajam pendengarannya. Bahkan, di sini, angin semilir pun bisa ia dengar suaranya.“Apa saja yang kau dengar?” Bisik Krish sambil menelan ludah. Grisse yang menengadah membuat pandangan Krish langsung tertuju pada leher jenjang Grisse. Rasanya Krish ingin mendaratkan bibirnya di leher Grisse lalu menghadiahinya sebuah gigitan lembut.
“Krish!” Grisse berbalik sambil memanggil nama Krish. Gadis itu berharap Krish luluh hatinya hingga akhirnya, mengizinkannya melihat koleksi fotonya dalam kamera Krish. Namun ternyata laki-laki itu sudah pergi. Ia sudah tidak ada di belakang Grisse. Krish tidak terlihat di dapur atau pun sofa. Grisse kemudian menuju ruang tamu. Mungkin Krish sedang duduk di ruang tamu. Lagi-lagi Grisse kecele. Krish tidak ada di ruang tamu. Grisse kemudian menuju pintu. Ketika tangannya hampir menyentuh gagang pintu, Terdengar suara Krish dari belakangnya.“Kau mencariku?” Tanya Krish yang tiba-tiba muncul. Kontan saja Grisse terlonjak saking kagetnya. Kakinya lunglai sehingga tak mampu lagi menopang tubuhnya. Grisse nyaris terjatuh, namun dengan sigap Krish menangkap tubuh Grisse yang hampir menyentuh lantai.“Oh, Krish kau mengagetkanku.” G
“Pagi!” Sapa Krish ketika Grisse membuka kedua matanya perlahan. Grisse menjawab kemudian menggeliat, mencoba meregangkan tubuhnya yang terasa pegal luar biasa. “Kau pasti kelelahan.” Imbuh Krish sambil memandang penuh ketertarikan pada wajah Grisse. Satu tangan laki-laki itu bergerak perlahan, menyingkirkan anak rambut dari wajah khas bangun tidur sang kekasih. Grisse tersenyum kemudian mengangguk. Bagaimana tidak kelelahan jika sepanjang malam mereka sibuk bergulat di atas ranjang. Bagi Grisse, Krish seperti menggila tadi malam. Stamina laki-laki itu mendadak menjadi luar biasa. Padahal Grisse seratus persen yakin bahwa Krish tidak mengonsumsi apa pun sebelumnya. Tidak ada jenis makanan afrodisiak dalam menu makan malam mereka kemarin. Krish juga terkesan enggan membiarkan waktu berlalu begitu saja, terbuang percuma istilahnya. Dan yang terpenting dari semuanya, dari semua kenangan indah yang diciptakannya bersama Krish tadi malam adalah perasaan Grisse. Ya, Grisse merasa senang b
Grisse menatap sedih bangunan rumah Krish yang setiap sudutnya dikenalnya dengan baik. Tidak, bukan hanya baik tapi bisa dikatakan sangat baik. Rumah Krish telah menjelma menjadi tempat terfavorit bagi Grisse sehingga ada rasa tidak rela ketika ia mendapati kenyataan bahwa dirinya akan segera meninggalkan rumah itu.Krish yang telah melepas sabuk pengamannya, melihat ke arah Grisse yang sedari tadi sangat irit bicara. Gadis di sampingnya itu terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sangat kentara jika pikirannya tengah berkecamuk saat ini. “Ada apa?” Pertanyaan Krish membuat Grisse menoleh. Gadis itu mengerjap beberapa kali, berusaha menahan bulir bening yang telah menggenang di kelopak matanya, sebelum akhirnya menggeleng. Krish ingin kembali bersuara, tapi urung ketika Grisse dengan gerakan cepat melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil.“Kurasa kopermu tidak perlu diturunkan.” Saran Krish ketika tangan Grisse telah menyentuh pintu bagasi. “Aku membutuhkan beberapa pakaian unt
Grisse tidak menggubris pertanyaan Krish. Gadis itu lebih memilih mengepak barang-barangnya dengan cepat. Beruntung, barang yang dimiliki Grisse tidak terlalu banyak. Sejak awal sebelum berangkat, Grisse memang bertekad untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berusaha seefisien mungkin. Berusaha menyediakan seluas mungkin ruang kosong dalam kopernya. Semua itu dilakukan Grisse agar ia bisa membawa buku-buku yang dibelinya selama menjadi peserta program pertukaran mahasiswa. Sementara Krish, laki-laki itu yang sangat tahu jika dirinya diabaikan oleh Grisse, akhirnya lebih memilih untuk mengamati Grisse berkemas. Diam-diam, Krish memuji kepiawaian Grisse dalam mengepak barang-barangnya yang bisa muat dalam satu koper besar. Krish menjadi sangat tertarik ketika Grisse melipat kaos-kaosnya menjadi super kecil hingga kemudian dijejalkan di sela-sela barang lainnya. Krish sempat menahan napas ketika dengan susah payah Grisse akhirnya berhasil menutup koper dan menguncinya.“Hah….” Hel
Grisse masih bergeming. Pertanyaan Aditi jelas membuatnya tersudut. Di saat seperti ini, Grisse sangat berharap Vidwan buka suara untuk mengklarifikasi semuanya. "Grisse…." Hati-hati, Aditi memanggil nama Grisse sambil menyentuh punggung tangan gadis itu lembut. Aditi terlihat sangat tegang. Sangat kentara jika Aditi sebenarnya juga takut mendengar jawaban Grisse. Antara takut dan tidak siap, tepatnya."Oh, itu…." Grisse berusaha menjawab dengan suara sejernih mungkin. Sedikit saja terdengar getar dalam suaranya akan membuat Aditi curiga. Grisse sengaja menggantung kalimatnya, berusaha mengulur waktu. Gadis itu sibuk memutar otak untuk menemukan jawaban yang menurutnya terbaik."Aku tidak tahu. Aku hanya diminta mengantarkannya ke kantor Pencatatan Pernikahan." Tanpa Grisse dan Aditi duga, Vidwan akhirnya buka suara. Sayangnya, Grisse justru tidak suka mendengar jawaban Vidwan.Sialan!Berengsek!Serta berbagai kata makian lainnya, Grisse tujukan pada Vidwan meskipun dalam hati.Adit
“Krish… kau sudah siap?” Tanya Grisse dari arah meja makan. Gadis itu sudah rapi dalam balutan kemeja warna putih dengan rok pensil berwarna hitam sebatas lutut. Sebuah blazer berwarna senada dengan rok diletakkan Grisse pada salah satu sandaran kursi makan. Krish menyahut sambil menuruni anak tangan dengan setengah berlari.“Kemeja dan dasi?” Tanya Grisse keheranan melihat penampilan Krish. Tidak biasanya Krish bekerja dengan “kostum” seperti ini: Kemeja lengan panjang polos berwarna putih tulang yang terlihat serasi dengan dasi motif garis dengan warna dasar abu tua. Celana hitam dari bahan kain dengan bekas lipatan berupa garis vertikal di bagian depan celana membuat penampilan Krish sempurna. Penampilan Krish ini tentu saja berbanding terbalik dengan kebiasaan laki-laki itu. Andalan Krish, untuk urusan pakaian kerja, biasanya adalah kaos hitam dipadu dengan kemeja motif kotak dari bahan flanel yang tidak dikancingkan serta celana jin.“Ada apa dengan… penampilanmu, Krish?” Pertany
“Hey, kau sudah bangun?” Sapa Krish, tepat ketika Grisse menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur. Grisse menjawab pertanyaan Krish dengan senyuman disertai anggukan pelan.“Hai, Krish.” Balas Grisse sambil menatap sosok Krish yang sedikit berkeringat. Bulir-bulir keringat tampak meleleh dari kening Krish.“Selamat pagi, Sayang.” Sapa Krish. Laki-laki itu kemudian menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan. “Selamat pagi. Ke marilah, Krish.” Pinta Grisse sambil menepuk sisi kanan tubuhnya. Krish menurut. Perlahan, ia melangkah mendekat ke arah Grisse. Ekspresi wajah Krish penuh tanya. Ia memang penasaran dengan permintaan Grisse untuk mendekat pada gadis itu.“Beri aku pelukan selamat pagi, Krish.” Lanjut Grisse sambil merentangkan kedua lengannya, menyambut Krish ke dalam pelukannya. “Tentu, tapi maaf aku sangat berkeringat.” Balas Krish sambil membungkuk sekaligus mencondongkan tubuhnya.“Tidak masalah. Aku juga baru bangun tidur. Tubuhku pun masih bau.” Grisse ber
Grisse memperlihatkan kekecewaan di wajahnya dengan teramat jelas. Pertanyaan yang baru saya ia lontarkan hanya dijawab dengan gelengan cepat Krish. Laki-laki itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Grisse. Krish lebih suka menyimpan semuanya sendiri, menjadikannya rahasia yang akan dijaganya sampai batas waktu yang tidak Grisse ketahui.“Krish….” Desis Grisse sambil mencoba peruntungannya satu kali lagi. Dan sayangnya, Krish juga masih teguh dengan pendiriannya.“Aku tidak merencanakan apa pun.”Bohong! Kau pasti merencanakan sesuatu, Krish!Napas Grisse berubah tersengal. Ia seolah baru selesai melontarkan kalimat makian pada Krish. Padahal kenyataannya, kemarahan Grisse tidak pernah ia luapkan. Grisse hanya mampu marah dalam hati. Sudut terkecil hatinya mengatakan bahwa Krish pasti punya alasan untuk tidak mengatakan apa pun. Kejutankah?Krish pasti tahu bahwa Grisse sangat menyukai kejutan, tapi kejutan seperti apa yang akan diberikan Krish kali ini? Seandainya memang benar
“Mencariku?” Tanya Grisse dengan wajah semringah. Sepasang bibir gadis itu membentuk lengkung sempurna. Melukiskan senyum yang secara instan membuat wajah manisnya terlihat semakin manis. Laki-laki yang disapa Grisse dengan sebuah pertanyaan singkat itu sontak menoleh ke arahnya. “Tentu saja!” Jawab Krish lantang. Seolah enggan didahului detik yang akan berlalu, Krish segera mendekati Grisse yang berdiri tidak jauh darinya.“Bagaimana, apa jadwal presentasimu sudah keluar?” Tanya Krish sambil melingkarkan lengannya ke pinggang Grisse. Grisse memandangi tangan Krish yang telah mendarat di pinggangnya. Gadis itu kemudian meraih tangan Krish lalu menyingkirkannya dari tempatnya semula.“Kita di tempat umum, Krish.” Bisik Grisse dengan suara lembut namun tegas. Krish hanya nyengir kuda. “Aku tidak peduli. Justru aku ingin mereka tahu tentang hubungan kita.” “Jangan konyol, Krish. Aku tidak ingin membuat seluruh kampus heboh.” Grisse mulai menekuk wajahnya. Gadis itu kesal. Grisse tidak
"Aku harus bertemu Vidwan!" Ujar Grisse dalam gerakan bibir yang teramat samar. Gadis itu kemudian membawa langkahnya menyusuri koridor yang menghubungkan seluruh ruangan dalam gedung kampus tersebut. Langkahnya mantap, semantap pendiriannya untuk menuntaskan apa yang mengganjal dalam hatinya setelah mendengar percakapan Krish dengan Vidwan tadi. Sebelumnya, Grisse memang sudah bertekad untuk mengakhiri semua hal yang berhubungan dengan Vidwan. Ia merasa harus menyudahi semua kisah yang melibatkan Vidwan di dalamnya. Grisse hanya tidak ingin bayangan Vidwan akan mengikutinya terus hingga ia tiba di negara asalnya.Ya, Grisse akan segera meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Program yang diikutinya hampir berakhir dan tidak lama setelahnya izin tinggalnya juga akan habis masa berlakunya. Hal-hal itulah yang membuat Grisse membulatkan tekadnya untuk menemui Vidwan. Kau adalah masa lalu! Kalimat itu terus-menerus didengungkan oleh Grisse. Sudah seperti merapal mantra saja bagi Gri