“Aku tidak mendengar jelas seluruh percakapan mereka, Nona. Aku hanya menangkap pembahasan, tentang anak yang diakui oleh Tuan Bellingham,” lapor wanita berseragam pelayan itu pada Dakota.Dakota tersenyum puas penuh kemenangan, setelah mendengar apa yang pelayan tersebut sampaikan. “Tidak apa-apa. Itu lebih dari cukup. Terima kasih.” Dia mengeluarkan beberapa dollar dari clutch bag, kemudian memberikannya pada si pelayan yang sudah memberikan informasi secara diam-diam.Wanita berambut cokelat gelap tersebut memperhatikan pasangan pengantin baru yang tengah asyik berdansa. Tatapan penuh kelicikan terpancar jelas dari sepasang matanya. Sahabat sekaligus mantan kekasih gelap Lewis tersebut, kembali menyunggingkan senyum sinis. “Jadi, itukah rahasia kalian berdua? Kenapa harus disembunyikan?” pikirnya tak m
“Rahasia mereka?” ulang Christian, seraya menaikkan sebelah alis. “Aku tidak tertarik —”“Tidak mungkin Anda tidak tertarik, Tuan Lynch. Aku akan memberitahukan sesuatu tentang ….” Dakota tidak sempat melanjutkan kata-katanya, berhubung Dawson datang menghampiri. Niat wanita itu untuk mengungkapkan kebenaran tentang status Harper yang tidak Christian ketahui, terpaksa diurungkan.“Pesta ini akan berlangsung sampai malam. Apa kau ingin pulang sekarang?” tanya Dawson.Christian mengangguk setuju.“Hai, Tuan Sherman. Aku merupakan salah satu penggemar beratmu.” Dakota menyela perbincangan dua sahabat tadi.“Oh, terima kasih. Ja
“Harper?” Christian menyebutkan nama bayi yang dilahirkan Laura. “Ya.” Dakota membenarkan. “Nama lengkapnya Liz Harper. Itu yang kuketahui dari pelayan di rumah Lewis,” terang wanita cantik itu. Rasa percaya dirinya kembali, saat melihat ekspresi Christian yang menunjukkan ketertarikan atas pembahasan mereka. Christian terdiam beberapa saat. Dia tak mengenal betul wanita di hadapannya. Pemilik Lynch Company tersebut tak tahu apakah motif dari Dakota memberitahukan semua itu. “Bukankah kau sahabat dekat Lewis Bellingham? Apa alasanmu melakukan ini?” tanya Christian penuh selidik. Dakota yang awalnya telah percaya diri, tiba-tiba kembali terlihat tak nyaman. “Um, aku …. Ada urusan pribadi antara diriku dengan Lewis. Sesuatu yang tak bisa kujabarkan secara detail —”“Aku harap Anda tidak mengusik ketenangan Laura,” sela Christian tenang, tapi penuh penekanan. Dia seakan tengah memberikan peringatan pada Dakota, yang segera menggeleng. Menolak apa yang Christian duga. “Tentu saja tida
Christian duduk dengan setengah membungkukkan badan, sambil menopang kepala menggunakan dua tangan. Sesaat kemudian, pria tampan itu meraup kasar rambut gelap yang masih dalam kondisi acak-acakan khas bangun tidur. Kegelisahan tampak jelas, dari bahasa tubuh sang pemilik Lynch Company tersebut.Pria tampan tiga puluh enam tahun tersebut beranjak dari tepian tempat tidur. Dia menatap Mairi, yang terlihat nyaman karena telah dibersihkan dan berganti pakaian. Bayi cantik itu tengkurap di tempat tidur, sambil terus mengoceh. Sesekali dia berbalik, sambil terus memegang mainannya.Jam digital di meja dekat tempat tidur, sudah menunjukkan angka delapan tepat. Christian harus segera bersiap-siap, berhubung jadwal penerbangan ke Inggris sekitar dua jam lagi. Namun, Delila belum juga datang ke kamarnya untuk mengambil Mairi.Christian meraih telepon genggam yang diletakkan dekat jam digital. Baru saja akan menghubungi Delila, istri Alfred tersebut telah lebih
“Christian Lynch di sini,” sahut Christian, setelah memasang earphone. “Ada apa, Nyonya Wright?” tanyanya.“Bagaimana kabar Chelsea? Kudengar pihak panti rehabilitasi akan memindahkannya ke rumah sakit jiwa.”“Ya, itu benar. Aku baru pulang dari sana.”Ibunda Chelsea terdiam beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Kau membiarkan hal itu? Apakah putriku benar-benar gila?” Dia melayangkanpertanyaan bernada protes.“Pihak panti jauh lebih paham akan penanganan paling tepat untuk Chelsea, Nyonya Wright. Kita berd
“Seperti yang kau dengar. Pengobatan yang kujalani berhasil. Aku mendapatkan kembali gairah seksual dan ….” Lewis menatap lekat Dakota. “Seharusnya tak kulampiaskan padamu. Namun, kau sendiri yang datang menawarkan diri.”“Tak tersisakah sesuatu yang lebih istimewa untukku, Lewis?” Sepasang mata Dakota mulai berkaca-kaca, mendengar ucapan pria di hadapannya. Lewis tak menjawab. Dia menatap lekat Dakota, lalu menggeleng pelan. “Seharusnya kau tak berharap banyak,” ucap pria itu kemudian. “Sekarang pergilah. Jangan sampai Laura mendengar perbincangan kita. Aku tak mau ada masalah dengannya.” Dakota mendengar jelas apa yang Lewis katakan. Akan tetapi, kakinya terasa berat untuk beranjak dari sana. Wanita cantik berambut cokelat gelap tersebut bergeming, dengan tatapan tertuju pada pria tampan yang sudah menolaknya. Apa yang Lewis katakan memang benar. Seharusnya dia tak mengharapkan lebih, dari hubungan gelap yang dijalani bersama pria itu.“Setidaknya kau tahu bahwa dirimu sudah norma
Perbincangan telah selesai. Laura merasa tenang, setelah Lewis menceritakan kisah masa lalunya. Walaupun tak mengetahui secara pasti, tetapi penuturan Lewis membuat Laura tak lagi berpikir negatif. Terlepas dari apa yang telah pria itu lakukan terhadap Sophia. Laura tak ingin menghakimi.“Sampai kapan kita di sini?” tanya Lewis, setelah Laura kembali dari kamar Harper.“Aku suka berada di sini. Bolehkah?”Lewis tersenyum, seraya berjalan menghampiri Laura. “Tapi, aku ke akan ke Boston besok. Ada urusan yang harus diselesaikan.”“Tidak apa-apa. Pergi saja.”“Kau yakin?” Lewis menatap ragu.Lau
Lewis terus mengemudikan sedan metaliknya dengan kecepatan sedang. Dia tak menyadari ada yang mengikuti sejak tadi. Sang pengusaha yang baru melepas masa lajang itu terlampau bahagia, bahkan sampai senyum-senyum sendiri. Embusan napas pelan dan dalam, meluncur dari bibir Bos Galaxy Smartphone tersebut. Terbayang dalam ingatan pria tiga puluh enam tahun itu, percintaan panas semalam dengan Laura. Kenikmatan dari keintiman masih terasa sehingga membuatnya harus berkali-kali menarik napas panjang, demi menetralkan gejolak yang tiba-tiba mengusik naluri kelelakiannya. “Astaga. Seharusnya aku tetap di rumah,” gumam Lewis, berakhir keluhan pelan. Namun, dia tetap melajukan kendaraan, hingga tiba di pusat kota. Seperti yang dikatakannya, pria itu datang ke kantor. Selama berada di Inggris, Lewis mengendalikan perusahaan dari jauh. Beruntung, dia mempekerjakan orang-orang kompeten di bidangnya. Mereka melakukan tugas masing-masing dengan baik sehingga stabilitas perusahaan tetap terjaga.