“Bu.” Emma melayangkan tatapan protes pada Grace, yang mulai menyantap makanan di piring. “Jangan membahasnya di sini,” ujar saudara kembar Laura tersebut.“Apanya yang salah? Memang begitu, kan?” balas Grace tak acuh. “Jamie datang setelah pemakaman James. Dia mengatakan sendiri padaku, ingin meminang Emma. Aku tahu siapa Samuel Riise Carson, meskipun tidak mengenal putranya secara langsung,” jelas wanita paruh baya tersebut.“Ya, aku juga sudah beberapa kali bertemu dengan Jeremy Carson. Kami pernah menjalin kerja sama bisnis. Menurutku dia pria yang tampan dan kharismatik, meskipun ….” Laura tak melanjutkan kata-katanya, setelah mendengar Lewis berdehem pelan. Ibu satu anak itu tersenyum, seraya menoleh pada pengusaha tampan yang tak lama lagi akan menjadi suaminya.
Setelah menempuh perjalanan udara sekitar tujuh sampai delapan jam, Laura dan Lewis akhirnya tiba di tempat tujuan mereka. Boston. kota terbesar di Massachusetts. Sedan hitam yang menjemput Laura dan Lewis ke bandara, berhenti di pinggir jalan depan rumah yang terletak di salah satu kawasan elite kota itu. Lewis bergegas turun, lalu membukakan pintu untuk calon istrinya. “Terima kasih, Alex,” ucap sang pengusaha, pada sopir yang juga turut keluar dari kendaraan. “Sama-sama, Tuan. Selamat datang kembali di sini,” balas Alex, yang segera membuka bagasi. Dia begitu cekatan mengeluarkan barang-barang milik sang majikan.“Langsung saja bawa masuk,” titah Lewis penuh wibawa. “Baik, Tuan,” sahut Alex. Seakan tak terbebani sama sekali, pria dengan perawakan tegap itu mengangkat dua koper besar menaiki undakan anak tangga menuju pintu masuk. Sementara itu, Laura sibuk mengedarkan pandangan ke sekitar. Keadaan di sana jauh berbeda dengan Inggris. Meski begitu, Laura menyukai suasana tempat
Sesuai yang sudah direncanakan, Lewis menemui kenalannya untuk membahas segala hal yang berkaitan dengan pesta pernikahan. Dia berdiskusi terlebih dulu, sebelum membawa Laura pergi melihat lokasi yang akan dijadikan tempat pesta. Perundingan itu diikuti Laura melalui sambungan video call. Lewis melarangnya ikut pergi, berhubung mengkhawatirkan kondisi kesehatan Harper. Pria itu takut jika sang bayi terlalu kelelahan, akibat perjalanan jauh kemarin. Meskipun hanya melalui sambungan video call, tetapi Laura dapat mengikuti perbincangan dengan baik. Dia menyimak dan sesekali menanggapi serta mengemukakan pendapat. Sekitar satu jam kemudian, pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan yang langsung didapat. Lewis langsung kembali ke rumah. Dia juga ingin beristirahat beberapa saat. Bercengkrama dengan Laura dan Harper, akan membuat suasana hatinya jadi lebih ceria. Namun, niat tersebut sirna, ketika ponselnya berdering. Satu pesan masuk dari nama kontak bernama Dakota Anderson.[Apa kau
“Astaga, Lewis. Kau tidak perlu melakukan itu. Sudahlah,” cegah Laura, yang berdiri di dekat stroller. Dia merasa tak enak dengan apa yang akan calon suaminya lakukan.“Tidak, Sayang. Kau harus masuk dan menemaniku. Kau sudah tahu apa yang menjadi hobiku di sela semua rutinitas pekerjaan. Aku tidak ingin melewatkan hal ini. Namun, aku juga tidak akan membiarkanmu pulang seorang diri,” tegas Lewis. Pria itu bersikukuh pada pendiriannya.“Memangnya kau datang jam berapa kemari? Sampai-sampai kehabisan tiket masuk lagi,” tegur pengusaha tampan itu pada Dakota.Dakota tidak terima terus disalahkan Lewis. Namun, dia tak bisa membantah lebih keras dari yang sudah dilakukannya tadi. “Mereka mengatakan sudah menyediakan tiket tambahan yang akan dijual langsung saat acara. Akan t
Dari jarak beberapa langkah, Christian memperhatikan setiap gerak-gerik wanita yang berdiri di sudut ruangan. Dia tak tahu apa yang sedang wanita itu lakukan, hingga seorang pria datang menghampiri. Pria yang tak asing lagi bagi Christian. “Lewis Bellingham?” gumam ayahanda Mairi tersebut, bersamaan dengan Delila yang kembali setelah menghubungi Alfred.“Tuan ….”“Laura …,” ucap Christian tanpa sadar, saat wanita yang sejak tadi diperhatikannya mulai berbalik.Mendengar nama itu disebut Christian, Delila langsung mengarahkan perhatian pada sosok yang menjadi fokus sang majikan. Seketika, wanita paruh baya tersebut diam membeku. Rasa rindu terhadap Laura, sedikit terobati hanya dengan melihat mantan istri Christian tersebut. “Nyonya Laura.” Tan
“Apa maksudmu, Delila?” Christian menatap tak mengerti.“Entahlah, Tuan. Aku tidak yakin wanita seperti Nyonya Laura akan membiarkan dirinya dihamili pria lain, saat masih berstatus sebagai istri Anda,” jawab Delila. Ucapan Delila, terus mengusik Christian. Hingga malam tiba, dia tak juga bisa memejamkan mata. Padahal, Mairi sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Christian berdiri di dekat jendela kaca. Dari sana, dia dapat melihat pemandangan Kota Boston di malam hari. Begitu indah berhiaskan lampu kelap-kelip. Christian tahu Laura ada di salah satu sudut kota itu. Entah di mana tepatnya. Namun, setelah mendengar apa yang Delila katakan tadi, pria tampan berambut gelap tersebut jadi berpikir ulang. “Itulah bodohnya dirimu, Christian.” Dia bergumam pada diri sendiri. Sang pemilik Lynch Company tersebut menyadari kesalahannya, yang selalu mengambil keputusan saat dikuasai amarah. Sama seperti saat dirinya menikahi Laura. Dia tak mempertimbangkan apa pun, selain balas dendam.
“Dakota Anderson?” ulang Laura. Ingatannya langsung tertuju pada wanita cantik berambut cokelat gelap, yang ditugasi membeli tiket saat pameran. Laura manggut-manggut pelan, seakan memahami sesuatu. “Apa kau tahu siapa wanita itu?” tanyanya, beberapa saat kemudian.“Setahuku mereka bersahabat. Entah pertemanan seperti apa, yang membuat suatu hubungan sampai kandas di tengah jalan. Ah, aku tidak bermaksud menakutimu. Namun, tak ada salahnya berhati-hati terhadap wanita itu.” Mara sedikit menjauh dari Laura, untuk mengamati gaun hasil rancangannya secara saksama. Setelah dirasa sempurna, transgender cantik tersebut kembali mendekat.“Lewis pria baik. Aku yakin dia tak akan melakukan kesalahan yang sama. Dari caranya memperlakukanmu, kurasa dia serius dengan hubungan kalian. Jadi, seharusnya tak ada masalah. Kau hany
“Hai, Sayang,” sambut Laura dengan wajah yang tiba-tiba ceria, saat menggendong Harper. Dia mencium gemas sang putri. “Terima kasih, Adelle,” ucapnya.Wanita bernama Adelle yang tadi membawa Harper ke sana, segera membalas dengan anggukan disertai senyum. Meskipun bertugas menjaga bayi itu selama pesta berlangsung, tetapi dia tak berani terus berada di dekat sang majikan. “Panggil saja jika sudah selesai, Nyonya,” ucapnya sopan, seraya undur diri.Laura mengangguk. Dia kembali fokus pada bayinya.“Apakah itu putri Anda, Tuan?” tanya Dawson basa-basi.“Um, iya,” jawab Lewis yakin.Namun, tidak dengan raut wajah Laura, yang kembali memperl