“Apa masalahmu, Sans. Hingga wanita secantik itu kau abaikan?” pria itu masuk tanpa permisi. Dia lekas menarik salah satu kursi dan mendaratkan pantatnya dengan nyaman. “Tidak perlu ikut campur. Katakan maksud kedatanganmu kemari, Yandra.” Sanders malas basa-basi. Yandra Birama. Seorang pria bertangan dingin. Sama seperti Sanders. Namun, dibalik itu semua, dia selalu dengki terhadap pencapaian Sanders. Dia adalah rivals yang menduplikat semua strategi pemasaran Sanders. “Wah, tenanglah, bung. Aku hanya ingin say hello kemari.” Yandra sangat pandai bersikap manis. “Aku tidak percaya, kau kemari pasti ada maunya.”Sanders menatapnya lekat. Yandra pun terbahak-bahak mendengar hal itu. Benar sekali tebakan pria dingin itu. “Tidak, Bung. Kali ini aku hanya ingin bersantai denganmu,” sahutnya. Pria berambut klimis itu membenarkan posisi duduknya. Tangannya terulur ke bawah meja. Seperti melakukan sesuatu yang bersifat rahasia. “Kalau begitu, minumlah ini.” Sanders memberika
Faleesha merasa bosan sepanjang hari berdiam diri dalam mansion. Sanders semakin mengeratkan penjagaan. Bahkan untuk berjalan-jalan ke taman sekitar mansion saja dia dikawal. Tinggal di mansion mewah tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Dia justru merasa tertekan walaupun semua kebutuhan terpenuhi. Faleesha sengaja tidak bermain ponsel seperti biasa. Dia menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku sejarah dan peradaban dunia yang dia bawa dari rumah. Sesekali mencari literatur untuk mata kuliahnya. Karena jika Eric tahu dia sedang online, pria itu akan terus mencecarnya. “Eric, jangan kamu pikir aku tidak tersiksa. Aku juga ingin bertemu denganmu setiap hari seperti dulu,” gumamnya. Gadis itu kembali masuk ke dalam kamar. Tidak sengaja melihat layar ponselnya berkedip-kedip menandakan ada pesan masuk. WhatsApp dari Eric lagi. Eric : hatiku tertusuk sembilu, setiap hari terbayang wajahmu nan sendu. Kapan kita bersua kembali? Terpekur meratapi rindu yang menggebu. Faleesha
Faleesha mengencangkan jemarinya pada belati, namun cekalan Sanders lebih kuat darinya. Dengan sekali hentak Sanders mampu melepas genggaman Faleesha. Pria itu menatapnya tajam. Setajam tatapan elang. “Jangan macam-macam denganku, atau belati ini bisa menyakitimu-” Ucapan Sanders penuh penekanan. Suaranya serak menahan gairah yang tertunda. Faleesha semakin ciut. Tindakannya berujung petaka pada dirisendiri. Gadis itu memasang tampang garang. Dia tidak boleh terlihat takut. Sanders akan semakin mengintimidasinya. “Aku tidak peduli. Nggak ada gunanya aku hidup kalau cuma jadi pelampiasanmu saja.” Faleesha bersuara lantang. Bukan. Bukan pelampiasan, lebih tepatnya tawanan. Mendengar hal itu, Sanders menarik kedua tangan Faleesha. Mengarahkannya ke atas kepala hingga kedua ketiaknya terbuka lebar. Sangat mulus, bersih tanpa bulu. Sanders sampai heran. Apa gadis ini rajin perawatan? Tidak ada cacat setitik pun di tubuhnya. “Lepaskan!” Faleesha berontak. Sanders menghentak
Setelah pertikaiannya dengan Sanders, Faleesha lebih banyak diam. Apa yang dia ucapkan juga tindakannya, sedikit banyak berpengaruh pada mood Sanders. Dia sangat menyayangkan, pria yang punya segalanya seperti Sanders justru mengganggu hidupnya. Padahal dia hanyalah gadis belia yang tidak ada apa-apanya dibanding wanita karir di luar sana. Dalam rasa putus asa yang mendera, tiba-tiba kepala pelayan masuk membawa beberapa pakaian formal. Faleesha tak bergeming. Dia hanya melirik sekilas tanpa rasa ingin tahu. “Nona, apakah anda tidur?” tanya Beatrice. “Tidak,” jawab Faleesha malas. “Tuan Sanders menyuruh anda untuk bersiap,” jelasnya. “Bersiap untuk apa? Dia tidak mengizinkanku kemana-mana.” Faleesha merasa heran dengan keterangan pelayan itu. “Tuan baru saja memberitahu saya, mulai hari ini anda akan bekerja di perusahaan Tuan Sanders-”“Supaya anda bisa lebih leluasa bergerak, dan Tuan Sanders bisa mengawasi anda,” papar Beatrice. Netra Faleesha membulat sempurna. Memuk
Pertama kali Faleesha datang ke perusahaan Sanders dia terkejut bukan main. Gedung miliknya berdiri di atas tanah yang luasnya satu hektar lebih. Belum lagi gedung-gedung yang menjulang tinggi hingga lantai tiga belas. Faleesha memang anak orang kaya, tetapi perusahaan papanya masih terbilang sama pada umumnya perusahaan. “Apa yang kau tunggu? Kenapa tidak turun?” Sanders mengejutkannya saat Faleesha tak bergeming. Dia masih anteng di mobil. “Anda yakin saya harus bekerja di sini, apa ada anak magang sepertiku nanti?” Faleesha mulai ragu. “Sepertinya kau sudah lupa tujuanmu kemari, biar aku ingatkan. Bukankah kau ingin segera pulang dan bertemu papamu?” Sanders tak mau Faleesha goyah. Bisa gagal rencananya. Faleesha mengangguk pasti. Dia menguatkan tekad, semua orang pasti juga bermula dari belajar. Gadis itu turun dan berjalan di samping Sanders. “Aku tidak akan lupa. Papa adalah orang yang paling penting dalam hidupku. Aku harus menjaganya,” gumamnya. Sanders hanya te
“Karena kau sudah lancang mendekati Sanders-ku,” pungkas Jinny.Wanita itu memberi kode pada temannya untuk membuka kancing baju Faleesha. “Tidak, jangan!” Faleesha saat salah seorang mulai menarik paksa kancing bagian atas bajunya. Belum sampai niat Jinny mempermalukan Faleesha terlaksana … Brak!Pintu kamar mandi terdorong dengan keras hingga terbuka. “Ada apa ini?” Seorang wanita seumuran dengan Jinny terkejut mendapati Faleesha … Sedang dirudapaksa oleh dua orang karyawan dan Jinny merekam videonya. Kebetulan dia sedang ke pantry dan mendengar teriakan. “Jangan ikut campur, Anabel. Pergilah!” usir Jinny. “Baik, aku akan pergi, tapi perlu kau tahu, sepertinya Direktur sebentar lagi akan ke pantry.”Wanita itu tampak berucap santai. “Sebaiknya segera kau sudahi kekacauan ini sebelum membuatnya marah-”“Kau tahu sendiri ‘kan, Direktur tidak suka keributan di tempat kerjanya.” Anabel memperingatkan dengan mimik tenang. Jinny berdecak kesal. Dia mengkode Friska dan Yun
Sanders melangkah cepat menyusul Faleesha. Tidak ingin gadis itu terlampau salah paham. Walaupun sebenarnya dia tidak perlu menjelaskan. Bukankah Faleesha tidak peduli?“Faleesha!” Sanders meraih pergelangan tangannya. Tampak acuh dan kesal, raut wajah gadis itu ditekuk sempurna. “Lebih baik anda menjauhi saya selama di tempat kerja.” Ucapannya dingin dan menusuk. Sanders bisa merasakan kemarahannya. “Dari pada saya kena sial gara-gara dekat dengan direktur,” ucapnya. Sanders beranjak mendekatinya, namun Faleesha berangsur mundur. “Jangan dengarkan dia. Jinny itu hanya-”“Berhenti berbohong! Anda jangan egois. Tidak semua wanita harus menuruti kemauanmu.” Tatapan Faleesha masih saja nyalang. Sanders terpaku melihatnya. Dia paham begitu tertekannya Faleesha. Ini hari pertamanya. Namun, sudah mendapat rundungan. “Tolong…” lirihnya. “Jauhi saya, Direktur. Saya hanya ingin bekerja. Jangan libatkan saya dalam masalah anda!” Setelah mengatakan hal itu, Faleesha berbalik dan kem
Faleesha sengaja pulang sendiri tanpa menunggu Sanders. Dia sedang ingin menjauh. Kesal sekali hari pertama kerja sudah kena sial. Sedang menunggu ojek online pesanannya, tiba-tiba sebuah mobil mendekat. Faleesha mendengus kesal. “Masuk,” titah Sanders. “Kenapa dia datang di waktu yang tidak tepat,” batin Faleesha. Gadis itu sedang kesal dan tidak ingin berdebat. “Baiklah,” jawabnya malas. Dia hendak membuka pintu belakang mobil namun, Sanders mencegahnya. “Duduk depan!” titahnya lagi. Faleesha hanya berdecak. Akhirnya dia menuruti, karena sedang benar-benar malas ribut. Pria itu membawa mobil yang sedikit agak rendah, membuat kepala Faleesha terbentur hingga dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung, sontak saja mencari pegangan dengan asal. Tanpa sengaja, Faleesha menyentuh bagian sensitif Sanders. Tanpa aba-aba, junior miliknya langsung tegak berdiri. “Maaf,” lirih gadis itu menarik tangannya dengan cekatan. “Aduh, sial sekali,” batinnya. Sedangkan Sanders me
Sanders menghentikan gerakannya. Dia menatap wajah Faleesha yang sedikit pucat. “Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?” tanya pria itu. Faleesha hanya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini tubuhku lemas sekali. Aku juga mual kalau mencium baumu.” Sanders seketika mengernyit. “Maksudmu aku bau?” Dia pun mengendus-endus tubuhnya sendiri. Merasai tidak ada yang salah dengan badannya. “Entahlah, aku tidak tau. Kenapa rasanya aku mual jika dekat denganmu,” balas Faleesha. Tetiba gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sanders mengikuti dan memijat tengkuk belakangnya. “Istirahatlah, aku panggilkan dokter,” titah Sanders. Faleesha hanya mengangguk lemah. Dia berjalan sembari memeluk pinggang sang suami. Walaupun mual dekat Sanders, tapi Faleesha tiba-tiba ingin sekali bermanja-manja dengannya. “Ck, katamu aku bau,” sungut Sanders merengkuh tubuh mungil istrinya. Tiba-tiba saja, Faleesha ambruk. Beruntung Sanders segera menangkapnya. “
Sesampainya di rumah sakit, Sanders segera memeluk Faleesha erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Sialan, kau membuatku sangat khawatir,” rutuknya. Pria itu mengecup lembut bibir Faleesha sampai tidak menyadari Meera menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Sst, kamu bisa tidak cium aku nanti aja. Itu Mama lagi sedih,” balas Faleesha berbisik. Sanders langsung terkesiap. Dia baru sadar jika ibu mertuanya berada tak jauh dari Faleesha. “Mama,” sapanya. Meera tersenyum sendu. “Tidak apa-apa, aku pernah merasakan seperti kalian. Masa pengantin baru, yang sulit berjauhan.” Sejurus kemudian tatapannya mengarah ke ruang Fahaz dirawat. “Bagaimana kondisi papa mertuamu?” tanya Meera. “Tidak ada luka yang parah, Ma. Dokter sudah menanganinya. Tetapi karena benturan yang cukup keras, Papa belum sadar hingga sekarang,” terang Sanders. “Baiklah, kalian bisa pulang. Aku yang akan menjaga Fahaz,” sela Meera. “Kita obati dulu tangan Mama,” jawab Faleesha. Meera baru s
“Aku yang seharusnya bicara seperti itu, Ervina. Kau datang kemari tidak membawa apa-apa, pergi juga harusnya tidak membawa apa pun,” tegas Meera tak takut. Dia pun lekas memanggil Wira agar membawa Yooshi ke rumah sakit terlebih dahulu. Pria berkaca mata itu datang tergopoh-gopoh dan terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bagian belakang. Sebenarnya, Wira sedikit mencemaskan keadaan Meera tetapi majikannya itu meyakinkannya agar dia berangkat terlebih dahulu. Meera akan menyusulnya nanti. Setelah Wira menghilang dengan membopong tubuh Yooshi. Ervina semakin menyeringai. “Tamat riwayatmu sekarang.” Ervina bergerak cepat mengeluarkan pisau dari balik saku bajunya yang sudah dia sembunyikan dan menyerang Meera. Meera terkejut melihat wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu hendak menghunusnya. Dia langsung menahan pisau itu dengan tangannya. Meera meringis kesakitan saat benda tajam itu merobek telapak tangannya. Darah yang mengucur tidak dia hiraukan. Yang terpenti
Secepat kilat mobil Sanders melaju di perjalanan. Dia tidak menghubungi Faleesha terlebih dahulu karena takut sang istri panik. Sesampainya di rumah sakit, Fahaz langsung dibawa ke UGD, beruntung lukanya tidak parah. Hanya benturan kecil yang membuatnya syok hingga pingsan. Dia juga tidak harus dioperasi. Hanya perlu penanganan intensif. Tetapi rahang Sanders sudah mengeras. Pertanda dia benar-benar marah kali ini. “Nick,” panggilnya. “Ya, Tuan,” jawab Nick. “Segera hubungi polisi, dan laporkan kejadian barusan, juga serahkan semua bukti yang memberatkan mereka yang kita dapatkan sebelumnya-” Sanders menjeda ucapannya. “Dan jangan lupa, ambil rekaman CCTV dekat daerah persimpangan kecelakaan terjadi.” “Siap, Tuan.” Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah majikannya. Sedangkan Sanders menunggu Fahaz dengan gelisah. Kali ini Ervina dan Angela tidak bisa dibiarkan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Faleesha muncul. Dia terkejut kenapa waktunya tepat sekali. Apa perasaan se
Fahaz tengah bahagia. Usahanya untuk kembali meminta maaf dan mengambil hati Meera tidak main-main. Walaupun wanita terkasihnya itu masih tidak mau sekedar berbincang, tapi Meera sudah sering mengingatkan dia untuk minum obat. Terkadang ketika ibu kandung Faleesha itu ingin pergi atau angkat kaki dari rumahnya, Fahaz selalu mencari cara agar bisa menggagalkannya. Bertahun lamanya dia telah berbuat tidak adil pada keluarga kecilnya. Ini saatnya menebus semuanya. Bahkan dia tidak ingat sedikitpun tentang Ervina. Wanita licik itu sudah berhasil mengobrak-abrik keluarganya. Fahaz tidak akan membiarkannya kali ini. “Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi,” ujar sang sopir. Fahaz menoleh ke belakang untuk memastikan. “Jalan terus saja, Pak. Abaikan saja. Mungkin kebetulan arah kita sama.” “Baik, Tuan.” “Meera, aku akan menebus kesalahanku dan tidak akan membiarkanmu hidup menderita lagi,” gumam Fahaz dengan wajah berbinar. “Tuan, mobil di belakang semakin mendekat, dan
“Kamu keren sekali,” bisik Emily. Faleesha menghembuskan napas pelan. “Kamu tidak tahu saja betapa aku menyesal kenapa tidak bisa tegas sama mereka dari dulu.” “Bahkan ketika mereka mengucilkan aku dulu, Papa dengan mudahnya percaya begitu saja. Aku tak mendapat dukungan dari siapa pun, Em. Tapi sekarang, aku tidak akan tinggal diam setelah membongkar kebusukan mereka,” lanjut Faleesha. “Bagus, kamu memang harus seperti itu,” jawab Emily memberi semangat. “Makasih ya, sudah mau menemaniku dan menjagaku.” tiba-tiba gadis itu menjadi sentimentil. Karena selama ini merasa tidak pernah punya keluarga dekat. Dari dulu sang Papa melarangnya bertemu siapa pun tanpa alasan yang jelas. “Kau ini bicara apa, sudah jadi tugasku. Kau lupa Tuan akan menghabisiku kalau sampai kau kenapa-kenapa,” jawab Emily. Setelah mengatakannya, gadis tomboy itu membuat gerakan menggores lehernya dengan tangan. Membuat Faleesha semakin terkekeh. “Percayalah, suamiku sekarang tidak sekejam itu,” timpalnya.
Faleesha menghentakkan kakinya dengan keras. Dia memakai pantofel setinggi 5 cm. Tersenyum lebar berjalan menuju kedua ibu beranak itu. Angela dan Ervina tampak melongo melihat penampilan Faleesha. Dia sungguh berkelas. Tidak seperti biasanya yang cenderung casual. “Ngapain kamu di sini?” tanya Angela tak suka. Tatapannya penuh kebencian. Karena bukti yang Faleesha berikan membuat gadis itu menang telak. “Harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian datang kemari?” Gadis itu melipat kedua tangannya ke dada. Memberi tatapan tidak bersahabat. “Ck, songong,” gumam Angela kesal. “Begitukah cara kamu berbicara pada ibumu, Fal?” Ervina bersuara. Dia tampak geram melihat tingkah laku Faleesha. Tahu begitu, dulu lebih baik gadis itu dilenyapkan saja. “Lantas aku harus bicara pada Tante dengan nada yang sopan? Sedangkan kalian saja marah-marah tidak tahu tempat, apa tidak malu jadi tontonan banyak orang?” tanya Faleesha penuh penekanan. "Dan satu lagi, Anda bukan ibu saya." “Heh, jang
“Tuan, saya baru saja menerima informasi dari Emily, Nona Faleesha sedang di perusahaan ayahnya,” ujar Nick. Sanders mengernyit. “Untuk apa?” “Kata Emily ada urusan yang harus Nona selesaikan, ibu dan saudara tirinya berulah lagi,” balas Nick. Ada rasa khawatir yang menyeruak dalam hatinya, namun Sanders berusaha mengabaikan. Bagiamana pun, Faleesha harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia juga nantinya yang akan menggantikan posisi ayahnya. “Apa kita ke perusahaan Tuan Fahaz saja?” tanya Nick memastikan. “Tidak perlu, jalan saja,” balas Sanders. “Apa Tuan tidak khawatir pada Nona?” “Tentu saja khawatir, tapi dia perlu belajar mandiri jika ingin memimpin perusahaan, Jika nanti ada kendala, barulah aku turun tangan,” balas Sanders. Nick tidak pernah melihat perubahan yang begitu besar pada majikannya selama ini. Dinilainya Sanders jauh lebih tenang dan tidak pernah emosi berlebihan. Faleesha benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. “Lagipula katamu tadi, ist
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d