Sanders melangkah cepat menyusul Faleesha. Tidak ingin gadis itu terlampau salah paham. Walaupun sebenarnya dia tidak perlu menjelaskan. Bukankah Faleesha tidak peduli?“Faleesha!” Sanders meraih pergelangan tangannya. Tampak acuh dan kesal, raut wajah gadis itu ditekuk sempurna. “Lebih baik anda menjauhi saya selama di tempat kerja.” Ucapannya dingin dan menusuk. Sanders bisa merasakan kemarahannya. “Dari pada saya kena sial gara-gara dekat dengan direktur,” ucapnya. Sanders beranjak mendekatinya, namun Faleesha berangsur mundur. “Jangan dengarkan dia. Jinny itu hanya-”“Berhenti berbohong! Anda jangan egois. Tidak semua wanita harus menuruti kemauanmu.” Tatapan Faleesha masih saja nyalang. Sanders terpaku melihatnya. Dia paham begitu tertekannya Faleesha. Ini hari pertamanya. Namun, sudah mendapat rundungan. “Tolong…” lirihnya. “Jauhi saya, Direktur. Saya hanya ingin bekerja. Jangan libatkan saya dalam masalah anda!” Setelah mengatakan hal itu, Faleesha berbalik dan kem
Faleesha sengaja pulang sendiri tanpa menunggu Sanders. Dia sedang ingin menjauh. Kesal sekali hari pertama kerja sudah kena sial. Sedang menunggu ojek online pesanannya, tiba-tiba sebuah mobil mendekat. Faleesha mendengus kesal. “Masuk,” titah Sanders. “Kenapa dia datang di waktu yang tidak tepat,” batin Faleesha. Gadis itu sedang kesal dan tidak ingin berdebat. “Baiklah,” jawabnya malas. Dia hendak membuka pintu belakang mobil namun, Sanders mencegahnya. “Duduk depan!” titahnya lagi. Faleesha hanya berdecak. Akhirnya dia menuruti, karena sedang benar-benar malas ribut. Pria itu membawa mobil yang sedikit agak rendah, membuat kepala Faleesha terbentur hingga dia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung, sontak saja mencari pegangan dengan asal. Tanpa sengaja, Faleesha menyentuh bagian sensitif Sanders. Tanpa aba-aba, junior miliknya langsung tegak berdiri. “Maaf,” lirih gadis itu menarik tangannya dengan cekatan. “Aduh, sial sekali,” batinnya. Sedangkan Sanders me
Emily memperhatikan Faleesha yang keluar dari hotel memakai syal di lehernya. “Apa kau sakit?” tanya dia. “Tidak. Ayo kita harus cepat,” ajak Faleesha. Seperti biasa, dia diantar oleh Nick dan Emily. Nick akan kembali setelah mengantar mereka. “Apa kau dan Tuan Sanders habis cek in di hotel?” Pertanyaan Emily tanpa tedeng aling-aling membuat wajah Faleesha seketika memerah. “Emily! Tidak sopan bertanya seperti itu,” sela Nick menengahi. “Maksudku, bukankah Tuan punya mansion mewah. Kenapa harus ke hotel?” Emily masih penasaran. Faleesha hanya tersenyum kaku. Merutuki ulahnya sendiri. “Aku menemaninya bertemu klien,” jawab Faleesha. “Oh.” Emily hanya mengangguk. Faleesha membetulkan letak syalnya. Gara-gara Sanders, lehernya penuh dengan tanda merah, katanya itu tanda kepemilikan. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Saat lampu merah, Faleesha melihat Eric sendirian. Berhenti di sampingnya tepat. Ada rasa bersalah menyeruak. Kenapa dia sudah lupa dengan sosok Eric sa
Gadis itu tersentak mendengar suara ayahnya yang begitu lemah. Faleesha segera mendekat dan Emily dengan sigap berjaga di depan pintu kamar. “Kamu pulang, Nak.” Tangan keriput itu kini membelai lembut wajah sang putri. “Ya, Papa. Aku di sini,” balas Faleesha. “Kamu tidak akan pergi lagi ‘kan?” Deg. Hati Faleesha mendadak nyeri. Dia tahu tidak akan bisa menemani ayahnya lagi seperti dulu. Sanders tidak akan membiarkannya bebas sebelum targetnya terpenuhi. “Papa, ada kerjaan yang harus-” “Baiklah, Sayang. Papa mengerti,” pungkas Fahaz. Dia sudah bisa menebak jawaban Faleesha. Rasa sakit hati putrinya belum juga sembuh. Memang pria paruh baya itu tidak pernah tahu bagaimana perasaan Faleesha. Fahaz sudah berjanji tidak akan memaksakan kehendak Faleesha lagi. Sakit yang dia derita seolah teguran dari Tuhan karena keegoisannya. “Maafkan aku, Pa. Tapi, Faleesha janji, akan kembali secepatnya ke rumah.” “Benarkah itu?” Netra Fahaz seketika berkaca-kaca. Masih ada harapan unt
Faleesha hanya tersenyum santai mendengar ucapan Angela. Sudah biasa saudara tirinya itu menggertaknya. Memang tujuannya hanya untuk membuat Faleesha emosi. “Tidak salah, Angel? Selama ini ‘kan kau selalu berlindung dibalik ketiak mamimu, itu apa namanya?” Setelah mengatakan hal itu, Faleesha pun berjalan keluar ke halaman depan. Dia tidak ingin kegaduhan yang dibuat Angela terdengar ayahnya. Gadis itu seolah tak terima dan berjalan mendekat. Tangannya terulur hendak mendorong tubuh Faleesha namun, Sialnya Faleesha sudah menghindar lebih dulu. “Jangan menyentuhku, Angela. Kebetulan aku sedang punya waktu luang. Kau ingin kita bermain-main.” Senyumnya melengkung sempurna membuat dada Angela semakin bergemuruh. “Jangan pernah kembali lagi kemari. Tempatmu bukan di sini. Apa jangan-jangan kau membohongi Tuan Sanders?” Angela mulai curiga. “Bagaimana mungkin dia mengijinkanmu keluar, sedangkan kamu hanya budak-” “Jaga mulutmu!” Faleesha memotong sebelum Angela meneruskan uc
“Saya memang menyarankan untuk Pak Fahaz agar rutin mengkonsumsi obat, hanya beberapa vitamin untuk pemulihan,” ujar seorang dokter. Faleesha baru saja sampai di rumah sakit dengan Emily. Dan dia langsung menghadap ke dokter spesialis penyakit dalam yang menangani papanya. Gadis itu begitu lega mendengar pernyataan sang dokter. “Tapi, Dok. Kira-kira apa ada efek samping dari obat itu?” Sang dokter pun menggeleng. “Efek sampingnya hanya kantuk saja, untuk efek lain yang berlebih tidak ada sama sekali.” Dari awal Faleesha sudah merasa ada yang tidak beres. “Tapi, kenapa pandangan papa saya semakin berkurang ya, Dok, setelah beberapa hari minum obatnya?” cecarnya. “Itu tidak mungkin. Karena tidak ada hubungannya dengan saraf penglihatan,” bantah sang dokter. Faleesha mengeluarkan beberapa tablet bekas obat yang Emily ambil dari sampah. “Ini ‘kan, Dok, obatnya?” tanya dia memastikan. Sang dokter membulatkan bola matanya. “Loh, saya tidak pernah meresepkan obat ini, ini obat d
“Kamu dari mana saja, Sayang.” Fahaz begitu bersemangat saat putrinya datang. “Maaf, Pa. Tadi Faleesha ketemu temen sebentar-”“Nih, aku bawakan makanan kesukaan Papa, martabak telur yeay!” Gadis itu berseru gembira. Sejak kecil, dia sering menghabiskan satu porsi martabak telur dengan sang ayah. Netra Fahaz berkaca-kaca. Tak mengira anaknya masih ingat kebiasaan mereka. “Kamu ini memang gadis kecil Papa.” Fahaz mencubit hidung mancung Faleesha dengan gemas. Entah kapan terakhir kali hubungan mereka sehangat ini. “Yuk, makan, Pa.” Gadis itu memberi satu suapan untuk sang ayah, dan mereka tergelak bersama. “Sayang, mana obat yang katanya harus Papa minum?” Faleesha terdiam. Ayahnya benar-benar mudah dibohongi. Mungkin karena ketulusan hatinya pada sang istri, sehingga kepercayaannya begitu besar. Sampai tidak sadar telah dihasut. “Emm, ya kita habiskan dulu martabaknya, Pa.” Faleesha berusaha mengalihkan perhatian. Tangannya begitu cekatan meraih kantong plastik dan me
Wanita paruh baya itu mulai bergerak cepat. Dengan tangan gesitnya, dia mengobrak abrik seluruh berkas-berkas penting yang ada di lemari. “Udah ketemu belum, Mi? Jangan lama-lama,” ucap anak gadisnya. “Ya sabar, ‘kan Mami masih pilah-pilah, Angel.” Ibu dan anak itu melancarkan aksinya malam hari saat para penghuni rumah tertidur pulas. Mereka mencari berkas penting yang ingin mereka kuasai. “Takut ada yang lihat, Mi.” “Kamu tenang aja, mereka sudah tidur semua. Mami sudah pastikan.” Netra Ervina akhirnya menemukan sertifikat rumah dan kepemilikan perusahaan. “Nah, ini dia!” Wanita paruh baya itu berseru. “Wah asik!” Sang anak pun ikut berseru! Kedua ibu dan anak itu pun wajahnya seketika berbinar. “Nggak sia-sia kita bikin mereka tidur nyenyak, Mi,” bisik gadis itu. “Jadi, kamu masukin obat tidur lagi ke makanan mereka, Angela?” tanya Ervina heran. “Ya iya lah, Mi. Kalau nggak gitu mana bisa kita geledah ruang pribadi Papa.” “Kamu memang anak Mami yang paling pinter.
Sanders menghentikan gerakannya. Dia menatap wajah Faleesha yang sedikit pucat. “Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?” tanya pria itu. Faleesha hanya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini tubuhku lemas sekali. Aku juga mual kalau mencium baumu.” Sanders seketika mengernyit. “Maksudmu aku bau?” Dia pun mengendus-endus tubuhnya sendiri. Merasai tidak ada yang salah dengan badannya. “Entahlah, aku tidak tau. Kenapa rasanya aku mual jika dekat denganmu,” balas Faleesha. Tetiba gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sanders mengikuti dan memijat tengkuk belakangnya. “Istirahatlah, aku panggilkan dokter,” titah Sanders. Faleesha hanya mengangguk lemah. Dia berjalan sembari memeluk pinggang sang suami. Walaupun mual dekat Sanders, tapi Faleesha tiba-tiba ingin sekali bermanja-manja dengannya. “Ck, katamu aku bau,” sungut Sanders merengkuh tubuh mungil istrinya. Tiba-tiba saja, Faleesha ambruk. Beruntung Sanders segera menangkapnya. “
Sesampainya di rumah sakit, Sanders segera memeluk Faleesha erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Sialan, kau membuatku sangat khawatir,” rutuknya. Pria itu mengecup lembut bibir Faleesha sampai tidak menyadari Meera menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Sst, kamu bisa tidak cium aku nanti aja. Itu Mama lagi sedih,” balas Faleesha berbisik. Sanders langsung terkesiap. Dia baru sadar jika ibu mertuanya berada tak jauh dari Faleesha. “Mama,” sapanya. Meera tersenyum sendu. “Tidak apa-apa, aku pernah merasakan seperti kalian. Masa pengantin baru, yang sulit berjauhan.” Sejurus kemudian tatapannya mengarah ke ruang Fahaz dirawat. “Bagaimana kondisi papa mertuamu?” tanya Meera. “Tidak ada luka yang parah, Ma. Dokter sudah menanganinya. Tetapi karena benturan yang cukup keras, Papa belum sadar hingga sekarang,” terang Sanders. “Baiklah, kalian bisa pulang. Aku yang akan menjaga Fahaz,” sela Meera. “Kita obati dulu tangan Mama,” jawab Faleesha. Meera baru s
“Aku yang seharusnya bicara seperti itu, Ervina. Kau datang kemari tidak membawa apa-apa, pergi juga harusnya tidak membawa apa pun,” tegas Meera tak takut. Dia pun lekas memanggil Wira agar membawa Yooshi ke rumah sakit terlebih dahulu. Pria berkaca mata itu datang tergopoh-gopoh dan terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bagian belakang. Sebenarnya, Wira sedikit mencemaskan keadaan Meera tetapi majikannya itu meyakinkannya agar dia berangkat terlebih dahulu. Meera akan menyusulnya nanti. Setelah Wira menghilang dengan membopong tubuh Yooshi. Ervina semakin menyeringai. “Tamat riwayatmu sekarang.” Ervina bergerak cepat mengeluarkan pisau dari balik saku bajunya yang sudah dia sembunyikan dan menyerang Meera. Meera terkejut melihat wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu hendak menghunusnya. Dia langsung menahan pisau itu dengan tangannya. Meera meringis kesakitan saat benda tajam itu merobek telapak tangannya. Darah yang mengucur tidak dia hiraukan. Yang terpenti
Secepat kilat mobil Sanders melaju di perjalanan. Dia tidak menghubungi Faleesha terlebih dahulu karena takut sang istri panik. Sesampainya di rumah sakit, Fahaz langsung dibawa ke UGD, beruntung lukanya tidak parah. Hanya benturan kecil yang membuatnya syok hingga pingsan. Dia juga tidak harus dioperasi. Hanya perlu penanganan intensif. Tetapi rahang Sanders sudah mengeras. Pertanda dia benar-benar marah kali ini. “Nick,” panggilnya. “Ya, Tuan,” jawab Nick. “Segera hubungi polisi, dan laporkan kejadian barusan, juga serahkan semua bukti yang memberatkan mereka yang kita dapatkan sebelumnya-” Sanders menjeda ucapannya. “Dan jangan lupa, ambil rekaman CCTV dekat daerah persimpangan kecelakaan terjadi.” “Siap, Tuan.” Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah majikannya. Sedangkan Sanders menunggu Fahaz dengan gelisah. Kali ini Ervina dan Angela tidak bisa dibiarkan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Faleesha muncul. Dia terkejut kenapa waktunya tepat sekali. Apa perasaan se
Fahaz tengah bahagia. Usahanya untuk kembali meminta maaf dan mengambil hati Meera tidak main-main. Walaupun wanita terkasihnya itu masih tidak mau sekedar berbincang, tapi Meera sudah sering mengingatkan dia untuk minum obat. Terkadang ketika ibu kandung Faleesha itu ingin pergi atau angkat kaki dari rumahnya, Fahaz selalu mencari cara agar bisa menggagalkannya. Bertahun lamanya dia telah berbuat tidak adil pada keluarga kecilnya. Ini saatnya menebus semuanya. Bahkan dia tidak ingat sedikitpun tentang Ervina. Wanita licik itu sudah berhasil mengobrak-abrik keluarganya. Fahaz tidak akan membiarkannya kali ini. “Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi,” ujar sang sopir. Fahaz menoleh ke belakang untuk memastikan. “Jalan terus saja, Pak. Abaikan saja. Mungkin kebetulan arah kita sama.” “Baik, Tuan.” “Meera, aku akan menebus kesalahanku dan tidak akan membiarkanmu hidup menderita lagi,” gumam Fahaz dengan wajah berbinar. “Tuan, mobil di belakang semakin mendekat, dan
“Kamu keren sekali,” bisik Emily. Faleesha menghembuskan napas pelan. “Kamu tidak tahu saja betapa aku menyesal kenapa tidak bisa tegas sama mereka dari dulu.” “Bahkan ketika mereka mengucilkan aku dulu, Papa dengan mudahnya percaya begitu saja. Aku tak mendapat dukungan dari siapa pun, Em. Tapi sekarang, aku tidak akan tinggal diam setelah membongkar kebusukan mereka,” lanjut Faleesha. “Bagus, kamu memang harus seperti itu,” jawab Emily memberi semangat. “Makasih ya, sudah mau menemaniku dan menjagaku.” tiba-tiba gadis itu menjadi sentimentil. Karena selama ini merasa tidak pernah punya keluarga dekat. Dari dulu sang Papa melarangnya bertemu siapa pun tanpa alasan yang jelas. “Kau ini bicara apa, sudah jadi tugasku. Kau lupa Tuan akan menghabisiku kalau sampai kau kenapa-kenapa,” jawab Emily. Setelah mengatakannya, gadis tomboy itu membuat gerakan menggores lehernya dengan tangan. Membuat Faleesha semakin terkekeh. “Percayalah, suamiku sekarang tidak sekejam itu,” timpalnya.
Faleesha menghentakkan kakinya dengan keras. Dia memakai pantofel setinggi 5 cm. Tersenyum lebar berjalan menuju kedua ibu beranak itu. Angela dan Ervina tampak melongo melihat penampilan Faleesha. Dia sungguh berkelas. Tidak seperti biasanya yang cenderung casual. “Ngapain kamu di sini?” tanya Angela tak suka. Tatapannya penuh kebencian. Karena bukti yang Faleesha berikan membuat gadis itu menang telak. “Harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian datang kemari?” Gadis itu melipat kedua tangannya ke dada. Memberi tatapan tidak bersahabat. “Ck, songong,” gumam Angela kesal. “Begitukah cara kamu berbicara pada ibumu, Fal?” Ervina bersuara. Dia tampak geram melihat tingkah laku Faleesha. Tahu begitu, dulu lebih baik gadis itu dilenyapkan saja. “Lantas aku harus bicara pada Tante dengan nada yang sopan? Sedangkan kalian saja marah-marah tidak tahu tempat, apa tidak malu jadi tontonan banyak orang?” tanya Faleesha penuh penekanan. "Dan satu lagi, Anda bukan ibu saya." “Heh, jang
“Tuan, saya baru saja menerima informasi dari Emily, Nona Faleesha sedang di perusahaan ayahnya,” ujar Nick. Sanders mengernyit. “Untuk apa?” “Kata Emily ada urusan yang harus Nona selesaikan, ibu dan saudara tirinya berulah lagi,” balas Nick. Ada rasa khawatir yang menyeruak dalam hatinya, namun Sanders berusaha mengabaikan. Bagiamana pun, Faleesha harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia juga nantinya yang akan menggantikan posisi ayahnya. “Apa kita ke perusahaan Tuan Fahaz saja?” tanya Nick memastikan. “Tidak perlu, jalan saja,” balas Sanders. “Apa Tuan tidak khawatir pada Nona?” “Tentu saja khawatir, tapi dia perlu belajar mandiri jika ingin memimpin perusahaan, Jika nanti ada kendala, barulah aku turun tangan,” balas Sanders. Nick tidak pernah melihat perubahan yang begitu besar pada majikannya selama ini. Dinilainya Sanders jauh lebih tenang dan tidak pernah emosi berlebihan. Faleesha benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. “Lagipula katamu tadi, ist
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d