“Biarkan dia istirahat total, jangan ajak bicara dulu, sebab kondisinya belum memungkinkan. Rahangnya baru diperbaiki posisinya, akan sangat sakit jika diajak banyak bicara.” Dokter menjelaskan setelah aku memanggilnya untuk memeriksa Robin selepas ia sadar.Aku hanya bisa mengangguk dengan lembut. Pesan itu membuatku belum bisa menanyai Robin mengenai masalah tadi malam. Aku ingin tahu apa yang terjadi, agar aku bisa menjelaskan ketika nanti polisi datang untuk meminta keterangan.Dokter itu beranjak keluar setelah ia meninggalkan pesan.Ponsel yang berada di atas nakas berdering. Tertulis nama Ruri di sana, aku segera menerima panggilan darinya.“Aku di depan ruang ICU sekarang, apa bisa langsung masuk?” Lelaki itu bertanya dengan ragu.Aku menatap Robin yang tengah tertidur dengan lelap. Lalu, beranjak meninggalkannya untuk menemui Ruri di luar sana.“Kau di luar saja.” Aku langsung berucap setelah membuka pintu ruangan.Sebab tidak ingin Ruri bertemu dengan Robin, karena Ruri past
Ruri tersenyum lebar, tatapannya penuh dengan binar. Peganganku pada tangannya ia lepas secara lembut. Ia menarik napas dengan dalam.“Aku tidak bisa.” Ia langsung memberikan penolakan. Orang yang kukira memiliki perasaan yang sama denganku karena selalu bersikap lembut dan penuh perhatian, ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.“Kenapa?” Aku tidak menerima penolakan. Susah payah aku mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaan, malah penolakan yang aku dapatkan.“Kurasa aku tidak perlu memberikan penjelasan.” Ia berucap dengan lembut, tapi terkesan sangat tegas.“Apa karena aku tidak lagi cantik?” Suaraku mulai bergetar.Mengapa semua orang seolah menolak kehadiranku? Apa aku dilahirkan memang sehina itu? Hanya untuk menjadi budak Dewangga yang akan selalu mendapatkan siksaan darinya? Kurasa Dewangga benar, hanya dia yang bisa mencintaiku lebih dari apa pun. Tidak ada orang yang bisa mencintaiku seperti ia mencintaiku.“Kupikir kau juga menyukaiku.” Aku berucap dengan lemah.
Dokter memberikan nasehat agar aku lebih ketat lagi dalam mengawasi Robin. Aku sempat ditegur karena kurang cepat menghubungi dokter. Padahal hanya dengan menekan tombol, petugas akan datang untuk mengecek.Aku hanya bisa menarik napas dengan berat. Lalu mengangguk sebagai pertanda bahwa aku mengerti.Mereka pamit pergi setelah memastikan bahwa Robin baik-baik saja.Aku kembali duduk di kursi samping brankar, menatap Robin yang tengah terlelap karena obat penenang. Tampaknya dendam yang ada antara ia dan Dewangga begitu besar sekarang. Padahal, sebelumnya mereka adalah teman baik sebelum aku dibawa pergi olehnya.Aku semakin merasa bersalah. Kuraih tangan Robin, lalu membawanya untuk kugenggam. Meminta maaf atas semua kekacauan yang sudah kulakukan. Ia terbaring lemah seperti ini karena aku. Ia terpisah dengan kekasihnya juga karena aku.Tangan itu terasa dingin.Aku menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Tapi tidak ada siapa-siapa ketika aku melihat ke arah sumber suara. Pintu
Mobil berjalan dengan kecepatan tinggi meninggalkan lokasi di mana Dewangga hendak mengeluarkan janinku secara paksa. Pantas saja tidak ada yang mendengar sama sekali. Sebab, lokasinya yang cukup jauh dari pemukiman warga. Memang tidak sejauh itu, tapi sudah pasti tidak akan terdengar jika ada teriakan yang berasal dari sana. Apalagi teriakan yang bersumber dari ruangan tertutup seperti tadi.Dewangga setuju mempertahankan janin yang ada dalam kandunganku, asal hubungan kami kembali seperti dulu. Untuk saat ini aku tidak punya pilihan selain setuju. Setidaknya biarkan Karin ia lepas dulu, lalu aku akan mencari jalan untuk kembali lepas dari genggamannya tanpa melibatkan siapa pun.Tidak ada percakapan sama sekali sepanjang perjalanan. Dia memang bertanya banyak hal, tapi tidak ada satu pun yang kuberikan jawaban. Anehnya untuk kali ini ia tidak tersulut emosi sama sekali. Hanya tarikan napas kasar yang terdengar darinya.Bagiku dia orang asing sekarang.Dewangga meraih tanganku untuk
Aku sarapan seorang diri dengan tidak bernafsu sama sekali. Entah apa alasan Dewangga memasangkan gelang itu di kakiku, sementara kami telah sepakat untuk kembali seperti dulu.Ruri menghampiri, ia duduk di kursi berseberangan. Ia tidak ikut makan sama sekali, hanya menatapku dengan lamat-lamat. Aku jadi semakin tidak bisa menikmati.“Apa salahku?” Ruri bertanya dengan bingung.Aku tetap tidak ingin menjawab. Mendengar pertanyaannya membuatku begitu jengah. Seolah ia tidak tahu mengapa aku bersikap seperti ini. Sudah jelas karena ia membuatku salah paham dengan semua perhatian dan kelembutan yang ia berikan.Saat makan siang, ia juga kembali menghampiri, menanyakan hal yang sama. Di mana letak kesalahannya. Namun, aku tetap enggan untuk menjawab.Saat makan malam, ia datang lagi. Namun, kali ini ia tidak ada bertanya sama sekali. Hanya duduk dan diam menyaksikan. Ia tidak beranjak sebelum aku beranjak lebih dulu.Ruri ikut bangkit setelah aku bangkit. Ia mengekor di belakang. Seolah m
“Morning, Baby!” Sebuah pelukan hangat mendarat dari belakang ketika aku tengah menyiapkan sarapan. Dewangga memberikan kecupan lembut di tengkuk sebagai salam selamat pagi.Aku semakin merasakan hangat dari cinta yang ia beri. Meski cinta belum kembali tumbuh dalam dada seperti dulu kala, aku bisa menerima perlakuan yang ia berikan.“Kamu mau jus?” Aku menawarkan minuman untuk teman nasi goreng yang tengah aku siapkan.“Boleh.”“Jus apa?”“Terserah kamu saja. Aku suka apa pun yang akan kamu hidangkan.” Ia menjawab dengan lembut.Dewangga beranjak menuju meja makan, menarik kursi dan duduk dengan tenang di sana. Menunggu sarapan yang akan aku hidangkan.Aku membuka kulkas, mencari buah yang ia suka; jeruk.“Kamu ada masalah sama Ruri?” Dewangga bertanya di tengah aku sibuk menyiapkan sarapan kami.Aku hanya diam, tidak ingin membahas lelaki itu lagi. Kuanggap aku tidak pernah menyatakan apa pun pada Ruri. Kuanggap semua perasaanku padanya hanyalah sebuah oase. Sebuah ketidaknyataan, se
Sekarang Ruri yang memberikan jarak setelah ia meluapkan amarahnya karena selalu kuabaikan. Ia selalu menghindar saat melihatku dari kejauhan. Aku merasa sangat tidak enak hati. Tampaknya ia benar-benar marah dengan sikapku akhir-akhir ini.Dewangga pulang dengan membawa sekotak hadiah. Ia benar-benar telah berubah, perlakuannya kembali lembut seperti dulu lagi.Aku membuka kotak hadiah dengan penuh semangat. Sebuah Iphone keluaran terbaru. Ia menebus kesalahan karena pernah membanting ponselku dengan memberikan ponsel yang baru. Aku baru ingat jika Ruri pernah memberikan ponselnya padaku, entah di mana ponsel itu sekarang.“Aku mau Ruri kembali bekerja seperti biasa. Aku tidak suka dengan Anna.” Aku berucap dengan manja.“Kau bahkan tidak berterima kasih untuk hadiah yang kuberikan.” Dewangga protes karena aku tidak memberikan respons dengan hadiah yang ia beri.Aku tersenyum lebar, memeluk dan memberikan ciuman. Memberi ucapan terima kasih atas hadiah yang sudah ia beri.Dewangga ter
Hari ini Dewangga tidak berangkat kerja sama sekali. Ia menemaniku di kamar seharian, mengompres perutku untuk menghilangkan rasa sakit karena kram. Kurasa Ruri berbohong mengenai gelang yang diberikan oleh Dewangga. Tidak mungkin ia memberikan gelang semacam itu, sementara sifatnya semanis ini.Dewangga menempelkan telinganya ke perutku. Ia ajak janin itu untuk berbicara. Terlihat dengan jelas jika ia sudah menerima kehamilanku sekarang. Kurasa tidak ada hal yang perlu kutakutkan dalam masalah ini. Ia benar-benar kembali menjadi Dewangga yang kukenal dulu. Penuh dengan kelembutan dan perhatian.Aku tersenyum menatap, merasa bahagia dengan perubahan Dewangga. Ia menunjukkan semua sisi baik yang ia punya.“Besok kita belanja keperluan ibu hamil.” Ia berucap seraya menatap penuh cinta.Setelah kembali, memang tidak banyak pakaian yang bisa kukenakan, sebab perut yang besar. Susu dan vitamin ibu hamil juga tidak tersedia. Sebab, semuanya tertinggal di rumah ibu Robin. Mengingat itu, aku
Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d
“Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend
“Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern
Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.
“Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih
POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s
POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu
Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,
Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala