Beranda / Rumah Tangga / Hasrat Liar Suamiku / 48. Nyawa Dibayar Nyawa

Share

48. Nyawa Dibayar Nyawa

Penulis: Rich Ghali
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-08 17:25:58
“Morning, Baby!” Sebuah pelukan hangat mendarat dari belakang ketika aku tengah menyiapkan sarapan. Dewangga memberikan kecupan lembut di tengkuk sebagai salam selamat pagi.

Aku semakin merasakan hangat dari cinta yang ia beri. Meski cinta belum kembali tumbuh dalam dada seperti dulu kala, aku bisa menerima perlakuan yang ia berikan.

“Kamu mau jus?” Aku menawarkan minuman untuk teman nasi goreng yang tengah aku siapkan.

“Boleh.”

“Jus apa?”

“Terserah kamu saja. Aku suka apa pun yang akan kamu hidangkan.” Ia menjawab dengan lembut.

Dewangga beranjak menuju meja makan, menarik kursi dan duduk dengan tenang di sana. Menunggu sarapan yang akan aku hidangkan.

Aku membuka kulkas, mencari buah yang ia suka; jeruk.

“Kamu ada masalah sama Ruri?” Dewangga bertanya di tengah aku sibuk menyiapkan sarapan kami.

Aku hanya diam, tidak ingin membahas lelaki itu lagi. Kuanggap aku tidak pernah menyatakan apa pun pada Ruri. Kuanggap semua perasaanku padanya hanyalah sebuah oase. Sebuah ketidaknyataan, se
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Hasrat Liar Suamiku    49. Amarah Dewa

    Sekarang Ruri yang memberikan jarak setelah ia meluapkan amarahnya karena selalu kuabaikan. Ia selalu menghindar saat melihatku dari kejauhan. Aku merasa sangat tidak enak hati. Tampaknya ia benar-benar marah dengan sikapku akhir-akhir ini.Dewangga pulang dengan membawa sekotak hadiah. Ia benar-benar telah berubah, perlakuannya kembali lembut seperti dulu lagi.Aku membuka kotak hadiah dengan penuh semangat. Sebuah Iphone keluaran terbaru. Ia menebus kesalahan karena pernah membanting ponselku dengan memberikan ponsel yang baru. Aku baru ingat jika Ruri pernah memberikan ponselnya padaku, entah di mana ponsel itu sekarang.“Aku mau Ruri kembali bekerja seperti biasa. Aku tidak suka dengan Anna.” Aku berucap dengan manja.“Kau bahkan tidak berterima kasih untuk hadiah yang kuberikan.” Dewangga protes karena aku tidak memberikan respons dengan hadiah yang ia beri.Aku tersenyum lebar, memeluk dan memberikan ciuman. Memberi ucapan terima kasih atas hadiah yang sudah ia beri.Dewangga ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-08
  • Hasrat Liar Suamiku    50. Kedatangan Ibu Mertua

    Hari ini Dewangga tidak berangkat kerja sama sekali. Ia menemaniku di kamar seharian, mengompres perutku untuk menghilangkan rasa sakit karena kram. Kurasa Ruri berbohong mengenai gelang yang diberikan oleh Dewangga. Tidak mungkin ia memberikan gelang semacam itu, sementara sifatnya semanis ini.Dewangga menempelkan telinganya ke perutku. Ia ajak janin itu untuk berbicara. Terlihat dengan jelas jika ia sudah menerima kehamilanku sekarang. Kurasa tidak ada hal yang perlu kutakutkan dalam masalah ini. Ia benar-benar kembali menjadi Dewangga yang kukenal dulu. Penuh dengan kelembutan dan perhatian.Aku tersenyum menatap, merasa bahagia dengan perubahan Dewangga. Ia menunjukkan semua sisi baik yang ia punya.“Besok kita belanja keperluan ibu hamil.” Ia berucap seraya menatap penuh cinta.Setelah kembali, memang tidak banyak pakaian yang bisa kukenakan, sebab perut yang besar. Susu dan vitamin ibu hamil juga tidak tersedia. Sebab, semuanya tertinggal di rumah ibu Robin. Mengingat itu, aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-09
  • Hasrat Liar Suamiku    51. Amarah Ruri

    Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk menyiapkan sarapan. Kali ini sedikit berbeda, sebab ada mertua yang mengawasi dari belakang. Wanita paruh baya itu duduk di kursi makan, mengomentari setiap apa yang aku lakukan.Semuanya salah di matanya, membuatku merasa sangat tidak nyaman setiap mendengar komentar yang ia lontarkan. Aku tahu ini rumah anaknya. Semua yang ada di sini hasil keringat Dewangga, tapi bukan berarti ia bisa semena-mena.“Kamu itu memang tidak bisa apa-apa.” Ia berucap dengan angkuh, lalu mengambil alih pekerjaanku.“Sya, kamu di dapur?” Terdengar suara Dewangga memanggil dari ruang tengah sana. Tumben sekali ia ikut bangun di hari sepagi ini. Biasanya ia akan bangun ketika waktu sudah mepet dengan jam ia berangkat kerja.Aku beranjak keluar dari dapur, menghampiri Dewangga yang tengah mencariku dengan wajah ngantuknya.“Kamu sudah baikan? Jangan melakukan apa pun sebelum kamu benar-benar pulih.” Ia terlihat sangat perhatian.“Cuma mau masakin sarapan.”“Biar Anna n

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-09
  • Hasrat Liar Suamiku    52 Kematian Robin

    “Ruri itu tidak suka wanita, dari awal juga mereka sudah berteman. Jadi jangan mencari-cari kesalahan, tidak mungkin mereka selingkuh dengan kondisi Ruri yang seperti itu.” Dewangga langsung membantah saat ibu mertua mengadu jika aku dan Ruri ada main api di belakangnya.“Aku melihat dengan mata sendiri, kedekatan mereka di luar kewajaran. Sampai pegangan tangan.” Ibu mertua tetap kekeh berucap.Aku hanya diam dengan helaan napas berat. Tidak perlu memberikan keterangan apa pun, karena Dewangga tidak percaya dengan ucapan ibunya.Sejak aku pulang dari kantor tadi, ibu mertua selalu memaki dan mengatai. Ia menghubungi Dewangga agar lekas pulang, sebab ingin mengadukan apa yang ia lihat antara aku dan Ruri.“Sudahlah, jangan berusaha untuk mengadu domba antara aku dan Nasya.” Dewangga terus saja membantah. Ia melangkah pergi dengan merangkulku menuju kamar. Tampak sekali jika sedikit pun ia tidak terlihat percaya dengan ucapan ibunya. Mungkin karena dari awal image Ruri yang sudah melek

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-09
  • Hasrat Liar Suamiku    53. Robin Baik-baik Saja

    Aku sudah berada di kamar saat aku kembali sadarkan diri. Tidak ada siapa pun yang menemani saat aku menatap sekitar. Kamar kosong, hanya ada aku seorang diri. Namun, luka di wajahku terasa seperti sudah diobati.Aku bangkit dari ranjang, mencari ponsel untuk menghubungi Ruri.[Harusnya kau sadar, Sya, sumber masalah itu sebenarnya kau. Harusnya kau bisa lebih tegas lagi.] Ruri mengirim pesan balasan setelah aku mengabari padanya jika Robin dinyatakan meninggal.Aku berusaha menghubungi lewat panggilan telepon, tapi langsung ditolak olehnya.[Tolong jangan ganggu aku lagi, aku tidak ingin jadi korban setelah Robin.] Ia mengirim pesan setelah menolak panggilan dariku. Aku kembali menghubungi, tapi lagi-lagi ditolak olehnya.“Argth!” Aku berteriak sekuat tenaga. Kujambak rambut sendiri karena merasa depresi. Ruri pergi dan Robin mati karena aku. Sebenarnya di mana letak kesalahanku? Aku merasa aku tidak melakukan kesalahan apa pun!Dewangga masuk kamar dengan setengah berlari, ia tersen

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-09
  • Hasrat Liar Suamiku    54. Perdebatan di Meja Makan

    “Kau masih tidak percaya padaku?” Dewangga bertanya dengan sedikit penekanan.Aku terdiam menatap apa yang tampak di depan sana. Robin benar-benar terlihat baik-baik saja. Tidak seperti ucapan Karin yang mengatakan bahwa ia telah meninggal dunia. Jika sudah begini, aku tidak tahu harus percaya pada siapa setelah ini.Robin tampak tengah duduk di kursi teras rumah. Ia tengah bersantai ditemani beberapa orang. Aku tidak pernah ke sini sebelumnya. Entah berapa banyak rumah yang Robin punya. Dari balik pagar aku bisa memastikan bahwa ia jauh lebih baik sekarang.“Jadi berhentilah menuduhku sebagai pembunuh. Aku tidak sekejam itu.” Dewangga menegaskan.Aku menghela napas kasar, hanya bisa terdiam setelah mengetahui kebenaran.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Aku masih berusaha mencerna apa yang aku lihat barusan. Tidak ada Karin di sana. Apa Robin sengaja memalsukan kematiannya agar bisa terlepas dari Karin? Mustahil, sebab mereka masih tinggal di kota yang sama. Akan sangat muda

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-10
  • Hasrat Liar Suamiku    55. Melahirkan

    Mendekati HPL aku mulai merasa deg-degan. Ada rasa takut yang bersemayam. Rasa takut itu semakin jelas terasa beberapa hari menjelang kelahiran. Harusnya aku tidak merasa takut seperti ini. Harusnya aku merasa tenang, sebab semuanya sudah terencana dengan matang. Persiapan sudah 90% menunggu persalinan. Makin Hari sikap Dewangga juga semakin menunjukkan sisi kebapakan.Dewangga semakin sering mengelus dan mengajak bicara perut buncitku. Menunjukkan bahwa ia memang menyayangi calon bayi itu. Membuatku tidak punya alasan untuk merasa khawatir seperti sekarang.Aku mulai mudah merasakan lelah. Mudah merasa ngos-ngosan hanya dengan berjalan menuruni dan menaiki anak-anak tangga. Terkadang berhenti di pertengahan anak tangga karena merasa tidak sanggup untuk melangkah. Istirahat menarik napas dalam beberapa menit, lalu kembali meneruskan langkah.Aku mulai merasakan kontraksi, tendangan dari dalam perut juga semakin kuat dan sering terasa. Anak itu sudah sangat aktif memberikan rasa sakit.

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-10
  • Hasrat Liar Suamiku    56. Namanya Bara, Seperti Api yang Membakar Dada

    Nih yang sering minta POV DewaAku tidak tahu seperti apa perasaanku sekarang. Harusnya aku senang saat melihat Nasya tersenyum lebar menatap bayi mungil yang tengah terlelap di ranjang kecil yang kubelikan untuknya. Harusnya aku senang, sebab telah menjadi seorang ayah untuk bayi mungil itu, meskipun belum jelas siapa bapak biologisnya.Wajah cantik itu tampak semakin bersinar. Aku tidak pernah melihatnya sebahagia itu sejak satu tahun ke belakang. Sorot matanya menunjukkan pancaran kebahagiaan.Aku terdiam menatap. Merasa bersyukur karena ia baik-baik saja setelah proses persalinan yang cukup berat. Ia tidak tahu betapa takutnya aku saat mendengar teriakan rasa sakitnya di atas ranjang persalinan. Hal yang paling aku takutkan adalah di saat aku ditinggal mati olehnya.Nasya menoleh padaku, ia memberikan senyum paling manis yang ia punya. Tanganku digenggam olehnya, ia meminta agar aku mendekat, ikut menyaksikan betapa lucunya anak kami. Ah, ada rasa yang mengganjal di hati saat aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-10

Bab terbaru

  • Hasrat Liar Suamiku    74. Tamat

    Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d

  • Hasrat Liar Suamiku    73. Lekas Pulang dan Jemput Aku

    “Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend

  • Hasrat Liar Suamiku    72. Aku Ingin Rujuk

    “Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern

  • Hasrat Liar Suamiku    71. Bertengkar Dengan Robin

    Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.

  • Hasrat Liar Suamiku    70. Meminta Restu

    “Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih

  • Hasrat Liar Suamiku    69. Dia Sedang Hamil

    POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s

  • Hasrat Liar Suamiku    68. Keputusan Hakim

    POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu

  • Hasrat Liar Suamiku    67. Adik?

    Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,

  • Hasrat Liar Suamiku    66. Salah

    Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status