Aku terdiam membatu, gemetar karena merasa takut.“Iya, kamu siapa, ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Wanita di sisiku yang lain menimbrung pertanyaan wanita itu.“Kamu lupa sama aku? Astaga, kita bahkan pernah makan bareng waktu itu.”Aku menarik napas lega. Ternyata ia tengah berbicara dengan wanita yang ada di sampingku. Aku saja yang terlalu naif. Toh nama Nasya bukan hanya satu di dunia.Aku berbalik setelah selesai mencuci tangan. Berjalan dengan menunduk untuk menyembunyikan wajah dan menemui Robin yang menunggu di depan pintu dengan gelisah. Mungkin ia sempat mendengar percakapan yang terjadi di dalam.Wajah tampan itu terlihat lega saat aku keluar menemuinya.Kami kembali ke mobil, kembali masuk jalur antrean dan menunggu sedikit lebih lama. Sebab, antrean semakin panjang setelah kami tinggal.“Kau masih yakin ingin tinggal sendiri di tempat yang sulit untuk kujangkau?” Robin bertanya memastikan.Aku terdiam, kali ini mendadak ragu.“Kalau kamu ragu, urungkan saja.” Ro
Aku mengatupkan tangan di dada. Memberikan tatapan memelas pada lelaki berseragam montir itu. Memohon tanpa suara agar ia mengabaikanku saja. Sebab, aku benar-benar dalam bahaya. Nyawaku berada di tangannya.Aku menyuguhkan kebab dan thaitea padanya, sebagai bentuk suapan agar ia menutup mulut. Mataku memanas. Kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Yang ada di otakmu hanya Nasya, sepertinya kau perlu ke psikiater.” Terdengar Robin berkomentar.Uluran yang aku berikan diterima olehnya. Ia tersenyum, lalu berdiri di hadapanku dengan niat menutupi saat terlihat bayang-bayang seorang lelaki hendak masuk ke dalam.“Maaf, Mas, orang lain dilarang masuk.” Lelaki itu berucap sebelum Dewangga benar-benar menginjakkan kakinya ke dalam bengkel.“Aku ingin memeriksa bagian dalam.” Dewangga bersikukuh.“Tidak ada siapa pun di sini selain saya. Jika ingin membayar tagihan, ayo ke meja kasir.”“Lalu, tadi dengan siapa kau berbicara?” Dewangga bertanya dengan intonasi yang begitu memojokkan.“Aku ber
Robin membawaku ke sebuah rumah sederhana yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Kami mengurungkan niat untuk pergi ke alamat yang aku tunjukkan padanya, sebab tidak ada yang bisa memastikan bahwa di sana aku akan benar-benar aman.Rumah itu terlihat teduh dan rindang, tapi sudah tidak terurus. Ada dua pohon mangga yang tengah berbuah di sudut kiri dan kanan halaman. Sebuah ayunan tua yang tergantung di dahan pohon mangga. Juga kolam ikan berukuran kecil dengan air mancur di sisi kanan halaman. Rumah itu dikelilingi pagar besi yang sudah mulai karatan.Aku mengikuti langkah Robin menuju pintu masuk berwarna cokelat yang sudah pudar. Ia mengetuk dengan lembut, memanggil dengan sebutan ibu.Tidak lama berselang, seorang wanita paruh baya keluar dengan penampilan yang begitu berantakan. Wajahnya kusam dengan rambut yang sudah dipenuhi dengan uban. Tampaknya penampilannya lebih tua dari usia yang sesungguhnya. Wajah kusam itu telah dipenuhi oleh kerutan. Ia seperti orang yang ditimpa ol
Aku bangun pagi-pagi sekali. Membuka jendela kamar dan menghirup udara pagi dalam-dalam. Sudah lama sekali tidak bisa mencium udara segar seperti sekarang. Aku melakukan peregangan sebentar, lalu beranjak menuju kamar mandi yang ada di luar kamar. Mencuci muka, lalu beralih menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.Ada banyak stok makanan di kulkas. Aku mengeluarkan bayam, wortel, juga ayam yang ada di pembeku. Menanak nasi lebih dulu, lalu menyiapkan lauk-pauk.Untuk mengurangi rasa mual saat memasak, aku mengenakan masker agar aroma yang masuk sudah tersaring lebih dulu. Nuri bergabung saat mendengar suara daging ayam yang bertemu dengan minyak panas. Ia tampak masih sangat mengantuk saat ikut membantuku menyiapkan sarapan.“Ini tugasku, Nyonya, harusnya kau panggil aku saja.” Wanita itu berucap dengan rasa bersalah.“Kau dan aku tidak ada bedanya. Aku tidak sama dengan Robin, jadi kau tidak perlu memperlakukanku seolah aku bos di sini.” Aku berucap dengan lembut.Selama menikah dengan
Dua minggu berada di tempat ini, kondisi rumah sudah terlihat jauh lebih baik. Beberapa kali juga aku sempat menemui tetangga untuk berinteraksi. Halaman yang dulunya dipenuhi oleh rumput liar, kini sudah terlihat lebih terawat.Aku suka berada di sini. Lingkungan yang damai, jauh dari polusi. Juga karena ada pohon mangga. Setiap ingin makan rujak, tinggal petik saja.Aku belum tahu betul apa yang terjadi pada ibu Robin. Meskipun aku dan Nuri kini bergantian untuk mengasuhnya. Sebab, aku tidak ingin menjadi benalu yang hanya menumpang hidup di rumah ini. Robin sudah sangat baik, jadi aku membantu Nuri untuk melakukan tugasnya, meskipun aku tidak mendapat gaji seperti dirinya. Itu salah satu caraku berterima kasih pada Robin karena ia sudah memberikan hidup yang lebih baik.Setelah pulang waktu itu, Robin tidak lagi pernah kembali ke sini. Tampaknya ia benar-benar sibuk, apalagi ada Karin yang menemaninya di sana. Hanya pesan yang sesekali ia kirim, bertanya apa kebutuhan dan keperluan
Aku segera membuka pintu setelah tahu siapa sosok yang telah mengetuk dengan lemah itu. Sesaat setelah pintu kubuka, tubuh Robin langsung terjatuh tidak berdaya. Aku segera menyambut sebelum tubuhnya membentur lantai.Wajah Robin tampak babak belur. Mata kanannya bengkak dan membiru. Keningnya berdarah karena luka pecah. Hidung dan sudut bibirnya tampak mengeluarkan darah. Rahangnya tampak sedikit bergeser.Pergelangan tangan kanannya tampak bengkak dan membiru, sepertinya keseleo. Atau mungkin ada masalah dengan uratnya.“Apa yang terjadi?” Aku bertanya dengan panik. Begitu khawatir karena lukanya terlihat begitu parah. Aku baru tersadar perutnya berdarah, sebab telapak tangan yang basah saat membantunya untuk berdiri dan berjalan menuju kamar.“Pergilah bersembunyi, Dewa dan rombongannya sedang menuju ke sini.” Robin berucap dengan sisa tenaga yang ia punya. Napasnya terdengar terengah-engah. Tampaknya ia sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakitnya.Robin cukup kuat, sebab bisa bert
Aku lekas berlari menuju kamar di mana Robin tengah terbaring dengan lemah di sana. Lelaki itu benar-benar tengah kritis, matanya terpejam dengan napas yang mulai terdengar lemah. Susah payah aku membawanya menuju mobil, sebab menunggu ambulance akan sangat lama. Entah ambulance akan datang atau tidak, yang pasti membawa Robin ke rumah sakit sekarang adalah pilihan yang tepat.Nuri kuminta agar tinggal di rumah saja biar ada yang mengurus ibu Robin. Terlebih pintu yang sudah tidak lagi bisa dikunci karena didobrak oleh rombongan Dewangga tadi.Dengan cepat aku menancap gas. Berbekal google maps yang memandu jalan menuju rumah sakit terdekat. Beruntung jalanan sangat sepi. Di samping karena pinggiran kota, juga karena waktu yang sudah memasuki dini hari.Jantungku tidak bisa berdetak dengan normal. Sejak tadi terus saja berdegup dengan sangat kencang, takut jika ada hal buruk yang akan menimpa Robin. Aku akan merasa sangat bersalah jika terjadi apa-apa padanya. Sebab, karena aku ia men
Kali ini kekuatanku benar-benar telah hilang. Aku sangat rapuh sekarang. Kuusap perut yang sudah cukup besar. Lalu menangis karena sudah tidak tahan.Aku kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit. Mencari tempat yang sepi untuk meluapkan rasa sakit. Aku duduk di kursi tunggu dekat ruang operasi. Sebab, hanya di sana yang tidak ada orangnya sama sekali.Kutumpahkan semua sesak di dada. Menangis sejadi-jadinya. Jikalau kutahu akan begini jadinya, aku tidak akan pernah pergi meninggalkan rumah. Biarlah aku yang mati dan menjadi korban satu-satunya akan kekejaman Dewangga. Jangan ada orang lain yang menjadi korban seperti ini.Kuusap pipi dengan kasar, sementara tangis belum bisa kuhentikan. Menangis sesenggukan, berusaha mencari jalan keluar.“Aku tidak suka tangisan.” Ucapan Robin waktu itu kini kembali terngiang-ngiang di pikiran.Aku menghela napas kasar, kembali mengusap wajah dengan kasar, dan menghentikan tangisan. Aku menguatkan diri sendiri. Jika aku lemah, tidak akan ada yang bi
Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d
“Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend
“Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern
Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.
“Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih
POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s
POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu
Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,
Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala