“Huek!” Rasa mual itu tidak bisa kusembunyikan setiap mencium aroma makanan. Aku lekas bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Memuntahkan makanan yang baru tertelan beberapa suap.Terdengar ketukan dan gedoran dari luar. Dewangga memanggil dengan kepanikan.Aku merasa begitu lemas setiap kali habis makan. Apa yang masuk, pasti akan langsung dikeluarkan saat itu juga. Jika terus seperti ini, tidak akan ada nutrisi yang terserap oleh tubuh.“Sayang!” Dewangga terus memanggil dengan nada khawatir. Ia tidak berhenti mengetuk pintu hingga aku menjawab panggilannya.Aku keluar kamar mandi setelah mencuci muka dan berkumur-kumur. Menatap Dewangga dengan tidak semangat setelah membuka pintu.“Ayo ke rumah sakit, pasti ada penyakit serius.” Dewangga berucap setengah memaksa.Aku langsung menggeleng. Sebab, tidak ingin ia tahu kenyataan yang sebenarnya . Terlebih ia telah memberikan ancaman bahwa akan mengangkat rahimku jika ketahuan aku tengah hamil.“Mungkin asam lambungku yang naik. Akhir-a
Hari ini ada satu tambahan pekerja yang direkrut langsung oleh Dewangga. Sebagai antisipasi jika ada pelanggan yang berbuat mesum seperti kemarin, ia mempekerjakan seorang pria. Aku tahu, dia sebenarnya peduli. Hanya saja semua kebaikan yang ia tunjukkan tidak ada gunanya selama ia masih suka main tangan.Awalnya hanya kasar ketika tengah di ranjang. Namun, makin ke sini sikap kasarnya tidak lagi mengenal tempat. Ia bersikap sesuka hati, sebab bisa dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Posisinya di kantor sangat berpengaruh. Terlebih perusahaan milik ibunya akan jatuh ke tangannya dalam waktu dekat. Kekuasaannya semakin meningkat.“Aku akan mengawasimu dari kantor. Ruangan kerja sudah kuminta pindah agar berada dekat jendela yang mengarah ke sini. Jadi kau tidak perlu khawatir jika ada pengganggu seperti kemarin.” Dewangga berucap dengan lembut.Aku mengangguk seraya menyunggingkan senyum.Bibir dan hidung masih terasa nyeri ketika berbicara karena hantamannya semalam. Bekas
Aku menatap Dewangga, menunggu apa yang akan ia lakukan setelah tahu ibunya datang secara mendadak malam ini.Ternyata dugaanku benar, ia lebih memilih untuk mengurungkan keinginannya. Borgol di tanganku ia lepas, lalu berucap dengan lembut agar aku lekas mengenakan pakaian. Sementara ia beranjak menuju kamar mandi. Mencuci muka dan menetralisir perasaan, sebab sebelumnya sudah kubangkitkan gairahnya.Seperti apa pun kondisi hatinya, ia tidak pernah menolak kehadiran ibunya.Aku menghela napas lega, setidaknya tanpa sadar ibu mertuaku telah menyelamatkan hidupku malam ini. Sebab, tidak mungkin tidak akan terjadi cidera. Terlebih kandungan yang masih lemah.Aku mengenakan piama, lalu duduk di tepian ranjang untuk menunggu Dewangga. Merasa malas jika turun lebih dulu untuk bertemu dengan ibunya. Wanita paruh baya itu tidak pernah tahu bagaimana caranya menghargai menantu.Dewangga keluar kamar mandi dengan wajah dan ubun-ubun yang basah. Ia tersenyum saat beradu tatap denganku. Aku leka
Ketukan di pintu kamar membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat, melepas pelukan pada Dewangga yang juga ikut terbangun karena ketukan itu. Selama ini tidak ada yang berani membangunkan kami tanpa diberi pesan sama sekali.Terdengar decakan keluar dari mulut Dewangga, ia pasti kesal karena harus terbangun dari tidur yang lelap.“Ini sudah jam lima, kau harus menyiapkan semua keperluan suamimu.” Terdengar suara ibu mertua dari balik pintu kamar.Aku bangkit untuk duduk, menutup mulut dengan tangan saat menguap. Mencoba untuk mengumpulkan kesadaran karena baru bangun.Dewangga lekas turun dari ranjang, ia beranjak menuju pintu, lalu protes pada ibunya itu. Kami memang terbiasa bangun terlambat, sebab semuanya sudah tersedia. Bangun tidur langsung mandi, turun ke bawah untuk sarapan yang sudah terhidang, lalu bergegas pergi bekerja. Jadi, tidak ada yang harus dikejar hingga bangun di jam sepagi ini.“Ini masih terlalu pagi, Ma.” Dewangga berkomentar.“Mana si Nasya, suruh bantu bu
Ruangan tampak ramai oleh para tamu undangan. Para pria dengan setelah jas hitam, sementara wanita dengan gaun merah elegant. Ada banyak makanan dan minuman yang terhidang. Termasuk minuman beralkohol dengan botol-botol yang masih tersegel di atas meja.Perayaan ini cukup resmi, sebab sekaligus pengumuman atas berpindahnya kepemilikan perusahaan milik ibu mertua yang akan dipegang oleh Dewangga mulai malam ini.Aku berdiri dengan kikuk di antara para tamu undangan. Merasa tidak nyaman berada di tengah kerumunan. Sementara Dewangga dan ibunya berada di atas panggung sana. Berdiri bersama pembawa acara. Lelaki itu tampak tidak senang, sebab ia memang tidak pernah ingin meneruskan perusahaan. Ia lebih suka bekerja di bawah kepemimpinan seseorang.Aku menarik napas kasar. Mulai merasa bosan mendengar pidato yang sejak tadi tidak kunjung selesai. Beranjak menuju meja untuk meraih segelas sampanye. Namun, mengurungkan keinginan untuk meminum itu karena mengingat kondisi yang tengah mengandu
Perkelahian tidak dapat dielakkan. Dewangga dan Robin saling berbalas serangan. Tampaknya mereka telah terlatih dalam hal bela diri. Aku tahu sekeras apa pukulan Dewangga, sebab sudah berulang kali merasakannya. Namun, ternyata pukulan Robin lebih kuat darinya. Wajah suamiku itu tampak babak belur. Ia mulai kewalahan dalam memberikan serangan ataupun bertahan dari hajaran temannya. Ia memegang dada dengan posisi sedikit menunduk. Tangan kanannya mengusap hidung yang sudah mengeluarkan darah segar.Tidak ada yang berani melerai pertengkaran meskipun ada banyak kerumunan.Dewangga menatapku dengan tajam. Ada dendam yang tersirat dari sorot matanya yang begitu mencekam.“Tunggu aku di luar, aku akan segera menyusul!” Robin menoleh padaku, memberikan instruksi agar aku lekas meninggalkan ruangan.Fokus orang-orang mulai berpindah padaku. Mereka mulai saling bisik satu dengan yang lain. Menerka-nerka atas apa yang telah terjadi. Tatapan sinis tidak sedikit yang aku terima.Aku mengangguk m
Mobil berbelok memasuki gerbang, seorang petugas keamanan meminta mobil diberhentikan. Aku ditanyai ini itu setelah kaca mobil diturunkan. Sebab, tidak bisa sembarangan memasuki kawasan meskipun dibawa langsung oleh salah satu penghuni apartemen.Tidak ada identitas yang bisa aku tunjukkan, jadi sedikit dipersulit untuk memasuki kawasan.Robin berdecak kesal, ia berusaha menjelaskan. Namun, petugas keamanan seolah tutup telinga. Tidak ingin mendengar penjelasan apa pun.Robin merogoh saku, ia mengeluarkan dompet. Beberapa lembar uang kertas berwarna merah ia beri pada petugas itu setelah menjelaskan panjang lebar.“Saya yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu.” Robin berusaha meyakinkan setelah menyerahkan lembaran uang itu.Hingga pada akhirnya kami dipersilakan untuk menuju parkiran.“Kenapa aku dilarang masuk? Bukankah kau berhak membawa masuk siapa saja ke tempat tinggalmu?” Aku bertanya dengan penuh keheranan.“Para penghuni apartemen rata-rata orang kaya. Biaya sewa per
Aku tidak bisa tidur sepanjang malam. Tubuh berada di atas ranjang empuk milik Robin, tapi pikiran ada pada Dewangga. Ada banyak hal yang mengganggu pikiran. Bukan hanya masalah mengenai keadaan lelaki itu sekarang. Tapi juga mengenai apa yang akan ia lakukan. Entah aku di sini akan tetap aman. Apa yang akan aku lakukan untuk bertahan hidup ke depan. Identitas diri tidak ada sama sekali. Juga hanya berbekal uang beberapa ratus ribu pemberian Ruri.Mengingat Ruri, aku jadi rindu pada lelaki itu. Entah apa yang tengah ia lakukan sekarang. Entah Dewangga akan menyalahkan dan menghukum dirinya. Aku tidak tahu sedikit pun. Dan aku ingin segera mendapat informasi mengenai itu.Aku bangkit untuk duduk, meraih ponsel pemberian Ruri. Lalu mencari nomor lelaki itu. Ternyata ia memberikan ponsel yang biasa ia pakai. Lalu, ke nomor mana aku bisa menghubungi? Toh ponselnya sudah berada di tanganku.Arght!Aku semakin dibuat depresi.Di luar terdengar cekikikan juga gelak tawa yang berasal dari Rob
Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d
“Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend
“Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern
Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.
“Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih
POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s
POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu
Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,
Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala