Home / Rumah Tangga / Hasrat Liar Suamiku / 16. Bersiap Menancapkan Pisau

Share

16. Bersiap Menancapkan Pisau

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2024-02-26 14:57:02

“Maaf Sya, aku ngelakuin ini demi kamu.” Ruri memberikan penjelasan setelah ia membawaku kembali ke kamar.

Aku hanya diam dengan helaan napas kasar. Kesal. Bukan hanya kesal, tapi juga marah karena ia lebih memilih berbohong untuk menutupi kebenaran. Sementara ada polisi yang akan melindungi jika seandainya Dewangga berniat melukai.

Aku melongos begitu saja, duduk di tepian ranjang dengan mengempaskan pantat sedikit kasar. Mengabaikan Ruri yang masih berusaha untuk meminta maaf.

“Aku gak ada pilihan, Sya. Aku berbohong demi keselamatan semua orang.” Ruri masih saja berusaha untuk memberikan pengertian.

“Keselamatan siapa? Di rumah ini hanya nyawaku yang terancam!” Aku langsung membantah dengan berteriak.

Ruri terdiam, ia menghela napas kasar. Tampak pasrah dan memilih untuk mengalah.

Sejenak ruangan terdengar begitu lengang, tidak ada suara sama sekali. Hanya deru napas yang terdengar saling berbalas. Ruri terdiam dengan berdiri tidak jauh dari ranjang. Masih setia di sana, tidak lang
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Hasrat Liar Suamiku    17. Hanya Sebuah Trik Tipuan

    Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku bahkan menahan deru napas agar tidak membangunkan Dewangga saat aku akan bersiap menancapkan pisau ke dadanya. Kupejamkan mata saat pisau itu perlahan bergerak menuju titik yang telah terpusat di otak. Namun, aksi itu terhenti saat terdengar ketukan di daun pintu secara tiba-tiba. Buru-buru aku menyembunyikan pisau di balik baju, lalu segera kembali berbaring seakan tidak terjadi apa-apa.“Tuan, Nyonya, makan malam telah disiapkan.” Begitu pesan yang terdengar.Terasa pergerakan kasar di ranjang, aku membuka mata seolah baru terbangun dari tidur, sama seperti Dewangga yang terlelap untuk beberapa saat.“Turunlah dan ikut makan malam bersama.” Dewangga berucap, lalu bergegas pergi setelah berucap demikian.Aku hanya mengangguk dengan lembut. Ternyata masih tersisa sedikit rasa kepedulian dalam dirinya. Kutatap punggung lelaki yang hampir membunuhku beberapa jam yang lalu. Kini ia terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.Kuhel

    Last Updated : 2024-02-27
  • Hasrat Liar Suamiku    18. Kenikmatan Dalam Bercinta

    Dengan cepat Dewangga melepas semua pakaian. Sementara sepasang mata tajam itu tidak ingin melepas tatapan dariku sama sekali. Ia terus menatap dengan begitu lekat. Ia memang tidak bisa jika tidak bercinta dalam sehari saja.Aku mulai teringat dengan pesan Dokter Roni agar membuat Dewangga merasa nyaman saat bercinta hingga tanpa sadar melakukan pelepasan di dalam. Setidaknya itulah satu-satunya cara agar bisa mendapatkan benih darinya. Sebab, ia masih tetap menolak saat aku meminta ingin punya anak.Aku menyunggingkan senyum. Membalas tatapannya dengan begitu lembut dan penuh godaan. Mengikuti alur permainan yang akan ia lakukan. Melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuhku dengan gerakan begitu erotis. Melempar semuanya dengan asal tanpa melepas tatapan darinya.Senyum ikut terukir di bibir manis lelaki itu. Ia langsung melompat ke ranjang, merangkak di atas tubuhku sembari memberikan kecupan di semua inci. Tidak ia biarkan ada bagian dari tubuhku yang tidak terjamah oleh bi

    Last Updated : 2024-02-27
  • Hasrat Liar Suamiku    19. Bukan Ruri yang Biasa

    Aku terbangun ketika Dewangga hendak berangkat kerja. Ia pamit seraya memberikan sebuah kecupan lembut di dahi. Aku hanya menggeliat pelan, lalu mengangguk dan bangkit untuk duduk dengan mata yang masih terasa enggan untuk terbuka. Entah sampai jam berapa tadi malam kami menghabiskan waktu untuk bercinta. Yang pasti aku merasa begitu lelah dan mengantuk pagi ini.“Aku akan kembali untuk makan siang nanti.” Dewangga berpesan, lalu beranjak pergi keluar dari kamar.Sedikit sulit karena kini aku tidak lagi dibekali alat komunikasi. Namun, cukup membantu karena tidak ada lagi pesan atau panggilan yang mengganggu dari Dewangga. Aku jadi lebih bisa sedikit bersantai.Setelah pintu tertutup dengan rapat, aku kembali rebahan. Hendak melanjutkan tidur yang sempat terjeda. Namun, mata mendadak enggan untuk diajak bekerja sama.Aku bangkit dari ranjang. Meregangkan otot-otot yang terasa begitu tegang. Terlebih leher yang terasa sakit saat menoleh ke kanan. Juga kepala yang pusing karena tadi mal

    Last Updated : 2024-02-27
  • Hasrat Liar Suamiku    20. Aku Hanya Ingin Jadi Ibu

    Dewangga pulang untuk makan siang, sesuai dengan pesannya sebelum berangkat kerja tadi pagi. Semua hidangan sudah tersedia di meja makan saat ia kembali. Sebuah senyum tersimpul dengan manis di bibirnya. Ia membawa bucket bunga saat ia berjalan mendekat padaku.Aku tersenyum, membalas senyum itu dengan malas. Menerima bunga yang ia sodorkan, lalu memberikan sebuah kecupan. Hari ini Dewangga benar-benar terlihat sedikit manis dari biasanya.Kami makan siang berdua, tidak ada obrolan penting sama sekali. Kami bahkan lebih banyak diam. Sesekali saling melempar senyum saat tanpa sengaja sorot mata saling beradu.“Sebaiknya Ruri kasih waktu buat istirahat. Setidaknya sampai lukanya mengering.” Aku berucap memecah keheningan yang tercipta.Dewangga menarik napas dengan kasar. “Pekerjaannya tidak ada yang berat. Tugasnya hanya mengawasi rumah, jadi tidak perlu kau hiraukan lukanya.” Ia memberikan jawaban dengan acuh tak acuh.Aku terdiam dengan helaan napas berat. Jika ia sudah berkata tidak

    Last Updated : 2024-02-28
  • Hasrat Liar Suamiku    21. Rahasiakan dari Dewangga

    Dewangga memegang ucapannya. Ia selalu pulang tepat waktu untuk makan siang bersama di rumah. Memastikan bahwa aku telah meminum pil yang ia beli sebelumnya, tapi telah diganti oleh Dokter Roni ketika Ruri membawanya ke rumah sakit.Aku tidak lagi takut ketika menelannya, sebab sudah dipastikan jika itu bukan obat penghambat untuk hamil, tapi obat untuk menyuburkan rahim. Dewangga tampak senang akan hal itu. Ia jadi tidak khawatir untuk melakukan pelepasan di dalam ketika kami tengah bercinta. Sebab berpikir bahwa itu tidak akan memberikan efek apa-apa.Meskipun fantasinya semakin lama semakin aneh, aku masih bisa mengimbangi. Walaupun besoknya aku jadi tidak bisa keluar kamar karena merasa sakit di sekujur badan. Namun, semakin lama aku mulai terbiasa dan menikmati setiap permainannya.Seperti sore ini, ada sebuah paket yang datang atas nama Nasya. Aku tahu jika paket itu pemberian Dewangga. Sebab, ia telah berpesan sebelum berangkat kerja tadi pagi.Aku membuka kotak paket dengan dad

    Last Updated : 2024-02-28
  • Hasrat Liar Suamiku    22. Dilecehkan Oleh Pelanggan

    “Sakitnya parah, Dok?” Dewangga kembali bertanya karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Apalagi semuanya memasang wajah panik. Lelaki itu menjadi semakin panik.“Biarkan dia istirahat yang cukup selama beberapa hari ini.” Dokter akhirnya memberikan jawaban.“Istri saya sakit apa?” Ia tetap ngotot meminta jawaban.Aku menatap Ruri, berkomunikasi lewat sorot mata. Bernegosiasi agar aku memberitahu Dewangga kenyataan yang sebenarnya. Namun, ia langsung menggeleng dengan pelan.“Nyonya Nasya hanya masuk angin dan kelelahan.” Ruri yang memberikan jawaban pada akhirnya. Ia tetap memilih untuk memberikan kebohongan.Aku terdiam, menghela napas dengan kasar. Merasa jika saran Ruri ada benarnya juga. Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Dewangga masalah kehamilan. Bulan depan ia telah berjanji ingin mengadakan pesta di rumah. Sebagai acara perayaan satu tahun pernikahan kami. Beberapa hari ini ia telah sibuk ingin memilih gaun apa yang akan kupakai nanti. Barangkali aku bis

    Last Updated : 2024-02-28
  • Hasrat Liar Suamiku    23. Mati Aku

    “Tangan pria diciptakan untuk melindungi wanita, bukan untuk menyakitinya.” Seorang lelaki yang cukup familiar berucap seraya meremas tangan pria itu.“Jangan ikut campur, urus saja urusanmu!”“Jelas ini urusanku ketika melihat yang kuat menindas yang lemah.”“Lepas atau kau akan menyesal?!”“Kau akan melakukan apa?” Lelaki itu bertanya, menantang.Aku menghela napas lega, bersyukur karena ternyata masih ada orang baik yang peduli terhadap orang yang tidak dikenal.Pria itu berdecak, mengempaskan tangan hingga cekalan lelaki itu terlepas, lalu beranjak pergi dengan raut wajah kesal.“Kau tidak apa-apa?” Lelaki yang telah menolongku itu bertanya seraya tersenyum.Aku menggeleng pelan dengan tangan kanan berada di perut. Sebab baru mulai merasakan efeknya sekarang. Merasa sakit di bagian bawah perut.“Apa kita sebelumnya pernah bertemu? Sepertinya aku mengenalimu.” Aku bertanya memastikan. Sebab, wajahnya tampak begitu familiar.Lelaki itu tertawa tipis.“Kau lupa padaku? Kita pernah be

    Last Updated : 2024-03-01
  • Hasrat Liar Suamiku    24. Kau Selingkuh

    Tatapan tajam Dewangga langsung menyambut saat aku mendatangi dirinya yang tengah menunggu di ruang belakang. Sorot itu terlihat begitu nyalang. Seakan ada amarah yang tengah tertahan. Terbukti dengan wajahnya yang terlihat begitu memerah.“Dari mana kamu?” Nada suaranya terdengar penuh amarah.“Dari rumah sakit.” Aku berusaha untuk menjawab sesantai mungkin. Berusaha untuk menyembunyikan rasa takut. Sebab, ia akan semakin merasa berkuasa jika aku menunjukkan rasa takutku di hadapan wajahnya.“Apa buktinya?” Ia menyorot penuh curiga.Aku menarik napas dalam.“Aku cuma ke rumah sakit. Kenapa kau menatapku seakan aku habis berselingkuh?” Aku membalas dengan nada tidak bersahabat.“Tunjukkan buktinya jika kau dari rumah sakit. Untuk apa kau ke rumah sakit? Siapa nama dokter yang memeriksamu? Apa kau sakit?” Ia langsung mencecarku dengan banyak pertanyaan.Lagi, aku menghela napas dalam“Aku sedang tidak ingin berdebat.” Aku berucap dengan tegas, hendak berlalu begitu saja. Namun, langkah

    Last Updated : 2024-03-01

Latest chapter

  • Hasrat Liar Suamiku    74. Tamat

    Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d

  • Hasrat Liar Suamiku    73. Lekas Pulang dan Jemput Aku

    “Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend

  • Hasrat Liar Suamiku    72. Aku Ingin Rujuk

    “Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern

  • Hasrat Liar Suamiku    71. Bertengkar Dengan Robin

    Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.

  • Hasrat Liar Suamiku    70. Meminta Restu

    “Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih

  • Hasrat Liar Suamiku    69. Dia Sedang Hamil

    POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s

  • Hasrat Liar Suamiku    68. Keputusan Hakim

    POV DewaAku menunggu di depan ruangan, duduk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan.Sidang akan dilakukan setengah jam lagi.Perasaan gelisah mulai menghampiri diri. Meskipun pengacara sudah meyakinkan bahwa aku tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tapi tetap saja itu membuatku merasa terbebani.“Nasya belum datang?” Mama menghampiri. Ia duduk di sisi kananku. Kali ini aku bisa merasakan kepeduliannya terhadapku. Setidaknya kasus ini memberikan sisi positif untuk hubungan kami. Kami jadi lebih sering berbicara bersama. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Saling menyesali atas apa yang telah terjadi.Pengacaraku ikut menghampiri, kembali meyakinkan bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Kematian itu terjadi hanya karena sebuah ketidaksengajaan. Hukuman untuk pembunuh yang tidak disengaja hanya hitungan bulan. Katnya maksimal 15 bulan saja.“Mama benar-benar ingin bertemu Nasya. Dia pergi sebelum mama bisa menebu

  • Hasrat Liar Suamiku    67. Adik?

    Aku bersimpuh di depan gundukan tanah yang ada di hadapan. Ukurannya sangat kecil, tidak ada papan nama sama sekali.Kugenggam dan remas tanah yang terasa basah setelah sebelumnya disiram dan ditabur dengan bunga. Nyeri itu masih saja terasa. Meskipun sudah berusaha untuk ikhlas dan tegar, tapi tetap perihnya kehilangan tidak bisa didefinisikan.Aku menahan air mata agar tidak menetes membasahi makam. Kurasakan remasan lembut di pundak. Aku menoleh, menatap Robin yang tersenyum padaku. Di tangan kanannya ada bayi yang tengah ia gendong. Kami ke makam setelah menjemput bayi itu ke rumah temannya.“Ayo kita pulang.” Ia mengajak dengan penuh kelembutan.Aku bangkit berdiri setelah menghela napas dengan berat. Setidaknya merasa sedikit lebih baik setelah aku tahu di mana ia dimakamkan.Dengan langkah berat aku beranjak, mengikuti jejak Robin menuju mobil yang terparkir di luar area makam.Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Aku memangku bayi di kursi samping kemudi,

  • Hasrat Liar Suamiku    66. Salah

    Aku menunggu di depan gerbang bersama wanita teman Robin yang masih belum kuketahui siapa namanya. Kami cukup lama menunggu hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Mobilnya sangat familiar, milik mama mertua. Bukan milik Dewa yang biasa ia pakai.“Itu dia?” Wanita itu bertanya saat Dewa turun bersama seorang bayi dalam gendongannya.“Ya.” Aku menjawab dengan lemah.Melihat Dewa berjalan mendekat bersama bayi itu mengingatkanku ketika ia membawa Bara ke dalam dekapanku saat hari di mana aku melahirkannya. Aku masih ingat betapa senangnya aku di hari itu, saat Dewa memelukku bersama Bara dengan penuh cinta, merasa bahwa kami akan menjadi keluarga bahagia.Aku membuang muka saat bersitatap dengan Dewa, merasa muak melihatnya. Apalagi ekspresi memelas yang ia tunjukkan membuat aku ingin sekali menghakimi dirinya.“Aku kangen kamu, Sya.” Ia berucap dengan suara bergetar. “Ayo kita pulang.” Ia memohon dengan sangat.Aku tidak menghiraukan, segera kuambil alih bayi yang ada dala

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status