BARU empat hari masa cutinya berlangsung, tapi Yura memutuskan berangkat ke kantor. Sementara Krisna masih sering bolak-balik ke rumah dan ke rumah sakit.Perempuan itu menghela napas panjang. Dia masih mengingat jelas bagaimana Awan meminta Krisna secara terang-terangan untuk menemaninya di depan mertuanya.“Kalau seandainya diizinkan, saya pengen Krisna yang menemani saya, Tante. Saya nggak mungkin minta Tante Soraya buat jagain Steven. Apalagi kesehatannya kemarin sempat drop. Sementara Kano sudah sibuk dengan pekerjaannya.”Maura yang mendapatkan pertanyaan itu, lantas menoleh ke arah Krisna dan Yura secara bergantian.“Ya kalau soal itu, bukankah seharusnya kamu izin sama istrinya, Wan? Tante bukannya mau melarang atau bagaimana. Tapi Abang juga punya tanggung jawab lain. Dia punya istri juga sekarang.”Awan dengan wajahnya yang pucat lantas menoleh ke arah Yura yang tengah duduk di seberang Maura. Tidak hanya Soraya saja yang kesehatannya menurun, tapi juga dirinya.“Ra, boleh?
[Abang masih di rumah sakit, Ra. Tante Soraya belum balik dari luar tadi. Kamu jadi ke rumah Mama, kan? Nanti aku jemput di sana, okay? I love you.]Setelah mengirimkan pesan itu, Krisna kembali menyimpan ponselnya. Dia mendorong pintu yang ada di hadapannya, menatap lurus ke arah sepupunya yang kini tengah terbaring koma.Sudah empat hari berlalu dan tidak ada tanda-tanda Steven terbangun. Padahal dokter yang merawatnya sempat mengatakan kondisinya baik-baik saja.Dengan langkah hati-hati pria itu melangkah mendekati ranjang tidur Steven, lalu mendesah pelan.“Stev, bangun. Lo dokter, Stev. Kalau lo sakit, siapa yang merawat pasien-pasien lo, hah? Lo nggak mungkin—”Namun belum Krisna melanjutkan ucapannya, kelopak mata Steven yang bergerak-gerak seketika membuat pria itu mematung di tempatnya.“Stev, lo bangun?” Krisna terlihat panik—antara masih belum percaya jika Steven telah membuka matanya atau dia harus memanggil dokter. “Gue panggilkan dokter dulu, okay? Lo—” Namun Steven suda
YURA melenguh pelan saat dia merasakan kepalanya terasa pening luar biasa. Perempuan itu memaksakan diri untuk membuka kelopak matanya, lalu pandangannya mengedar ke sekitar.“Lo pingsan tadi.”Suara Kano membuat Yura lantas mengalihkan pandangannya ke samping dengan cepat. Pria itu berdiri di sudut ruangan dengan tatapan cemas.“Gue bawa lo ke IGD tadi. Tapi lo tenang aja, gue pastikan si Bangsat itu nggak tahu kalau lo ada di sini.”Yura masih belum mengatakan apa-apa. Masih segar ingatannya, bayang-bayang bagaimana Krisna dan Awan yang tengah berciuman tadi kembali berputar di kepalanya.“Take your time.” Kano menghela napas, menatap iba ke arah Yura. “Lo nggak boleh drop karena… kata dokter lo hamil.”Entah apakah berita yang baru saja dikatakan Kano adalah berita membahagiakan atau justru sebaliknya. Yura bahkan tidak tahu apa yang tengah dirasakan sekarang. Hatinya terasa kebas.“Gue keluar, ya? Lo mau gue belikan sesuatu? Atau lo mau makan sesuatu?”Yura masih diam. Dan Kano ke
“Lo bawa bini gue ke mana, Brengsek!”Krisna berjalan cepat menghampiri Kano yang baru saja turun dari mobilnya. Tapi rupanya Kano sudah lebih dulu mempersiapkan segalanya. Seperti melayangkan pukulan keras tepat di wajah Krisna.“Ini buat suami bajingan kayak lo!”Krisna tersungkur di paving block depan teras rumah. Semua mata membelalak, Maura dan Soraya yang melihatnya lantas berteriak bersamaan.Krisna memutar badannya dan langsung bangkit berdiri. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya, lalu tatapannya nyalang ke arah Kano.“Maksud lo apaan, Bangsat! Di mana bini gue!”Alih-alih menjawab. Lagi-lagi Kano melayangkan pukulan tepat di rahang Krisna. Kali ini berkali-kali, hingga darah segar lagi-lagi mengucur dari hidung dan bibirnya.Pun begitu dengan Krisna yang langsung membalasnya. Keduanya saling melayangkan pukulan. Bahkan darah segar yang entah siapa pemiliknya mulai bercucuran ke tanah.Persetan dengan persaudaraan yang dimiliki mereka. Yang ingin dilakukan Kano sekarang h
“Lo beneran nggak bilang sama siapapun soal gue kan, El? Termasuk Abang terutama.”Leon yang mendengar pertanyaan itu, sontak menghela napas. “Nggak lah, Ra. Gue mana mungkin berkhianat sama sahabat sendiri.”“Ya lo kan, kaki tangannya Abang!” cibir Yura tak terima.“Gue nggak segampangan itu, ya. Waktu laki lo telepon gue dan nanyain keberadaan lo, ditambah sama nomor lo yang nggak bisa dihubungi, gue udah feeling kalau kalian berdua lagi ada masalah. So, well, tell me the truth! What happened to you?”“Gue hamil, El.”Leon seketika membelalak. “So what? Masalahnya di mana kalau lo hamil? Kan ada bapaknya, Ra.”Yura mengurut keningnya yang mulai pening. Sejak pagi tadi dia mengalami morning sickness dan nyeri hebat di bagian perutnya. Tapi dia tidak tahu bagaimana harus mengatasinya.Memilih untuk mengabaikan rasa nyeri itu, Yura menarik napas dalam-dalam lalu menatap ke arah Leon dengan lekat.“Dua hari yang lalu gue nggak sengaja lihat Abang ciuman sama Awan.”Garpu yang ada di tan
“Usia kandungan Ibu sudah berjalan enam minggu. Tidak ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Hanya saja, Ibu harus perbanyak istirahat dulu. Mengingat bahwa kondisi kandungan Ibu lemah.”Yura menatap dengan mata berbinar ke arah foto hasil USG yang kini ada di tangannya. “Baik, Dok.”“Hindari stress. Ibu tidak boleh terlalu banyak pikiran karena jika itu dibiarkan, bisa membahayakan kondisi janin.”“Iya, Dok.”“Saya akan meresepkan obat penguat kandungan dan vitamin untuk Ibu. Nanti dikonsumsi sampai habis ya, Bu?”“Baik, Dok. Terima kasih.”Usai memeriksakan kondisinya, Yura melangkah meninggalkan ruang rawat Dokter Padma. Perempuan itu melangkah menyusuri koridor lalu duduk di salah satu bangku rumah sakit dengan senyum lebar terukir di wajahnya. Yura menghela napas panjang. Sesekali dia menoleh ke samping, hari ini dia berjanjian dengan Wulan. Setelah selama tiga hari menghilang, akhirnya Yura memberanikan diri untuk menemui ibunya.“Ra!”Wulan berlari tergopoh-gopoh saat mendengar
YURA diam termenung di antara rintik hujan yang jatuh membasahi bumi dari balik jendela kamarnya. Matanya menatap nanar ke arah luar, entah kenapa dia mendadak cemas lantaran ada sesuatu hal yang dikhawatirkan. Lima jam telah berlalu. Perempuan itu masih mencoba menahan gejolak perutnya yang terasa nyeri, mengingat bahwa Krisna sudah berjanji akan datang ke rumahnya begitu tiba di Jakarta.Berbagai pertanyaan kini muncul di kepalanya. Seperti, apakah penerbangannya lancar? Di luar turun hujan, apakah dia baik-baik saja? Dia terbang dari mana ke mana? Kenapa hampir lima jam lamanya dan tidak ada kabar apapun dari Krisna?Suara ketukan dari luar membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu mengerjapkan matanya, lalu bersuara.“Masuk.”Wulan mendorong pintu kamarnya, lalu mengulas senyuman tipis dan melangkah menghampiri perempuan itu.“Ada apa, Ma?” tanyanya tampak gusar.“Ada Abang di bawah, Ra.”Refleks Yura bangkit dari duduknya. Dan dia yakin kekhawatiran di wajahnya tercetak begitu
“Ra, lagi ngapain?”Suara vokal Wulan diiringi dengan langkah yang menghampirinya membuat Yura yang tadinya sibuk, lantas mendongakkan wajahnya.Perempuan itu mengulas senyuman. “Aku lagi mau siapin kejutan buat Abang, Ma.”Satu alis Wulan tertarik ke atas, melihat Yura yang tengah menyiapkan sebuah kotak yang di dalamnya dia menaruh sebuah foto USG, hasil tespek dua garis merah, dan dua kaus kaki mungil berwarna merah muda dan biru.Semua benda-benda itu dia taruh di dalam sebuah kotak. Yura juga menuliskan sebaris kalimat, ‘You're going to be a Dad’ dalam sebuah kertas kecil, dan dia gunakan untuk menutupi benda-benda yang sudah tertata rapi di dalam kotak tersebut.“Aku nggak sabar pengen lihat gimana reaksi Abang, Ma. Kira-kira dia bakalan senang atau nggak, ya?”“Tentu senang dong, Ra. Kalian kan sudah resmi menikah, dan tentu anak itu akan menyempurnakan kebahagiaan kalian berdua.”Yura menundukkan wajah sembari mengusap perutnya masih datar. Entah kenapa beberapa hari terakhir
Waktu sudah menunjuk angka sebelas siang saat Yura tiba di Bandara Soekarno Hatta yang terlihat ramai. Perempuan itu mengulas senyuman, entah apa yang membuatnya terlihat riang. Yura melangkah anggun menuju pintu kedatangan, menantikan kepulangan Krisna akan baru saja mendarat sempurna di Jakarta.Tiba di pintu kedatangan, Yura berdiri di tempat biasanya dia menunggu. Ingatannya kembali membawanya pada apa yang telah dilakukannya sebelum tiba di bandara tadi.“Saya hamil lagi, Dok?” Yura membelalak.“Iya, Bu Yura. Usia kandungannya baru delapan minggu.”Mendadak Yura merasa pening, pantas saja akhir-akhir ini dia sering mual. Namun, dia juga bahagia. “Apakah nggak masalah kalau saya… hamil lagi, Dok?”“Dilihat dari kesiapan rahimnya, tidak masalah, Bu. Ibu merasa lemas dan morning sickness itu karena disebabkan oleh fluktuasi hormonal. Tapi alangkah baiknya, Bu Yura tetap menjaga kondisi dengan sebaik-baiknya.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.”Percakapan itu masih terasa segar dalam
“Sayang…”Suara vokal Mama Maura sontak membuat Yura menolehkan kepalanya. Perempuan itu mengulas senyuman ke arah ibu mertuanya. Dia tengah duduk di taman belakang dengan bayinya yang ada di atas pangkuan.“Ma, barusan datang, ya?” Yura baru saja hendak bangkit dari duduknya saat Maura sudah lebih dulu mencegahnya.“Eh, Ra. Udah kamu duduk di sana aja. Mama yang ke situ.”Yura tidak jadi bangkit dan kembali duduk di kursinya. Setiap pukul tujuh pagi, Yura memang rutin berjemur bersama bayinya. Mengingat bahwa terpapar sinar matahari pagi sangat baik untuk perkembangan bayi.“Mama sendirian aja? Papa nggak ikut?”Belum sempat Maura menjawabnya, Davin yang baru saja melangkah menghampirinya sudah lebih dulu menarik perhatian mereka. “Pa…”“Gimana, Ra? Kamu sehat?” Davin menepuk bahu Yura, matanya menatap ke arah cucunya yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Cucunya Opa…”“Alhamdulillah, Pa. Meskipun setiap malam pasti begadangnya, sih. Untungnya ada Abang yang selalu nemenin.”“Syuku
“KRISNA! Thank God!”Joey berhambur memeluk Krisna yang saat ini tengah terbaring di atas brankar rumah sakit, seiring dengan isakan tangisnya yang terdengar memenuhi Leanders Hospitals Bali malam itu.Krisna baru saja sadar dari reaksi obat yang diberikan dokter sebagai upaya penyelamatan pertama. Di kepalanya terlilit perban dan ada beberapa luka lainnya di sana.Setelah insiden tergelincirnya pesawat yang baru saja ditumpanginya, Krisna bersama crew dan penumpang yang mengalami luka-luka dilarikan ke rumah sakit.Joey baru saja tiba di Bali, dan langsung bergegas menuju ke Leander Hospitals untuk memastikan kondisi Krisna dan crew lainnya. Krisna mendapati luka-luka di bagian kepalanya lantaran benturan keras di bagian depan kokpit. Sementara Bima harus dioperasi mengingat bahwa kondisinya yang jauh lebih mengkhawatirkan.“Joey, Bima gimana kondisinya? Dia—”“Stay calm, Kris. Bima baik-baik saja dan operasinya berjalan lancar.” Joey menghapus jejak air matanya, lalu menatap sendu
“Ra, beberapa hari lagi kamu mendekati HPL, kan? Nggak usah ke mana-mana dulu, apalagi nongkrong-nongkrong cantik.”Yura yang tadinya fokus dengan pakaian-pakaian bayinya, lantas menoleh ke arah ibunya. Beberapa hari yang lalu Krisna memborong semua perlengkapan bayi setoko-tokonya hanya untuk menyambut kehadiran bayi perempuannya.“Apaan sih, Ma. Lagian kapan coba aku nongkrong-nongkrong cantik? Orang udah lama banget aku di rumah terus.”“Beneran? Kali aja kamu mangkir waktu Abang lagi nugas, kan?” ujar Wulan tak percaya.“Dih, Ma. Sama anak sendiri kok dituduh macam-macam, sih? Aku nggak pernah keluar rumah tanpa seizin suami, ya! Lagian usia kandunganku udah gede gini, daripada aku jalan-jalan, mending aku rebahan sambil drakoran.”“Ya bagus kalau gitu. Ngomong-ngomong udah nemu nama buat anak kamu belum?”“Kenapa? Mama kepo, ya?” ujar Yura menggodai ibunya. “Ma…”“Iya, Sayang?”“Akhir-akhir ini cuaca lagi buruk, ya? Hujan lebat dan disertai angin.”“Kenapa? Kamu khawatir sama Ab
“Ra, kamu kok nekat jemput Abang ke bandara, sih? Abang kan udah bilang kalau—”Belum puas mengomel pada istrinya, Yura yang tengah berdiri di depan pintu kedatangan lantas mencium pipi suaminya dengan cepat.Rasa rindunya yang membuncah setelah ditinggal selama empat hari bertugas, membuat Yura jadi tak sabar ingin bertemu dengan suaminya.“Kangen, Bang…”“Ck! Pasti ada maunya, kan?” Mata Krisna memicing. “Nitnit lagi apa, Sayang?” Lalu pria itu membungkukan badan, dan mencium perut Yura yang kini sudah terlihat membola.“Abang! Nggak malu apa dilihatin banyak orang!”Krisna mengedikkan bahu. “Nggak. Abang kan kangen sama kesayangan Papa.”Yura mencebikkan bibir. “Jadi nggak kangen sama mamanya, ya?”“Cie, cemburu!” Krisna mengusap puncak kepala Yura dengan lembut, lalu terkekeh pelan.Usia kandungan Yura sudah menginjak bulan keempat, dan Nitnit adalah nama yang disematkan Krisna pada bayi perempuannya. Entah kenapa panggilan itu terlihat lucu, imut, dan menggemaskan seperti yang di
“Kenapa muka lo kayak kurang pelepasan gitu? Kurang jatah, ya?”Suara vokal Leon yang terdengar, seketika membuyarkan keterdiaman Yura. Perempuan itu berdiri di depan lift, lalu tiba-tiba Leon berdiri di sampingnya dengan tangannya yang melingkar di bahu.“Lo baru berangkat? Nggak ada siaran pagi, ya?”“Lo lupa kalau gue pindah program? Kebanyakan mikirin apa sih, lo! Gue jadi diabaikan gitu.” Leon bersungut-sungut. “Lo kenapa lesu gini? Nggak lagi ada masalah sama laki lo, kan?”Yura menggeleng meskipun raut wajahnya sama sekali belum berubah. “Nggak ada, El. Gue cuma kepikiran sama Abang aja. Sekarang dia baru di jalan ke rumahnya Pak Reno buat nemuin ibunya.”“Ibunya? Maksudnya nyokap kandungnya Krisna?”Pintu lift yang ada di hadapannya lantas terbuka, Yura tak langsung menjawab. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift untuk menuju lantai ruangannya.“Iya. Dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak, El. Tempo hari, Abang ketemu sama ibu kandungnya. Seperti yang gue ceritain di-chat
Yura menggeliat di atas tempat tidurnya saat bertepatan dengan alarmnya yang berbunyi. Perempuan itu mengerjap pelan, tangannya hendak meraih ponselnya, bersamaan dengan Krisna yang sudah duduk di tepi ranjang tidurnya.“Bang…”Yura mengubah posisinya menjadi duduk. Pria itu sontak menoleh dan mengusap wajah Yura dengan lembut.“Abang nggak tidur semalaman?” tanyanya ketika kini pria itu sudah mendudukkan dirinya di sampingnya, ada perasaan cemas yang mendadak hadir di hatinya. “Udah, kok. Cuma Abang tadi bangun lebih pagi aja, Ra.”“Abang mimpi buruk lagi, ya?” Tidak heran jika perempuan itu tampak khawatir dengan keadaan suaminya. Mengingat bagaimana Krisna beberapa waktu lalu sudah berhasil membuatnya cemas.Yura tahu bahwa mimpi buruk itu selalu membayangi suaminya hampir setiap harinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi bagaimana perempuan itu menyeka wajah Krisna yang basah karena peluh keringat atau sekadar mencoba untuk menenangkan Krisna dengan menarik tubuh pria itu ke dalam
“Ma, maaf udah bikin Mama pagi-pagi datang ke rumah. Semalaman Abang nggak keluar dari ruang kerjanya, Ma. Abang juga nggak mau dibujuk sama aku. Aku khawatir, Ma.”Maura yang baru saja datang, lantas mengangguk. Sejak pertemuan Krisna dan Dinda semalam, Maura tahu jika Krisna tidak akan baik-baik saja. Namun dia tidak menyangka jika dampaknya akan separah ini.“Dia udah tahu semuanya?”Yura mengangguk. “Ya, Ma. Pak Reno memberikan catatan medis milik ibu kandungnya Abang, dan karena itu juga Abang memilih mengurung diri.”“Mama akan mencoba membujuknya, Ra. Kamu nggak usah khawatir, ya?”“Aku siapin buat sarapan ya, Ma. Semoga Abang bisa dibujuk buat makan, karena sejak semalam Abang belum makan apapun, Ma.”“Iya, Sayang. Mama ke atas dulu kalau begitu.”Yura mengangguk sekali lagi, membiarkan Maura naik ke lantai dua untuk menemui Krisna yang sejak semalam mengurung diri di ruangannya. Sementara Yura melangkah menuju dapur. Dengan perasaan berkecamuk, Maura berdiri tepat di depan p
“Ra, lagi di mana?”Yura lantas mengangkat wajahnya saat suara Reno terdengar di seberang sana. Matanya mengedar ke sekitar, seolah tahu jika Reno tengah berada di sekitarnya dan mencari keberadaannya.“Udah di dalam ballroom, Pak. Bapak di mana?”“Krisna?”“Dia ke toilet tadi, Pak. Bapak sudah sampai?”“Oh, oke. Sebentar lagi saya masuk. Sampai ketemu di sana, ya.”Yura lantas bangkit dari duduknya, jantungnya mendadak berdebar kencang. Yura tidak bisa membayangkan bagaimana pertemuan Krisna dan ibu kandungnya kali ini. Riak wajahnya seketika berubah, kepalanya mendadak pening.“Sayang, ada apa?”Maura yang melihat perubahan raut wajah Yura, lantas bangkit dan menghampiri perempuan itu.“Ma…” Yura memang belum menceritakan hal ini kepada Maura sebelumnya. “Abang, Ma…”“Kenapa Abang, Ra? Duduk dulu.” Maura meraih segelas minuman yang ada di atas meja, lalu mengangsurkannya ke arah Yura. “Diminum dulu, Sayang.”Beruntung suasana ballroom malam itu gelap, mengingat bahwa cahaya sengaja