CEO itu segera bertindak, dia meminta dokter yang merawat Lili melakukan yang terbaik, bahkan bila perlu mendatangkan dokter profesional. Hingga sore datang, keadaan wanita itu tak ada perkembangan. Hingga Kirana dan Revan mulai putus asa. "Aku takut terjadi apa-apa dengannya Mas." Ujar Kirana dengan menangis. Revan menenangkan Kirana, dia mengatakan bahkan Lili akan baik baik saja. Karena keadaan Lili masih sama, Kirana dan Revan melihat anak mereka, saat itulah mereka berpapasan dengan Arga dan Lalita yang hendak memeriksakan anaknya. "Arga." Revan memanggil Arga. Mendengar namanya disebut Arga pun menoleh, "Revan." Dia memanggil balik. Revan segera mendekati Arga, dia nampak bersalah kepada Arga karena bagaimanapun juga Lili adalah sepupu Arga. "Siapa yang sakit?" Tanpa basa-basi Arga langsung to the point. Revan dan Kirana saling pandang, lalu kemudian dia bersuara. "Sepupu kamu Arga." Arga dan Lalita mengerutkan alis mereka. Sepupu? Nama Lili telah mereka lupa
"Pak Arga?"Lalita yang saat itu sedang memiliki janji bertemu pria yang akan dijodohkan dengannya nampak terkejut setelah tau apabila pasangan kencan butanya adalah CEO-nya sendiri."Kamu mengenalku?" Sang CEO bertanya heran.Wanita itu mengangguk, jelas dia mengenalnya. Arga Rahardi Winata adalah CEO di tempat dia bekerja."S-saya … OB di perusahaan Pak Arga,” jawabnya ragu.Tatapan pria itu semakin sinis dan dingin setelah tau wanita yang akan sang Kakek jodohkan dengannya adalah OB-nya sendiri.Suasana terlihat begitu canggung, Lalita semakin tak nyaman dengan sikap Arga yang tidak bersahabat.“Kamu menerima perjodohan ini karena harta kakek, kan?” Tatapan pria itu masih sinis, terlihat ada rasa benci akan wanita yang telah dijodohkan dengannya.Terkejut sebelumnya belum hilang kini dia harus kembali terkejut dengan kalimat CEO-nya itu.“Maaf, Pak … kelihatannya Anda salah paham terhadap saya.”Pria itu mendengus, sinis. “Bila bukan harta, apalagi yang wanita seperti kamu inginkan
“Selamat pagi, Pak!” Sapaan-sapaan yang terdengar kompak itu membuat Lalita yang sedang fokus membersihkan lantai lobi menghentikan pekerjaannya. Dia yang menggunakan seragam merah–seragam OB lantas memutar tubuh dan menemui rupanya … sang CEO telah datang. Melihat para satpam dan karyawan lain bersikap hormat, Lalita pun tidak mau kalah. Dia, dengan kain pel di tangan menunduk, hormat. “Selamat pagi, Pak Arga….” ujar Lalita pelan, kemudian kembali mengangkat pandangan. Di sanalah, pandangan mereka bertemu. Duk! Entah terkejut atau bagaimana, kaki Arga menabrak ember berisi air pel milik Lalita. Hal itu membuat air kotor di ember tersebut mencuat, dan bahkan beberapa cipratannya mengotori celana dan sepatu mengilap miliknya.Jantung Lalita serasa mau copot. Dia pun buru-buru berujar, meski gagap, “M-maafkan saya, Pak. S-saya akan bersihkan–” Lalita sudah bersiap untuk mengelap sepatu Arga yang terkena cipratan air, tetapi ketika dia berjongkok, Arga lebih dulu menghindar. Sel
“Kita sepakat saling menerima. Jadi, jangan pernah tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mereka.”Bisikan bernada memaksa dari Arga membuat Lalita terkejut dan buru-buru menormalkan ekspresinya. Sejak pagi tadi, Lalita mendadak bersedih. Sebab, setelah janji suci nanti, hidupnya akan tergadai oleh Arga.Seminggu usai Lalita menandatangani kontrak perjanjian, pernikahan pun digelar. Rumah Arga dipilih jadi tempat akad, demi kerahasiaan yang lebih terjaga. Konsep pernikahan sederhana tanpa undangan benar-benar terasa. Nampak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang terlihat di sini hanyalah kedua mempelai. Lalita cantik dengan balutan kebaya warna putih, sedangkan Arga terlihat sangat tampan dengan balutan jas dengan warna yang senada. “Iya, saya paham.” Dia berbisik, dengan lirikan mata tajam ke arah pria yang akan menyandang status sebagai suaminya. “Jika paham, tersenyumlah!” Titahnya dengan penuh penekanan. Arga dan Lalita berjalan menuju tempat akad mereka, keduanya kini tam
"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya." Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah m
Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m
“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.Arga turut menyusul di belakang sang istri.Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
CEO itu segera bertindak, dia meminta dokter yang merawat Lili melakukan yang terbaik, bahkan bila perlu mendatangkan dokter profesional. Hingga sore datang, keadaan wanita itu tak ada perkembangan. Hingga Kirana dan Revan mulai putus asa. "Aku takut terjadi apa-apa dengannya Mas." Ujar Kirana dengan menangis. Revan menenangkan Kirana, dia mengatakan bahkan Lili akan baik baik saja. Karena keadaan Lili masih sama, Kirana dan Revan melihat anak mereka, saat itulah mereka berpapasan dengan Arga dan Lalita yang hendak memeriksakan anaknya. "Arga." Revan memanggil Arga. Mendengar namanya disebut Arga pun menoleh, "Revan." Dia memanggil balik. Revan segera mendekati Arga, dia nampak bersalah kepada Arga karena bagaimanapun juga Lili adalah sepupu Arga. "Siapa yang sakit?" Tanpa basa-basi Arga langsung to the point. Revan dan Kirana saling pandang, lalu kemudian dia bersuara. "Sepupu kamu Arga." Arga dan Lalita mengerutkan alis mereka. Sepupu? Nama Lili telah mereka lupa
Plak.... Sebuah tamparan mendarat di pipi Lili, Kirana yang merupakan wanita lemah lembut kini murka ketika Lili meminta suaminya. "Aku awalnya mengira jika seorang pelacur seorang wanita juga, mau menolong wanita lain tapi aku salah pelacur tetap lah pelacur yang ingin memiliki milik lelaki wanita lain." Dengan tatapan amarah Kirana menatap Lili. Sementara itu Lili justru tertawa, meski hatinya sangat perih akan ucapan Kirana. "Aku meminta suami padamu, kamu malah mengingatkan aku akan asalku, lantas bagaimana dengan dirimu Kirana yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, mengambil anak yang aku lahirkan dan setelah itu mendepakku." Kini gantian Lili yang meluapkan isi hatinya. Kirana terdiam seribu bahasa, dia tahu apa yang dia lakukan salah tapi semua sudah menjadi kesepakatan di awal. Seandainya Lili tidak setuju maka kesepakatan ini juga tak ada. Saat bersamaan, tangan Lili menegangi perutnya. Tiba-tiba dia merasakan sakit yang luar biasa. Wanita itu mengerang kesa
Pertanyaan Revan mendorong Lili untuk tertawa di tengah kesedihannya, ada apa? Revan bertanya ada apa? Perlahan Lili melemparkan tatapannya, menatap tajam kedua bola mata yang sudah menatapnya. "Sikapmu, perhatian kamu membuat aku tertawan Mas, mengetuk pintu hatiku dan memaksa aku mencintai kamu." Mendengar ungkapan hati Lili Revan memalingkan wajah, "Sudah aku bilang jangan main perasaan." Ucapnya pelan. Suara tawa Lili terdengar kembali, "Bagaimana aku nggak main perasaan Mas, kita sudah menyatu bahkan benih kamu berkembang di rahimku, setiap hari kamu memperlakukan aku sangat baik, sekarang katakan padaku, bagaimana caranya aku tidak main perasaan?" Air mata Lili perlahan menetes. Hatinya terasa sesak mendengar ucapan Revan. Pria itu terdiam akan kalimat Lili, dia tidak bisa menjawab atau berkomentar apapun karena semua yang Lili ungkap benar adanya. Di dalam lubuk hatinya yang paling jauh, tak bisa dipungkiri ada rasa cinta yang berusaha dia tekan untuk Lili lant
"Ketoprak datang.... " Pria itu membawa sebungkus ketoprak yang Lili minta. Mencium aroma kacang membuat saliva Lili mengucur dengan deras. Di samping Lili Revan membuka bungkusan ketopraknya. "Makanlah." Segera Lili mengambil sendok dan memakan ketoprak yang dibawa Revan, dalam sekejam sebungkus ketoprak tandas, "Enak Mas." Ujar Lili dengan tersenyum. Melihat ada sisa makanan di mulut Lili Revan pun mengambilnya. "Seperti anak kecil makan meninggalkan sisa." Kata pria itu dengan tersenyum pula. Lili yang malu menundukkan kepala, kembali dia naik ke awan, dan mungkin dia harus siap-siap terjun bebas kembali. Selepas itu, Revan pamit kembali ke kamarnya. Dia lelah dan harus istirahat. Pagi itu di teras rumah, Kirana dan Mama Revan duduk bersantai, Lili yang ingin menghirup udara segar memutuskan untuk bergabung bersama. Melihat cara orang tua Revan yang menyayangi Kirana entah mengapa membuat Lili iri, seharusnya dia lah yang mendapatkan cinta itu karena dia yang meng
"Revan siapa wanita hamil ini? kenapa kamu membawanya pulang?" Mama Revan menatap anaknya tajam. Revan dan Kirana saling tatap, lalu Revan tersenyum. "Dia adalah Lili Ma, istri anak buah Revan. Suaminya baru meninggal. Karena usia kehamilannya sama seperti Kirana alangkah baiknya jika dia turut hadir." Ujar pria itu. Respon orang tua Revan justru diluar dugaan, mama Revan iba terhadap Lili lalu dia membawa Lili masuk ke dalam rumah. Revan dan Kirana saling senyum, lalu mereka masuk. Mama Revan yang sangat bahagia memperlakukan Kirana dengan sangat baik, begitu pula dengan Lili. Mendapatkan kasih sayang dari Mama Revan, diam-diam Lili menangis hal ini membuat panik Mama Revan. "Kamu kenapa Lili?" tanya Mama Revan dengan menatap Lili. "Tidak kenapa-kenapa Tante, saya hanya terharu karena saya tidak pernah dipeluk oleh ibu." Ucapnya. "Kasian sekali kamu Lili." Rasa iba Mama Revan semakin besar. Memang dari kecil Lili sudah yatim piatu, dia diasuh oleh paman dan bibinya. Ketidaka
Hari minggu datang dengan cepat, pagi itu seperti biasa Lili membuatkan kopi untuk Revan. Dengan senyum yang mengembang dia berniat membawakan secangkir kopi itu langsung ke suaminya yang kini berada di taman samping rumah tapi senyumnya perlahan menghilang. Wajah sumringah berubah menjadi mendung. Di taman samping rumahnya, Revan dan Kirana melakukan video call, Revan nampak mengelus perut Kirana, ternyata mereka berakting seolah Kirana tengah hamil. Sebenarnya sah sah saja tapi entah mengapa hati Lili sangat sakit. "Aku yang seharusnya kamu akui sebagai ibu anak kamu Mas." Ucap Lili lalu dia membalikkan badan dan kembali ke kamarnya. Mendengar Kirana mengklaim kehamilannya, Lili tak terima meski ini sudah disepakati bersama. Rasa cintanya kepada Revan membuat Lili terus merasa tak terima dengan apa yang Kirana lakukan. Di dalam kamarnya wanita malang itu menangis, meratapi kesakitan yang setiap hari menghujamnya. "Kenapa semua tidak adil padaku!" Wanita itu berteria
Arga masih belum puas, dia terus mempertanyakan perihal makan siang yang dibawakan oleh Lalita tadi. "Astaga Mas, ya aku berikan pada Mas Rangga daripada mubazir." Jawab Lalita. Pria itu mengepalkan tangannya, merasa dicurangi oleh Rangga. Namun Lalita menurunkan emosinya, "Sudahlah Mas, aku baik pada Mas Rangga karena dia teman kamu, aku tidak memiliki niat lebih, aku bisa menjaga batasanku." Wanita itu mengelus punggung suaminya. "Tapi dia mencintai kamu." Sahut Arga ketus. "Dia yang mencintai aku bukan aku." Hanya satu cara agar Arga tidak marah lagi yaitu membuat pria itu berhasrat dan meluapkan semua di atas ranjang. ##### Tak terasa kandungan Lili sudah terlihat, perut yang semula rata kini terlihat berisi. Bahkan pergerakan bayi bisa dirasakan. Revan sangat senang karena kini dia bisa merasakan kehadiran calon bayinya. "Dia bergerak." Pria itu sangat girang. Lili tersenyum melihat Revan yang seperti ini. Seperti anak kecil yang diberi mainan. Saking senang
"Eh Mas Rangga." Lalita tersenyum menatap Rangga. Terlihat Rangga begitu bahagia, jika ponselnya tak tertinggal mana mungkin bertemu dengan Lalita. "Kamu ngapain?" Rangga berbasa-basi. "Ini ngantar bekal makan siang tapi Mas Arga kelihatannya sedang makan siang diluar." Wanita itu sedikit terlihat kecewa karena surprisenya gagal kali ini. "Iya Arga dan teman-teman makan sedang keluar makan siang." Ujar Rangga. Melihat Rangga yang tiba-tiba datang Lalita mengira jika pria itu juga mencari suaminya seperti tempo dulu yang tanpa dia tahu pria itu datang untuk mengambil ponselnya. "Pak Rangga pasti mencari Mas Arga ya." Terka Lalita. Rangga hanya tersenyum lalu berjalan menuju sofa tempat dia dan teman-temannya tadi mengobrol.Melihat bekal yang dibawakan Lalita, Rangga pun berbasa-basi. "Sayang sekali bekal makan siangnya." Sambil menatap Lalita. "Iya tahu gini, aku tak perlu pakai surprise segala." Dia terkekeh merasa konyol dengan dirinya sendiri. "Oh ya kalau Mas Rangga kala
"Kalau pas di lidah kamu maka mulai dari sekarang kopi itu akan ada di meja setiap pagi." Wanita itu tersenyum lalu mengambilkan Revan makanan. Keduanya makan sambil mengobrol di meja makan hingga Kirana datang dan bergabung dengan mereka. "Duh asiknya." Entah ungkapan sindiran atau tidak tapi setelah kedatangan Kirana, Revan agak kikuk. Kirana menarik kursi lalu bergabung dengan mereka. Revan yang awalnya aktif bertanya pada Lili kini mulai aktif dengan Kirana sehingga membuat keberadaan Lili seperti tak dianggap. Buru-buru Lili menyelesaikan makan paginya lalu bergegas kembali ke kamar. "Kamu mau kemana Lili?" tanya Kirana. "Ke kamar Kirana, perutku agak kurang nyaman." Jawab Lili lalu mrninggalkan mereka. Kirana dan Revan agak panik, mereka takut terjadi apa-apa dengan kandungan Lili. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja Mas?" Bukannya tidak setuju dengan keinginan Kirana tapi pagi ini Revan ada meeting penting. "Bagaimana jika kamu yang membawanya sayang, pagi in